Dengan refleks Tian memegang tangan Agni. Karena masih teringat jelas kejadian itu, dia sontak terkejut yang menjadikan napasnya tak beraturan. Tian mendekati wajah Agni yang sedang terkejut itu. Sangat ingin menikmati bibir cantik itu. Tapi Agni sontak berdiri dan mendorong Tian. Dia tak membiarkan dirinya disentuh oleh orang yang tidak ada di hatinya.Agni memalingkan wajah, Agni meletakkan handuk itu di meja dan langsung buru-buru tidur menghadap ke arah yang berlawanan dengan Tian. Tian yang dari awal tidak ada niat seperti itu karena mengerti keadaan Agni pun tersenyum. Dia juga ikut tertidur setelah berjalannya waktu. ‘Malam ini terjadi sesuatu sama aku, Xel. Kamu enggak perlu tau , yang harus kamu tau adalah ... Axel, aku kangen kamu,’ batin Agni sambil meneteskan air mata. Di hari yang cerah ini, Axel sudah merencanakan kegiatan bersama temannya untuk latihan band. Sebelum latihan, dia berencana mengunjungi Arkan.Nuttt!Suara memanggil terdengar dari ponsel Axel yang se
Suara telepon toko berbunyi dan di angkat oleh Ana, saat mengangkatnya ternyata orang di balik telepon itu ingin bicara dengan pemilik toko Ken’Z itu. “Arkan!” panggil Ana dengan lembut. “Ini ada telepon dari pelanggan. Katanya mau ngomong sama kamu,” lanjut Ana dengan lembut. Arkan yang tak berpikir panjang langsung mengambil alih telepon itu dari tangan Ana lalu berbicara dengan orang di balik telepon.“Hallo, ada yang bisa saya bantu selaku pemilik toko ken’Z ini?” Arkan dengan kelembutan suara serta nada keceriaan.“ ....”“Ah baik.”“....”“Baik”Pelayan itu menjelaskan. Jadi Arkan hanya mendengar dengan seksama.“Baik, kalau begitu nanti antar ke alamat toko saya saja ya, Pak," ucapnya setuju.“Baik, Pak, terima kasih atas kerja samanya.” Arkan lalu mematikan telepon itu dan kembali duduk di samping Axel. “Axel, Axel!” panggil Arkan dengan nada terburu-buru. Wajahnya menyiratkan bahagia.Axel yang masih merenung hanya menoleh dan tak menjawab panggilan dari sahabatnya itu.
Dia berpikir mungkin Bu Ningsih hanya ingin membuka pintunya agar angin segar dari luar masuk ke dalam rumah dan menyegarkan. “Permisi Tante?” Karina mendorong sedikit pintu yang sudah terbuka itu. Mendengar tidak ada yang merespons, Karina memberanikan diri melangkah lebih jauh masuk ke dalam rumah. “Tante?” panggil lagi Karina. “Kok, nggak ada yang jawab sih? Kan pintunya terbuka, berarti nggak mungkin nggak ada di rumah dong.” Karina mencoba mencerna semua yang terjadi. “Tante?” panggil Karina lagi dengan sedikit khawatir dan karena tak kunjung mendengar jawaban. Karina mencoba mencarinya di taman, siapa yang tau? Mungkin dia sedang menyiram atau melihat bunga-bunga yang ada di taman belakang rumahnya. Namun setelah diperiksa tidak ada, dia mencoba mencarinya ke dapur, tapi itu pun tak ada juga. Semua kejanggalan itu membuatnya heran. Untuk memastikan lagi dia masuk ke kamar Bu Ningsih. Dilihat dari kejauhan, terlihat pintu kamarnya juga terbuka. Karina terkejut karena men
“Agni?” Arkan mencoba mencerna yang dibilang oleh Bi Ira, bahwa bibik itu akan memanggil istri sang pemesan yang tak lain Tian.“Tunggu ... Bukannya kata bibik tadi dia mau manggil istrinya pak Tian tapi kok Lo yang keluar?” Arkan dengan wajah bingung, dia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. “Ahhh, itu, emmm.” Agni tidak mengerti harus bilang apa, dia tidak rela dibenci oleh sahabat dan temannya karena mengetahui sekarang statusnya sebagai istri orang. “Jawab, Agni.” Arkan dengan nada bicara memaksa Agni untuk Jujur. Agni yang saat itu tertegun kini merasakan rasa sesak di dadanya dan nafasnya kini tak beraturan. Pembuluh darahnya seakan mengalir deras di dalam tubuhnya. “Paket, ya?” suara Tian terdengar dari belakang punggung Arkan. “Sayang.” Tian sengaja memanggil Agni sayang agar bisa memamerkannya pada pengantar paket itu yang ternyata pemilik toko tersebut. Pun dia membubuhkan kecupqn tepat di pelipis Agni.*Di saat itu juga Agni cukup tercengang mendengar Tian mem
Agni juga mulai membenci keadaannya saat ini. Menjadi istri dari pria pemarah, siapapun pasti tidak ingin ada di posisinya. Seorang pria tidak akan berubah bila sudah menyangkut selingkuh serta main tangan. Itulah kenyataan yang mesti Agni terima. Entah apa yang akan dilakukan dari sekarang setelah dapat perlakukan seperti itu dari suaminya sendiri seperti itu. Agni menuruni tangga dengan sedikit berlari. Dia hanya memfokuskan matanya untuk menuruni tangga dan tak melihat ke arah lain sembari memegangi gagang pinggiran tangga. Tapi saat dia sampai di bawah tangga, Agni melihat ke arah sofa ruang tamu dan mendapati sepasang suami istri paruh baya yang sedang duduk menikmati kopi dan hidangan yang dihidangkan bi Ira. “Eh Agni, gimana keadaan kamu?” Seorang wanita bersanggul dan dress marun bertanya. Yap. Ibu dan ayah mertuanya datang dengan sangat tiba-tiba, membuat Agni tercengang bukan kepalang. Agni mencoba membuang raut wajah panik dan cemasnya menjadi wajah biasa saja. Dia be
Agni dan bi Ira keluar dengan nampan di tangan berisi makanan. Mereka menyiapkan dan merapikannya di tengah-tengah meja. Mama mertuanya itu tersenyum melihat menantunya menyajikan makanan saat mereka datangi. Agni yang sedang menyajikan hanya tersenyum tipis. Setelah selesai dia bergabung untuk makan bersama. Saat makan bersama tak ada yang membuka suara, semua menikmati makan yang sudah dihidangkan di hadapan. Hanya ada dentingan suara piring dan sendok yang beradu. Semua sudah selesai, dan mereka duduk sebentar untuk mencerna semua makanan yang sudah masuk ke dalam perut. “Ini siapa yang masak?” Mama mertuanya melihat Agni bertanya.“Yang masak Bi Ira, Ma,” ucap Agni dengan sedikit senyuman. “Tapi pake resep non Agni, Nyonya.” Bibi Ira yang tiba-tiba muncul untuk membereskan meja makan pun menimpali.“Oh ya, wah enak banget masakan kamu.” Mamanya memuji dengan senyuman yang amat lebar. “Pulang yuk, Ma.” Papanya melihat jam di pergelangan tangan.“Ayo.” Mama Tian sembari berdir
Karina menarik tubuhnya dan mendudukkan dirinya di kursi tunggu panjang di depan ruang UGD. “Kamu harus tenang, gimana kamu mau buat Tante kuat, kalau kamu aja lemah.” Karina dengan kata-kata bijaknya memberi nasihat Axel sembari menaruh tangannya di bahu Axel. Axel yang risih dengan sentuhan itu membuang tangan Karina dengan bahunya sendiri. Dia meringkuk di bangku dan menundukkan kepalanya. Karina yang agak kesal tidak bisa melampiaskan kemarahannya karena mengerti yang terjadi pada Axel saat ini. Karina pun duduk di samping Axel, menunggu dokter keluar. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya pada Karina, orang yang membawa mamanya ke rumah sakit. Setelah sekitar sejam menunggu di ruang tunggu UGD, akhirnya dokter keluar dengan membawa brankar Bu Ningsih keluar dari ruang UGD. “Ma.” Axel yang melihat sontak bangkit dan memeriksa ibunya yang pingsan dengan infus di tangan mamanya. “Sebentar ya, mau dibawa ke ruang inap dulu.” Salah satu perawat yang membawa nakas Bu
“Mama?” Axel memanggil mamanya yang mulai membuka matanya itu. Dan benar saja Axel melihat kedua mata ibunya terbuka di depannya. Axel langsung memencet bel untuk memanggil para suster.Raut wajah Axel kini bersinar dan cerah dengan senyuman lebar yang terukir di bibirnya itu melihat ibunya sadar. Dokter yang tadi memeriksa Bu Ningsih kini kembali karena bel yang dipencet Axel. Saat dokter sampai bersama suster, dokter memeriksa detak jantungnya dan memeriksa pupil mata Bu Ningsih yang kini sudah sadar itu. “Mama kamu udah baik-baik aja kok kamu gak usah khawatir, dirawat satu atau dua hari lagi mama kamu udah bisa pulang,” jelas dokter tadi dengan lembut. Setelah semua selesai dokter bersama suster itu keluar dari kamar Bu Ningsih meninggalkan mereka berdua lagi. Axel yang sangat bahagia melihat mamanya sadar kini tak dapat melepaskan pandangannya kepada mamanya itu. Stelah tau resepsionis mama Axel bangun, mereka langsung menghantarkan makanan. Tok tok tok!Suara ketukan pintu