Share

6. Bos Kecil

Penulis: Ariandani Rissa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-14 11:20:03

Selepas Isya, Wildan duduk di kursi ruang tamu, menghitung perolehan  hasil berdagangnya hari ini. Khalid yang baru saja keluar kamar segera bergabung, memandang Wildan yang masih serius mengumpulkan uang receh dan uang kertas sesuai nominal. Khalid menatap Wildan sedih. Ia sama sekali tidak pernah berpikir kalau di dunia ini masih ada orang yang mengelola uang receh. Kalau ia ingat kehidupannya yang serba ada, ia menjadi malu. Ia bahkan jarang menghitung berapa uang yang sering ia hamburkan untuk berfoya-foya. Membeli barang-barang yang tidak ia butuhkan, mentraktir makan teman-teman dan entah apalagi kegiatannya dengan uangnya.

            “Berapa biasanya kau dapatkan sehari dari berjualan?’ tanya Khalid sambil duduk di hadapan Wildan.

“Tidak pasti. Kadang dua ratus, kadang lebih, kadang kurang.”

“Dua ratus ribu?”

“Ya.”

“Sehari?

Wildan mengangguk. Ia tidak bersuara karena fokusnya sedang ada pada hitungan koin yang sudah ia ikat dengan plester dalam jumlah tertentu.

“Apakah kau tidak ingin bekerja?’

“Aku sudah bekerja. Mau kerja apa lagi?”

Khalid menggeleng. ia lupa pada kondisinya sekarang. Ia ingin menawarkan pekerjaan pada Wildan untuk sebuah posisi bagus di perusahaannya namun ia urungkan.

“Kerja yang lebih menghasilkan uang banyak lah.”

“Maksudmu menjadi karyawan? Sepertimu?”

“Ya. Menjadi karyawan kan kelihatan lebih keren daripada mendorong gerobak dorong setiap hari.”

Akhirnya Khalid mengalah. Ia lebih suka ketika Wildan mengatakan dirinya sebagai karyawan tanpa harus berpura-pura.

“Biarkan saja aku tidak keren asalkan posisiku saat ini adalah bos. Walau hanya bos kecil ha ha ha. Bos yang penghasilan hariannya hanya ratusan ribu rupiah. Aku ikhlas kok jadi bos kecil. Daripada jadi karyawan, setiap hari tenaga dikuras, diforsir sedemikian rupa tapi penghasilan nyaris sama.”

“Setidaknya kau bisa sedikit lebih beehemat tenaga, Wildan. Tenagamu bisa kau simpan lebih lama, kalau kau mau.”

“Lalu aku akan bekerja dimana? Aku sudah enak dan nyaman dengan kondisiku saat ini. Jangan kau usik aku. Aku tidak akan tergoda dengan bujuk rayu karyawan yang sudah keluar dari perusahaan. Ha ha ha. Kalau kau ingin berdagang, aku bisa mengajarimu.

“Dagang ya? Dagang apa?”

“Sesuaikan dengan skill dan hobimu saja. Kalau suka memasak seperti aku, dagang makanan, kalau tidak ya dagang apapun lah. Asalkan tidak menganggur. Selain tidak enak, menganggur juga membuat kita menjadi malas.”

“Aku ingin seperti ini dulu, Dan. Biarlah menganggur dulu yang penting hatiku tenang.’

“Mana ada menganggur tenang. kamu akan semakin malas kalau terus-menerus menganggur.”

Khalid memandang Wildan. Ia ingin sekali tertawa mendengar ucapan Wildan. Tapi kalau dia tertawa Wildan pasti akan curiga dengan penyamarannya.  Bisa saja Wildan akan mencari tahu siapa dirinya sebenarnya.

“Ya tidak terus menerus juga. Aku akan berusaha mencari perusahaan baru untuk bekerja.”

“Sambil mencari kerja, kau bisa membantuku nanti aku kasih imbalan.”

“Boleh juga usulmu. Aku akan memepertimbangkan lagi.”

“Yakin mau? Tidak keren lho.”

Khalid mengangguk sambil menggaruk kepalanya. Ia sebenarnya malu kalau harus mengikuti Wildan. Berjualan keliling dengan berjalan kaki pasti sangat melelahkan.

“HA ha ha, kau bilang aku harus bergerak, bekerja, jangan menganggur kan? Kenapa jadi kamu yang ragu?”

“Ya karena ragu saja. Orang sekeren kamu mau menjadi orang suruhanku?”

“Asalkan aku bisa dapat uang kan?”

“YA jangan begitu. Kau bekerja karena untuk beribadah. Mencari nafkah setidaknya untuk menyiapkan kehidupan saat ini demi kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.”

“Bimbing aku ya, supaya aku bisa sepertimu. Istiqomah memegang prinsip yang benar”

Wildan mengangguk penuh semangat. Ia melanjutkan kegiatannya, menghitung uang hasil berjualan dan memasukkan ke dalam beberapa tempat.

“Ah, kau jangan berlebihan. Aku bukan orang yang istiqamah juga. Kadang kala aku juga bisa lemah.”

“Yah, selemah apapun kondisimu, kayaknya aku yakin kalau kau selalu menempuh jalan yang terbaik untuk solusimu.”

“Darimana kamu tahu?”

“Feeling”

“Feeling yang bagaimana?”

“Yaa feeling aja, bisa dirasakan tapi susah dijelaskan”

Wildan mengambil buku catatan. Mencatat jumlah uang yang di kaleng roti berbentuk silinder lalu beralih pada kaleng roti berbentuk kubus dan uang kertas lima puluh ribu dan seratus dalam amplop coklat. Khalid terus memerhatikan Wildan. Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa Wildan melakukan itu semua.

“Kenapa memandangku seperti itu?”

“Aneh saja. Kau memisahkan uangmu di tempat berbeda.”

“Kaleng silinder untuk infak. Kaleng kubus untuk simpanan, kalau jumlahnya sudah banyak kutukar di warung atau pom bensin. Sebagai tambahan  investasi untuk mengembangkan jualan dan buat biaya kuliahku.”

“Kau masih kuliah?”

“S2.”

“Wah hebat kamu. Tapi kalau kau sarjana, mengapa harus jualan keliling? Tidak tertarik kerja di perusahaan gitu?”

Wildan menggeleng sekali lagi.

“Tidak. Kalau kau memandangku sebagai seorang pedagang kaki lima seperti ini dan penghasilanku tak seberapa tak apalah. Asalkan halal dan toyyib aku ikhlas menerima. Yang penting bagiku adalah kerja dan dapat penghasilan, terlepas dari bagaimana aku endapatkannya, aku tak begitu ambil pusing. Apalagi terhadap pandangan orang.”

“Kamu kan orang berpendidikan, Dan. Masa iya tidak ingin dipandang sebagai orang yang mampu memiliki kehidupan lebih baik.”

Wildan tertawa lalu menggeleng pelan. Ia sandarkan tubuh lelahnya di sandaran sofa. Matanya memandang langit-langit rumahnya, mencoba menenangkan perasaannya agar tidak emosi pada penilaian Khalid padanya.

“Aku kuliah hanya untuk menuntut ilmu, bukan untuk agar aku dapat ijasah dan mendapatkan pandangan apa-apa dari manusia. Orang berilmu ditinggikan derajatnya oleh Allah. Sudah itu saja. Kau boleh heran denganku atau tidak up to you. Aku tidak ambil pusing sama sekali, yang penting aku punya waktu untuk beribadah dan mendekatkan diri pada Allah dengan khusu’ tanpa terbebani waktu kerja yang terikat seperti di kantoran.”

“Kau tidak ingin memiliki karyawan dan mengembangkan usaha?”

“Ingin”

“Lantas mengapa tidak kau lakukan?”

“Hah, sementara seperti ini sudah cukup. Aku sudah bersyukur Allah menyayangiku dengan sempurna.”

“Aneh. Biasanya manusia akan lebih memilih untuk dipandang mewah oleh manusia. Dia mengejar apapun demi bisa dikatakan sebagai orang hebat dan memiliki derajat dan pangkat.”

“Itu mereka, bukan aku. Ah sudahlah. Yang jelas saat ini aku ingin fokus pada daganganku. Kau bisa membantuku menyiapkan bahan-bahan untuk esok kan?”

“Apa?”

“Kau blender cabai di dapur. Aku akan menyiapkan bumbu agar besok bisa segera berjualan lebih pagi.”

“Ap  . . . apa maksudnya? Aku blender cabai?’ tanya Khalid gugup. Di rumahnya, ia sama sekali tidak pernah memegang alat-alat apapun. Jangankan memblender cabai, melihat alat untuk memblender saja ia tidak pernah. Tapi kali ini, tidak ada pilihan lain selain menurut.

Wildan melangkah ke dapur setelah menyimpan wadah berii uang di kamarnya. Khalid mengikuti langkah Wildan menuju dapur, lalu duduk di kursi tak jauh dari temannya. Wildan nampak sibuk menyiapkan segala sesuatu lalu meletakkan blender di depan Khalid.

“Ambil cabainya di kulkas!”

Khalid mengangguk. Ia segera melangkah menuju kulkas satu pintu yang terletak di sudut ruangan, membuka pintunya dan melihat isinya.  Ia terpana memandang isi kulkas yang nyaris kosong. Hanya ada beberapa benda di sana. Tidak seperti kulkas di apartemen dan rumah utama yang selalu terisi penuh dengan makanan.

“Mana cabainya?’

Wildan memandang kulkas dan tersenyum. Ia mendekat, lalu mengulurkan tangan mengambil sesuatu yang ia bungkus dengan koran lalu menyerahkannya pada Khalid.

“Ambillah!”

“Tapi aku . . .”

Khalid menggaruk kepalanya. Ia menoleh ke arah kulkas dua pintu di sudut ruangan. Perlahan ia melangkah, mendekati kulkas dan membukanya.

“Kenapa ragu?”

“Aku tak pernah memblender.”

“Ha ha ha, baiklah. Ikuti aku! Aku akan mengajarimu supaya besok kau bisa lebih cekatan.”

“Yang pertama cuci cabai, lalu masukkan ke dalam blender ini. Tambahkan air sedikit, lalu tutup dan kau nyalakan tombol on seperti ini.

Blender berdering, nyaring memekakkan telinga membuat Khalid sedikit memundurkan tubuhnya. Wildan yang tahu kalau Khalid terkejut segera mematikan blendernya dan menyerahkan pekerjaannya pada Khalid.

“Kau lanjutkan! Jangan lama-lama. Walaupun belum halus, coba untuk mematikan setiap lima menit ya. Aku tidak mau blenderku rusak. Belum ada uang untuk menggantinya.”

Demi Tuhan Khalid ingin mengatakan kalau dia lebih baik mengganti blender Wildan yang rusak daripada harus bekerja keras membuat dirinya susah.

“Baiklah. Aku akan menuruti semua arahanmu.”

“Harus itu. Kau harus mengikuti arahanku kalau tidak . .  .”

“Kalau tidak kenapa?”

“Kau akan merusak dan merugikanku.”

“Aku bisa ganti rugi.”

“Ah, jangan berfikir kau akan ganti rugi, ganti rugi. Yang ada nanti uangmu akan habis. Kau harus berhemat, jangan sampai kau hanya menumpang saja di sini karena tidak memiliki uang.”

“Baiklah, Tuan Raja.”

“Aku bukan raja.”

“Kau bilang kau bos kecil kan?’

“Hanya bos kecil. Bukan raja.”

“Ok, baiklah Boss.”

Bab terkait

  • Mengejar Mentari   7. Kabar dari Mama

    Khalid masih duduk di kursinya, mencoba membuka email dari ponselnya. Ia sengaja tidak membawa laptopnya demi menghindari kecurigaan Wildan tentangnya. Khalid benar-benar menikmati hidup sebagai manusia biasa bersama dengan orang biasa. Ia sama sekali tak menunjukkan pada siapapun tentang siapa jati dirinya yang sebenarnya.“Tuan tidak ke kantor lagi hari ini?”Pesan dari Defandra. Khalid menggeleng. Walau ia tahu Defandra tidak bisa melihatnya, ia tetap saja mengetikkan jawaban sambil menggeleng.“Tidak. Kau handle dulu semuanya. Aku sudah menikmati hidupku di sini. Laki-laki itu benar-benar baik. Dia sama sekali tidak membuatku kerepotan untuk menjelaskan siapa aku yang sebenarnya.”Defandra mendesah. Ia sedih dengan nasib dirinya yang menjadi bujang lapuk karena terlalu patuh pada Khalid. Bos yang keras kepala dan semau sendiri.“Tapi tadi Nyonya besar ke kantor, Tuan.”“Ada apa?”

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-14
  • Mengejar Mentari   8. Pekerjaan Baru

    “Mas Arka?”“Iya, Mbak. Assalamualaikum”“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabar Mas? Lama tidak bertemu.”“Alhamdulillah saya baik, Dik. Dik Dzi apa kabar?’“Alhamdulillah saya juga baik, Mas. Kapan pulang?”“Ah, diumah sendiri masa ditanya kapan pulang?”“E maksudku, Mas Arka kapan datang?”“Baru saja.”“Yaa Allah, susah ya bicara sama orang hebat. Bahasa apapun jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.” Dzi menunduk. Ia mulai kebingungan mendengar jawaban Arka yang benar-benar membingungkan. Salim yang memandang Dzi frustasi hanya menggelengkan kepala sambil memukul lengan Arka.“Jangan membuat Mbak Dzi salah tingkah begitu. Kasihan dia.”“Ha ha ha, maaf. Bukan maksud Mas menggoda. Mas pulang kemarin.” Dzi mengangguk. Ia sudah tidak berniat melanjut

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-14
  • Mengejar Mentari   9. Kehidupan Baru

    “Aku tadi yang memesan lewat wa, Mas.” Kata sang gadis sambil memandang dua orang temannya yang kini sudah mengambil tempat duduk.“Kau tidak bekerja, Nda?” tanya Wildan sambil menyiapkan hidangan.“Ini dalam rangka sedang istirahat, Mas. Kalau tidak bekerja terus aku mau makan apa? Aku tidak bisa diam saja sambil mengharap pemberian orang tua. Kalau Mas Wildan enak bisa jualan. Setidaknya bisa setiap hari dapat duit.”“Kau juga bisa kalau mau.”“Belum ada modalnya, Mas.”“Kalau modal mah bukan yang utama, Nda. Asalkan kau punya tekad yang kuat, modal lima ratus pasti bisa.”Nah itu dia. Lima ratus itu duit darimana coba, Mas. Aku saja kerja hanya dapat tiga sampai empat juta sebulan. Buat makan harian, aku harus menghabiskan seratus ribu sehari. Coba tinggal berapa uangku, Mas”Wildan menggaruk kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan pola pikir Nand

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-15
  • Mengejar Mentari   10. Pria Arogan

    “Nandaaaa, “ seru Bekti sambil mencubit pinggang Nanda. Sontak saja Nanda menjerit.“Apaan ih cubit-cubit. Sakit tau?” bentak Nanda. Ia mengusap bekas cubitan Bekti sambil meringis menahan sakit.“I . . .itu pangeran tampan sekali” seru Winda dan Bekti bersama-sama. Wildan dan Nanda yang mendengar penuturan kedua gadis di hadapannya segera menolehkan kepalanya memandang pria tampan yang baru datang.“Ih apaan sih kalian. Norak banget ah.”“Biarin norak asal tuh pangeran jatuh cinta ke aku, Ndaa. Ck ck ck, cakep banget.”“Selamat siang”“Eh si . . .siang, Tuan.” Sahut Nanda mendahului teman-temannya.“Aku mencari Sahal.’Nanda dan kedua sahabatnya saling pandang. Sedang Wildan yang sudah mengetahui siapa laki-laki di hadapannya hanya diam.“Sahal? Siapa dia?”“Aku tidak tahu dia kemana.”De

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-15
  • Mengejar Mentari   11. Menggapai Ridha Ilahi

    Di sebuah gasebo dekat dengan sebuah rumah sehat Al Fitrah, seorang gadis sedang menghadap laptopnya, menyiapkan beberapa proposal pengajian remaja dan bakti sosial. Gasebo indah yang menjadi tempat favorit Dzi menghabiskan waktu saat di Al Fitrah.“Assalamualaikum”Seorang laki-laki menghampiri Dzi yang masih asik menyusun kalimat.“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.,” Dzi menghentikan kegitannya, lalu menoleh ke arah sumber suara.“Mas Sahal?’ “Dik Dzi? Kenapa di sini? Siapa yang sakit?”Dzi tersenyum. Ia sama sekali tidak mengira kalau akan bertemu dengan Sahal. Laki-laki yang menjadi tetangga barunya.“Tidak ada yang sakit, Mas. Saya hanya senang kalau duduk di sini. Itu saja. Mas sendiri mengapa ke sini? Siapa yang sakit?”“Papa.”“O, sakit apa?”&ldqu

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-15
  • Mengejar Mentari   12. Terapi untuk Tuan Raharja

    Sampai di ruang perawatan, Raharja dipindahkan ke dipan.“Alhamdulillah, akhirnya Papah bisa berbaring.”“Iya, Mah. Setidaknya ini bisa membuat Papah lebih rileks bisa mengendorkan otot-otot Papah yang kencang.”“Mana Saifi ya, Pah? Mamah yakin dia yang sudah berjuang untuk ini.”“Semoga dia segera masuk Mah. Dia anak baik.”“Iya, Pah. Kalau saja Khalid anak nakal itu tidak pergi, dia pasti bisa berkenalan dengan Saifi hari ini. Tapi kebiasaan anakmu selalu pergi tanpa pamit padaku.”“Kamu juga tidak boleh terlalu memaksakan kehendakmu sendiri. Belajarlah untuk menjadi seorang ibu yang lemah lembut.”“Inginnya sih lemah lembut, Pah. Tapi rasanya susahnya luar biasa. Anakmu selalu saja punya alasan untuk membuat Mamah marah.”“Memang mudah untuk marah Ibu. Tapi Allah lebih suka orang yang bijaksana yang mampu mengendaikan emosinya tanpa harus membabi buta”“Saifi? Kamu sudah datang, Nak?”“Iya, Bu. Tadi saya menghubungi bagian terapi dan meminta me

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-16
  • Mengejar Mentari   13. Berselisih Paham

    Sepeninggal Dzi, Khalid masuk ke ruangan dan bergabung dengan Nancy dan Raharja yang sudah menyelesaikan terapinya. Raharja nampak berkeringat deras. Ia duduk di kursi dekat dengan Nancy yang kini sedang mengupaskan buah untuknya.“Bagaimana, Pah? Apakah Papah sudah lebih baik sekarang?’ tanya Khalid sambil memandang Fatah dan Widodo yang duduk terpisah.“Seperti yang kamu lihat. Papah sudah bisa berjalan tanpa kursi roda lagi.”“Tapi Papah harus berhati-hati. Jangan terlalu gegabah, Pah. Agar Papah tidak kambuh lagi.”“Papah sudah sehat dan baikan. Kau tidak perlu khawatir. Papah baik-baik saja.”“Khalid heran mengapa Papah sekarang keras kepala sekali. Apakah mereka yang mengajari Papah seperti ini?”“Kau yang keras kepala. Kecil-kecil sudah berani pada Papahmu. Kau kemana saja? Kenapa pergi-pergi terus tanpa pamit? Apakah kau sama sekali tidak ingin mendampingi Papah terapi?” ucap Nancy sambil bersungut-sungut. Ia jengkel memandang anak semata

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-16
  • Mengejar Mentari   14. Di ujung Senja

    Khalid masih memikirkan apa yang dikatakan oleh sang Mama mengenai gadis bernama Saifi. Pikirannya kalut. Ia sama sekali tidak bisa berfikir jernih.“Ah, mengapa Mamah selalu saja membuatku gila?” gumam Khalid sambil meremas rambutnya. Kakinya ia langkahkan menjauh dari rumah utama. Entah berapa lama ia sibuk dengan pikiran-pikiran dan bayangannya.“Tuhan. Andai aku boleh memilih antara menuruti keinginan Mamah dan keinginan hatiku, aku ingin menuruti keinginan hatiku karena aku tahu sumber kebahagiaanku. Tapi . . . kalau aku mengingat semua kebaikan Mamah padaku, aku memang berat untuk menolak.”Khalid masih melangkah tanpa tahu kemana kakinya berjalan meninggalkan rumahnya. Hingga dimenit yang entah keberapa, dia mencapai sebuah taman. Matanya ia edarkan, menatap sekeliling dimana disana banyak sekali anak-anak sedang bermain menanti datangnya senja, ah lebih tepatnya menikmati senja bersama kedua orang tua atau entah siapa.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-17

Bab terbaru

  • Mengejar Mentari   70. Aku Mau

    Khalid masih terpana menyaksikan mobil yang kini parkir dan berjajar di depan masjid. Ia melihat keluarga yang tadi duduk di ruang VVIP restoran AD datang menemuinya. Wildan dan Khalid saling pandang.“Apakah kau masih ingin menolak permintaan orang tuamu kalau saat ini mereka memintamu menikahi Saifi, khalid?”Wildan menatap Khalid yang kini menegang. Khalid benar-benar tidak habis pikir dengan kegigihan keluarganya memaksa dirinya menikah.“Aku akan tetap menolak, Wildan. Aku sudah mengusulkan kepada MAma agar menungguku menemui Dzi dulu dan mengatakan semua perasaanku. kalau Dia sudah tidak mau denganku, aku baru bisa menerima Saifi. Kalau Dzi belum kutemukan aku merasa sangat tidak nyaman karena aku merasa mengkhianatinya.”Tuan Raharja dan semua yang hadir di sana tersenyum. mereka tahu betapa gigihnya Khalid memperjuangkan cintanya. Tuan Raharja dan Nancy mendekati Khalid lalu mengelus kepala anaknya.“Apakah kau

  • Mengejar Mentari   69. Ridha Allah, Ridha Orang Tua

    Setelah puas melampiaskan semua keluh kesahnya di pantai, Khalid segera melangkah meninggalkan pantai. Ia bergegas menuju mobilnya sebelum semua keluarganya tahu kemana ia akan melangkah. Ia benar-benar ingin sembunyi dari mereka yang sama sekali tidak tahu perasaannya.Setelah menghidupkan mobilnya, Khalid bingung menentukan arah. Ia tidak tahu kemana harus bersembunyi dari mamanya yang selalu mendatanginya dan memaksanya untuk menikah. Pikirannya terus dipenuhi oleh wanita yang sejak awal sudah mengganggu pikirannya. Wanita yang disakiti oleh Nancy dan kini entah dimana.Kini, ia mengarahkan mobilnya menuju tempat dimana ia memiliki kenangan indah bersama Dzi di masjid Baiturrahim. Ia ingin melihat kondisi terakhir rumah mereka saat ini. rumah yang ia tinggalkan hampir satu tahun lamanya dan menyimpan kenangan yang indah kini sudah ada di depan mata.“Yaa Tuhan. Rumah itu masih sama seperti kondisi awal aku datang.” gumam Khalid saat melihat rumah

  • Mengejar Mentari   68. Penolakan

    “Assalamualaikum”Semua mata memandang Khalid yang baru saja masuk dengan penampilan acak-acakan. Nancy yang melihat kehadiran anaknya segera berdiri lalu menyambutnya dengan wajah berbinar cerah. Ia ulurkan tangannya dan menggandeng tangan Khalid untuk mengikutinya duduk di antara para orang tua yang hadir di sana.“Akhirnya kau datang, Sayang. Mama khawatir sekali kalau kau sampai tidak datang. Tadi Saifi baru saja duduk di sini. Dia baru saja keluar ke toilet.”Khalid terpana mendengar mamanya menyebut nama Saifi baru keluar dari ruangan menuju toilet. Ia kemudian memandang sekeliling ruangan, menatap satu persatu kerabat yang diundang oleh keluarganya.“Ada apa ini, Mama? Mengapa mereka ikut hadir di sini? Bukankah MAma datang ke apartemen dan meminta Khalid untuk makan bersama di restoran AD?”“Bukan untuk makan bersama, Mama kan bilang kalau Mama ingin melamar Saifi untuk kamu.”&ld

  • Mengejar Mentari   67. Permintaan Ayah

    “Apa permintaan Ayah yang harus aku lakukan, Kak? Apakah Ayah memintaku untuk pulang?”Amira menggeleng. ia mencoba menetralisir perasaannya agar ia mampu menyampaikan pesan ayahnya dengan benar tanpa terjadi salah paham dengan adiknya.“Ayah memintamu datang ke restoran.’Dzi terpana mendengar kakaknya menyampaikan berita itu. datang ke restoran ayahnya sama dengan ia harus bertemu dengan orang yang sudah menorehkan luka di hatinya ketika dia masih duduk di bangku SMA. Orang kepercayaan ayahnya yang sudah membuat dia kehilangan harga diri karena dihina olehnya. Laki-laki tampan yang menjadi kebanggaan ayahnya karena memiliki bakat langka. Adrian, executive Chef, yang dimiliki restoran AD, restoran kebanggaan keluarga Dzulfikar. Restoran memiliki menu spesial yang selalu baru setiap harinya selalu menjadi rujukan kolega dan rekan bisnis Tuan Dzulfikar yang berada di dalam maupun luar negeri.Keberadaan Adrian di restoran AD, sama s

  • Mengejar Mentari   66. Jiwa Jombloku Meronta

    “Kakak? Kenapa Kakak bisa ada di sini? Sama siapa? Apakah Kak Wildan juga datang?”Amira mengacak rambut Dzi yang memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Ia ingin mengacaukan perasaan adiknya, namun ia kasihan memandang gadis cantik yang mirip dengan dirinya menerima masalah lebih besar.“Bisa tidak bertanyanya satu-satu?”“Bisa”Amira mencubit pinggang Dzi yang semakin ia anggap kurang ajar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kehadirannya di apartemen Dzi mampu membuat adiknya bahagia seperti saat ini. ia duduk di ranjang yang acak-acakan karena beberapa kain tergeletak di sana. ia ambil pakaian Dzi dan melemparnya ke sudut kamar, membuat pemiliknya melotot tak percaya.“Kenapa dibuang? Aku akan memakainya untuk pergi ke kota.”“O iya? Kemana?’Dzi menggeleng. ia yang awalnya ingin pergi dan kini memilih untuk mengurungkannya segera menggeleng. ia sama sekali tidak ingin

  • Mengejar Mentari   65. Bukankah Sudah Menemukannya?

    Di rumah sehat Alfitrah, Dzi yang baru datang ke ruangan perawatan Khalid segera memandang Nancy dan Raharja yang duduk lesu di bed pasien.“Tante minta maaf ya, Sayang. Khalid pergi tanpa Tante bisa mencegahnya setelah Tante mengatakan padanya kalau kau mau datang menengoknya.”“Apakah Tante mengatakan kalau Dzi akan datang?”“Tante bilang Saifi akan datang menemuinya, tapi dia memang dasar keras kepala. Ia sama sekali tidak mau mendengar penjelasan Tante. Tante mengundangmu untuk mengobati luka hatinya karena kau pergi dan dia gagal mencarimu, e, dia memang anak yang keras kepala makanya tidak mau tahu. Dia memilih meninggalkan Tante di sini.”Dzi tersenyum. dia sangat paham mengapa Khalid pergi namun ia tidak akan menyalahkan siapapun.“Ini sudah takdir, Tante. Takdir Tuhan yang harus kita terima dengan ikhlas walau kita sebenarnya juga geregetan.”Nancy mengangguk. ia memang geregetan

  • Mengejar Mentari   64. Ingat Penilaian Orang

    “Kita akan kemana, Tuan?”Defandra masih belum tahu di mana Khalid memutuskan akan tinggal. Khalid yang masih sakit hati dengan kedua orang tuanya lebih memilih apartemen sebagai tempat untuk perawatannya.“Aparteenku, Ndra.”“Baik, Tuan.”Defandra mengangguk. ia terus fokus pada jalan raya yang ramai karena jam-jam seperti sekarang, semua karyawan sedang berangkat ke tempat mereka berangkat ke kantor. Khalid yang masih merasa sangat mengantuk segera menyandarkan kepalanya di sandaran jok penumpang dan memejamkan matanya.Ia menerawang jauh membayangkan pertemuan pertamanya dengan Dzi, gadis yang kini hilang entah kemana dan terus membayang-bayangi kehidupannya. Ia menggeleng, membayangkan tentang kegagalan anak buahnya dalam melakukan pencarian. Beberapa bulan dari hilangnya Dzi, anak buahnya belum melaporkan keberadaan gadis yang dicintainya. Ia merasa bahwa ada yang aneh dengan gadisnya.&ld

  • Mengejar Mentari   63. Bukan Non Saifi

    Di ruang perawatan Khalid di pagi yang sama, Nancy masih kesal. Pasalnya beberapa menit lalu ia mengunjungi dokter Willy di ruangannya, namun ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban atas keberadaan Dzi. Willy belum mau membuka suaranya. Ia hanya mengatakan agar bersabar sebentar karena Saifi sedang dalam urusan yang tidak bisa diganggu siapapun.Willy tidak mengatakan kalau Dzi sudah datang ke Alfitrah dan menemuinya. Ia sengaja membiarkan Dzi untuk menyiapkan dirinya dengan mandi dan sarapan. Willy melihat tubuh Dzi semakin kurus karena memikirkan masalah percintaannya dengan Khalid. ia tidak rela ketika Dzi sedang makan dan istirahat, ada orang lain mengusik bosnya.“Kau kenapa, Mama? Sejak tadi bukannya duduk malah mondar mandir kesana kemari. Apakah kau sedang menahan hasrat ingin kencing?”Nancy melototkan matanya. Ia benar-benar ingin mencakar wajah suaminya yang tidak pernah tahu kalau dia sedang berakting. Ia selalu bersikap serius men

  • Mengejar Mentari   62. Tidak Menerima Penolakan

    Dzi segera mengecek panggilan masuk. Lima kali Willy memanggilnya dengan panggilan video dan lima kali dengan panggilan suara. Dzi segera mengusap wajahnya. ia menelpon balik nomor Willy namun panggilannya ditolak. Ia segera menelpon Andini, namun beberapa kali panggilannya tidak terhubung. Dzi nampak sangat khawatir. Ia segera memandang ayah dan kakaknya.“Kelihatannya ada yang genting di Alfitrah, Ayah. Dzi harus segera pergi sekarang.”Tuan Dzulfikar, Wildan dan Amira mengangguk. mereka tidak dapat menahan Dzi sama sekali. Meski hanya untuk memberi pesan kepadanya agar hati-hati di jalan. Dzi segera berlari ke kamarnya dan mengganti pakaiannya tanpa membersihkan badannya terlebih dulu. Ia berniat mandi di apartemennya di Alfitrah. ia segera keluar rumah dengan Expander miliknya.Setengah jam kemudian, mobil warna hitam sudah berhasil parkir di tempat parkir khusus Direktur Utama rumah Sehat AlFitrah. ia segera berlari ke ruang dokter Willy dengan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status