Kata-kata yang membuat hati Agni tenang dan bahagia saat Axel mengatakan hal yang begitu menyejukkan hatinya. Agni melihat Axel dengan tatapan yang amat sebagai sahabat. Mengenal sosok dewasa diantara riaknya sikap kekanakan Axel, serta bangga telah mencintai orang yang benar-benar baik. “Oh ya, Tante Ningsih gimana keadaannya?” Agni sambil menyantap makanannya. “Hufff ... Mama masuk rumah sakit, darah rendah tapi besok pagi udah boleh pulang sih.” Axel membuang nafasnya dan dengan sedikit memelankan suaranya. “Hah? Xel gue mau jenguk tante, dong.” Agni dengan suara sedikit merengek kepada Axel. “Iya, iya, abis ini dulu makanannya, ya!” Axel mengelus dan sedikit mengacak-acak rambut Agni. Agni yang mendapat perlakuan like a Queen itu sangat bahagia. Setelah selesai memakan makanannya, mereka bergegas untuk ke rumah akut menjenguk bu Ningsih. Sebelum pergi dia ingin berterima kasih kepada Arkan karena memberinya tumpangan hidup. “Arkan thanks ya udah ngebiarin gue nginep di sin
"Oh Karina,” bingung Agni masih dengan tangan yang bersalaman. Keheranan Agni semakin bertambah ketika Karina tak kunjung melepaskan tangan Agni. “Gue udah dijodohin sama Axel.” Karina berbicara setelah sekian lama bersalaman. “Hah?” Agni yang cukup kaget dengan ucapan Karina. “Belum tau ya?” Karina menyinggulkan senyum angkuh. Mencoba membuat Agni panas. Namun, sayangnya Agni tidak terpengaruh dengan kata-katanya. “Terus? Kenapa Lo kasih tau gue?” Agni menjawab. Tatapan kesal tetapi senyuman kecil terbit di bibirnya. “Kata sahabatnya Axel, ya harus tau, dong.” Karina membalas sama sengitnya. Sebuah senyuman ingin membuat Agni cemburu. Mendengar itu Agni malah terkekeh, menaikkan sebelah bibir lalu tersenyum smrik kepada Karina. Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan perempuan yang ada di hadapan itu. Karena yang paling tau Axel sendiri adalah Agni. Axel adalah pria yang tidak peduli pada sekitar. Dan kepedulian penuhnya jatuh pada Agni. Bukan Agni terlalu percaya diri
Agni begitu bahagia bersama Axel. Dia memeluk badan Axel saat berkendara. Mereka tertawa sepanjang perjalanan menuju rumah Agni. Agni langsung bisa tiba melupakan masa lalunya bersama Tian saat sedang bersama Axel seperti ini. Axel pun memperlakukan Agni dengan lembut. Menyentuh tangan Agni juga mengecup ujung jemarinya. Sungguh terasa seperti dunia milik mereka berdua “Makan dulu yuk,” ajak Axel. “Gue gak laper,” rengek Agni masih dengan memeluk pinggang Axel begitu posesif. Dia telah melupakan statusnya yang seorang istri. Melupakan kenangan buruk atau lebih tepatnya menskip kisah beberapa bulan lalu bersama Tian.Agni juga tidak mau mengakui ciuman Tian sebagai ciuman pertamanya. Karena Tian melakukannya dengan paksaan. “Bandel banget, sih.” Axel memukul betis Agni yang jika dia mengulurkan tangannya ke bawah maka akan mengenai kaki Agni. “Awww ....” Agni meringis manja“Sakit tauk!” Agni melepaskan pelukan lalu memukul pundak Axel dengan kuat. “Iya, iya, sorry.” Axel tertawa
Karena geram Tian pun makin membuat Agni kesakitan dan menggenggam erat pergelangan tangannya. Dia melakukannya sembari memberikan lontaran tatapan tajam kepada Axel. “Ahhh ....” Agni meringis tambah kuat karena pergelangannya yang sangat sakit sembari sedikit mencoba menggerakkan tangannya agar lepas walau dia tau akan tak ada gunanya tapi yang penting dia berusaha. “Lepasin!” Axel dengan wajah marah yang tak terbendung dan memerah serta kepalan kedua tangannya “Gue gak mau, dia istri gue, dan gue berhak atas dia,” tegas Tian. “Gue bilang lepasin!” Axel dengan teriakan dan menggelegar marah tak terbendung mendengar Agni tersakiti sambil melayangkan lagi tangannya ingin memukul Tian untuk ketiga kalinya. Namun kali ini, Axel bergerak lambat, sebelum tangan Axel sampai di pipi Tian, tangannya sudah ditangkap terlebih dahulu oleh orang suruhan Tian yang dia bawa itu. Kedua tangan Axel dipegang erat oleh dua orang. Axel mencoba untuk melepaskan kedua tangannya tapi tak bisa karena b
“Oh jadi dia di rumah, ya? Soalnya tadi saya ada liat seperti Agni, deh,” tutur Bu Ningsih mulai membuat Damar penasaran. Bisa dilihat, Damar adalah om yang tidak layak untuk gadis sebaik Agni. “Apa?” Damar yang mendengar langsung berdiri dari duduknya. “Di mana dia?” Damar bertanya kembali, penuh semangat. “Tapi kata pak Damar, dia ada di rumah?” ujar Bu Ningsih. “Saya gak begitu yakin, karena memang sepengetahuan saya Agni jarang keluar rumah.” Damar mulai mencari alasan. “Oh bentar ya, Pak. Saya juga kurang tau.” Bu Ningsih langsung Mematikan sambungan teleponnya dan langsung menelepon Axel. Saat di toko itu Axel sedang sendiri menunggu Agni keluar dari ruang ganti. Dan menerima telepon dari mamanya. “Halo, Ma?” Axel menjawab datar. “Kamu di mana?” Bu Ningsih berusaha memelankan suaranya.“Di toko baju puffy, Ma,” sahut Axel singkat. Tanpa balasan bu Ningsih langsung mematikan sambungannya sepihak dan membuat Axel heran tapi tak terlalu dia pikirkan dan kembali fokus k
“Diem, Lo!” Tian ikut marah. Tatapan mata yang membesar, wajah marah sembari menarik tangan Agni dengan kuat dan menyendat-nyendat karena Agni yang seperti menolak untuk masuk. “Sakit, Tian.” Agni meringis kesakitan sembari melonjak-lonjak karena tak ingin mengikuti tarikan dari Tian. “Kalau Lo gak diem, gue bunuh sahabat Lo itu!” bentak Tian dengan tatapan yang sangat menakutkan, rahang yang mengeras karena marah dan berhenti sejenak untuk ancaman itu. Agni mendengar ancaman itu langsung ciut dan tak berani melawan serta memberontak lagi. Dia tersentak dan tercengang dengan penuturan Tian yang amat menakutkan. Ketika Tian kembali menarik badan Agni menuju kamar mereka, Agni tak ada perlawanan lagi dan terus tertunduk karena takut dengan Tian. Dia mengikuti setiap perintah yang di berikan pria berstatus suami sahnya itu. “Kenapa gak dari tadi, sih,” kesal Agni yang tiba-tiba menurut saat menyangkut sahabatnya itu. Bi Ira yang menyadari akan keributan langsung keluar dari dapur d
“Biii ....” Agni beranjak dari tempat tidur menuju pintu yang dibaliknya terdapat bi Ira dengan tangisan rengek seperti ingin mengadu pada orang tuanya.“Non?” Bi ira tidak mengerti dengan apa yang terjadi dalam. Tapi setidaknya ia tau, Agni tersiksa.“Sabar ya Non, Bi Ira bakalan buka kuncinya kalau den Tian sudah tidur.” Bi Ira dengan nada memberi semangat bahwa masih ada jalan jika dicari. “Jangan Bi, kalau nanti Bi Ira ketahuan sama Tian, Bi Ira bakalan kena masalah. Jangan ada lagi orang yang terkena masalah cuman gara-gara Agni.” Agni sembari menangis dan teringat akan Axel yang babak beluk dipukuli oleh Tian. “Terus gimana, Non?” Bi Ira bicara lirih dengan nada putus asa. “Untuk sekarang Bi Ira enggak usah pikirin itu, nanti biar Agni sendiri yang cari cara buat ke luar.” Agni sedikit tenang mendengar bi Ira yang sangat perhatian kepadanya. “Kalau sewaktu-waktu, Non butuh bantuan, bilang aja, Bibi bakalan bantu, Non,” Bi Ira dengan lembut. “Makasih, Bi.” Agni tersenyum men
Arkan langsung bergegas untuk menunjukkan kamar di mana Axel tadi dirawat. Saat mereka sampai di sana, mereka belum melihat seorang dokter pun ke luar dari ruangan Axel dirawat. “Mana Axel, Kan?” tanya bu Ningsih jadi sangat panik jika benar yang di dalam adalah anaknya. “Sebentar Bu, dokternya belum ke luar.” Arkan mencoba menenangkan mamanya Axel yang sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi jika anaknya sampai kenapa-kenapa. Arkan mendudukkan wanita itu di ruang tunggu depan. Karina yang ingin mencari muka kepada bu Ningsih pun mencoba menenangkannya yang terduduk di bangku begitu panik. “Tante jangan panik, ya? Axel bakalan baik-baik aja kok.” Karina menenangkan bu Ningsih dengan mengelus-elus pundak bu Ningsih yang tertunduk sembari menggigiti jarinya. Arkan yang tak percaya dengan yang dia lihat dan dengan itu membuat dia menaikkan alisnya sebelah, heran dengan yang di ucapkan Karina. “Hah ... ... Katanya gak percaya.” Arkan memutar bola matanya malas melihat kelakuan Karina