Suara telepon toko berbunyi dan di angkat oleh Ana, saat mengangkatnya ternyata orang di balik telepon itu ingin bicara dengan pemilik toko Ken’Z itu. “Arkan!” panggil Ana dengan lembut. “Ini ada telepon dari pelanggan. Katanya mau ngomong sama kamu,” lanjut Ana dengan lembut. Arkan yang tak berpikir panjang langsung mengambil alih telepon itu dari tangan Ana lalu berbicara dengan orang di balik telepon.“Hallo, ada yang bisa saya bantu selaku pemilik toko ken’Z ini?” Arkan dengan kelembutan suara serta nada keceriaan.“ ....”“Ah baik.”“....”“Baik”Pelayan itu menjelaskan. Jadi Arkan hanya mendengar dengan seksama.“Baik, kalau begitu nanti antar ke alamat toko saya saja ya, Pak," ucapnya setuju.“Baik, Pak, terima kasih atas kerja samanya.” Arkan lalu mematikan telepon itu dan kembali duduk di samping Axel. “Axel, Axel!” panggil Arkan dengan nada terburu-buru. Wajahnya menyiratkan bahagia.Axel yang masih merenung hanya menoleh dan tak menjawab panggilan dari sahabatnya itu.
Dia berpikir mungkin Bu Ningsih hanya ingin membuka pintunya agar angin segar dari luar masuk ke dalam rumah dan menyegarkan. “Permisi Tante?” Karina mendorong sedikit pintu yang sudah terbuka itu. Mendengar tidak ada yang merespons, Karina memberanikan diri melangkah lebih jauh masuk ke dalam rumah. “Tante?” panggil lagi Karina. “Kok, nggak ada yang jawab sih? Kan pintunya terbuka, berarti nggak mungkin nggak ada di rumah dong.” Karina mencoba mencerna semua yang terjadi. “Tante?” panggil Karina lagi dengan sedikit khawatir dan karena tak kunjung mendengar jawaban. Karina mencoba mencarinya di taman, siapa yang tau? Mungkin dia sedang menyiram atau melihat bunga-bunga yang ada di taman belakang rumahnya. Namun setelah diperiksa tidak ada, dia mencoba mencarinya ke dapur, tapi itu pun tak ada juga. Semua kejanggalan itu membuatnya heran. Untuk memastikan lagi dia masuk ke kamar Bu Ningsih. Dilihat dari kejauhan, terlihat pintu kamarnya juga terbuka. Karina terkejut karena men
“Agni?” Arkan mencoba mencerna yang dibilang oleh Bi Ira, bahwa bibik itu akan memanggil istri sang pemesan yang tak lain Tian.“Tunggu ... Bukannya kata bibik tadi dia mau manggil istrinya pak Tian tapi kok Lo yang keluar?” Arkan dengan wajah bingung, dia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. “Ahhh, itu, emmm.” Agni tidak mengerti harus bilang apa, dia tidak rela dibenci oleh sahabat dan temannya karena mengetahui sekarang statusnya sebagai istri orang. “Jawab, Agni.” Arkan dengan nada bicara memaksa Agni untuk Jujur. Agni yang saat itu tertegun kini merasakan rasa sesak di dadanya dan nafasnya kini tak beraturan. Pembuluh darahnya seakan mengalir deras di dalam tubuhnya. “Paket, ya?” suara Tian terdengar dari belakang punggung Arkan. “Sayang.” Tian sengaja memanggil Agni sayang agar bisa memamerkannya pada pengantar paket itu yang ternyata pemilik toko tersebut. Pun dia membubuhkan kecupqn tepat di pelipis Agni.*Di saat itu juga Agni cukup tercengang mendengar Tian mem
Agni juga mulai membenci keadaannya saat ini. Menjadi istri dari pria pemarah, siapapun pasti tidak ingin ada di posisinya. Seorang pria tidak akan berubah bila sudah menyangkut selingkuh serta main tangan. Itulah kenyataan yang mesti Agni terima. Entah apa yang akan dilakukan dari sekarang setelah dapat perlakukan seperti itu dari suaminya sendiri seperti itu. Agni menuruni tangga dengan sedikit berlari. Dia hanya memfokuskan matanya untuk menuruni tangga dan tak melihat ke arah lain sembari memegangi gagang pinggiran tangga. Tapi saat dia sampai di bawah tangga, Agni melihat ke arah sofa ruang tamu dan mendapati sepasang suami istri paruh baya yang sedang duduk menikmati kopi dan hidangan yang dihidangkan bi Ira. “Eh Agni, gimana keadaan kamu?” Seorang wanita bersanggul dan dress marun bertanya. Yap. Ibu dan ayah mertuanya datang dengan sangat tiba-tiba, membuat Agni tercengang bukan kepalang. Agni mencoba membuang raut wajah panik dan cemasnya menjadi wajah biasa saja. Dia be
Agni dan bi Ira keluar dengan nampan di tangan berisi makanan. Mereka menyiapkan dan merapikannya di tengah-tengah meja. Mama mertuanya itu tersenyum melihat menantunya menyajikan makanan saat mereka datangi. Agni yang sedang menyajikan hanya tersenyum tipis. Setelah selesai dia bergabung untuk makan bersama. Saat makan bersama tak ada yang membuka suara, semua menikmati makan yang sudah dihidangkan di hadapan. Hanya ada dentingan suara piring dan sendok yang beradu. Semua sudah selesai, dan mereka duduk sebentar untuk mencerna semua makanan yang sudah masuk ke dalam perut. “Ini siapa yang masak?” Mama mertuanya melihat Agni bertanya.“Yang masak Bi Ira, Ma,” ucap Agni dengan sedikit senyuman. “Tapi pake resep non Agni, Nyonya.” Bibi Ira yang tiba-tiba muncul untuk membereskan meja makan pun menimpali.“Oh ya, wah enak banget masakan kamu.” Mamanya memuji dengan senyuman yang amat lebar. “Pulang yuk, Ma.” Papanya melihat jam di pergelangan tangan.“Ayo.” Mama Tian sembari berdir
Karina menarik tubuhnya dan mendudukkan dirinya di kursi tunggu panjang di depan ruang UGD. “Kamu harus tenang, gimana kamu mau buat Tante kuat, kalau kamu aja lemah.” Karina dengan kata-kata bijaknya memberi nasihat Axel sembari menaruh tangannya di bahu Axel. Axel yang risih dengan sentuhan itu membuang tangan Karina dengan bahunya sendiri. Dia meringkuk di bangku dan menundukkan kepalanya. Karina yang agak kesal tidak bisa melampiaskan kemarahannya karena mengerti yang terjadi pada Axel saat ini. Karina pun duduk di samping Axel, menunggu dokter keluar. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya pada Karina, orang yang membawa mamanya ke rumah sakit. Setelah sekitar sejam menunggu di ruang tunggu UGD, akhirnya dokter keluar dengan membawa brankar Bu Ningsih keluar dari ruang UGD. “Ma.” Axel yang melihat sontak bangkit dan memeriksa ibunya yang pingsan dengan infus di tangan mamanya. “Sebentar ya, mau dibawa ke ruang inap dulu.” Salah satu perawat yang membawa nakas Bu
“Mama?” Axel memanggil mamanya yang mulai membuka matanya itu. Dan benar saja Axel melihat kedua mata ibunya terbuka di depannya. Axel langsung memencet bel untuk memanggil para suster.Raut wajah Axel kini bersinar dan cerah dengan senyuman lebar yang terukir di bibirnya itu melihat ibunya sadar. Dokter yang tadi memeriksa Bu Ningsih kini kembali karena bel yang dipencet Axel. Saat dokter sampai bersama suster, dokter memeriksa detak jantungnya dan memeriksa pupil mata Bu Ningsih yang kini sudah sadar itu. “Mama kamu udah baik-baik aja kok kamu gak usah khawatir, dirawat satu atau dua hari lagi mama kamu udah bisa pulang,” jelas dokter tadi dengan lembut. Setelah semua selesai dokter bersama suster itu keluar dari kamar Bu Ningsih meninggalkan mereka berdua lagi. Axel yang sangat bahagia melihat mamanya sadar kini tak dapat melepaskan pandangannya kepada mamanya itu. Stelah tau resepsionis mama Axel bangun, mereka langsung menghantarkan makanan. Tok tok tok!Suara ketukan pintu
“Axel,” panggil Arkan sembari menggoyangkan pundaknya untuk menyadarkan dia dari lamunan. “Jangan-jangan Lo udah tau?” Arkan mencoba mencari tau apa yang terjadi pada temannya. “Akkk ... Gue harus gimana sekarang? Bahkan orang yang gue suka ninggalin gue,” lirih Axel dengan mengacak-acak rambutnya frustrasi. “Nih.” Arkan mengeluarkan handphonenya dan menunjukkan foto yang ambil saat mengantar paket. “Agni?” Axel yang sadar foto yang diberikan adalah foto Agni bersama dengan pria lain membuatnya tak bisa berkata-kata. “Maksud Lo nunjukin ini biar apa?” Axel berdiri Dengan amarah yang meluap. “Lo mau buat gue cemburu, hah?” Axel menaikkan suara geram dengan Arkan. “Lo gak liat, di foto Agni kenapa?” Arkan kembali bertanya dengan tatapan datar dan santai. “Maksud Lo?” Axel kembali memelankan suara mendengar kata-kata Arkan yang tak jelas maksudnya. Dia pun langsung melihat kembali ada apa dengan foto Agni. “Agni nunduk?” Axel memiringkan kepalanya bingung. “Lo bego atau memang
"Xel!" Agni menatap Axel berkaca-kaca. Tidak menyangka Axel tidak menyerah demi mendapatkanya. Padahal, Agni sempat ingin berpaling.Axel mengangguk maksum dan mencium kepala Agni. Tidak perlu berkata apapun. Karena Axel tau cinta Agni cuma untuknya."Tapi aku harus bilang sama papa dan mamanya Tian. Gimanapun mereka sangat baik ke aku!" Axel mengangguk maksum. Ia mengantarkan Agni ke rumah orangtua Tian. Di sana Agni disambut tapi mama Tian bingung siapa pria yang bersama Agni. Keduanya masuk dan menjelaskan kepada orangtua Tian.Mama Tian sangat kaget saat tau perbuatan Tian yang suka mengurung Agni."Astaga!" Dia tidak bisa menyalahkan Agni. "Lalu bagaimana, kamu ingin bercerai dari Tian, Agni?" Papa Tian menengahi. Dia dapat kabar dari orang kantornya kalau Tian punya hubungan gelap dengan sekretarisnya. Sepintar-pintarnya Tian menutupi, perselingkuhannya tercium juga dan papa Tian tidak bisa mengelak lagi. Selingkuh dan melakukan kekerasan fisik. Pantas anak mantunya tidak
Siang itu Axel menemui Agni di rumahnya. Dia ingin mengingatkan wanita itu perihal perlakuan Tian selama ini yang benar-benar salah, yaitu penuh kelicikan dan memfitnah habis-habisan. Sebenarnya dia tahu jika Agni pasti peduli, tetapi nampaknya selama ini Axel merasa tidak ada pergerakan apa-apa dari wanita itu. Jika dikata harus sabar, nampaknya Axel tidak bisa. Dia harus segera melanggar permasalahan ini dan bertindak lebih cepat dari Agni, yaitu dengan memberikan hukuman kepada Tian yang sudah berani berbuat. Jika tidak seperti ini, maka sampai selamanya Tian pasti akan terus-menerus seperti itu. Dia tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri dan bahkan hanya bisa menjadikan orang sebagai kambing hitam atau semua yang telah terjadi, tentang permasalahan yang ada. Mendengar dan melihat yang seperti itu, siapa yang tidak marah? Ya, tentu. Axel sudah bukan lagi ingin marah, tetapi dia memiliki rencana untuk membunuh Tian jika laki-laki itu masih terus-menerus keterlaluan dan semena-men
Di satu sisi, diam-diam Axel masih memikirkan tentang kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Tiba-tiba saja pemikirannya mengingat tentang kebohongan Agni yang selama ini disembunyikan. Axel kecewa mengapa wanita itu tega kepadanya, padahal selama ini Axel hanya berharap jika Agni mau jujur kepada dia.“Walaupun ini udah terjadi, tapi aku masih ingat jelas. Aku lupa cara melupakan ini semua. Sudah seharusnya aku nggak perlu lagi ingat-ingat soal itu.”Wanita paruh baya yang kerap disapa dengan nama bu Ningsih tiba-tiba saja menghampiri Axel. Pasalnya, sejak tadi dia melihat jika putranya itu seperti memperlihatkan raut wajah tidak tenang dan kepikiran terhadap sesuatu hal. Sebenarnya sejauh ini belum ada yang bisa diartikan oleh Bu Ningsih. Beliau sendiri bingung, apakah Axel sedang sakit atau tidak. Akan tetapi, dia tidak menemukan bukti dan tanda bahwa putranya itu mengalami hal yang dia pikirkan. Semua itu seperti terjadi begitu cepat dan Bu Ningsih harus segera menangani apa y
Tian begitu bersemangat menuju rumah Desi. Dia sangat yakin akan mendapat restu dari ayah dan ibunya Desi. Terlebih apa yang sudah dia lakukan selama ini. Itu pasti akan menjadi pertimbangan yang cukup membuatnya percaya diri. Mobilnya sudah masuk ke halaman rumah Desi yang hanya bisa memuat satu mobil dan satu motor saja. Tian langsung turun dan ternyata pintu rumah itu sudah terbuka seperti memang ingin menyambutnya. “Pak Tian, udah sampai,” sapa Desi yang kebetulan ke luar. “Ayo silakan masuk.” Desi berjalan di samping Tian malu-malu.Tian begitu bahagia melihat senyum di wajah Desi. Dia makin yakin kalau dia akan diterima dengan baik di rumah itu sebagai anggota keluarga baru. Tian benar-benar tidak ingat akan keberadaan Agni yang masih sah menjadi istrinya. Dia tidak sadar sedang mempermainkan dua hati wanita yang pasti nanti akan melukai salah satu dari mereka atau bahkan keduanya. Yang ada di pikirannya saat ini sudah pasti hanya bagaimana caranya mendapatkan Desi yang selalu
“Kalau begitu ibu tidak bisa melarang seperti yang ibu katakan tadi. Asalkan kamu harus selesai dulu dengan istri kamu.”Tian lantas tertegun. Meski dia begitu kesal dan marah pada Agni, tidak terlintas sedikit pun dalam hatinya untuk bercerai dengan istrinya itu. Di mata Tian, Agni adalah gadis yang baik dan santun. Terlebih kedua orang tuanya sangat menyayangi Agni. Jadi dia tidak berniat berpisah dari Agni. Tian terlihat begitu gugup. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan ibu Desi.“Bu. Kita makan dulu ya? Jangan bahas yang lain,” ucap Desi menengahi antara ibunya dan Tian. Dia tidak peduli bagaimana reaksi Tian selanjutnya, dia sudah cukup bahagia mendengar pengakuan Tian tentang perasaannya. Dan itu sudah lebih dari cukup.“Pak Tian. Maaf kalau pertanyaan ibu saya tadi ....”“Tidak apa-apa, Desi. Itu hal yang wajar sebagai seorang ibu.”Mereka sudah berada di luar rumah karena Tian akan pulang. “Tapi ....” Desi tidak mela
“Kamu beneran nggak apa-apa, Agni?” mama Tian begitu khawatir dengan menantunya yang terlihat sering murung. “Nggak, Ma. Agni baik-baik aja, kok. Mama jangan khawatir ya?”Wanita itu mengangguk mencoba percaya kalau sang menantu baik-baik saja.*“Pak Tian. Hari ini saya izin pulang lebih cepat, boleh?”Dessy sedang meminta izin pada Tian.“Mau ke mana?”“Tidak ke mana-mana, Pak. Ayah saya hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Tian bangkit dari kursi dan memakai jas. Lalu mengambil kunci mobil di atas meja.“Ayo saya antar.” Tian melenggang begitu saja melewati Desi yang tidak tahu maksud bosnya itu.“P-pak ....” Desi mempercepat langkah kaki untuk bisa sejajar dengan Tian.“Saya akan antar kamu ke rumah sakit dan kamu tidak bisa menolak. Lagi pula kita tidak ada pekerjaan lagi, kan?”Desi hanya bisa mengangguk karena tidak mungkin dia bisa menolak Tian.Ternyata semua urusan di rumah sakit sudah selesai. Jadi ayah Desi langsung bisa dibawa pulang. Dua orang tua itu duduk di bangku p
Dengan langkah terburu Tian menyusuri koridor rumah sakit daerah tempat ayah Desi dirawat sesuai alamat yang dia ikuti di aplikasi penunjuk jalan.Dari jauh dia melihat Desi dan ibunya duduk di bangku panjang di depan sebuah ruang ICU. Segera Tian menuju ke sana.“Desi,” panggil Tian pelan.Desi yang tadi sedang berpelukan dengan ibunya kini mengangkat wajah dan menatap Tian.“P-pak Tian?”“Bagaimana keadaan ayah kamu?”“Infeksi usus buntu,” jawab Desi lirih. Sebenarnya dia malu untuk meminta bantuan pada Tian hanya untuk operasi yang sebenarnya tidak terlalu memakan banyak biaya. Hanya saja mereka baru saja melunasi rumah yang saat ini mereka tempati. Jadi tabungan Desi benar-benar sudah tidak ada lagi. “Dokter bilang apa harus segera dioperasi,” timpalnya lagi.“Ya sudah kalau begitu ayo kita urus administrasinya, supaya ayah kamu lekas bisa ditangani.”Desi mengangguk dan beranjak bangkit.“Ibu tunggu di sini, ya?”Ibunya Desi setuju dengan ucapan Desi.Kemudian Tian dan Desi ber
Ya, orang itu adalah papanya Tian. Dia baru kembali dari pertemuan dengan beberapa pejabat daerah lainnya. “Kamu sedang apa di sini hujan-hujan begini?”Agni tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia bilang kalau melihat Tian yang hampir meniduri sekretarisnya sendiri.“Apa kamu bertengkar dengan Tian?” tebak pria paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih itu.Agni tidak menjawab. Dia lagi menundukkan kepala dengan tangan yang saling bertaut.Papa Tian tentu sudah tahu kalau tebakannya pasti benar.“Ya sudah kalau begitu ayo kamu pulang ke rumah papa saja. Nanti biar mama yang bilang sama Tian kalau kamu tinggal bersama kami untuk sementara waktu.”Karena tidak punya pilihan lain, akhirnya Agni mengangguk setuju untuk ikut bersama mertuanya. Dia duduk di bangku belakang sedangkan papa Tian duduk di samping sopir.“Loh, Agni. Kenapa bisa ikut papa?” tanya mama Tian setibanya suami sampai di rumah.“Sudah, masuk dulu.” Mama Tian mengangguk dan mengajak menantunya masuk k
Seketika wajah Agni berubah pias. Rantang yang ada di tangannya terempas jatuh ke lantai dan isinya berserakan. Dia melihat dengan jelas bagaimana tubuh Tian menindih seorang gadis yang hampir telanjang dan sedang menghisap puting payudara gadis itu dengan penuh nafsu.Sepasang manusia yang sedang dilanda gairah itu terkejut dengan kedatangan Agni.“A-Agni!” Tian langsung turun dari tubuh Desi dan menarik celananya ke atas dengan gerakkan terburu. Begitu juga dengan Desi yang langsung turun dan merangkak mencari bra dan kemejanya yang tadi dilempar sembarangan oleh Tian. Sadar dengan apa yang sedang terjadi, Agni langsung masuk dan menutup pintu agar tidak ada karyawan yang melihat adegan tersebut. Kini dia melihat dua orang berlainan jenis itu sibuk memasang pakaiannya kembali. Desi nampak ketakutan dari wajahnya yang pucat pasi. Berbeda dengan Tian yang wajahnya datar saja sambil terus menatap Agni. Meski awalnya sempat terkejut, tapi Tian sangat pandai menguasai diri dalam kondis