“Aku tadi yang memesan lewat wa, Mas.” Kata sang gadis sambil memandang dua orang temannya yang kini sudah mengambil tempat duduk.
“Kau tidak bekerja, Nda?” tanya Wildan sambil menyiapkan hidangan.
“Ini dalam rangka sedang istirahat, Mas. Kalau tidak bekerja terus aku mau makan apa? Aku tidak bisa diam saja sambil mengharap pemberian orang tua. Kalau Mas Wildan enak bisa jualan. Setidaknya bisa setiap hari dapat duit.”
“Kau juga bisa kalau mau.”
“Belum ada modalnya, Mas.”
“Kalau modal mah bukan yang utama, Nda. Asalkan kau punya tekad yang kuat, modal lima ratus pasti bisa.”
Nah itu dia. Lima ratus itu duit darimana coba, Mas. Aku saja kerja hanya dapat tiga sampai empat juta sebulan. Buat makan harian, aku harus menghabiskan seratus ribu sehari. Coba tinggal berapa uangku, Mas”
Wildan menggaruk kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan pola pikir Nanda. Anak kos di sebelah rumah kontrakan yang sudah dua tahun dikenalnya.
“Silakan, Mbak.”
Dua sahabat Nanda mengangguk lalu mencoba tersenyum, menggoda sang pemilik warung. Wildan pura-pura tidak melihat. Setelah meletakkan tiga mangkuk seblak, ia segera meninggalkan mereka.
“tiga es teh ya, Mas.” Psan salah satu sahabat Nanda dengan suara manja.”
“Ya. Tunggu sebentar.’
“OK”
“Ih, apaan sih kamu genit banget.” Protes Nanda dengan nada kesal.
“Kau bilang tadi kan kalau aku bebas mengatakan apapun di sini ? Asal aku yang traktir kan?’
“Tapi jangan kecentilan begitu kale, norak tau? Mas Wildan pasti juga tidak suka kalau melihat kau terlalu agresif.”
“Maksudnya apa ya, Nda?” Nanda diam. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Wildan sudah berada di sampingnya. Ia bingung harus menjelaskan apa pada Wildan. Dia tahu, Wildan bukanlah laki-laki yang mudah digoda wanita. Ia pasti akan marah kalau kedatangan mereka hanya untuk melihat bagaimana wajah sang penjual seblak favorit Nanda.
“Eh ti . . tidak kok, Mas. Nanda tahu kalau Mas sama sekali tidak suka dengan gadis yang kecentilan makanya aku mencegah Winda untuk menggoda Mas.”
“O”
“Kok Cuma O reaksinya?”
“Mau gimana lagi?”
“Ya paling tidak ada reaksi lain, gitu?”
“Maaf, aku harus segera pergi.”
Wildan meninggalkan Winda dengan sedikit kesal. Sesekali ia pandang jalan raya, menanti kedatangan pelanggan lain.
Dari jauh, Dzi yang sedang berjalan ke warungnya segera menghentikan langkah. Ia memandang warung Wildan dengan seksama. Langkahnya perlahan ia mundurkan menyaksikan tiga gadis yang sangat dikenalnya.
Perlahan ia membalikkan badannya, namun belum sempurna ia berbalik sebuah tangan mencegahnya.
“Mau kemana?’
“Eh M . . . mas Wildan? I . . . ini Mas, mau ambil dompet yang ketinggalan di motor.”
“Dompetnya nanti saja ya. Kalau Dik Dzi mau makan seblak, aku rela kok tidak usah bayar.”
“Bu . . .bukan mau beli seblak, Mas. Aku . . . aku mau bilang kalau nanti sore acara pengajian remaja ita cancel pekan depan. Ustadnya bilang kalau hari ini ada acara sampai empat hari ke depan di luar kota.”
“O, baiklah. Nanti akan aku sampaikan di grup. Memangnya Dik Dzi tidak memiliki nomorku ya kok harus susah-susah datang kemari?’
“Em, telponku ke reset, Mas. Nomor lama sudah terblokir dan nomor kontak semuanya hilang Mas kecuali nomor teman Mama yang kusimpan di google.
“Kok bisa?” Dzi tersipu malu. Ia tidak tahu mengapa bsa sebodoh itu.
“Ya, selama ini kan aku selalu menyimpan kontak di kartu SIM. Aku memang bodoh, Mas. Tidak pernah mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.” Ucap Dzi sambil menunduk.
“Tidak bodoh kok.”
“Cuma teledor ya?”
“Ha ha ha, tidak juga. Mungkin khilaf. Ha ha ha” suara tawa Wildan sampai di telinga para langganan seblaknya, membuat mereka menoleh ke arah mereka. Termasuk Nanda dan dua temannya.
“Huh, dia lagi.” Sungut Nanda kesal. Winda dan Bekti yang melihat kekesalan Nanda segera mengerutkan kedua alisnya.
“Memangnya siapa dia?”
“Biasa sang pengacau. Dimana ada dia selalu saja mengacaukan rencanaku. Kalian juga perlu waspada kalau bertemu dia. Apalagi kalau sampai kalian sedang bersama kekasih kalian. Pantang banget ketemu dia.”
“Kenapa emangnya?”
“Kekasih lo pada bakal kena peletnya.”
“Ih, pakai pelet dia?”
“Apalagi kalau bukan pelet? Aku yakin seratus persen kalau dia pakai itu. Secara mereka selalu membuat laki-laki terpikat.”
“Tapi perlu dicoba Win. Kau kan jomblo ya. Perlu tuh berguru sama tuh cewek. Sudah pakai kerudung masih pakai pelet juga.”
“Jangan suka menggosip. Belum tentu juga yang dikatakan Nanda benar. Dia memang cantik kok.” Seorang wanita yang mendengar ucapan Nanda menyela membuat Nanda emosi lalu memelototkan matanya.
“Jangan ikut campur deh, Mbak. Aku tidak pakai saluran bebas tuh. Jadi please ya jangan nyambung.”
“Ada apa, sih, Nda? Kok ribut-ribut di warungku?” Nanda yang tidak menyadari kehadiran Wildan terpaku. Bingung mau menjawab apa, dia menunduk.
“Tidak, Mas. Tidak ada apa-apa kok, iya kan, Mbak?”
Sang lawan bicara melengos lalu meninggalkan Nanda.
“Sudah Mas, aku dua seblak ceker sama jeruk manis dua.”
“Dua puluh enam, Mbak”
Sang gadis mengulurkan selembar lima puluh ribuan. Setelah menerima kembalian, ia memandang ke arah Nanda lalu meninggalkan warung seblak dengan perasaan kesalnya.
“Aku sudah, Mas Wildan.”
“Sudah tidak usah bayar, Nda. Kau simpan saja uangnya untuk makan malammu.”
“Tidak usah, Mas. Kan yang mau bayar Bekti sama Winda. Biarkan saja mereka bayar. Masa iya harus gratis. Kasihan Mas Wildan dong.”
“Tidak apa-apa, itung-itung promosi.”
“Tidak mau makan gratisan, Mas. Nanda tidak akan rekomendasikan ke teman-teman kalau Mas tidak mau dibayar.”
Wildan termenung. Ia segera mengangguk lalu menerima uang ratusan ribu dari tangan Winda.
“Baiklah. Tiga puluh ribu saja untuk seblaknya, es tehnya gratis.”
“Asik, terima kasih ya Mas.”
“Sama-sama.”
“Ngomong-omong tadi Dzi datang ke sini kok tidak jadi beli, Mas.”
“O, dia hanya ingin menyampaikan kalau pengajian remaja diundur pekan depan karena ustadznya keluar kota.”
“Bukannya bisa lewat pesan ya?”
“Hpnya ke reset. Nomerku hilang.”
“Mas percaya gitu aja?”
“Terus?”
“Ya masa tidak ada sedikit kecurigaan gitu?”
“Curiga untuk apa? Dia tidak mencuri, tidak juga berniat buruk padaku.”
“Ih, belum tentu juga begitu. Bisa jadi kan, dia sengaja ingin mengintipku yang mendekati Mas Wildan. Dia kan kelihatannya jatuh cinta tuh sama Mas.”
“Tidak mungkin, Nda. Mas tahu diri kok. Bujang lapuk, tidak punya kerjaan mana ada yang mau.”
“ih, jangan merendah gitu juga kali Mas. Nanda yakin kalau banyak gadis yang suka sama Mas. Contohnya . . .”
“Siapa?”
“Tuh!” Nanda menunjuk Winda dan Bekti dengan kedua telunjuknya. Membuat mereka mencubit Nanda bersamaan.
“Auw, sakit tau?’
“Kau jangan suka bkin gosip. Aku tidak jatuh cinta kok sama Masnya. Jangan percaya ya, Mas.”
“Aku juga, Mas. Tidak jatuh cinta sama, Mas. Yang aku tahu, Nanda tuh yang kesengsem sama Mas. Tiap hari yang diceritakan Cuma Mas Wildan di kantor.”
“ O iya?”
“Iya. Mana ada cowok lain di hatinya.”
“Apaan sih. Jangan main lempar batu sembunyi tangan ah. Tidak asik tau.”
“Biarin tidak as. . . .” ketiga gadis di hadapan Wildan menghentikan aktivitasnya mengobrol dengan Wildan saat sebuah mobil sport warna hitam berhenti di hadapan mereka.
“Nandaaaa, “ seru Bekti sambil mencubit pinggang Nanda. Sontak saja Nanda menjerit.“Apaan ih cubit-cubit. Sakit tau?” bentak Nanda. Ia mengusap bekas cubitan Bekti sambil meringis menahan sakit.“I . . .itu pangeran tampan sekali” seru Winda dan Bekti bersama-sama. Wildan dan Nanda yang mendengar penuturan kedua gadis di hadapannya segera menolehkan kepalanya memandang pria tampan yang baru datang.“Ih apaan sih kalian. Norak banget ah.”“Biarin norak asal tuh pangeran jatuh cinta ke aku, Ndaa. Ck ck ck, cakep banget.”“Selamat siang”“Eh si . . .siang, Tuan.” Sahut Nanda mendahului teman-temannya.“Aku mencari Sahal.’Nanda dan kedua sahabatnya saling pandang. Sedang Wildan yang sudah mengetahui siapa laki-laki di hadapannya hanya diam.“Sahal? Siapa dia?”“Aku tidak tahu dia kemana.”De
Di sebuah gasebo dekat dengan sebuah rumah sehat Al Fitrah, seorang gadis sedang menghadap laptopnya, menyiapkan beberapa proposal pengajian remaja dan bakti sosial. Gasebo indah yang menjadi tempat favorit Dzi menghabiskan waktu saat di Al Fitrah.“Assalamualaikum”Seorang laki-laki menghampiri Dzi yang masih asik menyusun kalimat.“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.,” Dzi menghentikan kegitannya, lalu menoleh ke arah sumber suara.“Mas Sahal?’ “Dik Dzi? Kenapa di sini? Siapa yang sakit?”Dzi tersenyum. Ia sama sekali tidak mengira kalau akan bertemu dengan Sahal. Laki-laki yang menjadi tetangga barunya.“Tidak ada yang sakit, Mas. Saya hanya senang kalau duduk di sini. Itu saja. Mas sendiri mengapa ke sini? Siapa yang sakit?”“Papa.”“O, sakit apa?”&ldqu
Sampai di ruang perawatan, Raharja dipindahkan ke dipan.“Alhamdulillah, akhirnya Papah bisa berbaring.”“Iya, Mah. Setidaknya ini bisa membuat Papah lebih rileks bisa mengendorkan otot-otot Papah yang kencang.”“Mana Saifi ya, Pah? Mamah yakin dia yang sudah berjuang untuk ini.”“Semoga dia segera masuk Mah. Dia anak baik.”“Iya, Pah. Kalau saja Khalid anak nakal itu tidak pergi, dia pasti bisa berkenalan dengan Saifi hari ini. Tapi kebiasaan anakmu selalu pergi tanpa pamit padaku.”“Kamu juga tidak boleh terlalu memaksakan kehendakmu sendiri. Belajarlah untuk menjadi seorang ibu yang lemah lembut.”“Inginnya sih lemah lembut, Pah. Tapi rasanya susahnya luar biasa. Anakmu selalu saja punya alasan untuk membuat Mamah marah.”“Memang mudah untuk marah Ibu. Tapi Allah lebih suka orang yang bijaksana yang mampu mengendaikan emosinya tanpa harus membabi buta”“Saifi? Kamu sudah datang, Nak?”“Iya, Bu. Tadi saya menghubungi bagian terapi dan meminta me
Sepeninggal Dzi, Khalid masuk ke ruangan dan bergabung dengan Nancy dan Raharja yang sudah menyelesaikan terapinya. Raharja nampak berkeringat deras. Ia duduk di kursi dekat dengan Nancy yang kini sedang mengupaskan buah untuknya.“Bagaimana, Pah? Apakah Papah sudah lebih baik sekarang?’ tanya Khalid sambil memandang Fatah dan Widodo yang duduk terpisah.“Seperti yang kamu lihat. Papah sudah bisa berjalan tanpa kursi roda lagi.”“Tapi Papah harus berhati-hati. Jangan terlalu gegabah, Pah. Agar Papah tidak kambuh lagi.”“Papah sudah sehat dan baikan. Kau tidak perlu khawatir. Papah baik-baik saja.”“Khalid heran mengapa Papah sekarang keras kepala sekali. Apakah mereka yang mengajari Papah seperti ini?”“Kau yang keras kepala. Kecil-kecil sudah berani pada Papahmu. Kau kemana saja? Kenapa pergi-pergi terus tanpa pamit? Apakah kau sama sekali tidak ingin mendampingi Papah terapi?” ucap Nancy sambil bersungut-sungut. Ia jengkel memandang anak semata
Khalid masih memikirkan apa yang dikatakan oleh sang Mama mengenai gadis bernama Saifi. Pikirannya kalut. Ia sama sekali tidak bisa berfikir jernih.“Ah, mengapa Mamah selalu saja membuatku gila?” gumam Khalid sambil meremas rambutnya. Kakinya ia langkahkan menjauh dari rumah utama. Entah berapa lama ia sibuk dengan pikiran-pikiran dan bayangannya.“Tuhan. Andai aku boleh memilih antara menuruti keinginan Mamah dan keinginan hatiku, aku ingin menuruti keinginan hatiku karena aku tahu sumber kebahagiaanku. Tapi . . . kalau aku mengingat semua kebaikan Mamah padaku, aku memang berat untuk menolak.”Khalid masih melangkah tanpa tahu kemana kakinya berjalan meninggalkan rumahnya. Hingga dimenit yang entah keberapa, dia mencapai sebuah taman. Matanya ia edarkan, menatap sekeliling dimana disana banyak sekali anak-anak sedang bermain menanti datangnya senja, ah lebih tepatnya menikmati senja bersama kedua orang tua atau entah siapa.
Khalid terpana menyaksikan ketidakpedulian Dzi kepadanya. Gadis itu meninggalkannya begitu saja.“Benar-benar unik. Apakah kau sama sekali tidak ingin mengenal calon suamimu, Sayang?’ gumam Khalid sambil tersenyum. Ia segera menelpon Defandra dan memintanya untuk datang ke tempat rahasia mereka sekarang juga.“Apakah aku bisa menolak, Tuan? Hari ini aku menemukan Dzi sedang di parkiran rumah sehat Alfitrah. Aku ingin sekali mengetahui apakah dia akan tergoda olehku atau tidak.”“Baiklah. Setelah urusanmu selesai kutunggu di tempat biasa.”“Ok”Khalid meninggalkan Alfitrah setelah anak buahnya menjemput dan membawanya ke tempat rahasia, menunggu Defandra menyelesaikan urusannya. Sedangkan Defandra, kini sedang menghadang langkah Dzi di tempat parkir.“Hai” sapanya. Dzi menatap Defandra dengan tatapan tak suka.“Assalamualaikum”“Ok Assalamu
“Selamat pagi, Tuan. Perkenalkan nama saya Sahal.” Kata Khalid sambil menundukkan badannya memberi salam dan hormat kepada kepala kebersihan dan Personalia. Muri, sang kepala personalia yang membawa Khalid menghadap Sutriman kepala divisi kebersihan dan keamanan segera menyerahkan Khalid.“Dia anak buahmu yang baru. Tambahan personil seperti yang kau minta dalam proposal bulan lalu, Pak Triman. Bimbing dia agar bisa bekerja dengan baik.”“Baik Pak. Saya terima dengan baik. Semoga dengan bertambahnya personel, pekerjaan para Office Boy bisa lebih ringan dan kantor menjadi semakin bersih dan terawat.”“Aku pergi dulu.”“Silakan, Tuan.”Sutriman memberi hormat pada Muri yang hendak meninggalkan ruangannya. Setelah Muri pergi, Sutriman memanggil Khalid.“Duduklah di sini anak muda.”“Terima kasi, Pak.”“Siapa namamu?”“Sahal
Pengajian rutin bulanan yang diselenggarakan remaja masjid di bawah pimpinan Wildan kini digelar. Pembawa acara sudah membacakan susunan acara diawali dari pembacaan ayat suci Alquran oleh siswa siswi taman pendidikan Al Quran binaan Wildan.Khalid yang sejak tadi duduk di teras masjid menyimak dengan seksama. Air matanya menggenang, mengenang betapa dirinya selama ini sangat jauh dari kitab suci yang dijadikan sebagai tuntunan bagi umat islam.“Astaghfirullahal adhiim” gumamnya. Ia tatap anak usia dua belas tahun yang kini sedang berada di mimbar, melantunkan ayat-ayat dengan suara merdunya tanpa mushaf sama sekali. Seorang anak duduk di belakangnya, menunggu sang hafid menyelesaikan bacaan, lalu dengan suara merdu ia ucapkan terjemah ayat yang dibaca sang hafid.“Yaa Tuhan, ampunilah aku. Selama ini aku sibuk dengan urusan duniawi tanpa menimba ilmu agama sama sekali. Aku selalu membanggakan harta dan kekayaanku padahal hartaku selalu membawa
Khalid masih terpana menyaksikan mobil yang kini parkir dan berjajar di depan masjid. Ia melihat keluarga yang tadi duduk di ruang VVIP restoran AD datang menemuinya. Wildan dan Khalid saling pandang.“Apakah kau masih ingin menolak permintaan orang tuamu kalau saat ini mereka memintamu menikahi Saifi, khalid?”Wildan menatap Khalid yang kini menegang. Khalid benar-benar tidak habis pikir dengan kegigihan keluarganya memaksa dirinya menikah.“Aku akan tetap menolak, Wildan. Aku sudah mengusulkan kepada MAma agar menungguku menemui Dzi dulu dan mengatakan semua perasaanku. kalau Dia sudah tidak mau denganku, aku baru bisa menerima Saifi. Kalau Dzi belum kutemukan aku merasa sangat tidak nyaman karena aku merasa mengkhianatinya.”Tuan Raharja dan semua yang hadir di sana tersenyum. mereka tahu betapa gigihnya Khalid memperjuangkan cintanya. Tuan Raharja dan Nancy mendekati Khalid lalu mengelus kepala anaknya.“Apakah kau
Setelah puas melampiaskan semua keluh kesahnya di pantai, Khalid segera melangkah meninggalkan pantai. Ia bergegas menuju mobilnya sebelum semua keluarganya tahu kemana ia akan melangkah. Ia benar-benar ingin sembunyi dari mereka yang sama sekali tidak tahu perasaannya.Setelah menghidupkan mobilnya, Khalid bingung menentukan arah. Ia tidak tahu kemana harus bersembunyi dari mamanya yang selalu mendatanginya dan memaksanya untuk menikah. Pikirannya terus dipenuhi oleh wanita yang sejak awal sudah mengganggu pikirannya. Wanita yang disakiti oleh Nancy dan kini entah dimana.Kini, ia mengarahkan mobilnya menuju tempat dimana ia memiliki kenangan indah bersama Dzi di masjid Baiturrahim. Ia ingin melihat kondisi terakhir rumah mereka saat ini. rumah yang ia tinggalkan hampir satu tahun lamanya dan menyimpan kenangan yang indah kini sudah ada di depan mata.“Yaa Tuhan. Rumah itu masih sama seperti kondisi awal aku datang.” gumam Khalid saat melihat rumah
“Assalamualaikum”Semua mata memandang Khalid yang baru saja masuk dengan penampilan acak-acakan. Nancy yang melihat kehadiran anaknya segera berdiri lalu menyambutnya dengan wajah berbinar cerah. Ia ulurkan tangannya dan menggandeng tangan Khalid untuk mengikutinya duduk di antara para orang tua yang hadir di sana.“Akhirnya kau datang, Sayang. Mama khawatir sekali kalau kau sampai tidak datang. Tadi Saifi baru saja duduk di sini. Dia baru saja keluar ke toilet.”Khalid terpana mendengar mamanya menyebut nama Saifi baru keluar dari ruangan menuju toilet. Ia kemudian memandang sekeliling ruangan, menatap satu persatu kerabat yang diundang oleh keluarganya.“Ada apa ini, Mama? Mengapa mereka ikut hadir di sini? Bukankah MAma datang ke apartemen dan meminta Khalid untuk makan bersama di restoran AD?”“Bukan untuk makan bersama, Mama kan bilang kalau Mama ingin melamar Saifi untuk kamu.”&ld
“Apa permintaan Ayah yang harus aku lakukan, Kak? Apakah Ayah memintaku untuk pulang?”Amira menggeleng. ia mencoba menetralisir perasaannya agar ia mampu menyampaikan pesan ayahnya dengan benar tanpa terjadi salah paham dengan adiknya.“Ayah memintamu datang ke restoran.’Dzi terpana mendengar kakaknya menyampaikan berita itu. datang ke restoran ayahnya sama dengan ia harus bertemu dengan orang yang sudah menorehkan luka di hatinya ketika dia masih duduk di bangku SMA. Orang kepercayaan ayahnya yang sudah membuat dia kehilangan harga diri karena dihina olehnya. Laki-laki tampan yang menjadi kebanggaan ayahnya karena memiliki bakat langka. Adrian, executive Chef, yang dimiliki restoran AD, restoran kebanggaan keluarga Dzulfikar. Restoran memiliki menu spesial yang selalu baru setiap harinya selalu menjadi rujukan kolega dan rekan bisnis Tuan Dzulfikar yang berada di dalam maupun luar negeri.Keberadaan Adrian di restoran AD, sama s
“Kakak? Kenapa Kakak bisa ada di sini? Sama siapa? Apakah Kak Wildan juga datang?”Amira mengacak rambut Dzi yang memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Ia ingin mengacaukan perasaan adiknya, namun ia kasihan memandang gadis cantik yang mirip dengan dirinya menerima masalah lebih besar.“Bisa tidak bertanyanya satu-satu?”“Bisa”Amira mencubit pinggang Dzi yang semakin ia anggap kurang ajar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kehadirannya di apartemen Dzi mampu membuat adiknya bahagia seperti saat ini. ia duduk di ranjang yang acak-acakan karena beberapa kain tergeletak di sana. ia ambil pakaian Dzi dan melemparnya ke sudut kamar, membuat pemiliknya melotot tak percaya.“Kenapa dibuang? Aku akan memakainya untuk pergi ke kota.”“O iya? Kemana?’Dzi menggeleng. ia yang awalnya ingin pergi dan kini memilih untuk mengurungkannya segera menggeleng. ia sama sekali tidak ingin
Di rumah sehat Alfitrah, Dzi yang baru datang ke ruangan perawatan Khalid segera memandang Nancy dan Raharja yang duduk lesu di bed pasien.“Tante minta maaf ya, Sayang. Khalid pergi tanpa Tante bisa mencegahnya setelah Tante mengatakan padanya kalau kau mau datang menengoknya.”“Apakah Tante mengatakan kalau Dzi akan datang?”“Tante bilang Saifi akan datang menemuinya, tapi dia memang dasar keras kepala. Ia sama sekali tidak mau mendengar penjelasan Tante. Tante mengundangmu untuk mengobati luka hatinya karena kau pergi dan dia gagal mencarimu, e, dia memang anak yang keras kepala makanya tidak mau tahu. Dia memilih meninggalkan Tante di sini.”Dzi tersenyum. dia sangat paham mengapa Khalid pergi namun ia tidak akan menyalahkan siapapun.“Ini sudah takdir, Tante. Takdir Tuhan yang harus kita terima dengan ikhlas walau kita sebenarnya juga geregetan.”Nancy mengangguk. ia memang geregetan
“Kita akan kemana, Tuan?”Defandra masih belum tahu di mana Khalid memutuskan akan tinggal. Khalid yang masih sakit hati dengan kedua orang tuanya lebih memilih apartemen sebagai tempat untuk perawatannya.“Aparteenku, Ndra.”“Baik, Tuan.”Defandra mengangguk. ia terus fokus pada jalan raya yang ramai karena jam-jam seperti sekarang, semua karyawan sedang berangkat ke tempat mereka berangkat ke kantor. Khalid yang masih merasa sangat mengantuk segera menyandarkan kepalanya di sandaran jok penumpang dan memejamkan matanya.Ia menerawang jauh membayangkan pertemuan pertamanya dengan Dzi, gadis yang kini hilang entah kemana dan terus membayang-bayangi kehidupannya. Ia menggeleng, membayangkan tentang kegagalan anak buahnya dalam melakukan pencarian. Beberapa bulan dari hilangnya Dzi, anak buahnya belum melaporkan keberadaan gadis yang dicintainya. Ia merasa bahwa ada yang aneh dengan gadisnya.&ld
Di ruang perawatan Khalid di pagi yang sama, Nancy masih kesal. Pasalnya beberapa menit lalu ia mengunjungi dokter Willy di ruangannya, namun ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban atas keberadaan Dzi. Willy belum mau membuka suaranya. Ia hanya mengatakan agar bersabar sebentar karena Saifi sedang dalam urusan yang tidak bisa diganggu siapapun.Willy tidak mengatakan kalau Dzi sudah datang ke Alfitrah dan menemuinya. Ia sengaja membiarkan Dzi untuk menyiapkan dirinya dengan mandi dan sarapan. Willy melihat tubuh Dzi semakin kurus karena memikirkan masalah percintaannya dengan Khalid. ia tidak rela ketika Dzi sedang makan dan istirahat, ada orang lain mengusik bosnya.“Kau kenapa, Mama? Sejak tadi bukannya duduk malah mondar mandir kesana kemari. Apakah kau sedang menahan hasrat ingin kencing?”Nancy melototkan matanya. Ia benar-benar ingin mencakar wajah suaminya yang tidak pernah tahu kalau dia sedang berakting. Ia selalu bersikap serius men
Dzi segera mengecek panggilan masuk. Lima kali Willy memanggilnya dengan panggilan video dan lima kali dengan panggilan suara. Dzi segera mengusap wajahnya. ia menelpon balik nomor Willy namun panggilannya ditolak. Ia segera menelpon Andini, namun beberapa kali panggilannya tidak terhubung. Dzi nampak sangat khawatir. Ia segera memandang ayah dan kakaknya.“Kelihatannya ada yang genting di Alfitrah, Ayah. Dzi harus segera pergi sekarang.”Tuan Dzulfikar, Wildan dan Amira mengangguk. mereka tidak dapat menahan Dzi sama sekali. Meski hanya untuk memberi pesan kepadanya agar hati-hati di jalan. Dzi segera berlari ke kamarnya dan mengganti pakaiannya tanpa membersihkan badannya terlebih dulu. Ia berniat mandi di apartemennya di Alfitrah. ia segera keluar rumah dengan Expander miliknya.Setengah jam kemudian, mobil warna hitam sudah berhasil parkir di tempat parkir khusus Direktur Utama rumah Sehat AlFitrah. ia segera berlari ke ruang dokter Willy dengan