Home / Urban / Mengejar Mentari / 11. Menggapai Ridha Ilahi

Share

11. Menggapai Ridha Ilahi

last update Last Updated: 2021-03-15 06:31:20

Di sebuah gasebo dekat dengan sebuah rumah sehat Al Fitrah, seorang gadis sedang menghadap laptopnya, menyiapkan beberapa proposal pengajian remaja dan bakti sosial. Gasebo indah yang menjadi tempat favorit Dzi menghabiskan waktu saat di Al Fitrah.

“Assalamualaikum”

Seorang laki-laki menghampiri Dzi yang masih asik menyusun kalimat.

“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.,” Dzi menghentikan kegitannya, lalu menoleh ke arah sumber suara.

“Mas Sahal?’

            “Dik Dzi? Kenapa di sini? Siapa yang sakit?”

Dzi tersenyum. Ia sama sekali tidak mengira kalau akan bertemu dengan Sahal. Laki-laki yang menjadi tetangga barunya.

“Tidak ada yang sakit, Mas. Saya hanya senang kalau duduk di sini. Itu saja. Mas sendiri mengapa ke sini? Siapa yang sakit?”

“Papa.”

“O, sakit apa?”

“Jantung, Dik. Sudah berobat kesana kemari tapi belum juga ada perubahan. Ini tadi dapat informasi kalau harus datang kemari. Katanya dari teman kerja Papa ada yang pernah ke sini.”

“Mas tidak menunggu di dalam?”

“Aku di sini saja dulu. Masih ada pasien banyak di dalam. Sebenarnya ingin mendapatkan prioritas agar bisa masuk dulu dan membayar lebih, tapi petugas bilang ownernya tidak mengijinkan. Harus antri katanya.”

“Begitu ya?’

“Iya. Kadang heran juga ada orang yang memegang prinsip hidup terlalu kuat. Tidak lagi memikirkan pendapatan. Mentang-mentang dia sudah kaya atau . . .’

Dzi tersenyum. Dia menggeleng pelan.

“Sebenarnya saya yakin bukan karena dia sudah kaya atau sudah nyaman dengan kehidupannya. Mungkin sang pemilik rumah sehat ini hanya ingin memberi pembelajaran kepada masyarakat entah masyarakat golongan kaya maupun miskin, bahwa semua memiliki hak yang sama untuk dilayani.”

“Begitu ya?”

“Bisa jadi. Tapi tidak tahu juga yang sebenarnya, Mas.”

Banyak obrolan yang  mereka diskusikan di gasebo itu, hingga tanpa terasa waktu azan duhur sudah berkumandang.

“Mas, maaf ya sudah azan. Saya harus keluar dulu untuk salat.”

“Kalau begitu ayo kita bareng. Kau bisa ikut motorku.”

“Terima kasih. Tapi mohon  maaf kalau saya harus menolak tawaran Mas. Assalamualaikum”

“Eh, iya silakan.”

“Assalamualaikum”

“Wa alaikum sa . . .lam”

Dzi meninggalkan gasebo menuju mushola di ujung rumah sehat. Ia segera menuju tempat wudhu. Belum sempat menyalakan keran, seorang ibu menghampirinya.

“Saifi ya?”

“Eh, I . . . ibu Nancy. Assalamualaikum, Ibu. Ibu bagaimana kabar?”

“Waalaikum salam, Saifi. Kok di sini? Siapa yang sakit?’

“Tidak ada, Ibu. Saya bekerja.”

“O bekerja di sini?”

“Iya, Alhamdulillah, Bu.”

“Wah, tahu begitu tadi Ibu memberitahu kalau mau ke sini biar Bapak tidak terlalu lama mengantri.”

“Mohon maaf kalau yang itu, Saya tidak bisa membantu, Ibu. Saya hanya bekerja di bagian kebersihan saja. Tidak ada urusannya dengan pasien.”

“Begitu ya? Kenapa harus di bagian kebersihan sih, Nak? Saifi kan bisa menerapi pasien seperti yang Kamu lakukan pada Papanya Khalid, Mengapa tidak minta ke bagian personalia kalau kau bisa membantu para  terapis? Masa iya harus ditempatkan di bagian cleaning service, Nak.”

Dzi tersenyum.

“Menjadi cleaning service kalau ikhlas juga sangat nyaman, Ibu. Apapun posisinya selama kita mensyukuri nikmat, Insya Allah akan bahagia karena hidup saya hanya untuk menggapai ridha Allah.”

“Tapi sayang, Nak. Ah Ibu ingin sekali menjadikan kamu sebagai anakku. Kamu manis sekali. Tidak seperti Khalid yang arogan. Maunya menang sendiri dan seenaknya saja sama Mamanya.

“Bagaimana kondisi Bapak hari ini, Ibu?”

“Bapak, ah, sudah mulai membaik tapi Khalid anakku memintaku untuk membawanya ke sini. Jengkel aku sama anak itu. Sudah seringnya marah-marah, sukanya menang sendiri dan kalau marah selalu saja pergi meninggalkan rumah.” Dzi tersenyum.

“Begitu mungkin namanya laki-laki, Ibu. Ingin menampilkan jati dirinya agar dia tidak diinjak-injak kaum hawa. Mari ibu kita shalat. Muadzin sudah selesai mengumandangkan azan sejak tadi, takutnya kita ketinggalan shalat rawatib.

“Bukannya kita akan shalat duhur ya Nak? Mengapa kamu malah mengejar rawatib? Aku baru dengar kalau ada rawatib.”

“Ibu mungkin bisa lebih banyak membaca lagi karena kalau saya jelaskan di sini nanti tidak ada waktu dan takutnya mengganggu, Bu.”

“Ok baiklah, kapan-kapan saja kita bicara tentang shalat rawatib.”

“Insya Allah.” Dzi segera memutuskan percakapan, menyingsingkan lengan baju dan memulai wudhunya. Baru saja ia selesai, muadzin sudah mengumandangkan iqamat.

“Subhanallah, ketinggalan lagi,,” gumamnya. Ia bergegas masuk menuju mushala dan memakai mukena lalu menyusul sang imam yang sudah mengawali rakaat pertama.

“Saifi mau tidak menemani Ibu ke dalam?” Nancy mencoba membujuk Dzi setelah ia menyelesaikan dzikirnya. Dzi mengangguk lalu melepaskan mukena dan memasukkannya ke dalam tas.

“Ibu minta saya ke mana?”

“Temani Ibu di dalam menunggu Bapak. Tolong cek juga kondisi suami Ibu ya. Barangkali tanpa harus melalui pemeriksaan dan terapi di dalam, suami Ibu bisa sehat.”

“Baiklah. Akan saya coba, Bu. Semampu saya. Tapi saya tidak berjanji Bapak bisa sembuh karena sembuh adalah hak prerogatif Allah. Saya hanya membantu dan selebihnya kita serahkan pada Allah Swt.”

“iya, Mbak. Ayo! Aku yakin Khalid sudah menunggu.”

“Mari, Bu.”

Berdua mereka berjalan ke ruang tunggu. Maksud hati ingin mengenalkan Dzi dengan anaknya, apa daya, sampai di dalam Nancy hanya menemukan sang suami ditunggu oleh anak buahnya.

“Mana Khalid?”

“A . . . anu, Nyonya, Tuan Muda tadi pergi. Mendadak ada panggilan dari asistennya kalau ada meeting di kantor.”

“Selalu seperti itu. Anak itu sama sekali tidak peduli pada kesehatan papanya. Awas saja kalau dia berani menampakkan batang hidungnya di hadapanku nanti sore. Akan kujewer telinganya sampai panas.”

Dzi hanya tersenyum. Dalam hati ia bersyukur tidak bertemu dengan anak semata wayang Nancy. Wanita yang sudah dikenalnya sejak dua pekan lalu ketika dia sedang menemani suaminya jalan-jalan di taman.

Kala itu, Nancy panik mendapatkan suaminya pingsan di kursi rodanya. Setelah beberapa kali meminta tolong dan tidak ada anak buah yang datang membantu, Dzi datang menawarkan bantuan. Ia memberikan beberapa tindakan terapi dan menuntun Raharja melakukan beberapa tindakan.

Sejak saat itu, Raharja dan Nancy berteman dengan Dzi.

“Saifi? Kamu ada di sini, Nak?” tanya Raharja sambil membetulkan posisi duduknya.

“Bapak udah lama di sini?’

“Sudah hampir tiga jam, Nak. Bapak belum mendapatkan pelayanan karena memang pasien sangat banyak hari ini.”

Dzi mendesah. Ada peperangan dalam batinnya antara mendahulukan Raharja dan membiarkannya mengantri sesuai nomor urutnya.

“Ok, Bapak dan Ibu tunggu sebentar ya saya akan berusaha untuk menghubungi seseorang agar Bapak bisa mendapatkan peayanan yang cepat.”

“Benarkah begitu?’ tanya Nancy kegirangan. Saking girangnya ia sampai lupa kalau di sekitarnya banyak yang sedang memandangnya dengan pandangan kecewa

“Ibu jangan terlalu histeris begitu. Maaf, mereka memandang kita dengan kecewa. Mereka pasti berfikir kalau Ibu sudah melakukan nepotisme untuk mendapatkan pelayanan. Maaf ya Bu. Saifi  pergi sebentar.”

“Baiklah, Nak. Ibu tunggu informasi selanjutnya.”

“Mama ini kenapa sih Ma? Masih saja ingin menunjukkan kalau kau berkuasa. Ingat yang dikatakan oleh petugas pendaftaran tadi. Kita harus mengantri sesuai urut kehadiran. Itu yang akan membuat Allah semakin sayang pada kita karena kita tidak semena-mena pada orang lain.”

“Tapi Mamah kasihan sama Papah. Kondisi lemah begini harus mengantr dan duduk  terus seperti ini.”

“Kalau ini demi sembuh, dan kembali normal seperti semula, Papah Ikhlas Mah. Semoga memang ini jalan terbaik untuk Papah. Sembuh tanpa operasi, tanpa alat, tanpa obat dan tanpa Jimat. Bismillah”

“Iya, Pah, Maafkan Mamah.”

“Pak Raharja, anda dipanggil untuk datang di kamar perawatan nomor satu.”

Seorang petugas menemui mereka dengan membawa beberapa berkas dan mencoba membantu mendorong kursi rodanya pelan.

“Memangnya di sini ada kamar perawatan ya, Mas? Mengapa sejak tadi tidak mengajak kami ke sana biar Bapak tidak terlalu lelah?”

“Ah, maaf, Bu. Ini atas permintaan seseorang.’

“Baiklah. Ayo tolong dorong suamiku masuk ruang perawatan sekarang!”

“Baik”

Related chapters

  • Mengejar Mentari   12. Terapi untuk Tuan Raharja

    Sampai di ruang perawatan, Raharja dipindahkan ke dipan.“Alhamdulillah, akhirnya Papah bisa berbaring.”“Iya, Mah. Setidaknya ini bisa membuat Papah lebih rileks bisa mengendorkan otot-otot Papah yang kencang.”“Mana Saifi ya, Pah? Mamah yakin dia yang sudah berjuang untuk ini.”“Semoga dia segera masuk Mah. Dia anak baik.”“Iya, Pah. Kalau saja Khalid anak nakal itu tidak pergi, dia pasti bisa berkenalan dengan Saifi hari ini. Tapi kebiasaan anakmu selalu pergi tanpa pamit padaku.”“Kamu juga tidak boleh terlalu memaksakan kehendakmu sendiri. Belajarlah untuk menjadi seorang ibu yang lemah lembut.”“Inginnya sih lemah lembut, Pah. Tapi rasanya susahnya luar biasa. Anakmu selalu saja punya alasan untuk membuat Mamah marah.”“Memang mudah untuk marah Ibu. Tapi Allah lebih suka orang yang bijaksana yang mampu mengendaikan emosinya tanpa harus membabi buta”“Saifi? Kamu sudah datang, Nak?”“Iya, Bu. Tadi saya menghubungi bagian terapi dan meminta me

    Last Updated : 2021-03-16
  • Mengejar Mentari   13. Berselisih Paham

    Sepeninggal Dzi, Khalid masuk ke ruangan dan bergabung dengan Nancy dan Raharja yang sudah menyelesaikan terapinya. Raharja nampak berkeringat deras. Ia duduk di kursi dekat dengan Nancy yang kini sedang mengupaskan buah untuknya.“Bagaimana, Pah? Apakah Papah sudah lebih baik sekarang?’ tanya Khalid sambil memandang Fatah dan Widodo yang duduk terpisah.“Seperti yang kamu lihat. Papah sudah bisa berjalan tanpa kursi roda lagi.”“Tapi Papah harus berhati-hati. Jangan terlalu gegabah, Pah. Agar Papah tidak kambuh lagi.”“Papah sudah sehat dan baikan. Kau tidak perlu khawatir. Papah baik-baik saja.”“Khalid heran mengapa Papah sekarang keras kepala sekali. Apakah mereka yang mengajari Papah seperti ini?”“Kau yang keras kepala. Kecil-kecil sudah berani pada Papahmu. Kau kemana saja? Kenapa pergi-pergi terus tanpa pamit? Apakah kau sama sekali tidak ingin mendampingi Papah terapi?” ucap Nancy sambil bersungut-sungut. Ia jengkel memandang anak semata

    Last Updated : 2021-03-16
  • Mengejar Mentari   14. Di ujung Senja

    Khalid masih memikirkan apa yang dikatakan oleh sang Mama mengenai gadis bernama Saifi. Pikirannya kalut. Ia sama sekali tidak bisa berfikir jernih.“Ah, mengapa Mamah selalu saja membuatku gila?” gumam Khalid sambil meremas rambutnya. Kakinya ia langkahkan menjauh dari rumah utama. Entah berapa lama ia sibuk dengan pikiran-pikiran dan bayangannya.“Tuhan. Andai aku boleh memilih antara menuruti keinginan Mamah dan keinginan hatiku, aku ingin menuruti keinginan hatiku karena aku tahu sumber kebahagiaanku. Tapi . . . kalau aku mengingat semua kebaikan Mamah padaku, aku memang berat untuk menolak.”Khalid masih melangkah tanpa tahu kemana kakinya berjalan meninggalkan rumahnya. Hingga dimenit yang entah keberapa, dia mencapai sebuah taman. Matanya ia edarkan, menatap sekeliling dimana disana banyak sekali anak-anak sedang bermain menanti datangnya senja, ah lebih tepatnya menikmati senja bersama kedua orang tua atau entah siapa.

    Last Updated : 2021-03-17
  • Mengejar Mentari   15. Sakitnya Diabaikan

    Khalid terpana menyaksikan ketidakpedulian Dzi kepadanya. Gadis itu meninggalkannya begitu saja.“Benar-benar unik. Apakah kau sama sekali tidak ingin mengenal calon suamimu, Sayang?’ gumam Khalid sambil tersenyum. Ia segera menelpon Defandra dan memintanya untuk datang ke tempat rahasia mereka sekarang juga.“Apakah aku bisa menolak, Tuan? Hari ini aku menemukan Dzi sedang di parkiran rumah sehat Alfitrah. Aku ingin sekali mengetahui apakah dia akan tergoda olehku atau tidak.”“Baiklah. Setelah urusanmu selesai kutunggu di tempat biasa.”“Ok”Khalid meninggalkan Alfitrah setelah anak buahnya menjemput dan membawanya ke tempat rahasia, menunggu Defandra menyelesaikan urusannya. Sedangkan Defandra, kini sedang menghadang langkah Dzi di tempat parkir.“Hai” sapanya. Dzi menatap Defandra dengan tatapan tak suka.“Assalamualaikum”“Ok Assalamu

    Last Updated : 2021-03-17
  • Mengejar Mentari   16. OB Baru

    “Selamat pagi, Tuan. Perkenalkan nama saya Sahal.” Kata Khalid sambil menundukkan badannya memberi salam dan hormat kepada kepala kebersihan dan Personalia. Muri, sang kepala personalia yang membawa Khalid menghadap Sutriman kepala divisi kebersihan dan keamanan segera menyerahkan Khalid.“Dia anak buahmu yang baru. Tambahan personil seperti yang kau minta dalam proposal bulan lalu, Pak Triman. Bimbing dia agar bisa bekerja dengan baik.”“Baik Pak. Saya terima dengan baik. Semoga dengan bertambahnya personel, pekerjaan para Office Boy bisa lebih ringan dan kantor menjadi semakin bersih dan terawat.”“Aku pergi dulu.”“Silakan, Tuan.”Sutriman memberi hormat pada Muri yang hendak meninggalkan ruangannya. Setelah Muri pergi, Sutriman memanggil Khalid.“Duduklah di sini anak muda.”“Terima kasi, Pak.”“Siapa namamu?”“Sahal

    Last Updated : 2021-03-18
  • Mengejar Mentari   17. Kajian Pertama

    Pengajian rutin bulanan yang diselenggarakan remaja masjid di bawah pimpinan Wildan kini digelar. Pembawa acara sudah membacakan susunan acara diawali dari pembacaan ayat suci Alquran oleh siswa siswi taman pendidikan Al Quran binaan Wildan.Khalid yang sejak tadi duduk di teras masjid menyimak dengan seksama. Air matanya menggenang, mengenang betapa dirinya selama ini sangat jauh dari kitab suci yang dijadikan sebagai tuntunan bagi umat islam.“Astaghfirullahal adhiim” gumamnya. Ia tatap anak usia dua belas tahun yang kini sedang berada di mimbar, melantunkan ayat-ayat dengan suara merdunya tanpa mushaf sama sekali. Seorang anak duduk di belakangnya, menunggu sang hafid menyelesaikan bacaan, lalu dengan suara merdu ia ucapkan terjemah ayat yang dibaca sang hafid.“Yaa Tuhan, ampunilah aku. Selama ini aku sibuk dengan urusan duniawi tanpa menimba ilmu agama sama sekali. Aku selalu membanggakan harta dan kekayaanku padahal hartaku selalu membawa

    Last Updated : 2021-03-18
  • Mengejar Mentari   18. Kecemburuan Khalid

    “Demikian tadi kajian dari Ustadz Ali Badruzaman Ibrahim, Lc. Yang membahas tentang pergaulan remaja antara akhwan dan akhwat. Bahwasanya islam melarang hubungan tanpa status alias pacaran karena hubungan tersebut lebih mengarah kepada mendekati Zina. Sesungguhnya Allah melarang laki-laki dan perempuan bukan mahram untuk berdua-duaan karena mereka akan mengundang fitnah dari orang-orang sekitar kita. Kiranya tidak bijaksana kalau saya panjang lebarkan sebelum saya akhiri marilah kita akhiri kajian kali ini dengan doa kafaratul majelis. Bismillahirrohmanirrohim ashadualla ilaha illa anta astaghfiruka waatubu ilaik. Kebenaran datangnya dari Allah dan segala keburukan semua adalah murni kekurangan dan kekhilafan saya. Akhir kata wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”Dzi menyerahkan speaker kepada Wildan sang ketua rohis masjid Baiturrahiim.“Mohon perhatian untuk semua peserta kajian

    Last Updated : 2021-03-19
  • Mengejar Mentari   19. Wildan dan Dzi

    Wildan dan Khalid kembali memasuki masjid. Mereka bergabung dengan para pengurus lain yang sedng menata sound system, alat makan dan minum serta membersihkan masjid, dari menyapu sampai mengepel. Membuang sampah di tempat yang sudah disediakan.“Mas orang baru ya?” tanya seorang gadis pada Khalid saat ia sedang membuang sampah di gerobak yang terparkir di halaman.“Iya.”“Boleh kenalan tidak?”Khalid mengangguk.“Aku Sahal”“Aku Nindy, Mas. Anak kompleks C. Rumah Mas Sahal dimana?”“satu kontrakan dengan Mas Wildan.’“O iya? Bagus dong.”“Kenapa?”“Ya seenggaknya kan bisa sering ketemu kalau pas aku ke masjid.”“Tidak boleh.”“Kenapa bisa? Mas sudah punya pacar ya?’Khalid menggeleng.“Ustadz Ali melarang kan? Kalau sudah terlanjur pacaran harus diput

    Last Updated : 2021-03-19

Latest chapter

  • Mengejar Mentari   70. Aku Mau

    Khalid masih terpana menyaksikan mobil yang kini parkir dan berjajar di depan masjid. Ia melihat keluarga yang tadi duduk di ruang VVIP restoran AD datang menemuinya. Wildan dan Khalid saling pandang.“Apakah kau masih ingin menolak permintaan orang tuamu kalau saat ini mereka memintamu menikahi Saifi, khalid?”Wildan menatap Khalid yang kini menegang. Khalid benar-benar tidak habis pikir dengan kegigihan keluarganya memaksa dirinya menikah.“Aku akan tetap menolak, Wildan. Aku sudah mengusulkan kepada MAma agar menungguku menemui Dzi dulu dan mengatakan semua perasaanku. kalau Dia sudah tidak mau denganku, aku baru bisa menerima Saifi. Kalau Dzi belum kutemukan aku merasa sangat tidak nyaman karena aku merasa mengkhianatinya.”Tuan Raharja dan semua yang hadir di sana tersenyum. mereka tahu betapa gigihnya Khalid memperjuangkan cintanya. Tuan Raharja dan Nancy mendekati Khalid lalu mengelus kepala anaknya.“Apakah kau

  • Mengejar Mentari   69. Ridha Allah, Ridha Orang Tua

    Setelah puas melampiaskan semua keluh kesahnya di pantai, Khalid segera melangkah meninggalkan pantai. Ia bergegas menuju mobilnya sebelum semua keluarganya tahu kemana ia akan melangkah. Ia benar-benar ingin sembunyi dari mereka yang sama sekali tidak tahu perasaannya.Setelah menghidupkan mobilnya, Khalid bingung menentukan arah. Ia tidak tahu kemana harus bersembunyi dari mamanya yang selalu mendatanginya dan memaksanya untuk menikah. Pikirannya terus dipenuhi oleh wanita yang sejak awal sudah mengganggu pikirannya. Wanita yang disakiti oleh Nancy dan kini entah dimana.Kini, ia mengarahkan mobilnya menuju tempat dimana ia memiliki kenangan indah bersama Dzi di masjid Baiturrahim. Ia ingin melihat kondisi terakhir rumah mereka saat ini. rumah yang ia tinggalkan hampir satu tahun lamanya dan menyimpan kenangan yang indah kini sudah ada di depan mata.“Yaa Tuhan. Rumah itu masih sama seperti kondisi awal aku datang.” gumam Khalid saat melihat rumah

  • Mengejar Mentari   68. Penolakan

    “Assalamualaikum”Semua mata memandang Khalid yang baru saja masuk dengan penampilan acak-acakan. Nancy yang melihat kehadiran anaknya segera berdiri lalu menyambutnya dengan wajah berbinar cerah. Ia ulurkan tangannya dan menggandeng tangan Khalid untuk mengikutinya duduk di antara para orang tua yang hadir di sana.“Akhirnya kau datang, Sayang. Mama khawatir sekali kalau kau sampai tidak datang. Tadi Saifi baru saja duduk di sini. Dia baru saja keluar ke toilet.”Khalid terpana mendengar mamanya menyebut nama Saifi baru keluar dari ruangan menuju toilet. Ia kemudian memandang sekeliling ruangan, menatap satu persatu kerabat yang diundang oleh keluarganya.“Ada apa ini, Mama? Mengapa mereka ikut hadir di sini? Bukankah MAma datang ke apartemen dan meminta Khalid untuk makan bersama di restoran AD?”“Bukan untuk makan bersama, Mama kan bilang kalau Mama ingin melamar Saifi untuk kamu.”&ld

  • Mengejar Mentari   67. Permintaan Ayah

    “Apa permintaan Ayah yang harus aku lakukan, Kak? Apakah Ayah memintaku untuk pulang?”Amira menggeleng. ia mencoba menetralisir perasaannya agar ia mampu menyampaikan pesan ayahnya dengan benar tanpa terjadi salah paham dengan adiknya.“Ayah memintamu datang ke restoran.’Dzi terpana mendengar kakaknya menyampaikan berita itu. datang ke restoran ayahnya sama dengan ia harus bertemu dengan orang yang sudah menorehkan luka di hatinya ketika dia masih duduk di bangku SMA. Orang kepercayaan ayahnya yang sudah membuat dia kehilangan harga diri karena dihina olehnya. Laki-laki tampan yang menjadi kebanggaan ayahnya karena memiliki bakat langka. Adrian, executive Chef, yang dimiliki restoran AD, restoran kebanggaan keluarga Dzulfikar. Restoran memiliki menu spesial yang selalu baru setiap harinya selalu menjadi rujukan kolega dan rekan bisnis Tuan Dzulfikar yang berada di dalam maupun luar negeri.Keberadaan Adrian di restoran AD, sama s

  • Mengejar Mentari   66. Jiwa Jombloku Meronta

    “Kakak? Kenapa Kakak bisa ada di sini? Sama siapa? Apakah Kak Wildan juga datang?”Amira mengacak rambut Dzi yang memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Ia ingin mengacaukan perasaan adiknya, namun ia kasihan memandang gadis cantik yang mirip dengan dirinya menerima masalah lebih besar.“Bisa tidak bertanyanya satu-satu?”“Bisa”Amira mencubit pinggang Dzi yang semakin ia anggap kurang ajar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kehadirannya di apartemen Dzi mampu membuat adiknya bahagia seperti saat ini. ia duduk di ranjang yang acak-acakan karena beberapa kain tergeletak di sana. ia ambil pakaian Dzi dan melemparnya ke sudut kamar, membuat pemiliknya melotot tak percaya.“Kenapa dibuang? Aku akan memakainya untuk pergi ke kota.”“O iya? Kemana?’Dzi menggeleng. ia yang awalnya ingin pergi dan kini memilih untuk mengurungkannya segera menggeleng. ia sama sekali tidak ingin

  • Mengejar Mentari   65. Bukankah Sudah Menemukannya?

    Di rumah sehat Alfitrah, Dzi yang baru datang ke ruangan perawatan Khalid segera memandang Nancy dan Raharja yang duduk lesu di bed pasien.“Tante minta maaf ya, Sayang. Khalid pergi tanpa Tante bisa mencegahnya setelah Tante mengatakan padanya kalau kau mau datang menengoknya.”“Apakah Tante mengatakan kalau Dzi akan datang?”“Tante bilang Saifi akan datang menemuinya, tapi dia memang dasar keras kepala. Ia sama sekali tidak mau mendengar penjelasan Tante. Tante mengundangmu untuk mengobati luka hatinya karena kau pergi dan dia gagal mencarimu, e, dia memang anak yang keras kepala makanya tidak mau tahu. Dia memilih meninggalkan Tante di sini.”Dzi tersenyum. dia sangat paham mengapa Khalid pergi namun ia tidak akan menyalahkan siapapun.“Ini sudah takdir, Tante. Takdir Tuhan yang harus kita terima dengan ikhlas walau kita sebenarnya juga geregetan.”Nancy mengangguk. ia memang geregetan

  • Mengejar Mentari   64. Ingat Penilaian Orang

    “Kita akan kemana, Tuan?”Defandra masih belum tahu di mana Khalid memutuskan akan tinggal. Khalid yang masih sakit hati dengan kedua orang tuanya lebih memilih apartemen sebagai tempat untuk perawatannya.“Aparteenku, Ndra.”“Baik, Tuan.”Defandra mengangguk. ia terus fokus pada jalan raya yang ramai karena jam-jam seperti sekarang, semua karyawan sedang berangkat ke tempat mereka berangkat ke kantor. Khalid yang masih merasa sangat mengantuk segera menyandarkan kepalanya di sandaran jok penumpang dan memejamkan matanya.Ia menerawang jauh membayangkan pertemuan pertamanya dengan Dzi, gadis yang kini hilang entah kemana dan terus membayang-bayangi kehidupannya. Ia menggeleng, membayangkan tentang kegagalan anak buahnya dalam melakukan pencarian. Beberapa bulan dari hilangnya Dzi, anak buahnya belum melaporkan keberadaan gadis yang dicintainya. Ia merasa bahwa ada yang aneh dengan gadisnya.&ld

  • Mengejar Mentari   63. Bukan Non Saifi

    Di ruang perawatan Khalid di pagi yang sama, Nancy masih kesal. Pasalnya beberapa menit lalu ia mengunjungi dokter Willy di ruangannya, namun ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban atas keberadaan Dzi. Willy belum mau membuka suaranya. Ia hanya mengatakan agar bersabar sebentar karena Saifi sedang dalam urusan yang tidak bisa diganggu siapapun.Willy tidak mengatakan kalau Dzi sudah datang ke Alfitrah dan menemuinya. Ia sengaja membiarkan Dzi untuk menyiapkan dirinya dengan mandi dan sarapan. Willy melihat tubuh Dzi semakin kurus karena memikirkan masalah percintaannya dengan Khalid. ia tidak rela ketika Dzi sedang makan dan istirahat, ada orang lain mengusik bosnya.“Kau kenapa, Mama? Sejak tadi bukannya duduk malah mondar mandir kesana kemari. Apakah kau sedang menahan hasrat ingin kencing?”Nancy melototkan matanya. Ia benar-benar ingin mencakar wajah suaminya yang tidak pernah tahu kalau dia sedang berakting. Ia selalu bersikap serius men

  • Mengejar Mentari   62. Tidak Menerima Penolakan

    Dzi segera mengecek panggilan masuk. Lima kali Willy memanggilnya dengan panggilan video dan lima kali dengan panggilan suara. Dzi segera mengusap wajahnya. ia menelpon balik nomor Willy namun panggilannya ditolak. Ia segera menelpon Andini, namun beberapa kali panggilannya tidak terhubung. Dzi nampak sangat khawatir. Ia segera memandang ayah dan kakaknya.“Kelihatannya ada yang genting di Alfitrah, Ayah. Dzi harus segera pergi sekarang.”Tuan Dzulfikar, Wildan dan Amira mengangguk. mereka tidak dapat menahan Dzi sama sekali. Meski hanya untuk memberi pesan kepadanya agar hati-hati di jalan. Dzi segera berlari ke kamarnya dan mengganti pakaiannya tanpa membersihkan badannya terlebih dulu. Ia berniat mandi di apartemennya di Alfitrah. ia segera keluar rumah dengan Expander miliknya.Setengah jam kemudian, mobil warna hitam sudah berhasil parkir di tempat parkir khusus Direktur Utama rumah Sehat AlFitrah. ia segera berlari ke ruang dokter Willy dengan

DMCA.com Protection Status