Anandita dengan langkah malas memasuki kantor cabang milik ayahnya itu. Dirinya terlalu malas berurusan dengan pekerjaan seperti ini. Bertahun-tahun setelah selesai kuliah, Anandita di suruh memegang salah satu perusahaan milik Arthur, namun Anandita sama sekali tidak mau. Dirinya malah memilih menikah dengan Nayaka pada waktu itu.
Bukan tanpa sebab, dirinya memang terlalu malas berurusan dengan orang asing. Tapi kali ini, Anandita harus menerima kenyataan, dan dirinya harus bekerja. "Pagi Bu Dita," seorang pria paruh baya yang di ketahui sebagai manajer di perusahaan itu menyapa Anandita. Dirinya sudah menunggu anak dari atasannya yang akan memimpin perusahaan itu di loby perusahaan itu. Sudah di hubungi sebelumnya oleh Arthur, dan dirinya bergegas menunggu sang atasan di sana. Anandita menurunkan kaca mata yang menempel pada hidungnya, matanya melirik pada seorang pria paruh baya yang tampak menunduk hormat padanya. "Pak Jasen?" Pria yang bernama Jasen itu mengangguk dengan senyuman lebar di bibirnya. "Iya, Bu Dita. Mari silahkan saya akan antar anda ke ruangan anda. Dan setelahnya saya sudah memanggil semua karyawan untuk berkumpul di ruangan aula, saya akan mengumumkan anda sebagai atasan kami." Ucap Jasen dengan sopan. Anandita menganggukkan kepalanya singkat, tak mau ambil pusing soal itu, dirinya menyerahkan semuanya pada pria itu. Yang penting tidak membuatnya ribet. Anandita berjalan dengan Jasen yang ada di belakangnya, lalu Rara yang berlari tergopoh-gopoh karena tertinggal, dan dirinya harus memikirkan mobil milik Bu bos-nya terlebih dahulu. Dirinya harus cepat mensejajari langkah kaki Anandita. "Bos!" Seru Rara, namun keberuntungan tidak berpihak pada Rara. Rara malah tertinggal oleh Anandita dan pria itu, kini Rara menatap sendu lift yang terkusus milik petinggi perusahaan itu yang sudah tertutup. "Ya ampun, gue harus apa?" Sentak Rara frustasi. Matanya melirik lift yang ada di sebelahnya, lalu ingin masuk ke dalam sana, tapi sudah banyak karyawan yang naik ke sana. Rara mendesah, rasanya kesal sekali dirinya. Dirinya terpaksa menunggu, daripada Rara naik tangga ke lantai sepuluh, kan tidak lucu. Beruntung sebelumnya Arthur telah menjabarkan semuanya, termasuk di lantai berapa ruangan Anandita. Tak lama hp di dalam tas selempang milik Rara berdering nyaring, Rara yang masih menunggu lift itu langsung tersentak. Buru-buru dirinya mengambil hp miliknya. Tertera nama Bu bos di sana. Ini mereka sudah tukeran nomor hp dari dalam mobil tadi. Rara menggeser icon hijau di layar sana. "Hall–" "Kamu dimana?!" Rara sampai menjauhkan hpnya itu saat mendengar suara pekikan dari sang bos. "Saya sudah nungguin kamu dari lima menit yang lalu. Cepat, ke ruangan saya, saya perlu kamu, Rara." Rara menghela nafasnya kasar. "Baik Bu bos." Panggilan itu mati, Rara mendesah. "Astaga! Jadi asisten nggak gampang, kayak babu! Walaupun gajinya gede" batin Rara frustasi, dirinya langsung bergegas menuju ke tangga, tidak ada pilihan lain selain berjalan menaiki dan menuruni tangga. Sampai di lantai sepuluh, di ruangan Anandita Rara merosot dengan nafas yang tersengal-sengal. Anandita yang melihat itu mengernyitkan sebelah alisnya. "Kamu kenapa? Saya suruh kamu datang cepat, ini malah kamu datang udah hampir dua puluh menit! Waktu saya berharga kalau kamu –" "Saya capek, Bu. Habis turun tangga, naik lagi. Kalau ibu mau ngomel nanti saja." Sela Rara tanpa sadar dirinya menyela perkataan Anandita. Anandita semakin mengerutkan keningnya. "Lah, kenapa kamu harus naik tangga?" "Lift-nya penuh, ibu. Sedangkan lift yang ibu naikin jelas nggak boleh, karena itu lift khusus." Sahut Rara, sambil memejamkan kedua matanya menetralisir rasa lelah yang luar biasa. "Kasih saya waktu untuk istirahat, Bu" Anandita tak menjawabnya, dirinya malah berjalan menuju ke arah lemari kulkas yang ada di ruangannya ini. Sungguh lengkap di sini, lemari kulkas juga ada, dan istrinya full, ada banyak makanan ringan serta minuman dingin. Dan jangan lupakan ada ruangan khusus untuk Anandita tidur. Pak Jansen tadi yang mengatakan dan menunjukkan pada Anandita. Anandita tak menyangka ayahnya akan menyiapkan semua ini dengan matang seperti ini. Dirinya bahkan menjadi terharu. "Minum. Dan istirahat sana di sofa, jangan duduk di situ, pinggang kamu nanti tambah sakit" kata Anandita sambil meletakkan minuman dingin di samping Rara. Rara membuka matanya, jelas tentu tertegun dengan sikap bos-nya. Padahal di mobil tadi Anandita rese' -nya luar biasa. Tapi ini... Kalimat Nayaka terngiang-ngiang di dalam kepalanya. "Istri saya baik banget, kamu bakalan senang bekerja dengan dia." "Masa' sih pak?" "Iya, hanya orang yang belum mengenalnya saja yang tidak tau sifat aslinya" "Pak Nayaka, sudah mantan istri loh, jangan sebut istri lagi" "Diam kamu Lupus, saya sumpal mulut kamu dengan kaos kaki busuk nanti". Rara tersenyum mengingat perbincangan singkat di dalam mobil saat Lupus pacarnya hendak mengantarkannya ke rumah atasannya, dirinya baru sadar dengan apa maksud ucapan Nayaka. Anandita baik pada orang yang sudah di kenalnya, dan tidak menunjukkan sikap baiknya itu pada orang asing. Dan Rara semakin mengerti bagaimana karakter bos-nya itu. * * Satu harian penuh, dan Rara akhirnya terbebas dari pekerjaan yang menumpuk. Anandita sudah di antar pulang oleh Rara, dan kini Rara harus ke kafe lagi bertemu dengan Nayaka dan Lupus yang mengajaknya bertemu. Namun siapa sangka, sebuah penawaran yang menggiurkan di tawarkan oleh pak bos pacarnya. "2 juta." Rara mencibir, mendengar nominal angka itu rasanya masih terlalu biasa saja, sedangkan Arthur saja membayarnya sepuluh juta sebulan. "Dikit banget" Nayaka mendengus. "Dasar matre!" Hardik Nayaka kesal sendiri dengan pacar asisten pribadinya itu. Terlalu matre, padahal Nayaka hanya meminta informasi saja, dan Rara tak perlu melakukan apapun, hanya mengetik pesan saja. "Perempuan itu harus matre, bos. Kalau nggak matre nggak glowing kayak saya." Sahut Rara sambil mengelus pipinya. Nayaka mencibir. "Glowing darimana? Muka kamu udah kayak pantat wajan gitu kamu bilang glowing." Emang ya, mulut Nayaka itu kayak cabe level sepuluh, dan tidak ada obatnya, Rara mengerucutkan ujung bibirnya, lalu melirik ke arah Lupus dengan mata yang berkaca-kaca. "Sayang, lihat bos kamu" Lupus jadi gelagapan, dirinya bingung mau membela siapa, kalau tak membela Nayaka sudahlah habis gajinya di potong nanti. "Cup cup, jangan nangis sayang, bos Nayaka emang gitu. Sabar ya." "Ngeselin tau. Tukar aja sama yang lain." Nayaka mendelik. "Pasangan gila!" Sentak Nayaka lalu melengos, rasanya tak mau menghadapi Rara, andai saja dirinya tak butuh sudah malas dirinya. "Tambahin dikit bos. Lagian bos kan orang kaya, harta bos juga nggak bakalan habis tujuh turunan." "Ya harta saya tidak habis, tapi saya juga tidak akan menghabiskan harta saya untuk kamu" sahut Nayaka judes. Rara mencibir. "Yaudah kalau nggak mau, situ juga yang butuh kan? Bayaran dari pak Arthur juga banyak, dan aku juga bakalan jalanin misi dari pak Arthur, mencari sosok pangeran nan tampan dan kaya raya untuk Bu Anandita yang cantik." Sahut Rara santai, bahkan dirinya menyeruput es cappucino yang di pesannya tadi. Mata Nayaka mendelik, lalu menggebrak meja yang ada di depannya sampai membuat Rara tersedak minumannya. Lupus buru-buru menepuk-nepuk punggung pacarnya itu. "Jangan ngomong begitu kamu! Belum tau saya seperti apa?!" Desis Nayaka menatap tajam ke arah Rara. Lupus dan Rara sampai bergidik ngeri melihat aura menakutkan dari Nayaka. "Saya tidak akan membiarkan Dita bersama dengan pria manapun. Saya singkirkan dia," ucap Nayaka lagi. Rara meneguk ludahnya susah payah, lalu menoleh ke arah Lupus yang tampak pucat pasih. Pacarnya pasti lebih tau seperti apa seorang Nayaka. Dengan takut-takut Rara terpaksa menerima tawaran itu. "Du–dua juta juga nggak apa-apa deh bos. Untuk jajan di mall." Sahut Rara. Nayaka mengangguk, ternyata sedikit ancaman membuat gadis itu mau menurutinya. Bukannya Nayaka tak sanggup membayar dalam jumlah besar, tapi Nayaka terlalu malas melontarkan uangnya untuk gadis itu. Lebih baik uangnya di tabung untuk Anandita dan anaknya nanti bukan. "Oke. Dan mulai besok, kamu berikan informasi semuanya tentang Anandita pada saya." Nayaka menoleh ke arah Lupus. "Pus, kasih nomor saya ke dia. Dan kasih uang dpnya." Mata Rara membulat mendengar uang DP. "Beneran bos?" Nayaka mengangguk singkat, menarik cangkir kopi hangatnya lalu menyeruputnya perlahan. Mata Rara berbinar dan menoleh ke arah Lupus. Lupus jadi senyum-senyum. "Jangan mengkhianati saya, kalau sampai kamu membuat istri saya dapat suami baru, kamu tau konsekuensinya." Ancam Nayaka lagi. "Pak bos, mantan istri." Ralat Lupus, soalnya Nayaka selalu salah menyebut. Nayaka mendelik, membanting cangkir yang ada di tangannya di atas meja sana. "Repot banget mulut kamu? Suka-suka saya lah." Ketus Nayaka. Lupus mengatupkan bibirnya, tak berani lagi berbicara. Sedangkan Rara terkikik di dalam hati, satu kesimpulan yang dapat Rara ambil, jika bos pacarnya itu tak bisa move on dari bosnya. Ya iyalah, gimana mau move on, modelannya Bu Anandita yang kayak Barbie hidup. Rara saja terpesona melihat kecantikannya. * * Sesuai apa yang di katakan oleh Nayaka, Rara pacar Lupus yang menjadi asisten pribadinya Anandita langsung melaksanakan semua perintah Nayaka. Toh dirinya juga mendapatkan uang dari Nayaka karena telah menjadi mata-mata Anandita. Hari ini, dirinya langsung menjalankan tugas dari Nayaka. |Hari ini jam satu, Bu bos mau ketemu sama klien yang dari Arab.| Send pak bos. Ting |Share dimana tempat ketemuannya, saya akan datang juga,| dengan cepat chat Rara langsung mendapatkan balasan dari Nayaka. Dan Rara yang melihat itu mengulum senyum. |Di kafe Permata,| Sudut bibir Nayaka tertarik ke atas menciptakan sebuah sunggingan senyuman lebar, lalu kepalanya menoleh ke arah Lupus. "Pus, batalkan ketemu klien jam makan siang hari ini. Ada urusan yang lebih penting." Lupus yang memegang berkas itu menoleh dengan wajah terkejutnya. "Bos, ini pertemuan penting loh, klien kita jauh-jauh dari Korea Selatan, masa' bos mau batalin aja?" Tanya Lupus tak percaya, bahkan Nayaka sudah jauh-jauh hari ingin melakukan kerja sama dengan kliennya ini. "Halah kalau mau dia jam tiga nanti." "Tapi bos." "Saya atau kamu yang bos-nya di sini?" Sentak Nayaka. Lupus bungkam, dan dirinya langsung melaksanakan tugas dari Nayaka Sedangkan Nayaka sudah senyum-senyum sendiri, sebuah rencana sudah tersusun apik di dalam kepalanya, jika nanti ada kesempatan, dirinya akan mendatangi meja Anandita, dan mengajak ngobrol istrinya. Ahh Nayaka sudah rindu sekali dengan istrinya itu. Eh, mantan istrinya. ...“Aastaga, bos gue selama cerai jadi gila” batin Lupus mengeluh menyaksikan tingkah bos-nya yang di luar nalar itu. Bagaimana tidak, jika Nayaka bersikap seperti biasa saja saat menguntit sang mantan istri mungkin Lupus tak akan mengeluh seperti saat sekarang ini, bosnya malah mengenakan kostum tentara dengan wajah yang di coret- coret, padahal kalau berpenampilan seperti biasa saja, tak ada yang curiga juga. Ini penampilan bos-nya yang seperti ini malah menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung kafe itu. "Mama!! Ada pak tentara yang mau perang!!" Seru seorang bocah laki-laki sambil menunjuk ke arah Nayaka dan Lupus. Lupus sudah misu-misu sambil mengumpat. Sang wanita yang merupakan mamanya anak itu langsung menarik tangan anaknya. "Jauh-jauh Nikel, itu bukan tentara, tapi orang gila yang nyasar ke kafe ini" kata wanita itu. Nayaka tak peduli dengan perkataan perempuan itu, yang dirinya pedulikan hanyalah Anandita. Fokusnya pada Anandita saja. Sedangkan Lupus sudah menatap ke
Srett“Jauhkan tangan kamu dari tubuh istri saya!” Pekik Nayaka, matanya menyorot tajam ke arah pria yang tadi berani sekali menyentuh mantan istrinya itu..Pria itu mengangkat keua tangannya ke atas tana kalau dirinya tidak tau. "Maaf, saya hanya ingin menolong saja." Ucap pria itu.Nayaka berdecih sinis, lalu membuang pandangannya ke samping, dadanya masih berebar sangat kencang menahan rasa emosi yang menyelimuti dirinya. Lalu matanya menoleh ke arah Anandita yang masih berada di dalam dekapannya."Saayang...""Lepas!" Pekik Anandita, lalu menepis tangan Nayaka yang ingin meraih tangannya kembali."Jauh-jauh dari saya!"Nayaka mengusap wajahnya kasar, bahkan tangannya sudah penuh dengan tinta berwarna hijau yang ada di wajahnya tadi."Sayang, kita perlu berbicara, jangan seperti ini." Ucap Nayaka.Anandita tertawa miris. "Mau bicaa apa lagi ha?! Mau kasihbtau bagaimana kamu berhubungan dengan wanita itu, iya?!" Sentak Anandita matanya berkaca-kaca."Sayang, kamu harus mendengar p
"Sudah pulang? Bagaimana tadi ketemu kliennya? Tadi pak Jansen sudah menghubungi ayah, katanya kamu berhasil membuat klien yang dari Arab itu bekerja sama dengan perusahaan kita." Ucap Arthur saat melihat Anandita baru tiba di rumah. Arthur sengaja pulang cepat karena ingin bertanya pada anaknya itu.Anandita tersenyum tipis, dirinya hanya mengangguk singkat saja, Anandita juga lagi tidak mood setelah pertemuan tadi dengan Nayaka.Arthur mengangkat alisnya ke atas saat melihat wajah murung anaknya. "Kamu kenapa kok kayaknya tidak semangat gitu? Ada yang mengusik pikiran kamu? Ayah lihat tadi kamu baik-baik saja"Anandita mengerjapkan kedua bola matanya, dirinya tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada ayahnya jika dirinya habis bertemu dengan mantan suaminya."Eum nggak kenapa-kenapa kok, Yah, Dita cuman capek aja," sahut AnanditaArthur mengangguk. "Nanti ayah hubungi Jansen dan bilang sama dia biar dia ngurangi pekerjaan kamu, kasihan anak ayah jadi capek kayak begini."Anand
|Kabar buruk, bos. Hari ini kata Rara, Bu bos akan ketemu sama pria yang mau di jodohkan sama Bu bos. Mereka akan ketemu di kafe Permana, jam sepuluh|Mata Nayaka mendelik membaca pesan yang baru saja di kirim oleh Lupus. Ini Nayaka baru saja selesai mandi, dan dirinya sungguh tak menyangka jika Lupus akan membawa kabar yang tak mengenakan. Bukan tak mengenakan lagi, kabar ini bahkan membuat hati Nayaka benar-benar mendidih. Nayaka sungguh marah sekali.PrangPonsel mahal itu harus hancur lebur saat Nayaka tiba-tiba membantingnya, Nayaka sama sekali tidak peduli dengan ponselnya yang berharga puluhan juta itu. Amarahnya kai ini benar-benar tidak bisa di bendung lagi.Kalau saja ada seseorang di dekat Nayaka, mungkin Nayaka akan menghajar orang itu."Saya tidak akan membiarkan siapapun itu bisa memiliki kamu, Dita.." Seru Nayaka engan nafas yang memburu,Nayaka langsung meraih tas kerjanya, tidak peuli engan ponselnya yang sudah hancur, irinya langsung bergegas menuju ke kantor.Sampai
Nayaka menarik pisau yang sudah memang di belinya di toko tadi. Dirinya memang tak pernah membawa senjata tajam seperti itu, jadi dirinya tak punya. Ada sih, di apartemennya, itu juga untuk memotong sayuran. Tidak mungkin Nayaka kembali ke apartemennya lagi hanya untuk mengambil pisau, dirinya bisa membeli di toko ataupun tempat yang lainnya."Bos beneran?" Lupus jadi bergidik sendiri melihat sang bos yang sibuk dengan pisau tajam itu. Dirinya tak menyangka jika bos-nya bisa jadi se-psikopat seperti ini.Nayaka mengangkat kepalanya. Menoleh ke arah Lupus yang wajahnya memang benar-benar takut. "Kenapa? Kamu mau jadi bahan eksperimen?" Alis Nayaka di naik turunkan.Lupus dengan cepat menggelengkan kepalanya, gila saja kalau dirinya mau. Dirinya belum menikah, dirinya masih mau hidup lama."Tapi, beneran bos mau cincang itu orang?""Tergantung sih, kalau dia ngeyel,"Jawaban ambigu, tapi membuat Lupus bertambah ngeri. Dirinya tak mengatakan apapun lagi, karena takut salah bicara yang
“Astaghfirullah...” Anandita buru-buru masuk ke dalam mobil dan mengelus dadanya yang berdebar sangat kencang."Kenapa dia ada dimana-mana?" Gumam Anandita.Rara yang ada di samping duduk di kursi kemudi itu mengerutkan keningnya. "Bu bos kenapa?" Tanya Rara yang heran kenapa tiba-tiba atasannya seperti itu.Anandita menarik nafasnya, lalu membuangnya. "Nggak saya nggak apa-apa, cuman lihat setan aja tadi"Rara mendekik dengan alis yang bertaut. "Bu bos bisa lihat setan?" Tanya Rara heran.Anandita menganggukkan kepalanya. "Iya serem banget."Bulu kuduk Rara jadi meremang mendengar perkataan Bu bos-nya itu. "Yang bener bu bos? Setannya kayak mana?" Tanya Rara penasaran tapi dirinya takut juga.Annadita menghela nafasnya kasar, padahal dirinya hanya bercanda saja, tapi sepertinya sang asistennya itu menanggapinya dengan serius."Udah jangan banyak tanya lagi, yang penting serem, kalau kamu yang lihat pasti langsung pingsan" kata Anandita,"Pantes ya bu bos, tadi si pia yang mau di jodo
"Rama sudah mendatangi ayah, kenapa dia tiba-tiba menolak perjodohan ini? Padahal semalam dia yang paling semangat buat terima perjodohan ini, dia juga yang sibuk banget mau ketemu sama kamu?" Cerca Arthur, bahkan orang kepercayaannya yang memantau Anandita juga tidak tau sama sekali kenapa Rama membatalkan perjodohan itu. Dirinya hanya di beri tahu jika tadi memang keduanya bertemu.Anandita mengedikkan bahunya acuh, dirinya sibuk kembali pada buah apel yang sedang di kupasnya."Kamu nggak bilang aneh-aneh kan?" Tanya Arthur sambil memicingkan matanya menatap ke arah anak perempuannya itu. Sungguh dirinya sangat penasaran kenapa bisa tiba-tiba Rama membatalkan perjodohan yang sudah mereka buat. Padahal sebelumnya pria itu yang sangat semangat dengan perjodohan ini.Anandita menghela nafasnya kasar. Meletakkan pisau yang di pegangnya di atas meja, lalu menoleh menatap sang ayah. "Aku nggak ngomong apa-apa, ayah. Aku juga nggak ada bilang yang buat dia marah. Kita juga nggak ada ribut
"Memang sialan si Arthur. Belum ada dua hari, udah mau jodohin Dita lagi." Nayaka mengambil ponselnya lalu membanting ponsel barunya itu di atas meja saat Rara mengirimkan voice note pada dirinya. Nayaka memang sudah membeli ponsel baru, namun siapa sangka hatinya kembali memanas saat mendapatkan pesan di pagi hari.Dirinya pikir kabar bahagia, namun sialnya dirinya salah menduga."Bos, bubur kacangnya keburu dingin. Di makan dulu." Kata Lupus sambil memanyunkan bibirnya meniup sendok yang berisi bubur kacang yang tadi mereka beli di pinggir jalanan.Nayaka mendelik. Sempat-sempatnya Lupus mengingat bubur kacang, dirinya saja langsung tak berselera makan.Tangan Nayaka terangkat menggebrak meja.BrakLupus langsung terlonjak kaget, sendok yang hampir masuk ke dalam mulutnya itu langsung terhempas begitu saja, begitupun dengan anak-anak kacang dan kuahnya yang memikat itu berserakan di lantai sana. Jantung Lupus bahkan berdebar tak karuan."Bos–""Saya lagi tidak baik-baik saja, kenap
Nayaka menatap tajam ke arah Anandita, sungguh perkataan wanita itu menyinggung perasaannya.Saat Anandita dengan gamblang menyatakan bahwa ia belum siap untuk memiliki anak, wajah Nayaka memerah, urat-urat di lehernya menegang.Tanpa bisa mengendalikan emosinya, ia melempar gelas yang berada di tangannya ke dinding, pecahan kaca berhamburan di lantai dengan suara yang mengejutkan Anandita.Prang"Nggak siap? Nyatanya selama menikah kamu selalu bilang seperti itu, Dita!" teriak Nayaka, suaranya bergetar karena amarah yang tak bisa dikendalikan.Anandita menggigit bibir, menahan air mata yang hendak jatuh. "Aku hanya... aku hanya butuh waktu. Dan apa yang kita lakukan ini salah. Semestinya kita nggak berbuat hubungan yang seperti ini. Kita sudah bercerai.," suaranya bergetar, hampir tidak terdengar.Nayaka menghela napas kasar, rasa frustrasi memuncak. "Waktu? Berapa lama lagi aku harus menunggu, hah? Sampai kamu benar-benar pergi dari hidup aku?! Kamu dengan gampang pergi itu karena
"Kalau sampai bos ketahuan dan Bu bos marah besar, bos harus lakuin ini...." Lupus membisikkan sesuatu, sampai membuat telinga Nayaka rasanya panas, serta wajahnya memerah. Nayaka mendorong sebal wajah asistennya itu. "Kamu ya... Pikirannya jor0k bener. Belum menikah sudah punya pikiran seperti itu."Lupus mengerucutkan ujung bibirnya, "tapi cara ini ampuh. Saya yakin Bu bos nggak bakalan ninggalin pak bos lagi, apalagi kalau benih pak bos tumbuh. Ya kali Bu bos mau hamil tanpa suami, si Arthur juga pasti nggak bakalan bisa berbuat apa-apa." Kata Lupus mengompori. Kening Nayaka berkerut, dirinya tampak berpikir, setelahnya sebuah senyuman miring terbit di bibirnya. "Kenapa saya nggak lakuin itu dari dulu," gumam Nayaka, bahkan dulu dirinya menahan untuk tidak punya anak dan melakukan hal itu dengan mantan istrinya itu pasti mereka menggunakan alat pengaman, dan berakhir keduanya belum memiliki keturunan, dan Nayaka tidak mempermasalahkannya, karena mereka menikah atas cinta, Nayaka
Di tengah hiruk-pikuk pulau Bali, sebuah proyek pembangunan besar sedang berlangsung. Kawasan yang tadinya adalah sawah dan ladang kini telah berubah menjadi lahan yang dipenuhi dengan mesin dan peralatan berat. Bumi telah digali dan diubah, meninggalkan gundukan tanah dan batu yang berserakan di mana-mana. Truk-truk besar berlalu lalang, membawa material bangunan seperti baja, yang bersinar di bawah terik matahari tropis.Udara di sekitar lokasi pembangunan terasa panas dan berdebu, aroma tanah yang baru digali bercampur dengan bau mesin diesel yang beroperasi. Suara bising dari mesin-mesin yang berkerja, seperti bor dan crane, mendominasi suasana, menenggelamkan suara-suara alami yang biasa terdengar di pedesaan Bali.Di kejauhan, siluet Gunung Agung berdiri megah, kontras dengan kekacauan dan keramaian di lokasi pembangunan.Anandita berdiri di sana, dengan Rara yang selalu setia menemaninya, sedangkan kepala proyek itu terus menjelaskan semuanya.Anandita berdiri di samping meja k
Tubuh Anandita menegang seiring dengan pesan masuk itu. Zerin yang ada di sampingnya sampai mengerutkan keningnya saat melihat tingkah temannya itu."Lo kenapa?"Anandita sampai melemparkan ponselnya itu di sana, membuat Zerin terkejut dengan tingkah temannya itu.Zerin mengambil ponsel milik temannya yang tergeletak di sana, lalu melihat apa yang membuat temannya itu sampai terkejut seperti tadi.Zerin membaca pesan dari nomor yang bernam Renaldi, kening sering berkerut samar. "Ini, pacar elo?"Anandita mencoba menetralkan perasaannya, sungguh dirinya merasa ketakutan sekali saat mendapatkan pesan dari pria yang bernama Renaldi itu. Berbagai macam praduga langsung muncul di dalam kepalanya, pikiran negatif juga lolos masuk ke dalam kepalanya. Apa tujuan pria itu mendekati dirinya dengan identitas palsu."Iya, dia pacar aku. Dan dia yang mau jadi suami aku"Mata Zerin terbelalak, dirinya terkejut pastinya. "Udah jauh hubungan elo sama dia?"Anandita menghela nafasnya kasar, tak di pun
Di tengah hamparan pasir yang halus dan lembut, Bali menyuguhkan keindahan alam yang luar biasa dengan pantainya yang memukau.Air laut yang jernih berwarna biru kehijauan, berpadu sempurna dengan langit biru cerah yang terbentang luas di atasnya. Pohon-pohon kelapa menjulang tinggi, menambahkan nuansa tropis yang khas pada pemandangan tersebut. Di sepanjang pantai, barisan kursi pantai dan payung berwarna-warni menawarkan tempat beristirahat bagi para wisatawan yang ingin menikmati sinar matahari.Sementara itu, pedagang lokal berkeliling menjajakan kerajinan tangan, minuman kelapa segar, dan aneka makanan khas Bali yang menggugah selera. Suasana di Bali tidak hanya dipenuhi dengan keindahan alam, tetapi juga kekayaan budaya yang terlihat dari banyaknya pura yang megah dan patung dewa yang tersebar di berbagai sudut. Keharuman dupa yang lembut tercium dari kejauhan, mengiringi alunan musik gamelan yang merdu, menciptakan suasana yang damai dan harmonis.Kota Bali, dengan segala peson
Hari demi hari berlalu, Renaldi terus membuktikan perasaannya pada Anandita, membuat hati Anandita luluh. Renaldi bahkan selalu datang ke kantor Anandita, menyempatkan diri untuk menemui wanita itu, sekadar mengajaknya makan bersama, terkadang mereka juga liburan bersama, tapi jelas tentu ada Rara yang selalu ikut.Dan Anandita mengiyakan ajakan Renaldi, entah mengapa dirinya suka bertemu dan pergi bersama pria itu. Pria itu punya karakter yang mampu membuat Anandita luluh.Pria tampan brewokan itu bahkan dengan terang-terangan menyatakan perasaannya, dan melamar Anandita beberapa hari yang lalu, tapi Anandita belum memberikan jawabannya.Matahari perlahan tenggelam di cakrawala, memberikan kilauan keemasan yang menerangi langit sore itu dengan warna oranye dan merah muda.Cahaya matahari yang redup dan lembut tersebut memantul lembut di permukaan air danau yang tenang, menciptakan tarian cahaya yang memukau di atas gelombang kecil yang berkilauan. Di tepian danau, beberapa burung ai
|Astaga! Pak bos harus lihat. Kalau bisa langsung datang aja sekarang, kejadiannya lagi live ini. LIVE.... Anda harus lihat, betapa romantisnya Bu bos sama pacar barunya...| Send pak bos Nayaka.Namun, centangnya hanya dua abu-abu dan sama sekali belum di baca oleh pak bosnya itu."Ya Tuhan, kalau pak bos tau, pasti langsung pingsan, langsung masuk ke rumah sakit" gumam Rara yang masih berdecak gemas saat melihat pemandangan yang ada di depan matanya sana, saat Bu bosnya malah makan siang romantis oleh Renaldi."Ini orang kemana sih?! Nggak butuh informasi gue lagi apa?!" Kembali Rara bergumam kesal sambil menatap ponselnya yang menampilkan beberapa pesan yang dirinya kirim untuk Nayaka, namun sama sekali belum di baca ataupun di lihat oleh pria itu."Gue kirim ini video, Bu bos sama cowok. Bakalan nangis bombay deh elo pak bos" seru Rara sambil meng-klik menu kamera dan langsung merekam video Anandita bersama dengan Renaldi.Beruntung keduanya tidak tau kalau pintu ruangan kerja Anan
"Bu bos"Anandita menoleh, matanya menatap Rara yang tengah menatap ke arahnya."Kamu mau ngomong apa?" Tanya Anandita sambil mengerutkan keningnya.Rara menghela nafasnya kasar. "Itu, tadi ada yang kirim makanan pagi-pagi ke rumah, itu pacar Bu bos yang baru?" Tanya Rara takut-takut.Anandita tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepalanya. "Saya belum punya pacar. Saya masih jadi janda.""His, bu bos. Tapi bener kan, yang ngirim calon suami Bu bos?""Eum, bukan calon suami sih, lebih tepatnya orang yang baru mau di jodohkan dengan saya. Saya belum jawab iya, jadi belum bisa di bilang kalau dia calon suami saya. Bisa jadi kan? Nanti saya jawab nggak, bukan calon suami saya deh." Jelas Anandita membuat Rara tersenyum lebar."Bagus deh Bu bos, jangan buru-buru cari pasangan, Bu bos harus tau dulu bagaimana sifatnya, ya kalau sehari dua hari sih, belum ketahuan ya, pasti masih kalem dan adem-adem aja." Celetuk Rara."Saya tau, Ra. Saya sudah pernah gagal sekali dalam berumah tangga, jadi
"Sayang... Jangan lari-lari, nanti kamu jatuh!" Teriak Nayaka saat melihat Anandita berlari sambil melemparkan senyuman manisnya ke arah Nayaka. "Coba kejar kalau bisa, wlee."Nayaka berdecak, bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman manis, sungguh rupanya wanitanya itu ingin bermain-main dengan dirinya. "Awas ya, kalau dapat mas tangkap, mas kurung kamu!" "Oke, kita lihat mas bisa tangkap aku apa nggak? Kalau nggak bisa, mas harus terima hukuman dari Dita." Teriak Dita sambil tersenyum cantik ke arah Nayaka.Nayaka mengayunkan kedua kakinya dan langsung mengejar istri tercintanya itu, dirinya tak akan membiarkan Anandita memenangkan ini. Namun, sudah beberapa menit kemudian, Nayaka sama sekali tidak berhasil mengejar Anandita. Bahkan, dirinya sudah terasa sangat lelah, keringat di dahinya mengucur deras. Nayaka menghentikan laju larinya, dan berjongkok di sana. Matanya menatap ke depan sana, dimana keberadaan Anandita yang saat itu juga berhenti, tetapi di jarak yang sangat jauh