“Mas Arka?”
“Iya, Mbak. Assalamualaikum”
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabar Mas? Lama tidak bertemu.”
“Alhamdulillah saya baik, Dik. Dik Dzi apa kabar?’
“Alhamdulillah saya juga baik, Mas. Kapan pulang?”
“Ah, diumah sendiri masa ditanya kapan pulang?”
“E maksudku, Mas Arka kapan datang?”
“Baru saja.”
“Yaa Allah, susah ya bicara sama orang hebat. Bahasa apapun jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.” Dzi menunduk. Ia mulai kebingungan mendengar jawaban Arka yang benar-benar membingungkan. Salim yang memandang Dzi frustasi hanya menggelengkan kepala sambil memukul lengan Arka.
“Jangan membuat Mbak Dzi salah tingkah begitu. Kasihan dia.”
“Ha ha ha, maaf. Bukan maksud Mas menggoda. Mas pulang kemarin.” Dzi mengangguk. Ia sudah tidak berniat melanjutkan percakapannya dengan Arka.
Salim yang melihat wajah Dzi memerah segera mengambil tindakan.
“Ayo kita lanjutkan! Pekerjaan kita masih banyak.”
“Apakah tidak bisa sebentar lagi, Ayah?” tolak Arka.
“Kasihan Mbah Dzi kalau terus kau ganggu seperti itu. Dia juga harus pergi ke kampusnya. Kalau kita terus di sini, dia akan terlambat berangkat.”
“Baiklah, Ayah. Dik, Mas pergi dulu ya. Maaf apabila membuat Dik Dzi kebingungan.”
“Labbaik, Mas. Tidak apa-apa, mohon maaf karena saya harus kembali ke rumah. Assalamualaikum”
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh”
Dzi meninggalkan Salim dan Arka yang masih memandang kepergiannya. Ia merasa sangat malu mendapatkan perlakuan dari laki-laki yang sejak dia datang sudah membuatnya selalu salah tingkah.
Sementara di tempat rahasianya, Khalid segera menemui Defandra yang sudah menunggunya sejak lama.
“Kau selalu tidak bisa kuandalkan saat menghadapi Mama, Ndra. Aku kecewa padamu.”
Defandra menarik nafas kasar. Ia tahu selama berhadapan dengan Nancy ia sama sekali tak berdaya.
“Maafkan aku Tuan.”
“Apa yang dikatakan Mama tadi?”
“Nyonya besar akan mempertemukan Tuan dengan gadis pilihannya.”
“Apa?”
“Sebenarnya tadi saya sudah menolak untuk mencari Tuan Muda, tapi Nyonya memaksa saya untuk segera berangkat. Nyonya juga bilang kalau Tuan besar juga sudah merestui dan menyetujui kalau Tuan dan gadis itu menjadi suami istri.”
“Tidak, Ndra. Aku tidak mau dijodohkan dengan gadis manapun. Aku sedang berusaha untuk mendekati gadis yang menjadi tetangga baruku. Aku yakin dia gadis baik. Dia tidak memandangku sebelah mata ketika aku mengatakan kalau aku menganggur.”
“Apakah itu bukan karena dia sebenarnya tahu siapa sebenarnya Tuan Muda?”
“Tidak, Ndra. Aku bahkan menggunakan nama palsu. Bukan nama sebenarnya.”
“Tapi Tuan tetap harus waspada siapa tahu dia hanya basa basi saja.”
“Kau meragukan kemampuanku, Ndra?”
“Bukan begitu. Aku tahu kemampuan Tuan kalau dalam urusan bisnis, tapi tidak dalam urusan cinta. Buktinya sampai sekarang Tuan belum pernah memiliki kekasih.”
“Itu bukan sebagai bukti kedangkalan kemampuanku, Ndra. Aku hanya tidak mau menerima gadis yang hanya melihat kekayaan sebagai tolok ukur.’
“Ironis ya Tuan. Tuan yang pria kaya raya harus kesulitan mencari jodoh. Sedangkan aku yang jauh di bawah Tuan Muda, alhamdulillah sudah . . .”
“Kau lanjutkan kalimatmu, maka mulai saat ini kau berhenti menjadi asistenku.”
“Ha ha ha, jangan Tuan. Bagaimana aku bisa menafkahi keluargaku kalau aku dipecat.”
“Memang siapa yang kau nafkahi? Dia belum menjadi istrimu masa kau menafkahinya.”
“Apakah Tuan lupa kalau aku memiliki ibu dan dua orang adik perempuan? Aku harus membuat hdup mereka nyaman, Tuan.”
“Baiklah. Sekarang kau laksanakan tugasku.”
“Tugas? Tugas apalagi Tuan? Selama ini selalu aku yang melaksanakan tugas kan?”
“Fandraaaa, kau benar-benar ingin dipecat?”
“Katakan apa yang harus aku lakukan, Tuan.” Fandra menyerah. Tidak ada pilihan lain selain itu.
“Kenapa dari tadi tidak begitu?’
“Kan kalau bisa menawar lebih baik menawark, Tuan.”
“Selalu tawar menawar. Kau bekerja padaku, bukan melakukan perdagangan.”
“Baiklah. Katakan padaku apa tugas baruku.”
Khalid segera mengambil ponselnya, mengirim beberapa pesan ke ponsel Defandra. Defandra yang sejak tadi menunggu perintah hanya dapat mendesah. Tugas yang sebenarnya ringan, namun baginya sangat berat.
“Bagaimana?”
“Aku tahu Tuan tidak menerima penolakan. Makanya tidak ada pilihan lain selain mengiyakan dan menerima tugas ini.”
“Kalau begitu segera laksanakan sekarang dan laporan aku tunggu sampai tengah malam.”
“Akan kucoba, Tuan.”
“Bukan dicoba tapi laksanakan!”
“Baik aku laksanakan. Tapi apa yang akan aku terima kalau aku berhasil melaksanakan misi ini?’
“Kau mau berapa?’
“Aku ingin mobil sport yang sekarang kunaiki”
“Kau!”
“HA ha ha itupun kalau Tuan tidak keberatan.”
“Ambil saja. Walau aku masih suka, tapi untukmu tidak masalah.”
“Terima kasiiiih” ucap Defandra dengan suara manja layaknya wanita. Khalid melemparkan gelas yang sedang ia pegang. Dengan cekatan, Defandra menangkapnya segera sambil berjoged dan meninggalkan sang bos sendiri di ruangan itu.
“Aku pergi”
“Pergi saja jangan kembali ke sini!”
“Tuan yakin?”
“Sangat yakin. Aku akan pulang ke Mama sekedar membuatmu aman.”
“Kenapa harus demi aku, Tuan? Tuan sama sekali tidak penasaran dengan gadis yang akan dikenalkan Nyonya Besar?”
“Shit. Kau selalu saja menggodaku.”
“Baiklah, aku akan pergi. Jangan pernah ganggu aku Tuan. Awas saja kalau sampai mengganggu pekerjaanku.”
“No, Never”
Defandra dan Khalid meninggalkan tempat pertemuan tersebut. Defandra menuju tempat tugas barunya, sedang Khalid menuju rumah utama.
Ditempat lain, di pangkalan tempat Wildan berjualan, ia sedang sibuk melayani para pembeli. Tubuhnya penuh dengan peluh. Sesekali ia menyekanya dengan handuk yang sengaja ia sampirkan di leher.
“Mas, seblak ceker dua” dua orang gadis duduk di kursi kosong dekat dengan pohon Karsen.
“Ya, tunggu sebentar ya, Mbak.”
“Ya”
Wildan segera menyiapkan bumbu dan bahan-bahan seblak ceker, seperti pesanan dua pelanggan barunya.
Setelah menyelesaikan semuanya, ia segera menghidangkan kepada mereka.
“Es teh jeruknya dua ya Mas.”
“Baik. Mohon tunggu sebentar.”
“Senantiasa sabar.” Ucap salah satu sang gadis menggoda Wildan. Wildan mengangguk lalu meninggalkan sang gadis dan membuat pesanan. Begitu seterusnya ia melayani pelanggan-pelanggannya dengan sabar.
“Aku tadi kok lupa tidak mengajak Sahal untuk ikut jualan ya. Ah, bukankan dia sudah setuju akan membantuku berjualan. Jangan-jangan dia tadi tidur lagi selepas subuh.”
Dreeet
Sebuah pesan masuk.
“Mas Wildan, tolong aku buatkan tiga seblak spesialnya ya. Ada dua temanku yang ingin mencoba seblakmu.”
“Nomor baru.” Wildan tidak langsung membalas. Beberapa kali ia menerima pesan dari nomor baru dulu, dan beberapa kali pula ia ditipu. Meminta dibuatkan dua atau tiga seblak spesial tapi setelah dibuatkan justru sang pemesan tak kunjung datang.
“Kau datang saja langsung ke pangkalan baruku. Aku takutnya makanan sudah dingin kau belum datang.” Sahutnya beralibi. Si pengirim pesan mengiyakan. Wildan menarik nafas dalam. Lega karena tidak harus bersusah payah untuk meyakinkan sang pemesan bahwa dia harus datang sendiri ke tempatnya berjualan.
“Mas.”
Wildan yang sedang menyiapkan bumbu untuk seblak spesial segera menoleh ke sumber suara. Ia tersenyum mendapati sang pemilik suara lembut yang kini berdiri menatapnya.
“Aku tadi yang memesan lewat wa, Mas.” Kata sang gadis sambil memandang dua orang temannya yang kini sudah mengambil tempat duduk.“Kau tidak bekerja, Nda?” tanya Wildan sambil menyiapkan hidangan.“Ini dalam rangka sedang istirahat, Mas. Kalau tidak bekerja terus aku mau makan apa? Aku tidak bisa diam saja sambil mengharap pemberian orang tua. Kalau Mas Wildan enak bisa jualan. Setidaknya bisa setiap hari dapat duit.”“Kau juga bisa kalau mau.”“Belum ada modalnya, Mas.”“Kalau modal mah bukan yang utama, Nda. Asalkan kau punya tekad yang kuat, modal lima ratus pasti bisa.”Nah itu dia. Lima ratus itu duit darimana coba, Mas. Aku saja kerja hanya dapat tiga sampai empat juta sebulan. Buat makan harian, aku harus menghabiskan seratus ribu sehari. Coba tinggal berapa uangku, Mas”Wildan menggaruk kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan pola pikir Nand
“Nandaaaa, “ seru Bekti sambil mencubit pinggang Nanda. Sontak saja Nanda menjerit.“Apaan ih cubit-cubit. Sakit tau?” bentak Nanda. Ia mengusap bekas cubitan Bekti sambil meringis menahan sakit.“I . . .itu pangeran tampan sekali” seru Winda dan Bekti bersama-sama. Wildan dan Nanda yang mendengar penuturan kedua gadis di hadapannya segera menolehkan kepalanya memandang pria tampan yang baru datang.“Ih apaan sih kalian. Norak banget ah.”“Biarin norak asal tuh pangeran jatuh cinta ke aku, Ndaa. Ck ck ck, cakep banget.”“Selamat siang”“Eh si . . .siang, Tuan.” Sahut Nanda mendahului teman-temannya.“Aku mencari Sahal.’Nanda dan kedua sahabatnya saling pandang. Sedang Wildan yang sudah mengetahui siapa laki-laki di hadapannya hanya diam.“Sahal? Siapa dia?”“Aku tidak tahu dia kemana.”De
Di sebuah gasebo dekat dengan sebuah rumah sehat Al Fitrah, seorang gadis sedang menghadap laptopnya, menyiapkan beberapa proposal pengajian remaja dan bakti sosial. Gasebo indah yang menjadi tempat favorit Dzi menghabiskan waktu saat di Al Fitrah.“Assalamualaikum”Seorang laki-laki menghampiri Dzi yang masih asik menyusun kalimat.“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.,” Dzi menghentikan kegitannya, lalu menoleh ke arah sumber suara.“Mas Sahal?’ “Dik Dzi? Kenapa di sini? Siapa yang sakit?”Dzi tersenyum. Ia sama sekali tidak mengira kalau akan bertemu dengan Sahal. Laki-laki yang menjadi tetangga barunya.“Tidak ada yang sakit, Mas. Saya hanya senang kalau duduk di sini. Itu saja. Mas sendiri mengapa ke sini? Siapa yang sakit?”“Papa.”“O, sakit apa?”&ldqu
Sampai di ruang perawatan, Raharja dipindahkan ke dipan.“Alhamdulillah, akhirnya Papah bisa berbaring.”“Iya, Mah. Setidaknya ini bisa membuat Papah lebih rileks bisa mengendorkan otot-otot Papah yang kencang.”“Mana Saifi ya, Pah? Mamah yakin dia yang sudah berjuang untuk ini.”“Semoga dia segera masuk Mah. Dia anak baik.”“Iya, Pah. Kalau saja Khalid anak nakal itu tidak pergi, dia pasti bisa berkenalan dengan Saifi hari ini. Tapi kebiasaan anakmu selalu pergi tanpa pamit padaku.”“Kamu juga tidak boleh terlalu memaksakan kehendakmu sendiri. Belajarlah untuk menjadi seorang ibu yang lemah lembut.”“Inginnya sih lemah lembut, Pah. Tapi rasanya susahnya luar biasa. Anakmu selalu saja punya alasan untuk membuat Mamah marah.”“Memang mudah untuk marah Ibu. Tapi Allah lebih suka orang yang bijaksana yang mampu mengendaikan emosinya tanpa harus membabi buta”“Saifi? Kamu sudah datang, Nak?”“Iya, Bu. Tadi saya menghubungi bagian terapi dan meminta me
Sepeninggal Dzi, Khalid masuk ke ruangan dan bergabung dengan Nancy dan Raharja yang sudah menyelesaikan terapinya. Raharja nampak berkeringat deras. Ia duduk di kursi dekat dengan Nancy yang kini sedang mengupaskan buah untuknya.“Bagaimana, Pah? Apakah Papah sudah lebih baik sekarang?’ tanya Khalid sambil memandang Fatah dan Widodo yang duduk terpisah.“Seperti yang kamu lihat. Papah sudah bisa berjalan tanpa kursi roda lagi.”“Tapi Papah harus berhati-hati. Jangan terlalu gegabah, Pah. Agar Papah tidak kambuh lagi.”“Papah sudah sehat dan baikan. Kau tidak perlu khawatir. Papah baik-baik saja.”“Khalid heran mengapa Papah sekarang keras kepala sekali. Apakah mereka yang mengajari Papah seperti ini?”“Kau yang keras kepala. Kecil-kecil sudah berani pada Papahmu. Kau kemana saja? Kenapa pergi-pergi terus tanpa pamit? Apakah kau sama sekali tidak ingin mendampingi Papah terapi?” ucap Nancy sambil bersungut-sungut. Ia jengkel memandang anak semata
Khalid masih memikirkan apa yang dikatakan oleh sang Mama mengenai gadis bernama Saifi. Pikirannya kalut. Ia sama sekali tidak bisa berfikir jernih.“Ah, mengapa Mamah selalu saja membuatku gila?” gumam Khalid sambil meremas rambutnya. Kakinya ia langkahkan menjauh dari rumah utama. Entah berapa lama ia sibuk dengan pikiran-pikiran dan bayangannya.“Tuhan. Andai aku boleh memilih antara menuruti keinginan Mamah dan keinginan hatiku, aku ingin menuruti keinginan hatiku karena aku tahu sumber kebahagiaanku. Tapi . . . kalau aku mengingat semua kebaikan Mamah padaku, aku memang berat untuk menolak.”Khalid masih melangkah tanpa tahu kemana kakinya berjalan meninggalkan rumahnya. Hingga dimenit yang entah keberapa, dia mencapai sebuah taman. Matanya ia edarkan, menatap sekeliling dimana disana banyak sekali anak-anak sedang bermain menanti datangnya senja, ah lebih tepatnya menikmati senja bersama kedua orang tua atau entah siapa.
Khalid terpana menyaksikan ketidakpedulian Dzi kepadanya. Gadis itu meninggalkannya begitu saja.“Benar-benar unik. Apakah kau sama sekali tidak ingin mengenal calon suamimu, Sayang?’ gumam Khalid sambil tersenyum. Ia segera menelpon Defandra dan memintanya untuk datang ke tempat rahasia mereka sekarang juga.“Apakah aku bisa menolak, Tuan? Hari ini aku menemukan Dzi sedang di parkiran rumah sehat Alfitrah. Aku ingin sekali mengetahui apakah dia akan tergoda olehku atau tidak.”“Baiklah. Setelah urusanmu selesai kutunggu di tempat biasa.”“Ok”Khalid meninggalkan Alfitrah setelah anak buahnya menjemput dan membawanya ke tempat rahasia, menunggu Defandra menyelesaikan urusannya. Sedangkan Defandra, kini sedang menghadang langkah Dzi di tempat parkir.“Hai” sapanya. Dzi menatap Defandra dengan tatapan tak suka.“Assalamualaikum”“Ok Assalamu
“Selamat pagi, Tuan. Perkenalkan nama saya Sahal.” Kata Khalid sambil menundukkan badannya memberi salam dan hormat kepada kepala kebersihan dan Personalia. Muri, sang kepala personalia yang membawa Khalid menghadap Sutriman kepala divisi kebersihan dan keamanan segera menyerahkan Khalid.“Dia anak buahmu yang baru. Tambahan personil seperti yang kau minta dalam proposal bulan lalu, Pak Triman. Bimbing dia agar bisa bekerja dengan baik.”“Baik Pak. Saya terima dengan baik. Semoga dengan bertambahnya personel, pekerjaan para Office Boy bisa lebih ringan dan kantor menjadi semakin bersih dan terawat.”“Aku pergi dulu.”“Silakan, Tuan.”Sutriman memberi hormat pada Muri yang hendak meninggalkan ruangannya. Setelah Muri pergi, Sutriman memanggil Khalid.“Duduklah di sini anak muda.”“Terima kasi, Pak.”“Siapa namamu?”“Sahal
Khalid masih terpana menyaksikan mobil yang kini parkir dan berjajar di depan masjid. Ia melihat keluarga yang tadi duduk di ruang VVIP restoran AD datang menemuinya. Wildan dan Khalid saling pandang.“Apakah kau masih ingin menolak permintaan orang tuamu kalau saat ini mereka memintamu menikahi Saifi, khalid?”Wildan menatap Khalid yang kini menegang. Khalid benar-benar tidak habis pikir dengan kegigihan keluarganya memaksa dirinya menikah.“Aku akan tetap menolak, Wildan. Aku sudah mengusulkan kepada MAma agar menungguku menemui Dzi dulu dan mengatakan semua perasaanku. kalau Dia sudah tidak mau denganku, aku baru bisa menerima Saifi. Kalau Dzi belum kutemukan aku merasa sangat tidak nyaman karena aku merasa mengkhianatinya.”Tuan Raharja dan semua yang hadir di sana tersenyum. mereka tahu betapa gigihnya Khalid memperjuangkan cintanya. Tuan Raharja dan Nancy mendekati Khalid lalu mengelus kepala anaknya.“Apakah kau
Setelah puas melampiaskan semua keluh kesahnya di pantai, Khalid segera melangkah meninggalkan pantai. Ia bergegas menuju mobilnya sebelum semua keluarganya tahu kemana ia akan melangkah. Ia benar-benar ingin sembunyi dari mereka yang sama sekali tidak tahu perasaannya.Setelah menghidupkan mobilnya, Khalid bingung menentukan arah. Ia tidak tahu kemana harus bersembunyi dari mamanya yang selalu mendatanginya dan memaksanya untuk menikah. Pikirannya terus dipenuhi oleh wanita yang sejak awal sudah mengganggu pikirannya. Wanita yang disakiti oleh Nancy dan kini entah dimana.Kini, ia mengarahkan mobilnya menuju tempat dimana ia memiliki kenangan indah bersama Dzi di masjid Baiturrahim. Ia ingin melihat kondisi terakhir rumah mereka saat ini. rumah yang ia tinggalkan hampir satu tahun lamanya dan menyimpan kenangan yang indah kini sudah ada di depan mata.“Yaa Tuhan. Rumah itu masih sama seperti kondisi awal aku datang.” gumam Khalid saat melihat rumah
“Assalamualaikum”Semua mata memandang Khalid yang baru saja masuk dengan penampilan acak-acakan. Nancy yang melihat kehadiran anaknya segera berdiri lalu menyambutnya dengan wajah berbinar cerah. Ia ulurkan tangannya dan menggandeng tangan Khalid untuk mengikutinya duduk di antara para orang tua yang hadir di sana.“Akhirnya kau datang, Sayang. Mama khawatir sekali kalau kau sampai tidak datang. Tadi Saifi baru saja duduk di sini. Dia baru saja keluar ke toilet.”Khalid terpana mendengar mamanya menyebut nama Saifi baru keluar dari ruangan menuju toilet. Ia kemudian memandang sekeliling ruangan, menatap satu persatu kerabat yang diundang oleh keluarganya.“Ada apa ini, Mama? Mengapa mereka ikut hadir di sini? Bukankah MAma datang ke apartemen dan meminta Khalid untuk makan bersama di restoran AD?”“Bukan untuk makan bersama, Mama kan bilang kalau Mama ingin melamar Saifi untuk kamu.”&ld
“Apa permintaan Ayah yang harus aku lakukan, Kak? Apakah Ayah memintaku untuk pulang?”Amira menggeleng. ia mencoba menetralisir perasaannya agar ia mampu menyampaikan pesan ayahnya dengan benar tanpa terjadi salah paham dengan adiknya.“Ayah memintamu datang ke restoran.’Dzi terpana mendengar kakaknya menyampaikan berita itu. datang ke restoran ayahnya sama dengan ia harus bertemu dengan orang yang sudah menorehkan luka di hatinya ketika dia masih duduk di bangku SMA. Orang kepercayaan ayahnya yang sudah membuat dia kehilangan harga diri karena dihina olehnya. Laki-laki tampan yang menjadi kebanggaan ayahnya karena memiliki bakat langka. Adrian, executive Chef, yang dimiliki restoran AD, restoran kebanggaan keluarga Dzulfikar. Restoran memiliki menu spesial yang selalu baru setiap harinya selalu menjadi rujukan kolega dan rekan bisnis Tuan Dzulfikar yang berada di dalam maupun luar negeri.Keberadaan Adrian di restoran AD, sama s
“Kakak? Kenapa Kakak bisa ada di sini? Sama siapa? Apakah Kak Wildan juga datang?”Amira mengacak rambut Dzi yang memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Ia ingin mengacaukan perasaan adiknya, namun ia kasihan memandang gadis cantik yang mirip dengan dirinya menerima masalah lebih besar.“Bisa tidak bertanyanya satu-satu?”“Bisa”Amira mencubit pinggang Dzi yang semakin ia anggap kurang ajar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kehadirannya di apartemen Dzi mampu membuat adiknya bahagia seperti saat ini. ia duduk di ranjang yang acak-acakan karena beberapa kain tergeletak di sana. ia ambil pakaian Dzi dan melemparnya ke sudut kamar, membuat pemiliknya melotot tak percaya.“Kenapa dibuang? Aku akan memakainya untuk pergi ke kota.”“O iya? Kemana?’Dzi menggeleng. ia yang awalnya ingin pergi dan kini memilih untuk mengurungkannya segera menggeleng. ia sama sekali tidak ingin
Di rumah sehat Alfitrah, Dzi yang baru datang ke ruangan perawatan Khalid segera memandang Nancy dan Raharja yang duduk lesu di bed pasien.“Tante minta maaf ya, Sayang. Khalid pergi tanpa Tante bisa mencegahnya setelah Tante mengatakan padanya kalau kau mau datang menengoknya.”“Apakah Tante mengatakan kalau Dzi akan datang?”“Tante bilang Saifi akan datang menemuinya, tapi dia memang dasar keras kepala. Ia sama sekali tidak mau mendengar penjelasan Tante. Tante mengundangmu untuk mengobati luka hatinya karena kau pergi dan dia gagal mencarimu, e, dia memang anak yang keras kepala makanya tidak mau tahu. Dia memilih meninggalkan Tante di sini.”Dzi tersenyum. dia sangat paham mengapa Khalid pergi namun ia tidak akan menyalahkan siapapun.“Ini sudah takdir, Tante. Takdir Tuhan yang harus kita terima dengan ikhlas walau kita sebenarnya juga geregetan.”Nancy mengangguk. ia memang geregetan
“Kita akan kemana, Tuan?”Defandra masih belum tahu di mana Khalid memutuskan akan tinggal. Khalid yang masih sakit hati dengan kedua orang tuanya lebih memilih apartemen sebagai tempat untuk perawatannya.“Aparteenku, Ndra.”“Baik, Tuan.”Defandra mengangguk. ia terus fokus pada jalan raya yang ramai karena jam-jam seperti sekarang, semua karyawan sedang berangkat ke tempat mereka berangkat ke kantor. Khalid yang masih merasa sangat mengantuk segera menyandarkan kepalanya di sandaran jok penumpang dan memejamkan matanya.Ia menerawang jauh membayangkan pertemuan pertamanya dengan Dzi, gadis yang kini hilang entah kemana dan terus membayang-bayangi kehidupannya. Ia menggeleng, membayangkan tentang kegagalan anak buahnya dalam melakukan pencarian. Beberapa bulan dari hilangnya Dzi, anak buahnya belum melaporkan keberadaan gadis yang dicintainya. Ia merasa bahwa ada yang aneh dengan gadisnya.&ld
Di ruang perawatan Khalid di pagi yang sama, Nancy masih kesal. Pasalnya beberapa menit lalu ia mengunjungi dokter Willy di ruangannya, namun ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban atas keberadaan Dzi. Willy belum mau membuka suaranya. Ia hanya mengatakan agar bersabar sebentar karena Saifi sedang dalam urusan yang tidak bisa diganggu siapapun.Willy tidak mengatakan kalau Dzi sudah datang ke Alfitrah dan menemuinya. Ia sengaja membiarkan Dzi untuk menyiapkan dirinya dengan mandi dan sarapan. Willy melihat tubuh Dzi semakin kurus karena memikirkan masalah percintaannya dengan Khalid. ia tidak rela ketika Dzi sedang makan dan istirahat, ada orang lain mengusik bosnya.“Kau kenapa, Mama? Sejak tadi bukannya duduk malah mondar mandir kesana kemari. Apakah kau sedang menahan hasrat ingin kencing?”Nancy melototkan matanya. Ia benar-benar ingin mencakar wajah suaminya yang tidak pernah tahu kalau dia sedang berakting. Ia selalu bersikap serius men
Dzi segera mengecek panggilan masuk. Lima kali Willy memanggilnya dengan panggilan video dan lima kali dengan panggilan suara. Dzi segera mengusap wajahnya. ia menelpon balik nomor Willy namun panggilannya ditolak. Ia segera menelpon Andini, namun beberapa kali panggilannya tidak terhubung. Dzi nampak sangat khawatir. Ia segera memandang ayah dan kakaknya.“Kelihatannya ada yang genting di Alfitrah, Ayah. Dzi harus segera pergi sekarang.”Tuan Dzulfikar, Wildan dan Amira mengangguk. mereka tidak dapat menahan Dzi sama sekali. Meski hanya untuk memberi pesan kepadanya agar hati-hati di jalan. Dzi segera berlari ke kamarnya dan mengganti pakaiannya tanpa membersihkan badannya terlebih dulu. Ia berniat mandi di apartemennya di Alfitrah. ia segera keluar rumah dengan Expander miliknya.Setengah jam kemudian, mobil warna hitam sudah berhasil parkir di tempat parkir khusus Direktur Utama rumah Sehat AlFitrah. ia segera berlari ke ruang dokter Willy dengan