Agni dan bi Ira keluar dengan nampan di tangan berisi makanan. Mereka menyiapkan dan merapikannya di tengah-tengah meja. Mama mertuanya itu tersenyum melihat menantunya menyajikan makanan saat mereka datangi. Agni yang sedang menyajikan hanya tersenyum tipis. Setelah selesai dia bergabung untuk makan bersama. Saat makan bersama tak ada yang membuka suara, semua menikmati makan yang sudah dihidangkan di hadapan. Hanya ada dentingan suara piring dan sendok yang beradu. Semua sudah selesai, dan mereka duduk sebentar untuk mencerna semua makanan yang sudah masuk ke dalam perut. “Ini siapa yang masak?” Mama mertuanya melihat Agni bertanya.“Yang masak Bi Ira, Ma,” ucap Agni dengan sedikit senyuman. “Tapi pake resep non Agni, Nyonya.” Bibi Ira yang tiba-tiba muncul untuk membereskan meja makan pun menimpali.“Oh ya, wah enak banget masakan kamu.” Mamanya memuji dengan senyuman yang amat lebar. “Pulang yuk, Ma.” Papanya melihat jam di pergelangan tangan.“Ayo.” Mama Tian sembari berdir
Karina menarik tubuhnya dan mendudukkan dirinya di kursi tunggu panjang di depan ruang UGD. “Kamu harus tenang, gimana kamu mau buat Tante kuat, kalau kamu aja lemah.” Karina dengan kata-kata bijaknya memberi nasihat Axel sembari menaruh tangannya di bahu Axel. Axel yang risih dengan sentuhan itu membuang tangan Karina dengan bahunya sendiri. Dia meringkuk di bangku dan menundukkan kepalanya. Karina yang agak kesal tidak bisa melampiaskan kemarahannya karena mengerti yang terjadi pada Axel saat ini. Karina pun duduk di samping Axel, menunggu dokter keluar. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya pada Karina, orang yang membawa mamanya ke rumah sakit. Setelah sekitar sejam menunggu di ruang tunggu UGD, akhirnya dokter keluar dengan membawa brankar Bu Ningsih keluar dari ruang UGD. “Ma.” Axel yang melihat sontak bangkit dan memeriksa ibunya yang pingsan dengan infus di tangan mamanya. “Sebentar ya, mau dibawa ke ruang inap dulu.” Salah satu perawat yang membawa nakas Bu
“Mama?” Axel memanggil mamanya yang mulai membuka matanya itu. Dan benar saja Axel melihat kedua mata ibunya terbuka di depannya. Axel langsung memencet bel untuk memanggil para suster.Raut wajah Axel kini bersinar dan cerah dengan senyuman lebar yang terukir di bibirnya itu melihat ibunya sadar. Dokter yang tadi memeriksa Bu Ningsih kini kembali karena bel yang dipencet Axel. Saat dokter sampai bersama suster, dokter memeriksa detak jantungnya dan memeriksa pupil mata Bu Ningsih yang kini sudah sadar itu. “Mama kamu udah baik-baik aja kok kamu gak usah khawatir, dirawat satu atau dua hari lagi mama kamu udah bisa pulang,” jelas dokter tadi dengan lembut. Setelah semua selesai dokter bersama suster itu keluar dari kamar Bu Ningsih meninggalkan mereka berdua lagi. Axel yang sangat bahagia melihat mamanya sadar kini tak dapat melepaskan pandangannya kepada mamanya itu. Stelah tau resepsionis mama Axel bangun, mereka langsung menghantarkan makanan. Tok tok tok!Suara ketukan pintu
“Axel,” panggil Arkan sembari menggoyangkan pundaknya untuk menyadarkan dia dari lamunan. “Jangan-jangan Lo udah tau?” Arkan mencoba mencari tau apa yang terjadi pada temannya. “Akkk ... Gue harus gimana sekarang? Bahkan orang yang gue suka ninggalin gue,” lirih Axel dengan mengacak-acak rambutnya frustrasi. “Nih.” Arkan mengeluarkan handphonenya dan menunjukkan foto yang ambil saat mengantar paket. “Agni?” Axel yang sadar foto yang diberikan adalah foto Agni bersama dengan pria lain membuatnya tak bisa berkata-kata. “Maksud Lo nunjukin ini biar apa?” Axel berdiri Dengan amarah yang meluap. “Lo mau buat gue cemburu, hah?” Axel menaikkan suara geram dengan Arkan. “Lo gak liat, di foto Agni kenapa?” Arkan kembali bertanya dengan tatapan datar dan santai. “Maksud Lo?” Axel kembali memelankan suara mendengar kata-kata Arkan yang tak jelas maksudnya. Dia pun langsung melihat kembali ada apa dengan foto Agni. “Agni nunduk?” Axel memiringkan kepalanya bingung. “Lo bego atau memang
Tian langsung merubah raut wajahnya ke semula agar tak kelihatan bahwa dia sangat tergoda dengan likuk tubuh desy. Tian juga sempat menelan salivanya melihat tonjolan yang ada di dada begitu sempurna di matanya apa lagi dengan belah payudara itu karena kerah baju yang terlalu kendur. Namun, itu semua harus di hilangkan, Tian juga ingat kalau dia mempunyai seorang istri. Lalu dia mempersilahkan kembali duduk. “Duduk Des!” Tian dengan membentang tangannya menyuruh Desy duduk. Desy pun langsung duduk setelah di persilahkan dan diikuti oleh Tian yang duduk di sebelah Desy. “Pak ini beberapa dokumen yang bapak suruh bawa dan ini ada beberapa dokumen yang harus bapak tanda tangani.” Desy dengan gesit dan cekatan memberita tahu satu persatu. Dia juga menunjukkan dokumen-dokumen yang ingin di tandatangani oleh Tian.Dia menunjukkan satu persatu tempat di dokumen itu yang ingin di tanda tangani. Saat menunjukkan tempat itu, Desy memajukan badannya sehingga payudaranya hampir terkena tubuh
Saat menaiki tangga di melihat pintu kamar terbuka dan melihat Agni di dalam yang sedang di meja rias menyisir rambutnya. Tian masuk dan tak bicara, hanya langsung terduduk di spot tempat biasa dia tidur sembari memainkan handphone. Agni lagi-lagi menarik sebelah ujung bibirnya menatap Tian remeh dari balik kaca sembari menyisir rambutnya. Karena ingin mengejek Tian, tiba-tiba dia di panggil Bu Ira dari balik pintu. Tok tok tok!“Non, ada di dalem?” Bu Ira dengan nada bertanya dan lembut. “Iya Bik.” Agni yang mendengar langsung menaruh sisir itu di atas meja rias dan membukakan pintu lalu ke luar dari kamar itu. Setelah ke luar kamar, Agni kembali menutup pintu itu.“Ada apa bik?” Agni dengan nada penasaran. Dia juga melihat raut wajah Bik Ira yang sangat tak bisa di tebak apa yang ingin dia sampaikan. Bik Ira tak menjawab dan hanya memberikan sebuah koran kepada Agni. Dia menerima koran itu dengan raut wajah bingung. “Apa maksudnya Bik?” Agni sebelum membaca koran itu. “Non,
Akhirnya Agni merasakan kelegaan di hatinya setelah lepas dari terkaman binatang buas yang merupakan suaminya itu. Agni membungkukkan badannya dan menangis di depan pintu kamar yang dia kunci. Dia terus menangis tersedu-sedu karena tak menyangka ini terjadi dengannya. Mendengar tangisan itu. Bik Ira langsung naik untuk memeriksa keadaan Agni. “Non, kenapa? Apa yang terjadi apa Non, dan Aden?” ucap Bik Ira dengan nada bicara cemas dan memegang pundak Agni yang sedang menangis sendu. Agni hanya menangis dan menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba suara tendangan kuat mendarat dari dalam pintu yang Agni kunci. Brak!“Buka, Agni!” teriak Tian dengan penuh kemarahan dan menendangi pintu. “Buka, bakal abis Lo sama gue!” Tian masih dengan tentangan dan omelan marahnya itu. Agni yang takut langsung mengambil kunci yang masih tergantung di pintu itu dan bersembunyi di balik punggung Bik Ira. Dengan tangisan yang secara tiba-tiba berhenti karena sentakan dari Tian. “Enggak apa-apa, Non,” ucap
Setelah menyadari yang terjadi karena mendengar perkataan itu, Agni langsung berdiri dan menatap tajam Damar. “Om gak salah nanya? Seharusnya Om tanya apa yang udah Tian lakuin sama Agni!” Agni menaikkan satu oktaf suaranya sembari menunjuk-nunjuk dirinya sendiri sebagai pembelaan. “Apa yang salah kalau Tian mau haknya sebagai suami, gak ada, kan?” Damar juga ikut menaikkan satu oktaf suaranya. Dia tidak mengerti tepatnya tidak mau mengerti keponakannya yang menolak Tian, suaminya.“Om paham gak, sih, kalau Agni gak bahagia sama Tian.” Agni sudah kesal dan lelah dengan semuanya dan membantah semua tuduhan yang ditujukan kepadanya. “Dulu ke mana aja?” singkat Damar tapi dapat menyakiti hati Agni yang mendengar. “Emang kalau Agni nolak, Om bakalan batalin pernikahannya?” Agni dengan nada yang menyindir dan sedikit membesarkan matanya. “Iya, puas?” bentak Damar.Agni yang tercengang ditambah dengan wajah sedihnya. Air mata Agni mengalir begitu deras tapi tak memiliki ekspresi karena