Agni begitu bahagia bersama Axel. Dia memeluk badan Axel saat berkendara. Mereka tertawa sepanjang perjalanan menuju rumah Agni. Agni langsung bisa tiba melupakan masa lalunya bersama Tian saat sedang bersama Axel seperti ini. Axel pun memperlakukan Agni dengan lembut. Menyentuh tangan Agni juga mengecup ujung jemarinya. Sungguh terasa seperti dunia milik mereka berdua “Makan dulu yuk,” ajak Axel. “Gue gak laper,” rengek Agni masih dengan memeluk pinggang Axel begitu posesif. Dia telah melupakan statusnya yang seorang istri. Melupakan kenangan buruk atau lebih tepatnya menskip kisah beberapa bulan lalu bersama Tian.Agni juga tidak mau mengakui ciuman Tian sebagai ciuman pertamanya. Karena Tian melakukannya dengan paksaan. “Bandel banget, sih.” Axel memukul betis Agni yang jika dia mengulurkan tangannya ke bawah maka akan mengenai kaki Agni. “Awww ....” Agni meringis manja“Sakit tauk!” Agni melepaskan pelukan lalu memukul pundak Axel dengan kuat. “Iya, iya, sorry.” Axel tertawa
Karena geram Tian pun makin membuat Agni kesakitan dan menggenggam erat pergelangan tangannya. Dia melakukannya sembari memberikan lontaran tatapan tajam kepada Axel. “Ahhh ....” Agni meringis tambah kuat karena pergelangannya yang sangat sakit sembari sedikit mencoba menggerakkan tangannya agar lepas walau dia tau akan tak ada gunanya tapi yang penting dia berusaha. “Lepasin!” Axel dengan wajah marah yang tak terbendung dan memerah serta kepalan kedua tangannya “Gue gak mau, dia istri gue, dan gue berhak atas dia,” tegas Tian. “Gue bilang lepasin!” Axel dengan teriakan dan menggelegar marah tak terbendung mendengar Agni tersakiti sambil melayangkan lagi tangannya ingin memukul Tian untuk ketiga kalinya. Namun kali ini, Axel bergerak lambat, sebelum tangan Axel sampai di pipi Tian, tangannya sudah ditangkap terlebih dahulu oleh orang suruhan Tian yang dia bawa itu. Kedua tangan Axel dipegang erat oleh dua orang. Axel mencoba untuk melepaskan kedua tangannya tapi tak bisa karena b
“Oh jadi dia di rumah, ya? Soalnya tadi saya ada liat seperti Agni, deh,” tutur Bu Ningsih mulai membuat Damar penasaran. Bisa dilihat, Damar adalah om yang tidak layak untuk gadis sebaik Agni. “Apa?” Damar yang mendengar langsung berdiri dari duduknya. “Di mana dia?” Damar bertanya kembali, penuh semangat. “Tapi kata pak Damar, dia ada di rumah?” ujar Bu Ningsih. “Saya gak begitu yakin, karena memang sepengetahuan saya Agni jarang keluar rumah.” Damar mulai mencari alasan. “Oh bentar ya, Pak. Saya juga kurang tau.” Bu Ningsih langsung Mematikan sambungan teleponnya dan langsung menelepon Axel. Saat di toko itu Axel sedang sendiri menunggu Agni keluar dari ruang ganti. Dan menerima telepon dari mamanya. “Halo, Ma?” Axel menjawab datar. “Kamu di mana?” Bu Ningsih berusaha memelankan suaranya.“Di toko baju puffy, Ma,” sahut Axel singkat. Tanpa balasan bu Ningsih langsung mematikan sambungannya sepihak dan membuat Axel heran tapi tak terlalu dia pikirkan dan kembali fokus k
“Diem, Lo!” Tian ikut marah. Tatapan mata yang membesar, wajah marah sembari menarik tangan Agni dengan kuat dan menyendat-nyendat karena Agni yang seperti menolak untuk masuk. “Sakit, Tian.” Agni meringis kesakitan sembari melonjak-lonjak karena tak ingin mengikuti tarikan dari Tian. “Kalau Lo gak diem, gue bunuh sahabat Lo itu!” bentak Tian dengan tatapan yang sangat menakutkan, rahang yang mengeras karena marah dan berhenti sejenak untuk ancaman itu. Agni mendengar ancaman itu langsung ciut dan tak berani melawan serta memberontak lagi. Dia tersentak dan tercengang dengan penuturan Tian yang amat menakutkan. Ketika Tian kembali menarik badan Agni menuju kamar mereka, Agni tak ada perlawanan lagi dan terus tertunduk karena takut dengan Tian. Dia mengikuti setiap perintah yang di berikan pria berstatus suami sahnya itu. “Kenapa gak dari tadi, sih,” kesal Agni yang tiba-tiba menurut saat menyangkut sahabatnya itu. Bi Ira yang menyadari akan keributan langsung keluar dari dapur d
“Biii ....” Agni beranjak dari tempat tidur menuju pintu yang dibaliknya terdapat bi Ira dengan tangisan rengek seperti ingin mengadu pada orang tuanya.“Non?” Bi ira tidak mengerti dengan apa yang terjadi dalam. Tapi setidaknya ia tau, Agni tersiksa.“Sabar ya Non, Bi Ira bakalan buka kuncinya kalau den Tian sudah tidur.” Bi Ira dengan nada memberi semangat bahwa masih ada jalan jika dicari. “Jangan Bi, kalau nanti Bi Ira ketahuan sama Tian, Bi Ira bakalan kena masalah. Jangan ada lagi orang yang terkena masalah cuman gara-gara Agni.” Agni sembari menangis dan teringat akan Axel yang babak beluk dipukuli oleh Tian. “Terus gimana, Non?” Bi Ira bicara lirih dengan nada putus asa. “Untuk sekarang Bi Ira enggak usah pikirin itu, nanti biar Agni sendiri yang cari cara buat ke luar.” Agni sedikit tenang mendengar bi Ira yang sangat perhatian kepadanya. “Kalau sewaktu-waktu, Non butuh bantuan, bilang aja, Bibi bakalan bantu, Non,” Bi Ira dengan lembut. “Makasih, Bi.” Agni tersenyum men
Arkan langsung bergegas untuk menunjukkan kamar di mana Axel tadi dirawat. Saat mereka sampai di sana, mereka belum melihat seorang dokter pun ke luar dari ruangan Axel dirawat. “Mana Axel, Kan?” tanya bu Ningsih jadi sangat panik jika benar yang di dalam adalah anaknya. “Sebentar Bu, dokternya belum ke luar.” Arkan mencoba menenangkan mamanya Axel yang sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi jika anaknya sampai kenapa-kenapa. Arkan mendudukkan wanita itu di ruang tunggu depan. Karina yang ingin mencari muka kepada bu Ningsih pun mencoba menenangkannya yang terduduk di bangku begitu panik. “Tante jangan panik, ya? Axel bakalan baik-baik aja kok.” Karina menenangkan bu Ningsih dengan mengelus-elus pundak bu Ningsih yang tertunduk sembari menggigiti jarinya. Arkan yang tak percaya dengan yang dia lihat dan dengan itu membuat dia menaikkan alisnya sebelah, heran dengan yang di ucapkan Karina. “Hah ... ... Katanya gak percaya.” Arkan memutar bola matanya malas melihat kelakuan Karina
Bu Ningsih menjadi merasa bersalah pada anaknya sendiri. Karena ulah dia anaknya malah menjadi sasaran orang yang mencari Agni. Kalau saja dia tak bersikap gegabah dan memikirkan semua matang-matang sebelum melakukannya, maka ini tak akan terjadi. Dia hanya membuang napas penuh dengan penyesalan. Hanya karena ingin memisahkan Axel dan Agni yang terlalu dekat, dia membuat anaknya sendiri celaka. Akhirnya seperti seorang ibu yang menjemput kuburan anaknya sendiri. ‘wah ... ... Gila, dong, tu cewek ya, masa udah punya suami tapi masih deketin cowok lain. Axel juga tau dia punya suami tapi kok kayak biasa aja sih?” Karina yang tak memahami setiap sudut cerita Axel dan Agni hanya membatin sambil berasumsi. “Sekarang entah apa yang orang itu lakuin sama Agni di sana.” Axel melamunkan seperti tatapan bersalahnya kepada Agni. “Gue takut Agni di apa-apain sama Tian.” Sambung Arkan takut dengan yang akan terjadi dengan Agni. “Tunggu maksud kamu di apa-apain? Agni kan sudah bersuami jadi dia
“Agni nanti Den Tian bangun.” Bi Ira jadi menggertak Agni karena dia tahu Agni sangat takut dengan Tian. Itu dilakukan agar Agni mau menghentikan tangisnya.“A iya.” Agni langsung menghentikan tangisannya namun masih seperti menahan sedih yang dia rasakan jadi dia membentuk mulutnya menjadi manyun dengan sesenggukkan sesekali ke luar dari mulutnya.Bu Ira pun melepaskan pelukan dan mengelap air mata yang ke luar dari matanya. Agni selalu berpikir bahwa dia tak pernah bahagia di rumah ini. Yang ada, dia benci hidup di sini bersama moster keji dan sayangnya berstatus suaminya. Berpikir bawa tak ada yang pernah memandangnya sebagai manusia bebas di rumah yang dia benci. Agni ingin kebebasan sebagai mahluk diperjuangkan. Bukan terasing dan dikurung seperti ini.Ternyata di rumah yang benci inilah salah satu penghuninya sangat menyayangi dirinya layaknya anaknya sendiri. Saat bi Ira masih membersihkan air mata yang ke luar dari mata Agni, tiba-tiba suara Tian terdengar dengan melalui te