"Kemana kakakmu! kenapa dia tidak datang ke rumah sakit!" "Tidak tau bu, biar Claudia hubungi dia." Claudia menyingkir beberapa meter dari Arista untuk menghubungi Barra, namun berkali-kali ia mencoba menghubungi Barra panggilannya selalu saja di tolak oleh Barra. Bahkan pesan yang Claudia kirimkan hanya dibaca saja olehnya, karena kesabaran Claudia sudah habis terpaksa ia menelpon salah satu penjaga rumah untuk mengetahui apa yang sedsng Barra lakukan di rumah. "Maaf nona Claudia, saya tidak bisa mengetahui dengan jelas apa yang sedang tuan Barra lakukan karena tuan Barra sedang berada di dalam kamar utama dengan Sheila.""Dobrak pintunya! istrinya sedang di rumah sakit karena ulahnya dan dia malah enak-enakan di rumah dengan wanita ular itu!" titah Claudia. Penjaga rumah itu nampak kebingungan, bagaimana bisa ia mendobrak pintu kamar Barra sedangkan telinganya mendengar suara rintihan Sheila. "Maaf nona, saya akan berusaha nanti. Saya tidak bisa mendobrak pintu kamar tuan Barra
Sarah mengerjapkan kedua matanya setelah obat bius yang berada di tubuhnya mulai menghilang dan kesadarannya memulih, dalam keadaan yang masih setengah linglung Sarah mencoba mengingat lagi apa yang sudah terjadi padanya sebelum ini. Sensasi rasa dingin menjalar dari ujung kepala hingga kakinya, membuat Sarah menggigil luar biasa hingga giginya bergemertak kencang. Sarah melirik ke sekitarnya yang nampak sepi dengan bau obat-obatan menyeruak masuk ke dalam hidungnya, setelah beberapa detik mencerna Sarah akhirnya menyadari kalau saat ini berada di rumah sakit. "Akh!" pekik Sarah ketika merasakan sakit di perutnya saat hendak bangkit. Sarah menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Perutnya rata dengan luka perban di bagian bawah, Sarah memang belum pernah melahirkan sebelumnya namun ia tau persis apa yang sudah terjadi kepadanya saat ini. "Sarah, kamu sudah bangun nak?""Ibu, anak Sarah mana? dia selamat kan bu?" tanya Sar
Sheila baru kembali di malam hari setelah jam makan malam terlewati, di ruang keluarga tepatnya di depan perapian Barra kini tengah duduk sembari memegang gelas wine di tangannya. Pantulan cahaya dari api yang berada di perapian membuat siluetnya nampak tegas dan menawan, wanita manapun pasti sulit menolak pesonanya yang begitu memukau saat ini. "Darimana saja kamu Sheila?" tanya Barra tenang. "Ehm, aku habis dari rumah teman. Kami sudah lama tidak bertemu jadi aku sampai pulang larut malam seperti ini," jawab Sheila seraya berusaha menyembunyikan kegugupannya. Barra bangkit dari kursi dan berjalan menghampiri Sheila, ia mendekatkan dirinya ke arah Sheila dan mencium ceruk leher Sheila perlahan. Samar, tapi Barra bisa pastikan bahwa tercium aroma parfum murahan pria yang tertinggal di ceruk leher Sheila. "Barra, aku mau mandi dulu. Aku gerah sekali," ucapnya seraya mendorong tubuh Barra menjauh. "Aku juga belum mandi, mungkin kita bisa membersihkan diri bersama-sama." Belum juga
Hampir dua minggu berlalu, keadaan Sarah sudah mulai pulih seperti sedia kala begitu pula psikisnya meskipun masih tetap merasa sedih dan kehilangan namun Sarah sudah mulai bisa lebih ikhlas sekarang. Sarah sadar bahwa berlarut-larut dalam kesedihan tidak ada gunanya, yang terpenting sekarang adalah ia mendoakan anaknya agar bahagia di sisi Tuhan sampai Sarah bisa menyusulnya nanti. Selama hampir dua minggu kantor berjalan dengan lancar berkat Gabriel, Sarah memandatkan semua pekerjaan kepada Gabriel karena Barra dipindah tugaskan untuk memantau cabang Amethyst di kota lain sampai dua hari mendatang. Sheila juga tidak banyak bertingkah selama beberapa hari belakangan ini, namun tindakannya selalu mencurigakan saat bersama dengan Anthony. Tidak hanya Sarah yang menyadarinya, namun semua karyawan juga tapi tidak ada yang berani menegurnya karena Sheila selalu mengelak dan playing victim. Dua hari lagi sidang perceraian Sarah dan Barra akan dimulai, bertepatan dengan kembalinya Barra d
Sarah kembali ke rumah tepat saat waktunya makan malam, pekerjaan di Amethyst yang semakin hari semakin banyak membuatnya terkadang kesulitan untuk pulang tepat saat makan malam. Saat hendak memasukkan mobil ke carport, Sarah melihat mobil Barra sudah lebih dulu terparkir disana. Sarah masuk ke dalam rumah dan langsung disambut hormat oleh para pelayan, termasuk Barra yang sudah ada di meja makan dengan segudang masakan kesukaan Sarah. "Selamat datang Sarah," sapa Barra."Iya terimakasih," sahutnya lembut namun terasa dingin. "Sarah, tunggu!" panggil Barra seraya menjegal tangan Sarah. Sarah mengentikan langkahnya dan berbalik mengahadap ke arah Barra, "Ya? ada apa?" "Aku, aku ingin makan malam denganmu." "Aku sudah kenyang," sahut Sarah cepat. "Aku sudah membuatkan makanan kesukaanmu,"Sarah melirik ke meja makan, sebenarnya Sarah belum makan malam dan perutnya juga terasa lapar namun Sarah enggan makan malam bersama Barra. "Aku tidak ingin makan," jawab Sarah lagi namun tanp
"Jadi kita bisa mengambil kain-kain unik dari kampung ini Sarah?" tanya Julian ketika melihat sederetan kain batik dan kain tenun yang terpajang di di hadapannya. "Tentu, kualitas kain disini bagus dan lagi pembuatannya masih secara tradisional. Aku yakin brand mu akan langsung melejit jika kamu bisa memodifikasi kain ini sesuai minat pasar," Julian tersenyum lebar seraya mengelus pucuk kepala Sarah, "Kamu wanita yang pintar Sarah," Sarah mengucapkan terimakasih seraya mengalihkan pandangannya dari Julian, ia melirik ke sekitar untuk mencari lagi bahan obrolan yang lain untuk dibicarakan dengan Julian. Sebisa mungkin Sarah menghindari percakapan yang bersifat pribadi, apalagi jika Julian sampai menunjukkan perasaannya kepada dirinya. Di belakang mereka kini ada Barra yang tengah menguntit mereka dari balik deretan kain, hatinya begitu panas ketika melihat Sarah disentuh pria lain. 'Sheila, kamu telah membuatku kehilangan wanita yang aku cintai.' batinnya. Meskipun Barra belum se
Claudia merangsek masuk ke dalam pelukan Gabriel dan bersembunyi di bawah selimut yang membalut tubuh mereka berdua, sinar mentari menyerebak masuk dan memancarkan sinarnya lewat celah jendela. Menghangatkan dua insan yang kembali merajut cintanya semalaman suntuk, dengan air mata dan juga kebahagiaan. Gabriel mengerjapkan kedua matanya saat merasakan sesuatu memeluk tubuhnya erat hingga ia kesulitan bernafas, "Claudia, kamu sudah bangun?" "Iya Gabriel, tapi kepalaku pusing." rengeknya sambil memeluk Gabriel erat. Gabriel melepaskan tangan Claudia dari tubuhnya, lalu bangkit dari tempat tidur dan mengenakan pakaiannya kembali. "Kamu mau kemana Gabriel?" "Tunggu disini, aku ingin pergi keluar sebentar." ucapnya. Hampir setengah jam Claudia menunggu Gabriel akhirnya kembali dengan beberapa barang di tangannya, obat pengar dan makanan ia beli khusus untuk Claudia. "Ayo makan, setelah itu minum obat ini." Claudia menyantap makanan itu namun ia hanya bisa menghabiskannya beberapa s
Claudia menggenggam erat tangan Gabriel saat mereka tiba di rumah ibunya Gabriel, ia begitu gugup padahal sebelumnya ia sudah mantap dan siap tapi nyatanya nyalinya langsung menciut ketika sampai disini. Kedatangan mereka kerumah tidak Gabriel rencanakan sebelumnya, jadi tidak ada hal spesial apapun yang menyambut mereka. "Kenapa bengong?" tegur Gabriel karena Claudia tidak kunjung bergeming. "Gabriel, aku gugup." sahut Claudia. "Tenang saja, ada aku."Gabriel mengaitkan tangan Claudia ke lengannya, sebenarnya ia juga gugup namun ia lebih bisa menahan kegugupannya dan mencoba bersikap setenang mungkin. Gabriel membawa Claudia ke sebuah gazebo belakang rumah yang dipenuhi dengan tanaman, mulai dari tanaman hias sampai tanaman herbal. Disana ibunya Gabriel tengah menyeruput teh sambil menikmati hari yang mulai menjelang malam, dengan semilir angin dan cahaya matahari yang mulai terlihat meredup ditemani oleh seekor kucing yang ia beri nama Benben. "Ibu," panggil Gabriel. "Gabriel?
Pagi hari, Barra pergi lebih dulu ke Amethyst sebelum sarah terbangun. Barra sengaja pergi lebih dulu karena ia tidak ingin melihat Sarah dijemput oleh Julian, namun sebelum pergi Barra sudah menyiapkan sarapan khusus untuk Sarah.Sarah terbangun dengan keheningan yang menyambutnya di pagi hari, semua pelayan sibuk membersihkan rumah dan taman sedangkan penjaga rumah sibuk berjaga didepan. Sarah menyalakan ponselnya yang sejak semalam ia nonaktifkan, puluhan chat dari Julian membombardir ponselnya juga panggilan tidak terjawab. "Aku sudah bangun Julian, maaf aku lelah sekali jadi telat bangun pagi."Jawab Sarah menjelaskan kepada Julian mengapa ia bangun terlambat, namun Julian tetap berbicara omong-kosong terus menerus. "Baiklah, aku akan bersiap sekarang." Sarah memutuskan panggilan teleponnya, lalu bergegas mandi dan berdandan sebelum Julian datang. Lima belas menit kemudian Julian datang dengan sebuket bunga mawar untuk Sarah, Sarah masih berada di kamarnya dan mungkin baru aka
Sarah merenung menatap ke langit-langit kamarnya, ia terus memikirkan dua pria yang sangat mengharapkannya. Sarah belum bisa memutuskan untuk memilih siapa, karena ia juga tidak tau bagaimana perasaannya untuk kedua pria itu. Sarah sebenarnya punya rencana lain setelah pernikahan Claudia nanti, tapi jika seperti ini adanya mungkin Sarah akan lebih memilih untuk menjalankan rencananya sekarang.Sarah mengambil ponselnya, lalu menghubungi mereka dan memintanya untuk bertemu di sebuah cafe terkenal di kota ini. Mereka langsung bergerak cepat ke tempat yang Sarah sebutkan, tidak lupa juga membawa bunga untuk diberikan kepada Sarah."Loh, kenapa si pirang ada disini?!" tunjuk Barra di wajah Julian. "Sarah, kenapa dia datang juga? aku kira hanya kita berdua yang akan bertemu disini." "Aku sengaja meminta kalian datang kesini karena ada satu hal yang harus aku bicarakan dengan kalian," Barra dan Julian serentak mengambil kursi yang berhadapan langsung dengan Sarah, sekarang yang mereka ri
Sarah menatap sengit ke arah dua pria dewasa yang bertingkah kekanakan di depannya, mereka selalu membuat ulah sepanjang acara lamaran Claudia. Sampai akhirnya mereka bertengkar dan memecahkan patung es yang ada di tempat meja minuman, alasannya pun sepele hanya karena mereka berebut mengambilkan minum untuk Sarah. "Jadi kalian mau terus bertengkar seperti ini?"" tanya Sarah. "Bukan aku yang memulai pertengkaran Sarah, tapi si pirang ini yang memulai duluan!" "Hei bro, anda yang selalu menghalangi saya saat saya ingin mendekati Sarah." "Iya jelas aku melarangmu mendekati Sarah karena dia itu masih istriku, kamu harus pahami itu!" "Oh tapi seingatku kamu sudah menggugat cerai Sarah, jadi kamu sebentar lagi hanya akan menjadi masa lalu Sarah.""Stop! aku pusing mendengar pertengkaran kalian, jika kalian pikir aku akan memilih kalian kalian salah besar. Aku hanya ingin sendiri, tidak denganmu Barra atau denganmu Julian." bentak Sarah yang sudah tidak bisa menahan kekesalannya. Sara
Hari lamaran Gabriel dan Claudia pun tiba, semua dekorasi impian Claudia sudah seratus persen rampung. Kini tinggal saatnya mereka menunggu keluarga dari pihak Gabriel datang, tidak banyak yang mereka undang untuk acara lamaran ini. Hanya kerabat, kolega dan teman dekat saja yang di undang. Claudia nampak cantik dengan gaun rancangan Arista, wajah cantiknya hanya di make up sederhana karena Claudia tidak menyukai make up yang terlalu tebal. Setelah Claudia, kini gantian Sarah yang didandani, mereka nampak mirip meskipun bukan saudara kandung. Barra menunggu para wanita kesayangannya keluar dari ruang tempat mereka berdandan, setiap kali ada yang keluar ia langsung berdiri tegap untuk menyambutnya. Tapi sayang yang keluar sejak tadi bukan wanita yang ia tunggu, entah apa yang mereka lakukan di dalam sampai berjam-jam. Barra sangat penasaran, tapi ia tidak diperbolehkan masuk untuk melihat aktifitas mereka. Pintu kamar terbuka perlahan, Claudia keluar dengan diiringi oleh Arista dan
"Mau apa kamu datang kesini?" tanya Barra sengit. "Ada yang harus aku lakukan," senyumnya lalu masuk menghampiri Claudia dan memberikan bunga untuknya. Claudia agak bingung saat menerima bunga dari Julian, tapi setelah Sarah menjelaskannya Claudia baru bisa menerima bunga itu dan bersikap ramah terhadapnya. Belum sempat Sarah menerima bunga miliknya, tiba-tiba bunga tersebut malah direbut oleh Barra dan dibuang ke tempat sampah. "Jangan pernah memberikan bunga murahan kepada istriku, dia alergi terhadap barang murahan." Julian tertawa pelan, "Istrimu? apa aku tidak salah dengar? ah tapi kamu ada benarnya juga, Sarah memang alergi terhdap barang murahan." Julian menatap Barra dengan tatapan merendahkan, membuat Barra semakin emosi dibuatnya. Sebelum terjadi keributan yang semakin parah, Sarah segera membawa Julian pergi dari rumah Arista. Lagipula semakin cepat ia pergi, semakin cepat ia kembali lagi ke rumah ini dan bisa beristirahat lebih awal agar bisa mempersiapkan diri untuk a
Setelah beberapa hari dirawat keadaan Barra kini sudah lebih membaik dan diperbolehkan pulang juga kembali beraktifitas seperti biasa, hanya saja ia harus tetap meminum obat dari dokter kejiwaan karena efek dari obat yang Sheila berikan masih sering ia rasakan. Kepulangan Barra bertepatan dengan hari persiapan lamaran Claudia besok, meskipun acara lamaran tersebut hanya di adakan di rumah Arista namun Arista tetap membuat acara tersebut semeriah mungkin. Apalagi ini kali pertama ia merasakan salah satu anaknya di lamar seseorang, saat Barra menikah kemarin ia bahkan tidak berkontribusi apapun karena saat itu hubunganya dengan Sarah belum baik. Arista ingin sekali menebus kesalahannya tapi semua tidak mungkin lagi bisa ia tebus, karena sebentar lagi Sarah mungkin akan menjadi mantan menantunya. Claudia membantu Arista menyiapkan apapun yang dibutuhkan besok, terutama gaun untuknya dan beberapa gaun untuk kerabat juga yang paling spesial untuk Sarah. Arista menatap putrinya penuh ha
Semenjak berada di rumah sakit, tingkah Barra entah kenapa jadi lebih menjengkelkan menurut Sarah. Barra selalu meminta dilayani ini dan itu seperti anak kecil, bahkan makan pun harus disuapi dengan alasan tangannya lemah karena jarum infus. Sarah juga tidak bisa membuat alasan apapun atau pergi meninggalkannya disini karena Arista meminta tolong kepadanya untuk merawat Barra, dengan terpaksa Sarah menjadi 'pengasuhnya' sampai beberapa hari ke depan sampai Barra keluar dari rumah sakit. Saking kelelahannya, Sarah tertidur di sofa dengan Tab yang masih berada di atas dadanya. Barra bangkit perlahan agar tidak membangunkannya, ia mengambil satu selimut di lemari penyimpanan lalu ia tutupi badan Sarah dengan selimut tersebut. Barra mengecek Tab Sarah, jabatannya sebagai CEO membuat Sarah sebenarnya agak kelelahan. Dibandingkan dengan perusahaan orang tuanya, Amethyst jauh lebih besar dan luas itu sebabnya Sarah terkadang agak kewalahan. Sebagai bentuk rasa terimakasih, Barra membantu S
Ibu dan anak itu dimakamkan secara berdampingan di makam kelurga Nathaniel, sempat terjadi perdebatan antara Barra dan Nathaniel karena Barra ingin Dhafin dan Sheila di makamkan di pemakaman keluarganya. Barra merasa Dhafin adalah anaknya jadi Dhafin berhak di makamkan disana, namun Nathaniel menolak. Sejak Dhafin belum lahir, Nathaniel lah yang merawat mereka berdua jadi Nathaniel merasa ia lebih berhak atas keputusan ini. Barra akhirnya mengalah, dengan syarat Nathaniel tidak boleh melarangnya untuk mengunjungi makam Dhafin dan Sheila. Kali ini semuanya membiarkan Barra melepaskan kesedihannya dulu, tidak ada yang mengganggunya bahkan semua pekerjaan Barra diserahkan ke Gabriel. Sheila sekarang sudah benar-benar pergi meninggalkannya, bahkan membawa harta miliknya yang paling berharga yang selama ini Barra tidak ketahui keberadaannya. Barra bahkan belum sempat membahagiakan bocah kecil itu, tapi ia harus pergi karena perbuatan ibunya. Surat warisan yang Barra sudah buat sejak lama
Nathaniel datang ke rumah tahanan setelah mendengar kabar kalau Sheila dipenjara atas perbuatannya, meskipun ia sudah tidak ingin tau lagi apapun tentang Sheila tapi hati kecilnya tetap tidak bisa mengabaikannya. Sheila keluar dari sel dengan didampingi oleh sipir wanita, kelopak matanya nampak sembab dengan pipi sebelah kiri yang membengkak. Pakaian mewahnya sudah berganti dengan pakaian khas tahanan dengan nomor dan identitas kejahatannya, tatapannya kosong seakan tidak ada lagi semangat hidup yang ia rasakan. "Kenapa kamu datang?" tanyanya datar. "Aku ingin menjengukmu," "Aku tidak sakit, jadi tidak perlu kamu jenguk." "Sheila," "Lebih baik kamu pergi Nathan, aku tidak butuh kedatanganmu." Sheila bangkit dari kursi namun tiba-tiba ia malah jatuh pingsan dengan darah keluar dari hidungnya. Sheila dibawa ke rumah sakit terdekat, tempat dimana Dhafin juga di rawat disana. Nathaniel meminta kepada sipir agar Sheila diizinkan bertemu dengan anaknya sebelum kembali ke penjara, mes