Bu Ningsih menjadi merasa bersalah pada anaknya sendiri. Karena ulah dia anaknya malah menjadi sasaran orang yang mencari Agni. Kalau saja dia tak bersikap gegabah dan memikirkan semua matang-matang sebelum melakukannya, maka ini tak akan terjadi. Dia hanya membuang napas penuh dengan penyesalan. Hanya karena ingin memisahkan Axel dan Agni yang terlalu dekat, dia membuat anaknya sendiri celaka. Akhirnya seperti seorang ibu yang menjemput kuburan anaknya sendiri. ‘wah ... ... Gila, dong, tu cewek ya, masa udah punya suami tapi masih deketin cowok lain. Axel juga tau dia punya suami tapi kok kayak biasa aja sih?” Karina yang tak memahami setiap sudut cerita Axel dan Agni hanya membatin sambil berasumsi. “Sekarang entah apa yang orang itu lakuin sama Agni di sana.” Axel melamunkan seperti tatapan bersalahnya kepada Agni. “Gue takut Agni di apa-apain sama Tian.” Sambung Arkan takut dengan yang akan terjadi dengan Agni. “Tunggu maksud kamu di apa-apain? Agni kan sudah bersuami jadi dia
“Agni nanti Den Tian bangun.” Bi Ira jadi menggertak Agni karena dia tahu Agni sangat takut dengan Tian. Itu dilakukan agar Agni mau menghentikan tangisnya.“A iya.” Agni langsung menghentikan tangisannya namun masih seperti menahan sedih yang dia rasakan jadi dia membentuk mulutnya menjadi manyun dengan sesenggukkan sesekali ke luar dari mulutnya.Bu Ira pun melepaskan pelukan dan mengelap air mata yang ke luar dari matanya. Agni selalu berpikir bahwa dia tak pernah bahagia di rumah ini. Yang ada, dia benci hidup di sini bersama moster keji dan sayangnya berstatus suaminya. Berpikir bawa tak ada yang pernah memandangnya sebagai manusia bebas di rumah yang dia benci. Agni ingin kebebasan sebagai mahluk diperjuangkan. Bukan terasing dan dikurung seperti ini.Ternyata di rumah yang benci inilah salah satu penghuninya sangat menyayangi dirinya layaknya anaknya sendiri. Saat bi Ira masih membersihkan air mata yang ke luar dari mata Agni, tiba-tiba suara Tian terdengar dengan melalui te
“Hi hi hi.” Suara cekikkan seorang pria yang dia hafal tersiar di telinga Agni. Dia terkejut karena suara tawa itu sangat mirip dengan suara Axel. Tapi mana mungkin?“Ini Axel?” Agni memelankan suaranya seperti ingin memastikan apakah itu benar Axel. Namun, mendengar itu semakin membuat orang yang ada di balik panggilan itu semakin tertawa geli.“Bener, Axel, kan?” Agni masih ingin memastikan apakah dugaannya tentang suara Axel itu benar.“Kalau Lo gak mau ngejawab gue bakal matiin dan gak akan pernah ngejawab telepon dari Lo lagi,” ancam Agni dengan nada kesal. “Iya, iya, ini gue Axel.” Axel berbicara dengan sisa-sia tawa yang tertinggal karena tingkah lucu Agni saat dikerjain. “Axelll!” Agni dengan nada merengek kesal dengan lelucon yang membuat Agni naik darah itu. “Gue jantungan gue pikir tadi ada orang yang mau neror gue,” Agni kesal dengan kelakuan Tian. “Maaf, maaf.” Tian meminta maaf karena sikapnya yang berlebihan menurut Agni, namun sangat menyenangkan menurut Axel. “Ta
Agni semakin membesarkan matanya ketika melihat Tian meletakkan handphone ke telinga dan berbicara kepada orang di balik panggilan itu. “Hallo,” Tian dengan nada datar dan suara Low tone memanggil siapa yang ada di seberang sana.“Hallo,” suara dari balik panggilan yang menjawab panggilan dari Tian. Tian yang mendengar suara itu langsung menjauhkan panggilan itu dari telinganya dan melihat Agni dengan tajam. Tatapannya bahkan membuat Agni menelan salivanya karena takut. “Maksud Lo apa?” Tian mengulurkan handphone karena panggilan di dalamnya. “Lo mau mainin gue?” tanya Tian dengan nada kesal kepada Agni. “Maksud Lo?” Agni heran dan bergetar, Agni takut ketahuan Tian sedang mengorbol dengan Axel.“Siapa dia?” Tian kembali bertanya masih dengan tatapan yang sama. Agni semakin tersudut dan tak bisa menjawab pertanyaan yang ditujukan oleh Tian. “Hufff ....” Tian mengendus kan napas karena dia tak kunjung menjawab pertanyaannya. Tian lalu menghidupkan loudspeaker dan bertanya kepa
"Bantu gue!” Axel dengan memegang tangan karina dan memasang wajah orang yang memerlukan bantuan. “Apa yang bisa gue bantu.” Karina merasa senang hati. Akhirnya Axel membutuhkannya. Senyum manis nampak di wajah, tentu Karina bersedia membantu Axel.“Lo harus jawab Telpon ini nanti kalau ada suara laki-laki yang ngomong!” Perintah Axel dengan cepat yang membuat Karina tak mengerti. “Hah?” Karina yang tak mengerti dengan apa yang di maksud Axel. Cuma terangga.“Hallo” tiba-tiba suara Tian terdengar dari balik panggilan dan membuat dia panik bukan kepalang untuk menyuruh Karina menjawab panggilan itu. Axel mengulurkan tangan yang berisi panggilan telepon lalu menyuruh Karina bicara dengan gestur wajah Axel. “Hallo.” Karina singkat dengan nada sedikit takut karena dia melakukannya hanya karena permintaan dari Axel. Setelah beberapa lama mereka mendengarkan pembicaraan antara Tian dan Agni yang masih belum terputus panggilannya. Axel dengan wajah marah dan kesal ingin menjemput Agni d
"Permisi Mbak,” Axel dengan sopan berbicara kepada salah satu staff yang berkerja di situ. “Iya pak, ada yang bisa saya bantu?” staff itu melayani penuh senyuman ramah. “Saya boleh ketemu sama managernya?” Axel langsung menampakkan wajah datar dan berterus terang. “Tapi apakah ada yang salah dengan toko kami, Pak?” staff itu dengan rasa cemas dan sedikit tersenyum. “Oh, enggak Mbak, kami kamu ketemu kepala managernya karena memang ada perlu,” ucap Axel tenang. Kali ini dia menyinggulkan senyum tipis.“Baik kalau begitu, tunggu di sini sebentar pak!” staff menyuruh Axel dan Arkan untuk menunggu sampai staff tadi kembali bersama dengan kepala managernya. Mereka pun terduduk di sofa yang ada di dalam toko, dan tak lama kemudian staff tadi kembali bersama dengan kepala managernya. “Baik Pak ini adalah kepala manager kami, silahkan bicara, saya permisi dulu.” Staff itu dengan sopan dan senyuman di di barengi dengan bungkukan sebagai tanda hormat kepada pelanggan. “Baik pak ada yang
“Tante. Kalau gitu Karina pulang dulu, ya?” pamit Karina seraya menyalami tangan Bu Ningsih penuh hormat.“Loh, kamu udah mau pulang? Maafin kelakuan Axel, ya, Rin. Axel mungkin hanya sedang banyak pikiran.” Bu Ningsih tidak ingin Karina salah paham dengan semua yang terjadi antara Axel dan Agni sehingga berniat menjauhi putranya.“Nggak apa-apa, Tante. Karina ngerti kok.” Setelah itu Karina langsung pulang. Meninggalkan bu Ningsih yang tidak enak hati pada Karina karena ulah Axel.Bu Ningsih segera menyusul Axel ke kamarnya. Dia langsung masuk karena pintu kamar putranya itu tidak dikunci. Axel baru saja ke luar dari kamar mandi setelah membersihkan tubuh.“Apa, Ma?” Axel tahu pasti kalau mamanya pasti akan membahas tentang Karina tadi.“Xel, tolong kamu jangan kaya gitu dong sama Karina. Apa kamu nggak bisa menghargai dia sedikit aja?” tanya Bu Ningsih. Dia duduk di tepi ranjang milik Axel. Memandangi sang putra yang sedang menyisir rambut sambil bercermin.“Kan, selama ini udah, m
Agni ke luar dari kamar mandi dengan mata sembap.‘Ini adalah tangisan terakhirku. Aku harus bisa mengambil keputusan jalan mana yang akan aku pilih untuk kehidupanku. Axel sangat baik, tapi Tian juga nggak jahat. Tian begitu karena aku selalu membantahnya. Aku mencinta Axel, tapi Tian juga layak dicintai.’Tangan Agni dia letakkan di dada. Biarlah, waktu yang akan membawanya pada jalan takdir.*“Desi, segera datang ke ruanganku,” titah Tian pada Desi saat dia baru tiba di kantor dan lewat di depan meja sekretarisnya itu menuju ruangan kerjanya.“Baik, Pak.”Setelah Tian masuk ke ruangannya, lima menit kemudian Desi juga ikut masuk seperti yang sudah diperintahkan padanya tadi.“Ada apa, Pak Tian? Apa ada sesuatu yang harus saya kerjakan?” tanya Desi dengan menyungging senyum ramah. Tian menatap tubuh Desi yang kini berdiri tegak di hadapan. Entah kenapa bayangan Agni saat berdekatan dengan Axel tiba-tiba muncul begitu saja. Ada rasa kesal karena dia sempat menduga telah terjadi ses