Barra kembali ke rumah pada malam hari tanpa Sheila, hari ini Sheila harus menginap di rumah sakit karena ada beberapa hal tentang Dhafin yang harus Sheila urus. Dalam keadaan sempoyongan Barra masuk ke dalam rumah, sejak meminum obat dari Sheila Barra merasakan sensasi aneh di kepalanya. Barra tidak bisa berpikir dengan jernih, juga ia seperti merasa linglung setiap kali ingin mencoba fokus.Sarah yang melihat Barra termenung di ambang pintu berjalan menghampirinya, beberapa hari tidak bersamanya entah mengapa Sarah melihat kharisma Barra agak meredup. Auranya tidak secerah dulu, bahkan Barra nampak terlihat agak kurus dan lelah juga terlihat tidak terawat dengan brewok yang mulai terlihat berantakan."Barra," panggil Sarah.Barra menoleh pada wanita cantik di hadapannya, dalam sekali pandang Barra dapat merasakan sesuatu yang begitu menyayat hatinya. Barra menyentuh sisi kiri pipi Sarah, merasakan pipi lembut meronanya yang seperti buah peach. 'Apa aku benar-benar membencinya? meng
"Kamu harus membantuku Nathaniel, aku tidak punya uang lagi untuk menjalankan rencanaku. Percaya padaku, aku akan melunasi semua hutangku jika aku berhasil mendapatkan Amethyst." bujuk Sheila pada pria di hadapannya. "Sheila, bukankah kejadian Dhafin sudah cukup untuk menyadarkanmu juga rencanamu yang gagal ini. Sadarlah Sheila, semua rencanamu tidak ada yang berhasil dan malah membuatmu semakin hancur." "Tapi Nathan, kali ini aku pasti akan berhasil. Aku janji, tolong percaya padaku Nathan." pinta Sheila memohon, tatapannya begitu putus asa.Nathaniel menghela nafas panjang, Sheila begitu keras kepala memperjuangkan Barra yang jelas-jelas tidak menginginkannya padahal ada dirinya disini yang selama ini menginginkannya. Bertahun-tahun Nathaniel memendam rasa untuk Sheila, bahkan ketika Sheila di buang oleh semua orang Nathaniel lah yang ada untuknya. Bertahun-tahun menepis rasa ini, tetap saja posisi Sheila tidak bisa digantikan oleh wanita manapun. Entah apa yang membuat Sheila beg
Sheila mengamuk di dalam pantry seperti wanita yang tidak waras, ia terus menyalahkan Sarah atas penghinaan yang ia terima dari Luna. Jika bukan karena Sarah yang menghancurkan moodnya, ia tidak akan mungkin menggerutu di depan Luna dan dihina seperti itu. Sheila mengambil ponselnya dan mencoba mengubungi Barra, namun sayang panggilannya tidak kunjung dijawab oleh Barra. "Awas kamu Sarah, akan kubuat kamu kembali ke tempat asalmu dan membuatmu menjadi bahan tertawaan orang-orang!" ujar Sheila. ********Barra terbangun di siang hari saat netranya terpapar sinar mentari yang mulai menyeruak masuk ke ruang kerjanya, matanya mengerjap dan mencoba melihat waktu yang tertera di jam dinding ruangannya. Barra teramat terkejut saat mengetahui kalau waktu sekarang sudah hampir menjelang makan siang, ia bangkit dari sofa ruang kerjanya dan segera bergegas ke kantor tanpa mengisi perutnya terlebih dahulu.Tidak hanya kesiangan, ia bahkan juga mungkin akan terlambat menghadiri rapat penting yang
Julian memasuki coffeshop dengan sebuah buket bunga besar di tangannya untuk Sarah, begitu mendapatkan kabar kalau Sarah berhasil mendapatkan kontrak kerjasama tersebut Julian segera bergegas pergi untuk memberikan selamat secara langsung. "Congrats Sarah! you're great!" ucapnya seraya menyerahkan buket bunga di tangannya. "Thanks, Julian. Semua juga berkat kamu yang memberitahukan aku taktik agar bisa mendapatkan kontrak ini," "No, Sarah. Ini semua murni hasil kerja kerasmu, aku hanya memberikan sedikit teori dan kamu yang berjuang." "Baiklah, silahkan diminum. Aku sudah memesan kopi kesukaanmu, maaf jika aku lebih memilih bertemu di luar karena-" "It's okay Sarah, di kantor atau disinipun tidak masalah." sela Julian. Sarah mengangguk pelan, ia kembali menatap kertas kontrak yang pertama kali ia tanda tangani dengan rasa bangga. "Sarah," panggil Julian. "Ya Julian?" "May I know the problem that happened between you and Barra?" tanya Julian hati-hati. Sarah menunduk seraya m
Demi mendapatkan ketenangan, Sarah membooking bagian balkon restoran khusus untuknya seorang diri. Dari lantai tiga ini, Sarah bisa melihat seluruh pemandangan kota juga langit malam yang cukup cerah dengan bulan sabit bersinar terang. Sarah memesan cukup banyak menu, tapi mirisnya ia hanya seorang diri disini. Sarah melihat kearah bagian dalam restoran yang dipenuhi oleh orang-orang, entah yang bersama keluarganya, rekan kerja atau pasangan mereka. Selintas Sarah menyesali keputusannya karena sudah menyewa balkon ini untuk dirinya sendiri, jika saja ia memilih kursi di dalam sana sudah pasti ia tidak akan kesepian seperti ini. Sarah membuka ponselnya karena sebuah alarm pengingat terus berbunyi dan membuatnya terganggu, namun yang terjadi selanjutnya adalah air mata Sarah mengalir deras kala melihat catatan yang tertera di alarm tersebut. 'Happy b'day Ma Bestie, Helena!' Sarah menggenggam erat ponselnya, mengigit bibirnya sekuat mungkin untuk menahan sakit di dadanya. Seandainy
Sarah memberhentikan mobilnya di sebuah hotel bintang lima yang cukup terkenal di kota ini, namun sebelum masuk ke hotel Sarah lebih dulu pergi ke toko pakaian untuk membeli beberapa setel pakaian karena ia tidak membawa satupun pakaian ganti. Begitupun Julian, meskipun sebenarnya ia tidak butuh pakaian ganti karena ia bisa tidur hanya dengan menggunakan bokser namun ia tetap membeli pakaian demi bisa berjalan lebih lama dengan Sarah.Beberapa pasang mata memperhatikan mereka lekat, mereka berdua nampak cocok satu sama lain apalagi beberapa kali Julian membantu Sarah yang nampak kelelahan saat membawa barang. Sarah dan Julian yang memang sedang fokus berbelanja tidak memperhatikan tatapan orang-orang, dan mereka juga tidak ambil pusing dengan omongan orang lain tentang mereka meskipun itu perkataan yang baik."Ini akan jadi berita yang bagus, istri dari pengusaha terkenal selingkuh dengan pria asing dan menginap di hotel yang sama malam-malam seperti ini." ujar pria yang memotret Sara
"Kemana kakakmu! kenapa dia tidak datang ke rumah sakit!" "Tidak tau bu, biar Claudia hubungi dia." Claudia menyingkir beberapa meter dari Arista untuk menghubungi Barra, namun berkali-kali ia mencoba menghubungi Barra panggilannya selalu saja di tolak oleh Barra. Bahkan pesan yang Claudia kirimkan hanya dibaca saja olehnya, karena kesabaran Claudia sudah habis terpaksa ia menelpon salah satu penjaga rumah untuk mengetahui apa yang sedsng Barra lakukan di rumah. "Maaf nona Claudia, saya tidak bisa mengetahui dengan jelas apa yang sedang tuan Barra lakukan karena tuan Barra sedang berada di dalam kamar utama dengan Sheila.""Dobrak pintunya! istrinya sedang di rumah sakit karena ulahnya dan dia malah enak-enakan di rumah dengan wanita ular itu!" titah Claudia. Penjaga rumah itu nampak kebingungan, bagaimana bisa ia mendobrak pintu kamar Barra sedangkan telinganya mendengar suara rintihan Sheila. "Maaf nona, saya akan berusaha nanti. Saya tidak bisa mendobrak pintu kamar tuan Barra
Sarah mengerjapkan kedua matanya setelah obat bius yang berada di tubuhnya mulai menghilang dan kesadarannya memulih, dalam keadaan yang masih setengah linglung Sarah mencoba mengingat lagi apa yang sudah terjadi padanya sebelum ini. Sensasi rasa dingin menjalar dari ujung kepala hingga kakinya, membuat Sarah menggigil luar biasa hingga giginya bergemertak kencang. Sarah melirik ke sekitarnya yang nampak sepi dengan bau obat-obatan menyeruak masuk ke dalam hidungnya, setelah beberapa detik mencerna Sarah akhirnya menyadari kalau saat ini berada di rumah sakit. "Akh!" pekik Sarah ketika merasakan sakit di perutnya saat hendak bangkit. Sarah menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Perutnya rata dengan luka perban di bagian bawah, Sarah memang belum pernah melahirkan sebelumnya namun ia tau persis apa yang sudah terjadi kepadanya saat ini. "Sarah, kamu sudah bangun nak?""Ibu, anak Sarah mana? dia selamat kan bu?" tanya Sar
Pagi hari, Barra pergi lebih dulu ke Amethyst sebelum sarah terbangun. Barra sengaja pergi lebih dulu karena ia tidak ingin melihat Sarah dijemput oleh Julian, namun sebelum pergi Barra sudah menyiapkan sarapan khusus untuk Sarah.Sarah terbangun dengan keheningan yang menyambutnya di pagi hari, semua pelayan sibuk membersihkan rumah dan taman sedangkan penjaga rumah sibuk berjaga didepan. Sarah menyalakan ponselnya yang sejak semalam ia nonaktifkan, puluhan chat dari Julian membombardir ponselnya juga panggilan tidak terjawab. "Aku sudah bangun Julian, maaf aku lelah sekali jadi telat bangun pagi."Jawab Sarah menjelaskan kepada Julian mengapa ia bangun terlambat, namun Julian tetap berbicara omong-kosong terus menerus. "Baiklah, aku akan bersiap sekarang." Sarah memutuskan panggilan teleponnya, lalu bergegas mandi dan berdandan sebelum Julian datang. Lima belas menit kemudian Julian datang dengan sebuket bunga mawar untuk Sarah, Sarah masih berada di kamarnya dan mungkin baru aka
Sarah merenung menatap ke langit-langit kamarnya, ia terus memikirkan dua pria yang sangat mengharapkannya. Sarah belum bisa memutuskan untuk memilih siapa, karena ia juga tidak tau bagaimana perasaannya untuk kedua pria itu. Sarah sebenarnya punya rencana lain setelah pernikahan Claudia nanti, tapi jika seperti ini adanya mungkin Sarah akan lebih memilih untuk menjalankan rencananya sekarang.Sarah mengambil ponselnya, lalu menghubungi mereka dan memintanya untuk bertemu di sebuah cafe terkenal di kota ini. Mereka langsung bergerak cepat ke tempat yang Sarah sebutkan, tidak lupa juga membawa bunga untuk diberikan kepada Sarah."Loh, kenapa si pirang ada disini?!" tunjuk Barra di wajah Julian. "Sarah, kenapa dia datang juga? aku kira hanya kita berdua yang akan bertemu disini." "Aku sengaja meminta kalian datang kesini karena ada satu hal yang harus aku bicarakan dengan kalian," Barra dan Julian serentak mengambil kursi yang berhadapan langsung dengan Sarah, sekarang yang mereka ri
Sarah menatap sengit ke arah dua pria dewasa yang bertingkah kekanakan di depannya, mereka selalu membuat ulah sepanjang acara lamaran Claudia. Sampai akhirnya mereka bertengkar dan memecahkan patung es yang ada di tempat meja minuman, alasannya pun sepele hanya karena mereka berebut mengambilkan minum untuk Sarah. "Jadi kalian mau terus bertengkar seperti ini?"" tanya Sarah. "Bukan aku yang memulai pertengkaran Sarah, tapi si pirang ini yang memulai duluan!" "Hei bro, anda yang selalu menghalangi saya saat saya ingin mendekati Sarah." "Iya jelas aku melarangmu mendekati Sarah karena dia itu masih istriku, kamu harus pahami itu!" "Oh tapi seingatku kamu sudah menggugat cerai Sarah, jadi kamu sebentar lagi hanya akan menjadi masa lalu Sarah.""Stop! aku pusing mendengar pertengkaran kalian, jika kalian pikir aku akan memilih kalian kalian salah besar. Aku hanya ingin sendiri, tidak denganmu Barra atau denganmu Julian." bentak Sarah yang sudah tidak bisa menahan kekesalannya. Sara
Hari lamaran Gabriel dan Claudia pun tiba, semua dekorasi impian Claudia sudah seratus persen rampung. Kini tinggal saatnya mereka menunggu keluarga dari pihak Gabriel datang, tidak banyak yang mereka undang untuk acara lamaran ini. Hanya kerabat, kolega dan teman dekat saja yang di undang. Claudia nampak cantik dengan gaun rancangan Arista, wajah cantiknya hanya di make up sederhana karena Claudia tidak menyukai make up yang terlalu tebal. Setelah Claudia, kini gantian Sarah yang didandani, mereka nampak mirip meskipun bukan saudara kandung. Barra menunggu para wanita kesayangannya keluar dari ruang tempat mereka berdandan, setiap kali ada yang keluar ia langsung berdiri tegap untuk menyambutnya. Tapi sayang yang keluar sejak tadi bukan wanita yang ia tunggu, entah apa yang mereka lakukan di dalam sampai berjam-jam. Barra sangat penasaran, tapi ia tidak diperbolehkan masuk untuk melihat aktifitas mereka. Pintu kamar terbuka perlahan, Claudia keluar dengan diiringi oleh Arista dan
"Mau apa kamu datang kesini?" tanya Barra sengit. "Ada yang harus aku lakukan," senyumnya lalu masuk menghampiri Claudia dan memberikan bunga untuknya. Claudia agak bingung saat menerima bunga dari Julian, tapi setelah Sarah menjelaskannya Claudia baru bisa menerima bunga itu dan bersikap ramah terhadapnya. Belum sempat Sarah menerima bunga miliknya, tiba-tiba bunga tersebut malah direbut oleh Barra dan dibuang ke tempat sampah. "Jangan pernah memberikan bunga murahan kepada istriku, dia alergi terhadap barang murahan." Julian tertawa pelan, "Istrimu? apa aku tidak salah dengar? ah tapi kamu ada benarnya juga, Sarah memang alergi terhdap barang murahan." Julian menatap Barra dengan tatapan merendahkan, membuat Barra semakin emosi dibuatnya. Sebelum terjadi keributan yang semakin parah, Sarah segera membawa Julian pergi dari rumah Arista. Lagipula semakin cepat ia pergi, semakin cepat ia kembali lagi ke rumah ini dan bisa beristirahat lebih awal agar bisa mempersiapkan diri untuk a
Setelah beberapa hari dirawat keadaan Barra kini sudah lebih membaik dan diperbolehkan pulang juga kembali beraktifitas seperti biasa, hanya saja ia harus tetap meminum obat dari dokter kejiwaan karena efek dari obat yang Sheila berikan masih sering ia rasakan. Kepulangan Barra bertepatan dengan hari persiapan lamaran Claudia besok, meskipun acara lamaran tersebut hanya di adakan di rumah Arista namun Arista tetap membuat acara tersebut semeriah mungkin. Apalagi ini kali pertama ia merasakan salah satu anaknya di lamar seseorang, saat Barra menikah kemarin ia bahkan tidak berkontribusi apapun karena saat itu hubunganya dengan Sarah belum baik. Arista ingin sekali menebus kesalahannya tapi semua tidak mungkin lagi bisa ia tebus, karena sebentar lagi Sarah mungkin akan menjadi mantan menantunya. Claudia membantu Arista menyiapkan apapun yang dibutuhkan besok, terutama gaun untuknya dan beberapa gaun untuk kerabat juga yang paling spesial untuk Sarah. Arista menatap putrinya penuh ha
Semenjak berada di rumah sakit, tingkah Barra entah kenapa jadi lebih menjengkelkan menurut Sarah. Barra selalu meminta dilayani ini dan itu seperti anak kecil, bahkan makan pun harus disuapi dengan alasan tangannya lemah karena jarum infus. Sarah juga tidak bisa membuat alasan apapun atau pergi meninggalkannya disini karena Arista meminta tolong kepadanya untuk merawat Barra, dengan terpaksa Sarah menjadi 'pengasuhnya' sampai beberapa hari ke depan sampai Barra keluar dari rumah sakit. Saking kelelahannya, Sarah tertidur di sofa dengan Tab yang masih berada di atas dadanya. Barra bangkit perlahan agar tidak membangunkannya, ia mengambil satu selimut di lemari penyimpanan lalu ia tutupi badan Sarah dengan selimut tersebut. Barra mengecek Tab Sarah, jabatannya sebagai CEO membuat Sarah sebenarnya agak kelelahan. Dibandingkan dengan perusahaan orang tuanya, Amethyst jauh lebih besar dan luas itu sebabnya Sarah terkadang agak kewalahan. Sebagai bentuk rasa terimakasih, Barra membantu S
Ibu dan anak itu dimakamkan secara berdampingan di makam kelurga Nathaniel, sempat terjadi perdebatan antara Barra dan Nathaniel karena Barra ingin Dhafin dan Sheila di makamkan di pemakaman keluarganya. Barra merasa Dhafin adalah anaknya jadi Dhafin berhak di makamkan disana, namun Nathaniel menolak. Sejak Dhafin belum lahir, Nathaniel lah yang merawat mereka berdua jadi Nathaniel merasa ia lebih berhak atas keputusan ini. Barra akhirnya mengalah, dengan syarat Nathaniel tidak boleh melarangnya untuk mengunjungi makam Dhafin dan Sheila. Kali ini semuanya membiarkan Barra melepaskan kesedihannya dulu, tidak ada yang mengganggunya bahkan semua pekerjaan Barra diserahkan ke Gabriel. Sheila sekarang sudah benar-benar pergi meninggalkannya, bahkan membawa harta miliknya yang paling berharga yang selama ini Barra tidak ketahui keberadaannya. Barra bahkan belum sempat membahagiakan bocah kecil itu, tapi ia harus pergi karena perbuatan ibunya. Surat warisan yang Barra sudah buat sejak lama
Nathaniel datang ke rumah tahanan setelah mendengar kabar kalau Sheila dipenjara atas perbuatannya, meskipun ia sudah tidak ingin tau lagi apapun tentang Sheila tapi hati kecilnya tetap tidak bisa mengabaikannya. Sheila keluar dari sel dengan didampingi oleh sipir wanita, kelopak matanya nampak sembab dengan pipi sebelah kiri yang membengkak. Pakaian mewahnya sudah berganti dengan pakaian khas tahanan dengan nomor dan identitas kejahatannya, tatapannya kosong seakan tidak ada lagi semangat hidup yang ia rasakan. "Kenapa kamu datang?" tanyanya datar. "Aku ingin menjengukmu," "Aku tidak sakit, jadi tidak perlu kamu jenguk." "Sheila," "Lebih baik kamu pergi Nathan, aku tidak butuh kedatanganmu." Sheila bangkit dari kursi namun tiba-tiba ia malah jatuh pingsan dengan darah keluar dari hidungnya. Sheila dibawa ke rumah sakit terdekat, tempat dimana Dhafin juga di rawat disana. Nathaniel meminta kepada sipir agar Sheila diizinkan bertemu dengan anaknya sebelum kembali ke penjara, mes