“Halo !”
“Taman Kota Jalan Sudirman sekarang!”“Baik”TuuutKhalid memutuskan panggilan sepihak. Sang asisten yang sudah biasa menerima perlakuan seperti itu darinya segera memasukkan ponsel ke saku dan mulai menghidupkan mobil kemudian menuju tempat yang ditentukan.Di taman kota, Wildan hanya bisa menggelengkan kepalanya, heran dengan sikap laki-laki di hadapannya. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan sikap arogan sang pemuda.Khalid memandang Wildan yang masih tersenyum-senyum sambil geleng-geleng kepala.“Kenapa senyum-senyum lagi?”“Tidak apa-apa. Aneh saja ada orang kok arogan sepertimu.”“Biasa aja. Aku bukan orang baik sepertimu.”“Sama saja,orang baik dan orang jahat juga senang kalau diperlakukan dengan baik dan manusiawi. Kalau tidak manusiawi pasti tidak enak.”“Brisik sekali kau ini. Ah, aku rasanya ingin meninggalkanmu saja kalau saja aku tidak sedang butuh bantuanmu.”“Ha ha ha, kau butuh bantuan apa dariku?”“Carikan aku rumah kontrakan!”“Rumah kontrakan? Kau sedang mencari kontrakan?”“Ya”“Memangnya kau mampu bayar berapa kalau aku berikan rumah kontrakanku sebagian padamu?”“Kau punya kontrakan?”“Jelek-jelek begini aku punya kontrakan, Bro. Aku ngontrak satu rumah,tetapi terlalu besar, maka tidak ada salahnya kalau kita berbagi kan?”“Berapa aku harus membayar?”“Ah, kau boleh bayar setelah kau dapat pekerjaan.”“Ya ,tapi aku kan harus tahu dulu berapa yang harus kubayar? Agar aku bisa menyiapkan uangnya jauh-jauh hari. Kalau kau tidak bilang sekarang ,aku takut kau akan menaikkan biaya kontrakannya.”“Ah, kau ini,kau belum tahu saja kalau aku orang baik ya?”“Tetap saja aku harus waspada, kita teman baru. Belum saling mengenal satu dengan yang lain.”“Oke, baiklah. Aku mengontrak rumah itu satu tahunnya sepuluh juta. Sudah kubayar setengah tahun. Kau bisa bayar separuhnya,dua setengah juta, bagaimana? Deal?”Khalid pura-pura berpikir.“Baiklah, deal” Khalid mengulurkan tangan dan Wildan menerima uluran tangannya erat.“Deal! Thanks, aku jadi bisa menambah modal dagangku.”“Tapi ,belum sekarang aku bisa membayarmu.”“Santai, aku kan sudah bilang kalau kau bisa membayarnya setelah dapat pekerjaan.”“Thanks, Bro. Kau memang manusia baik. Meski baru kenal, aku harus percaya bahwa kau bisa dipercaya.”“Kau akan ikut aku sekarang?”“Ke mana?”“Ya elah, ke mana lagi kalau bukan ke kontrakan?’“Kau tidak melanjutkan berdagangmu? Kelihatannya masih banyak daganganmu.”“Yah, biarlah, nanti bisa dibagi sama tetangga. Mereka selalu menungguku pulang berjualan. Menanti pembagian dagangan yang tidak habis terjual.”“Kau tidak rugi kalau begitu?’“Tidak. Membuat orang senang adalah pahala dan selain itu sangat menyenangkan.”“Kenapa bukan makanan yang belum kau jual? Kenapa harus sisa?”“Kau ini bagaimana? Kalau kuberi barang yang belum kujual, mereka mana mau. Mereka pasti akan membayar padaku. Kalau makanan yang kuberikan setelah aku jualan, mereka akan bahagia dan mengira kalau makananku makanan tak laku.”“Hah!”“Kenapa?”“Masih ada orang begitu ya?”“Tentu saja masih. Kau jangan kaget kalau menghadapi mereka nanti ,ya. Kadang kita tidak habis pikir dengan pola pikir orang-orang kecil.”“Baiklah, aku ikut denganmu.”“Yakin dengan keputusanmu?”“Sangat yakin, tapi aku menunggu temanku dulu di sini,ya?”Belum sempat Wildan menjawab, sebuah mobil sport berhenti tepat di hadapan mereka. Seorang pemuda tampan turun dan melangkah menghampiri Wildan dan Khalid.“Maaf, Tu. . . .”“Tuan sudah datang?” Khalid memotong kalimat Defandra dan berpura-pura menundukkan kepalanya memberi hormat pada Defandra.“Tu. . . ““Apakah Tuan akan memberikan gaji saya saat ini? Saya mohon maaf, Tuan, tidak bisa maksimal dalam melakukan pekerjaan bulan ini. Saya akan meninggalkan kantor dengan baik-baik.” Defandra menggaruk kepalanya, bingung dengan sikap bosnya mala mini.“Maksudmu apa? Bosmu datang dan mengantarkan gajimu? Kau keluar dari pekerjaanmu? Kenapa? Apa hanya gara-gara kau dipaksa menikah terus kau keluar kerja? Kau ini baper banget. Bagaimana kalau kau kelaparan setelah menganggur?”Defandra memandang Khalid, meminta penjelasan. Namun Khalid mengerlingkan matanya agar dia tak merespon ucapan Wildan secara berlebihan.“Tuan, aku janji akan membimbing Sahal dalam menjalani kehidupannya. Kalaupun dia sudah meninggalkan pekerjaannya, saya janji akan mendampingi kemanapun dia pergi. Insya Allah saya amanah.”“Aku tidak butuh janji dari orang baru sepertimu,” ucap Defandra dingin. Khalid mengacungkan kedua jempolnya di belakang punggungnya. Defandra nampak salah tingkah dengan situasi yang ia hadapi saat ini.“Di mana kau tinggal sekarang?”“A . . . anu Tuan.” Khalid memandang Wildan mencoba memintanya menjawab. Pertanyaan Defandra. Wildan mengangguk. Dengan tenang ia memandang Defandra dengan tatapan teduhnya. Defandra yang mendapat perlakuan aneh dari orang kecil seperti Wildan hanya memicingkan matanya.“Dia akan tinggal bersamaku, Tuan.”“Kau berani menjamin keselamatannya?”“Ah, Tuan ini jangan bercanda. Hanya Allah yang mampu memberikan perlindungan terbaik. Aku tidak berani berjanji kalau aku bisa menjamin keselamatannya karena keselamatan saya sendiri juga tidak bisa saya jamin.”“Lalu mengapa kau mau mengijinkannya tinggal di rumahmu?”“Sebagai seorang manusia yang baik, saya harus memberi pertolongan kepada orang yang sedang dalam kesulitan.“Tapi kau harus berani menjamin keselamatan orang yang kau tolong. Jangan asal memberi pertolongan tanpa mempertimbangkan kemampuanmu.”“Kau menganggap Sahal sebagai seorang anak raja sehingga kau merasa perlu memastikan keselamatannya? Kalau kau menganggap seperti itu seharusnya kau tidak mengeluarkannya dari pekerjaan tempat dia mencari nafkah. Kau harus mempertimbangkan berapa orang dibelakangnya yang menanti uang hasil kerja sebagai sumber kehidupan. Jangan asal pecat saja.”“Ha ha ha, kau ini ironis sekali. Aku bisa melakukan apapun yang aku kehendaki. Kenapa aku harus mendengar kalimatmu? Kau bukan siapa-siapaku.”“Sombong sekali kau ini! Mengapa tidak sama sekali memikirkan nasib anak buahmu?”“Aku memikirkannya!Buktinya, aku menemuinya saat ini. Kalau kau sama sekali tidak menganggap kegiatanku ini sebagai bukan kepedulian, terserah. Aku tidak peduli sama sekali.”“Baiklah,aku terima kehadiranmu. Inisiatifmu dalam memberikan gajinya Sahal aku hargai.’Wildan menatap Khalid yang kini menunduk di hadapannya,“Aku harus maklum pada sikapmu. Kau orang besar,orang kaya yang memiliki segalanya. Tapi di mata Allah, harta bukanlah tolok ukur tinggi rendahnya seseorang. Allah meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat dari mereka yang tidak berilmu. Hanya takwa yang membuat manusia unggul di hadapan Allah. Tapi aku rasa,tidak akan ada gunanya untukku membeberkan apapun. Ah sudahlah! Silakan tinggalkan tempat ini karena aku akan membawa Sahal.’“Kau mengusirku?”“Kalau kau menganggap seperti itu, ok baiklah. Aku mengusirmu.”“Sahal”“I - iya, Tuan.”“Lancang sekali dia,mengapa kau mau berteman dengannya?”“Sa-saya sudah cocok.”“Cocok?”“Ah , itu … Anu tuan ….”“Baik, pergilah dariku sekarang! Jagan sampai kita punya memiliki masalah yang sama karena aku sama sekali tidak akan mengampunimu.”“Iya, Tuan. Baik.”“Ini gajimu.”Defandra melemparkan sebuah amplop sedikit tebal pada Khalid. Khalid menerimanya, dengan kedua tangannya namun Wildan lebih dulu menangkapnya.“Kenapa kau tidak sopan sekali! Caramu memberikan kepada orang lain melebihi memberikan pada pengemis.”Khalid memberi isyarat agar asistennya itu cepat pergi,Defandra pun segera membalikkan tubuh dan meninggalkan Wildan bersama Khalid ,namun Wildan melemparkan amplop coklat ke punggungnya.“Ambil itu! Bawa kembali uangmu atau kau berikan dengan sopan pada Sahal!”Defandra meninggalkan mereka begitu saja, tanpa melakukan apapun, ia pun segera masuk ke dalam mobil.Wildan mengambil amplop coklat yang kini tergelatak di trotoar dan menyerahkannya pada Khalid. Khalid memandang Wildan lalu menunduk.“Ambillah, ini hakmu. Walau cara memberikannya tidak membuatku senang, tapi ini hakmu.”Khalid mengangguk.“Terima kasih. Kau baik sekali padaku.”“Lupakan! Ayo kita pulang! Bantu aku membagikan makanan pada tetangga.”“Baik.”Wildan mendorong gerobaknya diikuti Khalid yang menaiki motor maticnya.Lima belas menit kemudian, mereka sampai di sebuah kawasan perumahan,sebelah selatan taman kota.“Nah,ini rumah kontrakanku. Sengaja mencari di sini agar aku bisa fokus pada kegiatan ibadahku. Paling tidak, ketika kita hidup dekat dengan masjid, kita bisa selalu mendapatkan peringatan untuk shalat. Kau seorang muslim?”Khalid mengangguk.“Bagus! Kau akan menjadi mitraku saat shalat subuh di masjid itu.” Khalid mengikuti arah telunjuk Wildan. Memandang masjid dengan desain sederhana di hadapannya.Penyesuaian“Assalamu’alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahiss sholihiin”Wildan membuka pintu rumah kontrakan. Khalid yang mendengar salam dari Wildan bingung. Ia ingin menjawab namun ia bingung bagaimana caranya. Ia memandang sekeliling rumah yang sepi tanpa penghuni lain. Ia bertanya dalam hati siapa yang diberi salam oleh Wildan. Ia ingin bertanya siapa yang tinggal bersama Wildan sehingga Wildan perlu mengucap salam saat masuk rumah.,”Siapa yang di dalam?“Kenapa?”Wildan memandang Khalid yang masih menoleh ke sana kemari mencari orang di dalam rumah. Wildan menyalakan lampu ruang tamu lalu menyuruh Khalid duduk. Ia meletakkan topi di atas bufet di sudut ruangan lalu duduk di kursi di depan Khalid.“Meskipun tidak ada orang, aku yakin di rumah ini ada penghuni lain. Aku mendoakan diriku juga, sebagai penghuni rumah ini. Seperti itulah seharusnya kita saat memasuki
Kumandang azan telah berlalu beberapa menit yang lalu. Para jamaah sudah hadir, bahkan sudah siap memenuhi barisan shaf. Berkali-kali Wildan mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk masjid dan halaman, menanti seorang yang ia harapkan bisa berubah menjadi lebih baik dengan mau datang memenuhi lubang shaf pertama yang masih tersisa satu orang.“Ya Tuhan, kalau memang Engkau menyayanginya, engkau akan menggerakkan hati teman baruku dan mengajaknya untuk hadir di majelismu kali ini. Bukan pergi meninggalkan kontrakan dan berkumpul dengan teman-temannya yang entah seperti apa.” Gumam Wildan.Tek tekSuara kentongan dibunyikan dua kali pertanda sang kiai datang dan siap memimpin shalat. Wildan segera berdiri. Dengan gontai ia melangkah mendekati tempat dimana pengeras suara berada dan melakukan iqamat.Semua jamaah bersiap merapatkan barisan. Sesekali Wildan menoleh ke pintu berharap Khalid hadir. Namun ia harus kecewa karena yang datang bukan ora
Selepas Isya, Wildan duduk di kursi ruang tamu, menghitung perolehan hasil berdagangnya hari ini. Khalid yang baru saja keluar kamar segera bergabung, memandang Wildan yang masih serius mengumpulkan uang receh dan uang kertas sesuai nominal. Khalid menatap Wildan sedih. Ia sama sekali tidak pernah berpikir kalau di dunia ini masih ada orang yang mengelola uang receh. Kalau ia ingat kehidupannya yang serba ada, ia menjadi malu. Ia bahkan jarang menghitung berapa uang yang sering ia hamburkan untuk berfoya-foya. Membeli barang-barang yang tidak ia butuhkan, mentraktir makan teman-teman dan entah apalagi kegiatannya dengan uangnya. “Berapa biasanya kau dapatkan sehari dari berjualan?’ tanya Khalid sambil duduk di hadapan Wildan.“Tidak pasti. Kadang dua ratus, kadang lebih, kadang kurang.”“Dua ratus ribu?”“Ya.”“Sehari?
Khalid masih duduk di kursinya, mencoba membuka email dari ponselnya. Ia sengaja tidak membawa laptopnya demi menghindari kecurigaan Wildan tentangnya. Khalid benar-benar menikmati hidup sebagai manusia biasa bersama dengan orang biasa. Ia sama sekali tak menunjukkan pada siapapun tentang siapa jati dirinya yang sebenarnya.“Tuan tidak ke kantor lagi hari ini?”Pesan dari Defandra. Khalid menggeleng. Walau ia tahu Defandra tidak bisa melihatnya, ia tetap saja mengetikkan jawaban sambil menggeleng.“Tidak. Kau handle dulu semuanya. Aku sudah menikmati hidupku di sini. Laki-laki itu benar-benar baik. Dia sama sekali tidak membuatku kerepotan untuk menjelaskan siapa aku yang sebenarnya.”Defandra mendesah. Ia sedih dengan nasib dirinya yang menjadi bujang lapuk karena terlalu patuh pada Khalid. Bos yang keras kepala dan semau sendiri.“Tapi tadi Nyonya besar ke kantor, Tuan.”“Ada apa?”
“Mas Arka?”“Iya, Mbak. Assalamualaikum”“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabar Mas? Lama tidak bertemu.”“Alhamdulillah saya baik, Dik. Dik Dzi apa kabar?’“Alhamdulillah saya juga baik, Mas. Kapan pulang?”“Ah, diumah sendiri masa ditanya kapan pulang?”“E maksudku, Mas Arka kapan datang?”“Baru saja.”“Yaa Allah, susah ya bicara sama orang hebat. Bahasa apapun jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.” Dzi menunduk. Ia mulai kebingungan mendengar jawaban Arka yang benar-benar membingungkan. Salim yang memandang Dzi frustasi hanya menggelengkan kepala sambil memukul lengan Arka.“Jangan membuat Mbak Dzi salah tingkah begitu. Kasihan dia.”“Ha ha ha, maaf. Bukan maksud Mas menggoda. Mas pulang kemarin.” Dzi mengangguk. Ia sudah tidak berniat melanjut
“Aku tadi yang memesan lewat wa, Mas.” Kata sang gadis sambil memandang dua orang temannya yang kini sudah mengambil tempat duduk.“Kau tidak bekerja, Nda?” tanya Wildan sambil menyiapkan hidangan.“Ini dalam rangka sedang istirahat, Mas. Kalau tidak bekerja terus aku mau makan apa? Aku tidak bisa diam saja sambil mengharap pemberian orang tua. Kalau Mas Wildan enak bisa jualan. Setidaknya bisa setiap hari dapat duit.”“Kau juga bisa kalau mau.”“Belum ada modalnya, Mas.”“Kalau modal mah bukan yang utama, Nda. Asalkan kau punya tekad yang kuat, modal lima ratus pasti bisa.”Nah itu dia. Lima ratus itu duit darimana coba, Mas. Aku saja kerja hanya dapat tiga sampai empat juta sebulan. Buat makan harian, aku harus menghabiskan seratus ribu sehari. Coba tinggal berapa uangku, Mas”Wildan menggaruk kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan pola pikir Nand
“Nandaaaa, “ seru Bekti sambil mencubit pinggang Nanda. Sontak saja Nanda menjerit.“Apaan ih cubit-cubit. Sakit tau?” bentak Nanda. Ia mengusap bekas cubitan Bekti sambil meringis menahan sakit.“I . . .itu pangeran tampan sekali” seru Winda dan Bekti bersama-sama. Wildan dan Nanda yang mendengar penuturan kedua gadis di hadapannya segera menolehkan kepalanya memandang pria tampan yang baru datang.“Ih apaan sih kalian. Norak banget ah.”“Biarin norak asal tuh pangeran jatuh cinta ke aku, Ndaa. Ck ck ck, cakep banget.”“Selamat siang”“Eh si . . .siang, Tuan.” Sahut Nanda mendahului teman-temannya.“Aku mencari Sahal.’Nanda dan kedua sahabatnya saling pandang. Sedang Wildan yang sudah mengetahui siapa laki-laki di hadapannya hanya diam.“Sahal? Siapa dia?”“Aku tidak tahu dia kemana.”De
Di sebuah gasebo dekat dengan sebuah rumah sehat Al Fitrah, seorang gadis sedang menghadap laptopnya, menyiapkan beberapa proposal pengajian remaja dan bakti sosial. Gasebo indah yang menjadi tempat favorit Dzi menghabiskan waktu saat di Al Fitrah.“Assalamualaikum”Seorang laki-laki menghampiri Dzi yang masih asik menyusun kalimat.“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.,” Dzi menghentikan kegitannya, lalu menoleh ke arah sumber suara.“Mas Sahal?’ “Dik Dzi? Kenapa di sini? Siapa yang sakit?”Dzi tersenyum. Ia sama sekali tidak mengira kalau akan bertemu dengan Sahal. Laki-laki yang menjadi tetangga barunya.“Tidak ada yang sakit, Mas. Saya hanya senang kalau duduk di sini. Itu saja. Mas sendiri mengapa ke sini? Siapa yang sakit?”“Papa.”“O, sakit apa?”&ldqu
Khalid masih terpana menyaksikan mobil yang kini parkir dan berjajar di depan masjid. Ia melihat keluarga yang tadi duduk di ruang VVIP restoran AD datang menemuinya. Wildan dan Khalid saling pandang.“Apakah kau masih ingin menolak permintaan orang tuamu kalau saat ini mereka memintamu menikahi Saifi, khalid?”Wildan menatap Khalid yang kini menegang. Khalid benar-benar tidak habis pikir dengan kegigihan keluarganya memaksa dirinya menikah.“Aku akan tetap menolak, Wildan. Aku sudah mengusulkan kepada MAma agar menungguku menemui Dzi dulu dan mengatakan semua perasaanku. kalau Dia sudah tidak mau denganku, aku baru bisa menerima Saifi. Kalau Dzi belum kutemukan aku merasa sangat tidak nyaman karena aku merasa mengkhianatinya.”Tuan Raharja dan semua yang hadir di sana tersenyum. mereka tahu betapa gigihnya Khalid memperjuangkan cintanya. Tuan Raharja dan Nancy mendekati Khalid lalu mengelus kepala anaknya.“Apakah kau
Setelah puas melampiaskan semua keluh kesahnya di pantai, Khalid segera melangkah meninggalkan pantai. Ia bergegas menuju mobilnya sebelum semua keluarganya tahu kemana ia akan melangkah. Ia benar-benar ingin sembunyi dari mereka yang sama sekali tidak tahu perasaannya.Setelah menghidupkan mobilnya, Khalid bingung menentukan arah. Ia tidak tahu kemana harus bersembunyi dari mamanya yang selalu mendatanginya dan memaksanya untuk menikah. Pikirannya terus dipenuhi oleh wanita yang sejak awal sudah mengganggu pikirannya. Wanita yang disakiti oleh Nancy dan kini entah dimana.Kini, ia mengarahkan mobilnya menuju tempat dimana ia memiliki kenangan indah bersama Dzi di masjid Baiturrahim. Ia ingin melihat kondisi terakhir rumah mereka saat ini. rumah yang ia tinggalkan hampir satu tahun lamanya dan menyimpan kenangan yang indah kini sudah ada di depan mata.“Yaa Tuhan. Rumah itu masih sama seperti kondisi awal aku datang.” gumam Khalid saat melihat rumah
“Assalamualaikum”Semua mata memandang Khalid yang baru saja masuk dengan penampilan acak-acakan. Nancy yang melihat kehadiran anaknya segera berdiri lalu menyambutnya dengan wajah berbinar cerah. Ia ulurkan tangannya dan menggandeng tangan Khalid untuk mengikutinya duduk di antara para orang tua yang hadir di sana.“Akhirnya kau datang, Sayang. Mama khawatir sekali kalau kau sampai tidak datang. Tadi Saifi baru saja duduk di sini. Dia baru saja keluar ke toilet.”Khalid terpana mendengar mamanya menyebut nama Saifi baru keluar dari ruangan menuju toilet. Ia kemudian memandang sekeliling ruangan, menatap satu persatu kerabat yang diundang oleh keluarganya.“Ada apa ini, Mama? Mengapa mereka ikut hadir di sini? Bukankah MAma datang ke apartemen dan meminta Khalid untuk makan bersama di restoran AD?”“Bukan untuk makan bersama, Mama kan bilang kalau Mama ingin melamar Saifi untuk kamu.”&ld
“Apa permintaan Ayah yang harus aku lakukan, Kak? Apakah Ayah memintaku untuk pulang?”Amira menggeleng. ia mencoba menetralisir perasaannya agar ia mampu menyampaikan pesan ayahnya dengan benar tanpa terjadi salah paham dengan adiknya.“Ayah memintamu datang ke restoran.’Dzi terpana mendengar kakaknya menyampaikan berita itu. datang ke restoran ayahnya sama dengan ia harus bertemu dengan orang yang sudah menorehkan luka di hatinya ketika dia masih duduk di bangku SMA. Orang kepercayaan ayahnya yang sudah membuat dia kehilangan harga diri karena dihina olehnya. Laki-laki tampan yang menjadi kebanggaan ayahnya karena memiliki bakat langka. Adrian, executive Chef, yang dimiliki restoran AD, restoran kebanggaan keluarga Dzulfikar. Restoran memiliki menu spesial yang selalu baru setiap harinya selalu menjadi rujukan kolega dan rekan bisnis Tuan Dzulfikar yang berada di dalam maupun luar negeri.Keberadaan Adrian di restoran AD, sama s
“Kakak? Kenapa Kakak bisa ada di sini? Sama siapa? Apakah Kak Wildan juga datang?”Amira mengacak rambut Dzi yang memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Ia ingin mengacaukan perasaan adiknya, namun ia kasihan memandang gadis cantik yang mirip dengan dirinya menerima masalah lebih besar.“Bisa tidak bertanyanya satu-satu?”“Bisa”Amira mencubit pinggang Dzi yang semakin ia anggap kurang ajar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kehadirannya di apartemen Dzi mampu membuat adiknya bahagia seperti saat ini. ia duduk di ranjang yang acak-acakan karena beberapa kain tergeletak di sana. ia ambil pakaian Dzi dan melemparnya ke sudut kamar, membuat pemiliknya melotot tak percaya.“Kenapa dibuang? Aku akan memakainya untuk pergi ke kota.”“O iya? Kemana?’Dzi menggeleng. ia yang awalnya ingin pergi dan kini memilih untuk mengurungkannya segera menggeleng. ia sama sekali tidak ingin
Di rumah sehat Alfitrah, Dzi yang baru datang ke ruangan perawatan Khalid segera memandang Nancy dan Raharja yang duduk lesu di bed pasien.“Tante minta maaf ya, Sayang. Khalid pergi tanpa Tante bisa mencegahnya setelah Tante mengatakan padanya kalau kau mau datang menengoknya.”“Apakah Tante mengatakan kalau Dzi akan datang?”“Tante bilang Saifi akan datang menemuinya, tapi dia memang dasar keras kepala. Ia sama sekali tidak mau mendengar penjelasan Tante. Tante mengundangmu untuk mengobati luka hatinya karena kau pergi dan dia gagal mencarimu, e, dia memang anak yang keras kepala makanya tidak mau tahu. Dia memilih meninggalkan Tante di sini.”Dzi tersenyum. dia sangat paham mengapa Khalid pergi namun ia tidak akan menyalahkan siapapun.“Ini sudah takdir, Tante. Takdir Tuhan yang harus kita terima dengan ikhlas walau kita sebenarnya juga geregetan.”Nancy mengangguk. ia memang geregetan
“Kita akan kemana, Tuan?”Defandra masih belum tahu di mana Khalid memutuskan akan tinggal. Khalid yang masih sakit hati dengan kedua orang tuanya lebih memilih apartemen sebagai tempat untuk perawatannya.“Aparteenku, Ndra.”“Baik, Tuan.”Defandra mengangguk. ia terus fokus pada jalan raya yang ramai karena jam-jam seperti sekarang, semua karyawan sedang berangkat ke tempat mereka berangkat ke kantor. Khalid yang masih merasa sangat mengantuk segera menyandarkan kepalanya di sandaran jok penumpang dan memejamkan matanya.Ia menerawang jauh membayangkan pertemuan pertamanya dengan Dzi, gadis yang kini hilang entah kemana dan terus membayang-bayangi kehidupannya. Ia menggeleng, membayangkan tentang kegagalan anak buahnya dalam melakukan pencarian. Beberapa bulan dari hilangnya Dzi, anak buahnya belum melaporkan keberadaan gadis yang dicintainya. Ia merasa bahwa ada yang aneh dengan gadisnya.&ld
Di ruang perawatan Khalid di pagi yang sama, Nancy masih kesal. Pasalnya beberapa menit lalu ia mengunjungi dokter Willy di ruangannya, namun ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban atas keberadaan Dzi. Willy belum mau membuka suaranya. Ia hanya mengatakan agar bersabar sebentar karena Saifi sedang dalam urusan yang tidak bisa diganggu siapapun.Willy tidak mengatakan kalau Dzi sudah datang ke Alfitrah dan menemuinya. Ia sengaja membiarkan Dzi untuk menyiapkan dirinya dengan mandi dan sarapan. Willy melihat tubuh Dzi semakin kurus karena memikirkan masalah percintaannya dengan Khalid. ia tidak rela ketika Dzi sedang makan dan istirahat, ada orang lain mengusik bosnya.“Kau kenapa, Mama? Sejak tadi bukannya duduk malah mondar mandir kesana kemari. Apakah kau sedang menahan hasrat ingin kencing?”Nancy melototkan matanya. Ia benar-benar ingin mencakar wajah suaminya yang tidak pernah tahu kalau dia sedang berakting. Ia selalu bersikap serius men
Dzi segera mengecek panggilan masuk. Lima kali Willy memanggilnya dengan panggilan video dan lima kali dengan panggilan suara. Dzi segera mengusap wajahnya. ia menelpon balik nomor Willy namun panggilannya ditolak. Ia segera menelpon Andini, namun beberapa kali panggilannya tidak terhubung. Dzi nampak sangat khawatir. Ia segera memandang ayah dan kakaknya.“Kelihatannya ada yang genting di Alfitrah, Ayah. Dzi harus segera pergi sekarang.”Tuan Dzulfikar, Wildan dan Amira mengangguk. mereka tidak dapat menahan Dzi sama sekali. Meski hanya untuk memberi pesan kepadanya agar hati-hati di jalan. Dzi segera berlari ke kamarnya dan mengganti pakaiannya tanpa membersihkan badannya terlebih dulu. Ia berniat mandi di apartemennya di Alfitrah. ia segera keluar rumah dengan Expander miliknya.Setengah jam kemudian, mobil warna hitam sudah berhasil parkir di tempat parkir khusus Direktur Utama rumah Sehat AlFitrah. ia segera berlari ke ruang dokter Willy dengan