Sarah memberhentikan mobilnya di sebuah hotel bintang lima yang cukup terkenal di kota ini, namun sebelum masuk ke hotel Sarah lebih dulu pergi ke toko pakaian untuk membeli beberapa setel pakaian karena ia tidak membawa satupun pakaian ganti. Begitupun Julian, meskipun sebenarnya ia tidak butuh pakaian ganti karena ia bisa tidur hanya dengan menggunakan bokser namun ia tetap membeli pakaian demi bisa berjalan lebih lama dengan Sarah.Beberapa pasang mata memperhatikan mereka lekat, mereka berdua nampak cocok satu sama lain apalagi beberapa kali Julian membantu Sarah yang nampak kelelahan saat membawa barang. Sarah dan Julian yang memang sedang fokus berbelanja tidak memperhatikan tatapan orang-orang, dan mereka juga tidak ambil pusing dengan omongan orang lain tentang mereka meskipun itu perkataan yang baik."Ini akan jadi berita yang bagus, istri dari pengusaha terkenal selingkuh dengan pria asing dan menginap di hotel yang sama malam-malam seperti ini." ujar pria yang memotret Sara
"Kemana kakakmu! kenapa dia tidak datang ke rumah sakit!" "Tidak tau bu, biar Claudia hubungi dia." Claudia menyingkir beberapa meter dari Arista untuk menghubungi Barra, namun berkali-kali ia mencoba menghubungi Barra panggilannya selalu saja di tolak oleh Barra. Bahkan pesan yang Claudia kirimkan hanya dibaca saja olehnya, karena kesabaran Claudia sudah habis terpaksa ia menelpon salah satu penjaga rumah untuk mengetahui apa yang sedsng Barra lakukan di rumah. "Maaf nona Claudia, saya tidak bisa mengetahui dengan jelas apa yang sedang tuan Barra lakukan karena tuan Barra sedang berada di dalam kamar utama dengan Sheila.""Dobrak pintunya! istrinya sedang di rumah sakit karena ulahnya dan dia malah enak-enakan di rumah dengan wanita ular itu!" titah Claudia. Penjaga rumah itu nampak kebingungan, bagaimana bisa ia mendobrak pintu kamar Barra sedangkan telinganya mendengar suara rintihan Sheila. "Maaf nona, saya akan berusaha nanti. Saya tidak bisa mendobrak pintu kamar tuan Barra
Sarah mengerjapkan kedua matanya setelah obat bius yang berada di tubuhnya mulai menghilang dan kesadarannya memulih, dalam keadaan yang masih setengah linglung Sarah mencoba mengingat lagi apa yang sudah terjadi padanya sebelum ini. Sensasi rasa dingin menjalar dari ujung kepala hingga kakinya, membuat Sarah menggigil luar biasa hingga giginya bergemertak kencang. Sarah melirik ke sekitarnya yang nampak sepi dengan bau obat-obatan menyeruak masuk ke dalam hidungnya, setelah beberapa detik mencerna Sarah akhirnya menyadari kalau saat ini berada di rumah sakit. "Akh!" pekik Sarah ketika merasakan sakit di perutnya saat hendak bangkit. Sarah menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Perutnya rata dengan luka perban di bagian bawah, Sarah memang belum pernah melahirkan sebelumnya namun ia tau persis apa yang sudah terjadi kepadanya saat ini. "Sarah, kamu sudah bangun nak?""Ibu, anak Sarah mana? dia selamat kan bu?" tanya Sar
Sheila baru kembali di malam hari setelah jam makan malam terlewati, di ruang keluarga tepatnya di depan perapian Barra kini tengah duduk sembari memegang gelas wine di tangannya. Pantulan cahaya dari api yang berada di perapian membuat siluetnya nampak tegas dan menawan, wanita manapun pasti sulit menolak pesonanya yang begitu memukau saat ini. "Darimana saja kamu Sheila?" tanya Barra tenang. "Ehm, aku habis dari rumah teman. Kami sudah lama tidak bertemu jadi aku sampai pulang larut malam seperti ini," jawab Sheila seraya berusaha menyembunyikan kegugupannya. Barra bangkit dari kursi dan berjalan menghampiri Sheila, ia mendekatkan dirinya ke arah Sheila dan mencium ceruk leher Sheila perlahan. Samar, tapi Barra bisa pastikan bahwa tercium aroma parfum murahan pria yang tertinggal di ceruk leher Sheila. "Barra, aku mau mandi dulu. Aku gerah sekali," ucapnya seraya mendorong tubuh Barra menjauh. "Aku juga belum mandi, mungkin kita bisa membersihkan diri bersama-sama." Belum juga
Hampir dua minggu berlalu, keadaan Sarah sudah mulai pulih seperti sedia kala begitu pula psikisnya meskipun masih tetap merasa sedih dan kehilangan namun Sarah sudah mulai bisa lebih ikhlas sekarang. Sarah sadar bahwa berlarut-larut dalam kesedihan tidak ada gunanya, yang terpenting sekarang adalah ia mendoakan anaknya agar bahagia di sisi Tuhan sampai Sarah bisa menyusulnya nanti. Selama hampir dua minggu kantor berjalan dengan lancar berkat Gabriel, Sarah memandatkan semua pekerjaan kepada Gabriel karena Barra dipindah tugaskan untuk memantau cabang Amethyst di kota lain sampai dua hari mendatang. Sheila juga tidak banyak bertingkah selama beberapa hari belakangan ini, namun tindakannya selalu mencurigakan saat bersama dengan Anthony. Tidak hanya Sarah yang menyadarinya, namun semua karyawan juga tapi tidak ada yang berani menegurnya karena Sheila selalu mengelak dan playing victim. Dua hari lagi sidang perceraian Sarah dan Barra akan dimulai, bertepatan dengan kembalinya Barra d
Sarah kembali ke rumah tepat saat waktunya makan malam, pekerjaan di Amethyst yang semakin hari semakin banyak membuatnya terkadang kesulitan untuk pulang tepat saat makan malam. Saat hendak memasukkan mobil ke carport, Sarah melihat mobil Barra sudah lebih dulu terparkir disana. Sarah masuk ke dalam rumah dan langsung disambut hormat oleh para pelayan, termasuk Barra yang sudah ada di meja makan dengan segudang masakan kesukaan Sarah. "Selamat datang Sarah," sapa Barra."Iya terimakasih," sahutnya lembut namun terasa dingin. "Sarah, tunggu!" panggil Barra seraya menjegal tangan Sarah. Sarah mengentikan langkahnya dan berbalik mengahadap ke arah Barra, "Ya? ada apa?" "Aku, aku ingin makan malam denganmu." "Aku sudah kenyang," sahut Sarah cepat. "Aku sudah membuatkan makanan kesukaanmu,"Sarah melirik ke meja makan, sebenarnya Sarah belum makan malam dan perutnya juga terasa lapar namun Sarah enggan makan malam bersama Barra. "Aku tidak ingin makan," jawab Sarah lagi namun tanp
"Jadi kita bisa mengambil kain-kain unik dari kampung ini Sarah?" tanya Julian ketika melihat sederetan kain batik dan kain tenun yang terpajang di di hadapannya. "Tentu, kualitas kain disini bagus dan lagi pembuatannya masih secara tradisional. Aku yakin brand mu akan langsung melejit jika kamu bisa memodifikasi kain ini sesuai minat pasar," Julian tersenyum lebar seraya mengelus pucuk kepala Sarah, "Kamu wanita yang pintar Sarah," Sarah mengucapkan terimakasih seraya mengalihkan pandangannya dari Julian, ia melirik ke sekitar untuk mencari lagi bahan obrolan yang lain untuk dibicarakan dengan Julian. Sebisa mungkin Sarah menghindari percakapan yang bersifat pribadi, apalagi jika Julian sampai menunjukkan perasaannya kepada dirinya. Di belakang mereka kini ada Barra yang tengah menguntit mereka dari balik deretan kain, hatinya begitu panas ketika melihat Sarah disentuh pria lain. 'Sheila, kamu telah membuatku kehilangan wanita yang aku cintai.' batinnya. Meskipun Barra belum se
Claudia merangsek masuk ke dalam pelukan Gabriel dan bersembunyi di bawah selimut yang membalut tubuh mereka berdua, sinar mentari menyerebak masuk dan memancarkan sinarnya lewat celah jendela. Menghangatkan dua insan yang kembali merajut cintanya semalaman suntuk, dengan air mata dan juga kebahagiaan. Gabriel mengerjapkan kedua matanya saat merasakan sesuatu memeluk tubuhnya erat hingga ia kesulitan bernafas, "Claudia, kamu sudah bangun?" "Iya Gabriel, tapi kepalaku pusing." rengeknya sambil memeluk Gabriel erat. Gabriel melepaskan tangan Claudia dari tubuhnya, lalu bangkit dari tempat tidur dan mengenakan pakaiannya kembali. "Kamu mau kemana Gabriel?" "Tunggu disini, aku ingin pergi keluar sebentar." ucapnya. Hampir setengah jam Claudia menunggu Gabriel akhirnya kembali dengan beberapa barang di tangannya, obat pengar dan makanan ia beli khusus untuk Claudia. "Ayo makan, setelah itu minum obat ini." Claudia menyantap makanan itu namun ia hanya bisa menghabiskannya beberapa s