Sheila baru kembali di malam hari setelah jam makan malam terlewati, di ruang keluarga tepatnya di depan perapian Barra kini tengah duduk sembari memegang gelas wine di tangannya. Pantulan cahaya dari api yang berada di perapian membuat siluetnya nampak tegas dan menawan, wanita manapun pasti sulit menolak pesonanya yang begitu memukau saat ini. "Darimana saja kamu Sheila?" tanya Barra tenang. "Ehm, aku habis dari rumah teman. Kami sudah lama tidak bertemu jadi aku sampai pulang larut malam seperti ini," jawab Sheila seraya berusaha menyembunyikan kegugupannya. Barra bangkit dari kursi dan berjalan menghampiri Sheila, ia mendekatkan dirinya ke arah Sheila dan mencium ceruk leher Sheila perlahan. Samar, tapi Barra bisa pastikan bahwa tercium aroma parfum murahan pria yang tertinggal di ceruk leher Sheila. "Barra, aku mau mandi dulu. Aku gerah sekali," ucapnya seraya mendorong tubuh Barra menjauh. "Aku juga belum mandi, mungkin kita bisa membersihkan diri bersama-sama." Belum juga
Hampir dua minggu berlalu, keadaan Sarah sudah mulai pulih seperti sedia kala begitu pula psikisnya meskipun masih tetap merasa sedih dan kehilangan namun Sarah sudah mulai bisa lebih ikhlas sekarang. Sarah sadar bahwa berlarut-larut dalam kesedihan tidak ada gunanya, yang terpenting sekarang adalah ia mendoakan anaknya agar bahagia di sisi Tuhan sampai Sarah bisa menyusulnya nanti. Selama hampir dua minggu kantor berjalan dengan lancar berkat Gabriel, Sarah memandatkan semua pekerjaan kepada Gabriel karena Barra dipindah tugaskan untuk memantau cabang Amethyst di kota lain sampai dua hari mendatang. Sheila juga tidak banyak bertingkah selama beberapa hari belakangan ini, namun tindakannya selalu mencurigakan saat bersama dengan Anthony. Tidak hanya Sarah yang menyadarinya, namun semua karyawan juga tapi tidak ada yang berani menegurnya karena Sheila selalu mengelak dan playing victim. Dua hari lagi sidang perceraian Sarah dan Barra akan dimulai, bertepatan dengan kembalinya Barra d
Sarah kembali ke rumah tepat saat waktunya makan malam, pekerjaan di Amethyst yang semakin hari semakin banyak membuatnya terkadang kesulitan untuk pulang tepat saat makan malam. Saat hendak memasukkan mobil ke carport, Sarah melihat mobil Barra sudah lebih dulu terparkir disana. Sarah masuk ke dalam rumah dan langsung disambut hormat oleh para pelayan, termasuk Barra yang sudah ada di meja makan dengan segudang masakan kesukaan Sarah. "Selamat datang Sarah," sapa Barra."Iya terimakasih," sahutnya lembut namun terasa dingin. "Sarah, tunggu!" panggil Barra seraya menjegal tangan Sarah. Sarah mengentikan langkahnya dan berbalik mengahadap ke arah Barra, "Ya? ada apa?" "Aku, aku ingin makan malam denganmu." "Aku sudah kenyang," sahut Sarah cepat. "Aku sudah membuatkan makanan kesukaanmu,"Sarah melirik ke meja makan, sebenarnya Sarah belum makan malam dan perutnya juga terasa lapar namun Sarah enggan makan malam bersama Barra. "Aku tidak ingin makan," jawab Sarah lagi namun tanp
"Jadi kita bisa mengambil kain-kain unik dari kampung ini Sarah?" tanya Julian ketika melihat sederetan kain batik dan kain tenun yang terpajang di di hadapannya. "Tentu, kualitas kain disini bagus dan lagi pembuatannya masih secara tradisional. Aku yakin brand mu akan langsung melejit jika kamu bisa memodifikasi kain ini sesuai minat pasar," Julian tersenyum lebar seraya mengelus pucuk kepala Sarah, "Kamu wanita yang pintar Sarah," Sarah mengucapkan terimakasih seraya mengalihkan pandangannya dari Julian, ia melirik ke sekitar untuk mencari lagi bahan obrolan yang lain untuk dibicarakan dengan Julian. Sebisa mungkin Sarah menghindari percakapan yang bersifat pribadi, apalagi jika Julian sampai menunjukkan perasaannya kepada dirinya. Di belakang mereka kini ada Barra yang tengah menguntit mereka dari balik deretan kain, hatinya begitu panas ketika melihat Sarah disentuh pria lain. 'Sheila, kamu telah membuatku kehilangan wanita yang aku cintai.' batinnya. Meskipun Barra belum se
Claudia merangsek masuk ke dalam pelukan Gabriel dan bersembunyi di bawah selimut yang membalut tubuh mereka berdua, sinar mentari menyerebak masuk dan memancarkan sinarnya lewat celah jendela. Menghangatkan dua insan yang kembali merajut cintanya semalaman suntuk, dengan air mata dan juga kebahagiaan. Gabriel mengerjapkan kedua matanya saat merasakan sesuatu memeluk tubuhnya erat hingga ia kesulitan bernafas, "Claudia, kamu sudah bangun?" "Iya Gabriel, tapi kepalaku pusing." rengeknya sambil memeluk Gabriel erat. Gabriel melepaskan tangan Claudia dari tubuhnya, lalu bangkit dari tempat tidur dan mengenakan pakaiannya kembali. "Kamu mau kemana Gabriel?" "Tunggu disini, aku ingin pergi keluar sebentar." ucapnya. Hampir setengah jam Claudia menunggu Gabriel akhirnya kembali dengan beberapa barang di tangannya, obat pengar dan makanan ia beli khusus untuk Claudia. "Ayo makan, setelah itu minum obat ini." Claudia menyantap makanan itu namun ia hanya bisa menghabiskannya beberapa s
Claudia menggenggam erat tangan Gabriel saat mereka tiba di rumah ibunya Gabriel, ia begitu gugup padahal sebelumnya ia sudah mantap dan siap tapi nyatanya nyalinya langsung menciut ketika sampai disini. Kedatangan mereka kerumah tidak Gabriel rencanakan sebelumnya, jadi tidak ada hal spesial apapun yang menyambut mereka. "Kenapa bengong?" tegur Gabriel karena Claudia tidak kunjung bergeming. "Gabriel, aku gugup." sahut Claudia. "Tenang saja, ada aku."Gabriel mengaitkan tangan Claudia ke lengannya, sebenarnya ia juga gugup namun ia lebih bisa menahan kegugupannya dan mencoba bersikap setenang mungkin. Gabriel membawa Claudia ke sebuah gazebo belakang rumah yang dipenuhi dengan tanaman, mulai dari tanaman hias sampai tanaman herbal. Disana ibunya Gabriel tengah menyeruput teh sambil menikmati hari yang mulai menjelang malam, dengan semilir angin dan cahaya matahari yang mulai terlihat meredup ditemani oleh seekor kucing yang ia beri nama Benben. "Ibu," panggil Gabriel. "Gabriel?
Hari sidang perceraian Barra dan Sarah tiba juga hari ini, Sarah datang didampingi oleh Arista dan Claudia sedangkan Barra didampingi oleh Sheila. Sheila nampak sinis dan arogan saat menatap mereka bertiga, seolah-olah ia adalah pemenangnya. Sarah tidak terlalu memusingkan soal perangai Sheila, yang ia inginkan hanya hari ini semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada masalah apapun lagi yang membebaninya. "Sarah, apa kamu sudah memikirkan matang-matang tentang perceraian ini?" tanya Arista."Sarah sudah memikirkannya bu, Sarah tidak ingin melanjutkan pernikahan ini."Arista menghela nafas pelan, "Baiklah, ibu tidak bisa menahan kamu kalai kamu lebih bahagia jika berpisah dengan Barra." Sidang berjalan dengan lancar pada awalnya, tidak ada kendala apapun sampai Barra menyatakan keberatan dan ingin menunda perceraian ini. "Saya telah dimanipulatif oleh seseorang, sehingga sikap saya berubah terhadap Sarah. Saya bisa menujukkan buktinya, bahkan saya juga membawa orang yang sudah m
POV Sheila"Dia anak bos ayah, kalau kamu bisa membuatnya jatuh cinta kepadamu hidup kita akan berubah drastis Sheila." ujarnya berbisik di telinga Sheila saat Barra lewat di lobby bersama Arista. Aku menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, wajah blasteran dengan bentuk tubuh tinggi tegap. Siapa wanita yang tidak akan tergoda dengan pesonanya? tentu saja cuma wanita buta yang tidak menyukainya, atau mungkin wanita yang seleranya rendah. "Sheila pamit dulu yah, oh iya tolong kabari Sheila secepatnya kapan Sheila bisa magang di sini." "Kamu bisa magang secepatnya asal kamu mau mendengarkan kata ayah," "Iya, yaudah ayah yang atur semuanya." Aku mengemudikan motor maticku keluar dari lingkungan Amethyst, setiap hari rutinitasku adalah mengantar ayah ke kantor di pagi hari dan menjemputnya jika aku tidak ada kegiatan di kampus saat sore atau malam hari. Aku hanya tinggal berdua saja dengan ayah, karena ibuku pergi entah kemana bersama dengan pria lain. Seperti biasa, setiap mengend