Beranda / Urban / Mengejar Mentari / 7. Kabar dari Mama

Share

7. Kabar dari Mama

Penulis: Ariandani Rissa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-14 11:20:45

Khalid masih duduk di kursinya, mencoba membuka email dari ponselnya. Ia sengaja tidak membawa laptopnya demi menghindari kecurigaan Wildan tentangnya.  Khalid benar-benar menikmati hidup sebagai manusia biasa bersama dengan orang biasa. Ia sama sekali tak menunjukkan pada siapapun tentang siapa jati dirinya yang sebenarnya.

“Tuan tidak ke kantor lagi hari ini?”

Pesan dari Defandra. Khalid menggeleng. Walau ia tahu Defandra tidak bisa melihatnya, ia tetap saja mengetikkan jawaban sambil menggeleng.

“Tidak. Kau handle dulu semuanya. Aku sudah menikmati hidupku di sini. Laki-laki itu benar-benar baik. Dia sama sekali tidak membuatku kerepotan untuk menjelaskan siapa aku yang sebenarnya.”

Defandra mendesah. Ia sedih dengan nasib dirinya yang menjadi bujang lapuk karena terlalu patuh pada Khalid. Bos yang keras kepala dan semau sendiri.

“Tapi tadi Nyonya besar ke kantor, Tuan.”

“Ada apa?”

“Nyonya mencari Tuan. Katanya Tuan besar sakitnya semakin parah. Minta segera mendapatkan menantu.”

Khalid berdecak kesal. Ia tahu mamanya hanya mencari alasan agar dirinya mau menerima perjodohan yang sudah diatur mamanya dengan gadis yang entah siapa.

“Ada-ada saja Mama. Apakah Mama yakin kalau aku menikah sakit Papa segera sembuh?’

“Entahlah, Tuan. Pokoknya aku sampai lelah menjelaskan pada Nyonya yang selalu bertanya dan mengorek informasi terus.”

“Awas saja kalau kau sampai membocorkan rahasiaku. Katakan pada Mama kalau aku sudah punya gadis incaran. Gadis baik yang akan membuat Mama bangga dan bahagia.”

Defandra mengangguk. Entah benar atau tidak kalimat yang diucapkan Khalid, ia tetap berharap bahwa Bosnya akan benar-benar menjadi manusia normal yang mau bekerja di kantornya.

“Tuan bicara saja sendiri pada Nyonya besar. Jangan suruh aku untuk berbohong.”

“Siapa pula yang menyuruhmu berbohong. Aku benar-benar menemukan gadis baik.”

“Baiklah baiklah, aku percaya Tuan pasti akan menemukan gadis baik. Secara Tuan adalah pria dewasa yang tampan dan mapan. Sangat mudah untuk menemukan gadis sesuai kriteria Tuan.”

“Hei dodol, sekarang penampilan dan tampangku tidak lagi menunjukkan pria mapan. Kau lupa aku pakai apa? Motor matic. Itu saja butut banget. Jangan-jangan kau sengaja membelikan aku sepeda motor butut agar aku tak laku-laku ya?”

“Susah ya ngomong sama orang kaya. Dibelikan bagus katanya aku membuat Tuan jadi rebutan cewek, giliran dibelikan yang butu malah menuduh aku ingin membuat Tuan tidak laku-laku.”

“Sudahlah. Aku akan tetap di sini menjadi diriku seperti saat ini. Aku akan mengecek bagaimana gadis itu memandangku kalau aku jadi laki-laki miskin.”

Defandra hanya membaca pesan Khalid. Ia tersenyum-senyum sendiri. Tangannya ingin mengetik kalimat jawaban, namun belum sempat menyentuh keyboard, sebuah wajah muncul di hadapannya.

“Jadi pekerjaanmu hanya main hape dan senyum-senyum sendiri begitu, Dra? Pantas saja kau tak menemukan Khalid dengan cepat. Cepat kau keluar dan katakan pada Khalid kalau dia harus segera pulang karena Mama sudah menemukan gadis yang baik yang akan menjadi istrinya.” Defandra tersentak. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nancy sang Nyonya besar sudah masuk ruangan sejak tadi dan mengamati kegiatannya. Defandra segera berdiri dan menundukkan badannya memberi hormat kepada sang majikan.

“Untung saja hanya pesan.” Gumam Defandra.

“Apa maksudnya?’

“Ti . . . tidak, Nyonya.”

“Jadi kau keberatan kalau aku menyuruhmu menyampaikan pesanku pada anakku?”

“Bu . . . bukan begitu, Nyonya.”

“Sekarang keluarlah! Cari anakku sampai dapat. Hari ini juga dia harus datang ke rumah utama dan menemuiku beserta papanya.”

“Baik, Nyonya.” Defandra masih berdiri di tempatnya semula, membuat Nancy semakin marah. Ia segera melangkah mendekat lalu menarik tangan Defanfra.

“Cepat pergi sekarang! Aku sudah tidak sabar memandangmu yang berdiri seperti patung.”

“Apa tidak apa-apa kalau Nyonya saya tinggal?’

“Memangnya aku ini siapa sehingga kau khawatir padaku? Kau lupa siapa aku?”

“Bu . . . bukan begitu maksud saya, Nyonya. Saya hanya takut dikatakan tidak sopan. Itu saja.”

“Pergilah!” Nancy melemah. Ia tidak ingin memperpanjang masalah. Rasa pusing mulai menyerangnya.

“Baik Nyonya.” Defandra segera meninggalkan Nancy yang masih mencoba mempertahankan tubuhnya.

Sampai di parkir mobilnya, Defandra segera masuk. Ia mengirim pesan pada Khalid untuk segera menemuinya di tempat rahasia mereka berdua.

Khalid segera keluar kamar. Ia ingin sekali menghindari Defandra kalau saja ia tidak mendengar bahwa Nancy sang Mama mencarinya dan memintanya menemuinya di rumah utama.

Hari masih pagi, namun di rumah kontrakannya sudah sangat sepi. Wildan sudah berangkat berjualan sejak pukul delapan.

“Kalau saja aku bisa menghindar.” Gumam Khalid sambil menaiki motornya dan menyalakan segera. Ia melajukan maticnya pelan, apalagi saat dia melintas di rumah Dzi. Gadis baru yang sudah membuatnya penasaran.

“Mau berangkat kerja, Mas?” Tanya Dzi yang sedang menyapu halaman masjid. Khalid menghentikan motornya lalu membuka helm dan tersenyum.

“Aku menganggur sekarang, Dik.”

Dzi terpana mendengar jawaban Khalid. Ia menyesal telah bertanya tentang pekerjaan pada pria yang baru dikenalnya. Terlalu menyesal dengan kalimatnya, Dzi menunduk. Khalid yang melihat Dzi hanya tersenyum

 “Dik Dzi tidak kerja atau kuliah?”

Khalid mengalihkan pembicaraan untuk menghilangkan rasa bersalah gadis itu. berhasil. Wajah Dzi yang awalnya muram, kini menjadi sumringah.

“Saya kuliah siang. Insya Allah segera berangkat kalau menyapunya sudah selesai.”

“Memangnya kuliah dimana?”

“Di UNOC.”

“Wah, hebat dong. UNOC adalah Universitas Orang Cerdas. Jarang-jarang yang bisa masuk sana lho. Kalau bukan orang cerdas mana bisa masuk UNOC”

“Ah, biasa saja, Mas. Hanya kebetulan waktu ujian masuk bisa mengerjakan. Akhirnya lulus seleksi.”

“Kamu selalu merendah.”

“Tidak merendah. Tapi memang beruntung saja”

“Ya sudah kalau begitu, Dik. Mas pergi dulu ya, assalamualaikum”

“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh”

Khalid tersenyum lalu melanjutkan perjalanannya menuju tempat rahasianya sedang Dzi yang sejak tadi menyapu dan membersihkan halaman masjid segera melanjutkan pekerjaannya.

“Mbak tidak bekerja? Mengapa jam segini masih sibuk di masjid?’ suara laki-laki mengejutkan Dzi yang sedang memasukkan sampah di tong sampah.

“Eh, Pak Salim. Sudah sampai sini, Pak?”

“Iya, Mbak. Kebetulan tadi dibantu oleh Arka. Anak Bapak yang baru pulang dari Kairo. Arka mengambil sampah di komplek dan Bapak mengambil di sini. Nanti kita bertemu di mobil”

“Mas Arka pulang, Pak Salim? Apakah kuliahnya sudah selesai?”

“Belum, Mbak. Hanya kangen katanya.”

“O, saya kira sudah selesai.”

“Tinggal menunggu ujian akhir dia bilang. Daripada di sana menganggur, dia memilih pulang untuk membantu Bapak mengambil sampah dari komplek ke komplek.”

“Hebat ya, Mas Arka. Anak kuliahan tapi mau mengambil sampah.”

Salim tertawa mendengar kalimat Dzi.

“Mbak sendiri juga mahasiswa tapi mau juga menjadi marbot masjid.”

“Kalau ini beda ceritanya Pak Salim. Saya kan hanya membantu Pak Soleh saja.”

“Ya sama, Mbak. Intinya kalian sama-sama mau berkorban menjadi tenaga dimana banyak orang tidak mau melakukannya bahkan cenderung menghindari.”

“Mereka menghindari karena tidak tahu saja bagaimana rasanya berbakti pada lingkungan. Kalau mereka tahu, mereka pasti akan berebut untuk melakukannya.”

Salim tersenyum mendengar pendapat Dzi. Gadis di hadapannya memang beda dengan gadis-gadis lain. Ia berpenampilan sederhana dan bersikap lembut kepada siapapun.

“Apapun itu, pokoknya Bapak salut dengan Mbak Dzi. Selama ini Mbak berjuang seorang diri menghidupi kehidupan Mbak. Jarang-jarang ada gadis seperti Mbak Dzi.”

“Bapak jangan berlebihan memujinya.” Tolak Dzi dengan wajah tersipu.

“Ha ha ha, kalau gadis baik memang tidak pernah suka kalau ada orang memuji,” Seorang laki-laki menghentikan percakapan Salim dan Dzi. Mereka menoleh, menuju sumber

Bab terkait

  • Mengejar Mentari   8. Pekerjaan Baru

    “Mas Arka?”“Iya, Mbak. Assalamualaikum”“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabar Mas? Lama tidak bertemu.”“Alhamdulillah saya baik, Dik. Dik Dzi apa kabar?’“Alhamdulillah saya juga baik, Mas. Kapan pulang?”“Ah, diumah sendiri masa ditanya kapan pulang?”“E maksudku, Mas Arka kapan datang?”“Baru saja.”“Yaa Allah, susah ya bicara sama orang hebat. Bahasa apapun jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.” Dzi menunduk. Ia mulai kebingungan mendengar jawaban Arka yang benar-benar membingungkan. Salim yang memandang Dzi frustasi hanya menggelengkan kepala sambil memukul lengan Arka.“Jangan membuat Mbak Dzi salah tingkah begitu. Kasihan dia.”“Ha ha ha, maaf. Bukan maksud Mas menggoda. Mas pulang kemarin.” Dzi mengangguk. Ia sudah tidak berniat melanjut

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-14
  • Mengejar Mentari   9. Kehidupan Baru

    “Aku tadi yang memesan lewat wa, Mas.” Kata sang gadis sambil memandang dua orang temannya yang kini sudah mengambil tempat duduk.“Kau tidak bekerja, Nda?” tanya Wildan sambil menyiapkan hidangan.“Ini dalam rangka sedang istirahat, Mas. Kalau tidak bekerja terus aku mau makan apa? Aku tidak bisa diam saja sambil mengharap pemberian orang tua. Kalau Mas Wildan enak bisa jualan. Setidaknya bisa setiap hari dapat duit.”“Kau juga bisa kalau mau.”“Belum ada modalnya, Mas.”“Kalau modal mah bukan yang utama, Nda. Asalkan kau punya tekad yang kuat, modal lima ratus pasti bisa.”Nah itu dia. Lima ratus itu duit darimana coba, Mas. Aku saja kerja hanya dapat tiga sampai empat juta sebulan. Buat makan harian, aku harus menghabiskan seratus ribu sehari. Coba tinggal berapa uangku, Mas”Wildan menggaruk kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan pola pikir Nand

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-15
  • Mengejar Mentari   10. Pria Arogan

    “Nandaaaa, “ seru Bekti sambil mencubit pinggang Nanda. Sontak saja Nanda menjerit.“Apaan ih cubit-cubit. Sakit tau?” bentak Nanda. Ia mengusap bekas cubitan Bekti sambil meringis menahan sakit.“I . . .itu pangeran tampan sekali” seru Winda dan Bekti bersama-sama. Wildan dan Nanda yang mendengar penuturan kedua gadis di hadapannya segera menolehkan kepalanya memandang pria tampan yang baru datang.“Ih apaan sih kalian. Norak banget ah.”“Biarin norak asal tuh pangeran jatuh cinta ke aku, Ndaa. Ck ck ck, cakep banget.”“Selamat siang”“Eh si . . .siang, Tuan.” Sahut Nanda mendahului teman-temannya.“Aku mencari Sahal.’Nanda dan kedua sahabatnya saling pandang. Sedang Wildan yang sudah mengetahui siapa laki-laki di hadapannya hanya diam.“Sahal? Siapa dia?”“Aku tidak tahu dia kemana.”De

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-15
  • Mengejar Mentari   11. Menggapai Ridha Ilahi

    Di sebuah gasebo dekat dengan sebuah rumah sehat Al Fitrah, seorang gadis sedang menghadap laptopnya, menyiapkan beberapa proposal pengajian remaja dan bakti sosial. Gasebo indah yang menjadi tempat favorit Dzi menghabiskan waktu saat di Al Fitrah.“Assalamualaikum”Seorang laki-laki menghampiri Dzi yang masih asik menyusun kalimat.“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.,” Dzi menghentikan kegitannya, lalu menoleh ke arah sumber suara.“Mas Sahal?’ “Dik Dzi? Kenapa di sini? Siapa yang sakit?”Dzi tersenyum. Ia sama sekali tidak mengira kalau akan bertemu dengan Sahal. Laki-laki yang menjadi tetangga barunya.“Tidak ada yang sakit, Mas. Saya hanya senang kalau duduk di sini. Itu saja. Mas sendiri mengapa ke sini? Siapa yang sakit?”“Papa.”“O, sakit apa?”&ldqu

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-15
  • Mengejar Mentari   12. Terapi untuk Tuan Raharja

    Sampai di ruang perawatan, Raharja dipindahkan ke dipan.“Alhamdulillah, akhirnya Papah bisa berbaring.”“Iya, Mah. Setidaknya ini bisa membuat Papah lebih rileks bisa mengendorkan otot-otot Papah yang kencang.”“Mana Saifi ya, Pah? Mamah yakin dia yang sudah berjuang untuk ini.”“Semoga dia segera masuk Mah. Dia anak baik.”“Iya, Pah. Kalau saja Khalid anak nakal itu tidak pergi, dia pasti bisa berkenalan dengan Saifi hari ini. Tapi kebiasaan anakmu selalu pergi tanpa pamit padaku.”“Kamu juga tidak boleh terlalu memaksakan kehendakmu sendiri. Belajarlah untuk menjadi seorang ibu yang lemah lembut.”“Inginnya sih lemah lembut, Pah. Tapi rasanya susahnya luar biasa. Anakmu selalu saja punya alasan untuk membuat Mamah marah.”“Memang mudah untuk marah Ibu. Tapi Allah lebih suka orang yang bijaksana yang mampu mengendaikan emosinya tanpa harus membabi buta”“Saifi? Kamu sudah datang, Nak?”“Iya, Bu. Tadi saya menghubungi bagian terapi dan meminta me

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-16
  • Mengejar Mentari   13. Berselisih Paham

    Sepeninggal Dzi, Khalid masuk ke ruangan dan bergabung dengan Nancy dan Raharja yang sudah menyelesaikan terapinya. Raharja nampak berkeringat deras. Ia duduk di kursi dekat dengan Nancy yang kini sedang mengupaskan buah untuknya.“Bagaimana, Pah? Apakah Papah sudah lebih baik sekarang?’ tanya Khalid sambil memandang Fatah dan Widodo yang duduk terpisah.“Seperti yang kamu lihat. Papah sudah bisa berjalan tanpa kursi roda lagi.”“Tapi Papah harus berhati-hati. Jangan terlalu gegabah, Pah. Agar Papah tidak kambuh lagi.”“Papah sudah sehat dan baikan. Kau tidak perlu khawatir. Papah baik-baik saja.”“Khalid heran mengapa Papah sekarang keras kepala sekali. Apakah mereka yang mengajari Papah seperti ini?”“Kau yang keras kepala. Kecil-kecil sudah berani pada Papahmu. Kau kemana saja? Kenapa pergi-pergi terus tanpa pamit? Apakah kau sama sekali tidak ingin mendampingi Papah terapi?” ucap Nancy sambil bersungut-sungut. Ia jengkel memandang anak semata

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-16
  • Mengejar Mentari   14. Di ujung Senja

    Khalid masih memikirkan apa yang dikatakan oleh sang Mama mengenai gadis bernama Saifi. Pikirannya kalut. Ia sama sekali tidak bisa berfikir jernih.“Ah, mengapa Mamah selalu saja membuatku gila?” gumam Khalid sambil meremas rambutnya. Kakinya ia langkahkan menjauh dari rumah utama. Entah berapa lama ia sibuk dengan pikiran-pikiran dan bayangannya.“Tuhan. Andai aku boleh memilih antara menuruti keinginan Mamah dan keinginan hatiku, aku ingin menuruti keinginan hatiku karena aku tahu sumber kebahagiaanku. Tapi . . . kalau aku mengingat semua kebaikan Mamah padaku, aku memang berat untuk menolak.”Khalid masih melangkah tanpa tahu kemana kakinya berjalan meninggalkan rumahnya. Hingga dimenit yang entah keberapa, dia mencapai sebuah taman. Matanya ia edarkan, menatap sekeliling dimana disana banyak sekali anak-anak sedang bermain menanti datangnya senja, ah lebih tepatnya menikmati senja bersama kedua orang tua atau entah siapa.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-17
  • Mengejar Mentari   15. Sakitnya Diabaikan

    Khalid terpana menyaksikan ketidakpedulian Dzi kepadanya. Gadis itu meninggalkannya begitu saja.“Benar-benar unik. Apakah kau sama sekali tidak ingin mengenal calon suamimu, Sayang?’ gumam Khalid sambil tersenyum. Ia segera menelpon Defandra dan memintanya untuk datang ke tempat rahasia mereka sekarang juga.“Apakah aku bisa menolak, Tuan? Hari ini aku menemukan Dzi sedang di parkiran rumah sehat Alfitrah. Aku ingin sekali mengetahui apakah dia akan tergoda olehku atau tidak.”“Baiklah. Setelah urusanmu selesai kutunggu di tempat biasa.”“Ok”Khalid meninggalkan Alfitrah setelah anak buahnya menjemput dan membawanya ke tempat rahasia, menunggu Defandra menyelesaikan urusannya. Sedangkan Defandra, kini sedang menghadang langkah Dzi di tempat parkir.“Hai” sapanya. Dzi menatap Defandra dengan tatapan tak suka.“Assalamualaikum”“Ok Assalamu

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-17

Bab terbaru

  • Mengejar Mentari   70. Aku Mau

    Khalid masih terpana menyaksikan mobil yang kini parkir dan berjajar di depan masjid. Ia melihat keluarga yang tadi duduk di ruang VVIP restoran AD datang menemuinya. Wildan dan Khalid saling pandang.“Apakah kau masih ingin menolak permintaan orang tuamu kalau saat ini mereka memintamu menikahi Saifi, khalid?”Wildan menatap Khalid yang kini menegang. Khalid benar-benar tidak habis pikir dengan kegigihan keluarganya memaksa dirinya menikah.“Aku akan tetap menolak, Wildan. Aku sudah mengusulkan kepada MAma agar menungguku menemui Dzi dulu dan mengatakan semua perasaanku. kalau Dia sudah tidak mau denganku, aku baru bisa menerima Saifi. Kalau Dzi belum kutemukan aku merasa sangat tidak nyaman karena aku merasa mengkhianatinya.”Tuan Raharja dan semua yang hadir di sana tersenyum. mereka tahu betapa gigihnya Khalid memperjuangkan cintanya. Tuan Raharja dan Nancy mendekati Khalid lalu mengelus kepala anaknya.“Apakah kau

  • Mengejar Mentari   69. Ridha Allah, Ridha Orang Tua

    Setelah puas melampiaskan semua keluh kesahnya di pantai, Khalid segera melangkah meninggalkan pantai. Ia bergegas menuju mobilnya sebelum semua keluarganya tahu kemana ia akan melangkah. Ia benar-benar ingin sembunyi dari mereka yang sama sekali tidak tahu perasaannya.Setelah menghidupkan mobilnya, Khalid bingung menentukan arah. Ia tidak tahu kemana harus bersembunyi dari mamanya yang selalu mendatanginya dan memaksanya untuk menikah. Pikirannya terus dipenuhi oleh wanita yang sejak awal sudah mengganggu pikirannya. Wanita yang disakiti oleh Nancy dan kini entah dimana.Kini, ia mengarahkan mobilnya menuju tempat dimana ia memiliki kenangan indah bersama Dzi di masjid Baiturrahim. Ia ingin melihat kondisi terakhir rumah mereka saat ini. rumah yang ia tinggalkan hampir satu tahun lamanya dan menyimpan kenangan yang indah kini sudah ada di depan mata.“Yaa Tuhan. Rumah itu masih sama seperti kondisi awal aku datang.” gumam Khalid saat melihat rumah

  • Mengejar Mentari   68. Penolakan

    “Assalamualaikum”Semua mata memandang Khalid yang baru saja masuk dengan penampilan acak-acakan. Nancy yang melihat kehadiran anaknya segera berdiri lalu menyambutnya dengan wajah berbinar cerah. Ia ulurkan tangannya dan menggandeng tangan Khalid untuk mengikutinya duduk di antara para orang tua yang hadir di sana.“Akhirnya kau datang, Sayang. Mama khawatir sekali kalau kau sampai tidak datang. Tadi Saifi baru saja duduk di sini. Dia baru saja keluar ke toilet.”Khalid terpana mendengar mamanya menyebut nama Saifi baru keluar dari ruangan menuju toilet. Ia kemudian memandang sekeliling ruangan, menatap satu persatu kerabat yang diundang oleh keluarganya.“Ada apa ini, Mama? Mengapa mereka ikut hadir di sini? Bukankah MAma datang ke apartemen dan meminta Khalid untuk makan bersama di restoran AD?”“Bukan untuk makan bersama, Mama kan bilang kalau Mama ingin melamar Saifi untuk kamu.”&ld

  • Mengejar Mentari   67. Permintaan Ayah

    “Apa permintaan Ayah yang harus aku lakukan, Kak? Apakah Ayah memintaku untuk pulang?”Amira menggeleng. ia mencoba menetralisir perasaannya agar ia mampu menyampaikan pesan ayahnya dengan benar tanpa terjadi salah paham dengan adiknya.“Ayah memintamu datang ke restoran.’Dzi terpana mendengar kakaknya menyampaikan berita itu. datang ke restoran ayahnya sama dengan ia harus bertemu dengan orang yang sudah menorehkan luka di hatinya ketika dia masih duduk di bangku SMA. Orang kepercayaan ayahnya yang sudah membuat dia kehilangan harga diri karena dihina olehnya. Laki-laki tampan yang menjadi kebanggaan ayahnya karena memiliki bakat langka. Adrian, executive Chef, yang dimiliki restoran AD, restoran kebanggaan keluarga Dzulfikar. Restoran memiliki menu spesial yang selalu baru setiap harinya selalu menjadi rujukan kolega dan rekan bisnis Tuan Dzulfikar yang berada di dalam maupun luar negeri.Keberadaan Adrian di restoran AD, sama s

  • Mengejar Mentari   66. Jiwa Jombloku Meronta

    “Kakak? Kenapa Kakak bisa ada di sini? Sama siapa? Apakah Kak Wildan juga datang?”Amira mengacak rambut Dzi yang memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Ia ingin mengacaukan perasaan adiknya, namun ia kasihan memandang gadis cantik yang mirip dengan dirinya menerima masalah lebih besar.“Bisa tidak bertanyanya satu-satu?”“Bisa”Amira mencubit pinggang Dzi yang semakin ia anggap kurang ajar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kehadirannya di apartemen Dzi mampu membuat adiknya bahagia seperti saat ini. ia duduk di ranjang yang acak-acakan karena beberapa kain tergeletak di sana. ia ambil pakaian Dzi dan melemparnya ke sudut kamar, membuat pemiliknya melotot tak percaya.“Kenapa dibuang? Aku akan memakainya untuk pergi ke kota.”“O iya? Kemana?’Dzi menggeleng. ia yang awalnya ingin pergi dan kini memilih untuk mengurungkannya segera menggeleng. ia sama sekali tidak ingin

  • Mengejar Mentari   65. Bukankah Sudah Menemukannya?

    Di rumah sehat Alfitrah, Dzi yang baru datang ke ruangan perawatan Khalid segera memandang Nancy dan Raharja yang duduk lesu di bed pasien.“Tante minta maaf ya, Sayang. Khalid pergi tanpa Tante bisa mencegahnya setelah Tante mengatakan padanya kalau kau mau datang menengoknya.”“Apakah Tante mengatakan kalau Dzi akan datang?”“Tante bilang Saifi akan datang menemuinya, tapi dia memang dasar keras kepala. Ia sama sekali tidak mau mendengar penjelasan Tante. Tante mengundangmu untuk mengobati luka hatinya karena kau pergi dan dia gagal mencarimu, e, dia memang anak yang keras kepala makanya tidak mau tahu. Dia memilih meninggalkan Tante di sini.”Dzi tersenyum. dia sangat paham mengapa Khalid pergi namun ia tidak akan menyalahkan siapapun.“Ini sudah takdir, Tante. Takdir Tuhan yang harus kita terima dengan ikhlas walau kita sebenarnya juga geregetan.”Nancy mengangguk. ia memang geregetan

  • Mengejar Mentari   64. Ingat Penilaian Orang

    “Kita akan kemana, Tuan?”Defandra masih belum tahu di mana Khalid memutuskan akan tinggal. Khalid yang masih sakit hati dengan kedua orang tuanya lebih memilih apartemen sebagai tempat untuk perawatannya.“Aparteenku, Ndra.”“Baik, Tuan.”Defandra mengangguk. ia terus fokus pada jalan raya yang ramai karena jam-jam seperti sekarang, semua karyawan sedang berangkat ke tempat mereka berangkat ke kantor. Khalid yang masih merasa sangat mengantuk segera menyandarkan kepalanya di sandaran jok penumpang dan memejamkan matanya.Ia menerawang jauh membayangkan pertemuan pertamanya dengan Dzi, gadis yang kini hilang entah kemana dan terus membayang-bayangi kehidupannya. Ia menggeleng, membayangkan tentang kegagalan anak buahnya dalam melakukan pencarian. Beberapa bulan dari hilangnya Dzi, anak buahnya belum melaporkan keberadaan gadis yang dicintainya. Ia merasa bahwa ada yang aneh dengan gadisnya.&ld

  • Mengejar Mentari   63. Bukan Non Saifi

    Di ruang perawatan Khalid di pagi yang sama, Nancy masih kesal. Pasalnya beberapa menit lalu ia mengunjungi dokter Willy di ruangannya, namun ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban atas keberadaan Dzi. Willy belum mau membuka suaranya. Ia hanya mengatakan agar bersabar sebentar karena Saifi sedang dalam urusan yang tidak bisa diganggu siapapun.Willy tidak mengatakan kalau Dzi sudah datang ke Alfitrah dan menemuinya. Ia sengaja membiarkan Dzi untuk menyiapkan dirinya dengan mandi dan sarapan. Willy melihat tubuh Dzi semakin kurus karena memikirkan masalah percintaannya dengan Khalid. ia tidak rela ketika Dzi sedang makan dan istirahat, ada orang lain mengusik bosnya.“Kau kenapa, Mama? Sejak tadi bukannya duduk malah mondar mandir kesana kemari. Apakah kau sedang menahan hasrat ingin kencing?”Nancy melototkan matanya. Ia benar-benar ingin mencakar wajah suaminya yang tidak pernah tahu kalau dia sedang berakting. Ia selalu bersikap serius men

  • Mengejar Mentari   62. Tidak Menerima Penolakan

    Dzi segera mengecek panggilan masuk. Lima kali Willy memanggilnya dengan panggilan video dan lima kali dengan panggilan suara. Dzi segera mengusap wajahnya. ia menelpon balik nomor Willy namun panggilannya ditolak. Ia segera menelpon Andini, namun beberapa kali panggilannya tidak terhubung. Dzi nampak sangat khawatir. Ia segera memandang ayah dan kakaknya.“Kelihatannya ada yang genting di Alfitrah, Ayah. Dzi harus segera pergi sekarang.”Tuan Dzulfikar, Wildan dan Amira mengangguk. mereka tidak dapat menahan Dzi sama sekali. Meski hanya untuk memberi pesan kepadanya agar hati-hati di jalan. Dzi segera berlari ke kamarnya dan mengganti pakaiannya tanpa membersihkan badannya terlebih dulu. Ia berniat mandi di apartemennya di Alfitrah. ia segera keluar rumah dengan Expander miliknya.Setengah jam kemudian, mobil warna hitam sudah berhasil parkir di tempat parkir khusus Direktur Utama rumah Sehat AlFitrah. ia segera berlari ke ruang dokter Willy dengan

DMCA.com Protection Status