Axel langsung mengantarkan tubuhnya untuk memeluk tubuh Agni. Disertai dengan tangisan, Agni segera membalas pelukan yang di layangkan oleh Axel. Axel memeluknya dengan sangat erat dan sedikit mengangkat tubuh Agni membuatnya tak menapak ke tanah, menandakan Axel sangat merindukannya.Agni masih menangis dan Arkan yang tak dapat membendung kebahagiaannya. Setelah dilepaskan dari pelukannya, Axel tersenyum bahagia bisa melihat Agni dari sekian lamanya. “Gue kangen banget sama Lo tau gak.” Axel seperti memberitahu perasaannya sembari memegang kedua pipi Agni dengan kedua tangan besar Axel. Agni juga merasakan rindu yang sangat mendalam, hampir setiap malam dia memikirkan Axel dan hari ini pertemuan mereka membuatnya sangat bahagia. “Gue juga kangen banget sama Lo, Xel.” Agni dengan senyuman bercampur kesedihannya itu memandang wajah yang sangat dia ingin pandang. Tiba-tiba saja hatinya tersentak mengingat saat ini statusnya dengan Axel sudah berbeda. Agni terlihat gelisah tetapi di
“Keluar, Lo.” Tian menyuruh dengan nada mengusir Anwar. Dia yang mendengar nada kasar ke luar dari anak manja itu langsung menjulurkan lidah dan ke luar dengan wajah julid. “Iya Des?” Tian melihat Desy dengan biasa kali ini. Dia tidak mau terlihat galak di depan Desy “Pak Tian tolong tanda tangani dokumen ini.” Desy memberikan dokumen yang ingin di tanda tangani. “Di mana?” Tian bertanya sembari melihat ke arah dokumen. Desy menunjuk satu-satu tempat Tian tanda tangan. Setelah selesai Desy tak beranjak dari tempat Tian.“Kenapa masih di sini?” Tian bertanya dengan melihat Desy yang menunduk.Desy mengumpulkan semua keberanian dan menarik nafas lalu membuangnya. “Pak saya minta maaf.” Desy dengan membungkukkan badan meminta maaf kepada bosnya itu. “Soal?” Tian dengan masalah yang ada di rumahnya, lupa dengan yang terjadi antara dia dan Desy. “Saya salah duduk.” Desy semakin menundukkan kepalanya malu dengan yang terjadi. “Oh gak papa, kamu keluar aja!” Tian dengan santai menyuruh
Kata-kata yang membuat hati Agni tenang dan bahagia saat Axel mengatakan hal yang begitu menyejukkan hatinya. Agni melihat Axel dengan tatapan yang amat sebagai sahabat. Mengenal sosok dewasa diantara riaknya sikap kekanakan Axel, serta bangga telah mencintai orang yang benar-benar baik. “Oh ya, Tante Ningsih gimana keadaannya?” Agni sambil menyantap makanannya. “Hufff ... Mama masuk rumah sakit, darah rendah tapi besok pagi udah boleh pulang sih.” Axel membuang nafasnya dan dengan sedikit memelankan suaranya. “Hah? Xel gue mau jenguk tante, dong.” Agni dengan suara sedikit merengek kepada Axel. “Iya, iya, abis ini dulu makanannya, ya!” Axel mengelus dan sedikit mengacak-acak rambut Agni. Agni yang mendapat perlakuan like a Queen itu sangat bahagia. Setelah selesai memakan makanannya, mereka bergegas untuk ke rumah akut menjenguk bu Ningsih. Sebelum pergi dia ingin berterima kasih kepada Arkan karena memberinya tumpangan hidup. “Arkan thanks ya udah ngebiarin gue nginep di sin
"Oh Karina,” bingung Agni masih dengan tangan yang bersalaman. Keheranan Agni semakin bertambah ketika Karina tak kunjung melepaskan tangan Agni. “Gue udah dijodohin sama Axel.” Karina berbicara setelah sekian lama bersalaman. “Hah?” Agni yang cukup kaget dengan ucapan Karina. “Belum tau ya?” Karina menyinggulkan senyum angkuh. Mencoba membuat Agni panas. Namun, sayangnya Agni tidak terpengaruh dengan kata-katanya. “Terus? Kenapa Lo kasih tau gue?” Agni menjawab. Tatapan kesal tetapi senyuman kecil terbit di bibirnya. “Kata sahabatnya Axel, ya harus tau, dong.” Karina membalas sama sengitnya. Sebuah senyuman ingin membuat Agni cemburu. Mendengar itu Agni malah terkekeh, menaikkan sebelah bibir lalu tersenyum smrik kepada Karina. Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan perempuan yang ada di hadapan itu. Karena yang paling tau Axel sendiri adalah Agni. Axel adalah pria yang tidak peduli pada sekitar. Dan kepedulian penuhnya jatuh pada Agni. Bukan Agni terlalu percaya diri
Agni begitu bahagia bersama Axel. Dia memeluk badan Axel saat berkendara. Mereka tertawa sepanjang perjalanan menuju rumah Agni. Agni langsung bisa tiba melupakan masa lalunya bersama Tian saat sedang bersama Axel seperti ini. Axel pun memperlakukan Agni dengan lembut. Menyentuh tangan Agni juga mengecup ujung jemarinya. Sungguh terasa seperti dunia milik mereka berdua “Makan dulu yuk,” ajak Axel. “Gue gak laper,” rengek Agni masih dengan memeluk pinggang Axel begitu posesif. Dia telah melupakan statusnya yang seorang istri. Melupakan kenangan buruk atau lebih tepatnya menskip kisah beberapa bulan lalu bersama Tian.Agni juga tidak mau mengakui ciuman Tian sebagai ciuman pertamanya. Karena Tian melakukannya dengan paksaan. “Bandel banget, sih.” Axel memukul betis Agni yang jika dia mengulurkan tangannya ke bawah maka akan mengenai kaki Agni. “Awww ....” Agni meringis manja“Sakit tauk!” Agni melepaskan pelukan lalu memukul pundak Axel dengan kuat. “Iya, iya, sorry.” Axel tertawa
Karena geram Tian pun makin membuat Agni kesakitan dan menggenggam erat pergelangan tangannya. Dia melakukannya sembari memberikan lontaran tatapan tajam kepada Axel. “Ahhh ....” Agni meringis tambah kuat karena pergelangannya yang sangat sakit sembari sedikit mencoba menggerakkan tangannya agar lepas walau dia tau akan tak ada gunanya tapi yang penting dia berusaha. “Lepasin!” Axel dengan wajah marah yang tak terbendung dan memerah serta kepalan kedua tangannya “Gue gak mau, dia istri gue, dan gue berhak atas dia,” tegas Tian. “Gue bilang lepasin!” Axel dengan teriakan dan menggelegar marah tak terbendung mendengar Agni tersakiti sambil melayangkan lagi tangannya ingin memukul Tian untuk ketiga kalinya. Namun kali ini, Axel bergerak lambat, sebelum tangan Axel sampai di pipi Tian, tangannya sudah ditangkap terlebih dahulu oleh orang suruhan Tian yang dia bawa itu. Kedua tangan Axel dipegang erat oleh dua orang. Axel mencoba untuk melepaskan kedua tangannya tapi tak bisa karena b
“Oh jadi dia di rumah, ya? Soalnya tadi saya ada liat seperti Agni, deh,” tutur Bu Ningsih mulai membuat Damar penasaran. Bisa dilihat, Damar adalah om yang tidak layak untuk gadis sebaik Agni. “Apa?” Damar yang mendengar langsung berdiri dari duduknya. “Di mana dia?” Damar bertanya kembali, penuh semangat. “Tapi kata pak Damar, dia ada di rumah?” ujar Bu Ningsih. “Saya gak begitu yakin, karena memang sepengetahuan saya Agni jarang keluar rumah.” Damar mulai mencari alasan. “Oh bentar ya, Pak. Saya juga kurang tau.” Bu Ningsih langsung Mematikan sambungan teleponnya dan langsung menelepon Axel. Saat di toko itu Axel sedang sendiri menunggu Agni keluar dari ruang ganti. Dan menerima telepon dari mamanya. “Halo, Ma?” Axel menjawab datar. “Kamu di mana?” Bu Ningsih berusaha memelankan suaranya.“Di toko baju puffy, Ma,” sahut Axel singkat. Tanpa balasan bu Ningsih langsung mematikan sambungannya sepihak dan membuat Axel heran tapi tak terlalu dia pikirkan dan kembali fokus k
“Diem, Lo!” Tian ikut marah. Tatapan mata yang membesar, wajah marah sembari menarik tangan Agni dengan kuat dan menyendat-nyendat karena Agni yang seperti menolak untuk masuk. “Sakit, Tian.” Agni meringis kesakitan sembari melonjak-lonjak karena tak ingin mengikuti tarikan dari Tian. “Kalau Lo gak diem, gue bunuh sahabat Lo itu!” bentak Tian dengan tatapan yang sangat menakutkan, rahang yang mengeras karena marah dan berhenti sejenak untuk ancaman itu. Agni mendengar ancaman itu langsung ciut dan tak berani melawan serta memberontak lagi. Dia tersentak dan tercengang dengan penuturan Tian yang amat menakutkan. Ketika Tian kembali menarik badan Agni menuju kamar mereka, Agni tak ada perlawanan lagi dan terus tertunduk karena takut dengan Tian. Dia mengikuti setiap perintah yang di berikan pria berstatus suami sahnya itu. “Kenapa gak dari tadi, sih,” kesal Agni yang tiba-tiba menurut saat menyangkut sahabatnya itu. Bi Ira yang menyadari akan keributan langsung keluar dari dapur d
"Xel!" Agni menatap Axel berkaca-kaca. Tidak menyangka Axel tidak menyerah demi mendapatkanya. Padahal, Agni sempat ingin berpaling.Axel mengangguk maksum dan mencium kepala Agni. Tidak perlu berkata apapun. Karena Axel tau cinta Agni cuma untuknya."Tapi aku harus bilang sama papa dan mamanya Tian. Gimanapun mereka sangat baik ke aku!" Axel mengangguk maksum. Ia mengantarkan Agni ke rumah orangtua Tian. Di sana Agni disambut tapi mama Tian bingung siapa pria yang bersama Agni. Keduanya masuk dan menjelaskan kepada orangtua Tian.Mama Tian sangat kaget saat tau perbuatan Tian yang suka mengurung Agni."Astaga!" Dia tidak bisa menyalahkan Agni. "Lalu bagaimana, kamu ingin bercerai dari Tian, Agni?" Papa Tian menengahi. Dia dapat kabar dari orang kantornya kalau Tian punya hubungan gelap dengan sekretarisnya. Sepintar-pintarnya Tian menutupi, perselingkuhannya tercium juga dan papa Tian tidak bisa mengelak lagi. Selingkuh dan melakukan kekerasan fisik. Pantas anak mantunya tidak
Siang itu Axel menemui Agni di rumahnya. Dia ingin mengingatkan wanita itu perihal perlakuan Tian selama ini yang benar-benar salah, yaitu penuh kelicikan dan memfitnah habis-habisan. Sebenarnya dia tahu jika Agni pasti peduli, tetapi nampaknya selama ini Axel merasa tidak ada pergerakan apa-apa dari wanita itu. Jika dikata harus sabar, nampaknya Axel tidak bisa. Dia harus segera melanggar permasalahan ini dan bertindak lebih cepat dari Agni, yaitu dengan memberikan hukuman kepada Tian yang sudah berani berbuat. Jika tidak seperti ini, maka sampai selamanya Tian pasti akan terus-menerus seperti itu. Dia tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri dan bahkan hanya bisa menjadikan orang sebagai kambing hitam atau semua yang telah terjadi, tentang permasalahan yang ada. Mendengar dan melihat yang seperti itu, siapa yang tidak marah? Ya, tentu. Axel sudah bukan lagi ingin marah, tetapi dia memiliki rencana untuk membunuh Tian jika laki-laki itu masih terus-menerus keterlaluan dan semena-men
Di satu sisi, diam-diam Axel masih memikirkan tentang kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Tiba-tiba saja pemikirannya mengingat tentang kebohongan Agni yang selama ini disembunyikan. Axel kecewa mengapa wanita itu tega kepadanya, padahal selama ini Axel hanya berharap jika Agni mau jujur kepada dia.“Walaupun ini udah terjadi, tapi aku masih ingat jelas. Aku lupa cara melupakan ini semua. Sudah seharusnya aku nggak perlu lagi ingat-ingat soal itu.”Wanita paruh baya yang kerap disapa dengan nama bu Ningsih tiba-tiba saja menghampiri Axel. Pasalnya, sejak tadi dia melihat jika putranya itu seperti memperlihatkan raut wajah tidak tenang dan kepikiran terhadap sesuatu hal. Sebenarnya sejauh ini belum ada yang bisa diartikan oleh Bu Ningsih. Beliau sendiri bingung, apakah Axel sedang sakit atau tidak. Akan tetapi, dia tidak menemukan bukti dan tanda bahwa putranya itu mengalami hal yang dia pikirkan. Semua itu seperti terjadi begitu cepat dan Bu Ningsih harus segera menangani apa y
Tian begitu bersemangat menuju rumah Desi. Dia sangat yakin akan mendapat restu dari ayah dan ibunya Desi. Terlebih apa yang sudah dia lakukan selama ini. Itu pasti akan menjadi pertimbangan yang cukup membuatnya percaya diri. Mobilnya sudah masuk ke halaman rumah Desi yang hanya bisa memuat satu mobil dan satu motor saja. Tian langsung turun dan ternyata pintu rumah itu sudah terbuka seperti memang ingin menyambutnya. “Pak Tian, udah sampai,” sapa Desi yang kebetulan ke luar. “Ayo silakan masuk.” Desi berjalan di samping Tian malu-malu.Tian begitu bahagia melihat senyum di wajah Desi. Dia makin yakin kalau dia akan diterima dengan baik di rumah itu sebagai anggota keluarga baru. Tian benar-benar tidak ingat akan keberadaan Agni yang masih sah menjadi istrinya. Dia tidak sadar sedang mempermainkan dua hati wanita yang pasti nanti akan melukai salah satu dari mereka atau bahkan keduanya. Yang ada di pikirannya saat ini sudah pasti hanya bagaimana caranya mendapatkan Desi yang selalu
“Kalau begitu ibu tidak bisa melarang seperti yang ibu katakan tadi. Asalkan kamu harus selesai dulu dengan istri kamu.”Tian lantas tertegun. Meski dia begitu kesal dan marah pada Agni, tidak terlintas sedikit pun dalam hatinya untuk bercerai dengan istrinya itu. Di mata Tian, Agni adalah gadis yang baik dan santun. Terlebih kedua orang tuanya sangat menyayangi Agni. Jadi dia tidak berniat berpisah dari Agni. Tian terlihat begitu gugup. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan ibu Desi.“Bu. Kita makan dulu ya? Jangan bahas yang lain,” ucap Desi menengahi antara ibunya dan Tian. Dia tidak peduli bagaimana reaksi Tian selanjutnya, dia sudah cukup bahagia mendengar pengakuan Tian tentang perasaannya. Dan itu sudah lebih dari cukup.“Pak Tian. Maaf kalau pertanyaan ibu saya tadi ....”“Tidak apa-apa, Desi. Itu hal yang wajar sebagai seorang ibu.”Mereka sudah berada di luar rumah karena Tian akan pulang. “Tapi ....” Desi tidak mela
“Kamu beneran nggak apa-apa, Agni?” mama Tian begitu khawatir dengan menantunya yang terlihat sering murung. “Nggak, Ma. Agni baik-baik aja, kok. Mama jangan khawatir ya?”Wanita itu mengangguk mencoba percaya kalau sang menantu baik-baik saja.*“Pak Tian. Hari ini saya izin pulang lebih cepat, boleh?”Dessy sedang meminta izin pada Tian.“Mau ke mana?”“Tidak ke mana-mana, Pak. Ayah saya hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Tian bangkit dari kursi dan memakai jas. Lalu mengambil kunci mobil di atas meja.“Ayo saya antar.” Tian melenggang begitu saja melewati Desi yang tidak tahu maksud bosnya itu.“P-pak ....” Desi mempercepat langkah kaki untuk bisa sejajar dengan Tian.“Saya akan antar kamu ke rumah sakit dan kamu tidak bisa menolak. Lagi pula kita tidak ada pekerjaan lagi, kan?”Desi hanya bisa mengangguk karena tidak mungkin dia bisa menolak Tian.Ternyata semua urusan di rumah sakit sudah selesai. Jadi ayah Desi langsung bisa dibawa pulang. Dua orang tua itu duduk di bangku p
Dengan langkah terburu Tian menyusuri koridor rumah sakit daerah tempat ayah Desi dirawat sesuai alamat yang dia ikuti di aplikasi penunjuk jalan.Dari jauh dia melihat Desi dan ibunya duduk di bangku panjang di depan sebuah ruang ICU. Segera Tian menuju ke sana.“Desi,” panggil Tian pelan.Desi yang tadi sedang berpelukan dengan ibunya kini mengangkat wajah dan menatap Tian.“P-pak Tian?”“Bagaimana keadaan ayah kamu?”“Infeksi usus buntu,” jawab Desi lirih. Sebenarnya dia malu untuk meminta bantuan pada Tian hanya untuk operasi yang sebenarnya tidak terlalu memakan banyak biaya. Hanya saja mereka baru saja melunasi rumah yang saat ini mereka tempati. Jadi tabungan Desi benar-benar sudah tidak ada lagi. “Dokter bilang apa harus segera dioperasi,” timpalnya lagi.“Ya sudah kalau begitu ayo kita urus administrasinya, supaya ayah kamu lekas bisa ditangani.”Desi mengangguk dan beranjak bangkit.“Ibu tunggu di sini, ya?”Ibunya Desi setuju dengan ucapan Desi.Kemudian Tian dan Desi ber
Ya, orang itu adalah papanya Tian. Dia baru kembali dari pertemuan dengan beberapa pejabat daerah lainnya. “Kamu sedang apa di sini hujan-hujan begini?”Agni tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia bilang kalau melihat Tian yang hampir meniduri sekretarisnya sendiri.“Apa kamu bertengkar dengan Tian?” tebak pria paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih itu.Agni tidak menjawab. Dia lagi menundukkan kepala dengan tangan yang saling bertaut.Papa Tian tentu sudah tahu kalau tebakannya pasti benar.“Ya sudah kalau begitu ayo kamu pulang ke rumah papa saja. Nanti biar mama yang bilang sama Tian kalau kamu tinggal bersama kami untuk sementara waktu.”Karena tidak punya pilihan lain, akhirnya Agni mengangguk setuju untuk ikut bersama mertuanya. Dia duduk di bangku belakang sedangkan papa Tian duduk di samping sopir.“Loh, Agni. Kenapa bisa ikut papa?” tanya mama Tian setibanya suami sampai di rumah.“Sudah, masuk dulu.” Mama Tian mengangguk dan mengajak menantunya masuk k
Seketika wajah Agni berubah pias. Rantang yang ada di tangannya terempas jatuh ke lantai dan isinya berserakan. Dia melihat dengan jelas bagaimana tubuh Tian menindih seorang gadis yang hampir telanjang dan sedang menghisap puting payudara gadis itu dengan penuh nafsu.Sepasang manusia yang sedang dilanda gairah itu terkejut dengan kedatangan Agni.“A-Agni!” Tian langsung turun dari tubuh Desi dan menarik celananya ke atas dengan gerakkan terburu. Begitu juga dengan Desi yang langsung turun dan merangkak mencari bra dan kemejanya yang tadi dilempar sembarangan oleh Tian. Sadar dengan apa yang sedang terjadi, Agni langsung masuk dan menutup pintu agar tidak ada karyawan yang melihat adegan tersebut. Kini dia melihat dua orang berlainan jenis itu sibuk memasang pakaiannya kembali. Desi nampak ketakutan dari wajahnya yang pucat pasi. Berbeda dengan Tian yang wajahnya datar saja sambil terus menatap Agni. Meski awalnya sempat terkejut, tapi Tian sangat pandai menguasai diri dalam kondis