"Dita nggak mau ayah...”
“Ayolah Dita, kamu harus coba. Kalau kamu diam saja di rumah, yang ada kamu galau terus.” Ucap Arthur membujuk anak perempuannya itu. "Ini perusahaan milik ayah yang nggak semua orang tau. Yang pegang juga nggak ada, jadi kamu harus pegang perusahaan ayah yang ini." Kata Arthur lagi. Anandita mengerucutkan ujung bibirnya. "Dita nggak sepandai yang ayah duga. Dita nggak sanggup pegang perusahaan milik ayah. Nanti kalau ayah malah bangkrut gimana?" Arthur terkekeh. "Ya nggak lah. Mana mungkin satu perusahaan cabang yang hancur bisa membuat ayahmu ini bangkrut. Sudah jangan banyak alasan. Ayah tau bagaimana potensi kamu. Kamu itu hebat, kamu punya bakat yang terpendam, cuman kamu saja yang tidak mau menunjukkan bakat kamu itu." Cibir Arthur. Anandita cengengesan. "Aku nggak hebat, ayah. Aku nggak pernah kerja, apa lagi ini harus tiba-tiba banget di suruh pegang kantor." "Sudah, jangan banyak alasan. Ayah tidak mau tau, yang penting kamu masuk dulu, pegang perusahaan, dan nanti kita lihat." Ucap Arthur. Anandita menghela nafasnya kasar. Menurut saja walaupun terpaksa, padahal dirinya terlalu malas untuk bekerja. Rasanya tuh hidupnya cuman pengen tiduran, makan dan main hp. Mau keluar juga malas. Dirinya tak mau kejadian semalam terulang lagi. Dirinya tak mau bertemu dengan Nayaka. Pesan-pesan dari Ziren saja yang mengajaknya keluar jalan-jalan di abaikan oleh Anandita. "Sudah sana mandi. Sudah besar kok hari gini belum mandi. Kamar kamu ini untung di belikan parfum mahal, kalau tidak sudah bau iler ini." Gurau Arthur sambil menutup hidungnya berpura-pura bau. Anandita mencebikkan ujung bibirnya. "Nggak mandi juga Dita masih wangi kok." "Apa iya? Sudahlah, jangan membuang waktu. Sana kamu mandi dan bersiap-siap. Nanti akan datang seseorang yang akan menjadi asisten pribadi kamu." Mata Anandita melotot, seumur-umur dirinya sampai sebesar ini mana pernah dirinya punya asisten pribadi. Dirinya terlalu malas mendapatkan seseorang baru. "Nggak! Aku nggak mau, ayah." "Kenapa nggak mau? Dia yang bakalan bantu pekerjaan kamu. Dia juga yang akan menghendle semuanya." Seru Arthur. "Kalau dia nggak cocok sama aku gimana? Aku itu orangnya ribet banget. Nggak suka di ganggu sama orang asing." Arthur tersenyum. "Kamu tenang saja, dia sudah di tes. Dan ayah sudah pastikan dia baik dan tidak akan pernah mengganggu privasi kamu. Dia juga proporsional." Kalau sudah seperti itu, Dita hanya bisa menurut saja, dirinya tak membantah perkataan ayahnya lagi. "Yaudah, Dita mau siap-siap dulu." Kata Dita. "Iya sayang, ayah tunggu di meja makan." Anandita menganggukkan kepalanya dan langsung bergegas ke kamar mandi. Dan soal kejadian semalam, Anandita tak perlu bertanya lagi, karena bi Ina tadi pagi sudah memberitahukan padanya. Dan beruntung tadi malam yang membawanya abangnya. Jika saja orang lain, Anandita tak tau entah bagaimana nasibnya tadi malam. Dan siapa sangka, minuman yang di minum oleh Anandita berisi obat tidur. Entah milik siapa, Anandita tak tau pun, dirinya juga asal mengambil minum tadi malam. Tak lama, Anandita sudah selesai dengan pakaian rapi, baju kemeja berwarna pink, serta rok span dan penampilannya sungguh cantik dengan make-up tipis. Sedangkan rambutnya di ikat ekor kuda. Sungguh janda itu sangat mempesona bagi siapa saja yang melihatnya. "Wah, anak ayah sudah cantik. Ayo sarapan dulu, sembari menunggu asisten pribadi kamu datang." Ucap Arthur. Anandita menganggukkan kepalanya, lalu menarik kursi dan duduk di sana. Bi Ina langsung menghidangkan menu sarapan untuk Anandita. "Bang Daniel kemana?" Tanya Anandita saat tidak melihat keberadaan sang Abang pagi itu. "Abangmu sudah pergi pagi-pagi sekali. Kamu tau sendiri Abangmu itu super duper sibuk. Dia harus pagi-pagi ke kantor untuk mengecek berkas." Anandita menganggukkan kepalanya, sambil memasukkan roti yang sudah di potong itu ke mulutnya, Anandita tau betul bagaimana sifat abangnya dan bagaimana sibuknya seorang Daniel. "Ayah kenapa belum berangkat? Ini sudah jam delapan lewat juga kan?" Arthur menyesap tehnya terlebih dahulu. Lalu setelahnya meletakkan gelas kecil itu di atas meja kembali. "Sebentar lagi. Ayah mau tunggu Patih dulu. Dia juga baru akan datang." Sahut Arthur sambil menyebut nama asisten pribadinya itu. Anandita menganggukkan, lalu kembali melanjutkan sarapan paginya itu. * * * "Ya ampun, bos muka bos kenapa kayak begitu?" Lupus menatap wajah bos-nya yang tampak kusut, apalagi saat dirinya tiba di apartemen bos-nya itu untuk menjemput sang bos berangkat ke kantor, Lupus sang asisten pribadinya itu malah melihat penampilan bos-nya yang acak-acakan, tidak pernah terlihat sebelumnya, dan itu membuat Lupus kaget bukan main. Nayaka berdecak, ini karena dirinya yang tidak bisa tidur semalaman. Bahkan dirinya harus terjaga sampai pagi. Bayang-bayang Anandita terus memenuhi kepalanya, dan dirinya tidak bisa menghilangkan bayangan istrinya itu. "Sudah jangan cerewet kamu, sekarang saya mau mandi dan ganti baju dulu." Sahut Nayaka. Lupus terkekeh, tak mempermasalahkan nada jutek bos-nya, dirinya menganggukkan kepalanya, memilih menunggu sang bos di sofa ruang tamu apartemen itu. Nayaka melesat menuju ke dalam kamarnya kembali, membiarkan saja asisten pribadinya itu duduk di sana, dirinya akan bersiap-siap ke kantor. Sampai beberapa menit kemudian, Nayaka telah siap, dirinya dan Lupus berjalan menuju mobil yang sudah ada di parkiran apartemen itu. Saat membuka pintu mobil, Nayaka mendekik saat melihat keberadaan seorang wanita yang sudah duduk di bangku depan. Wanita itu tersenyum ke arah Nayaka. "Selamat pagi bos Nayaka." Sapa perempuan itu. Nayaka melengos, lalu kembali menutup pintu mobil itu, dan menoleh ke arah Lupus. "Lupus! Kamu mau kerja apa mau pacaran?!" Sentak Nayaka marah. Pasalnya Lupus malah membawa pacarnya, mana naik mobilnya pula. Lupus meringis, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Saya nggak mau pacaran, bos. Saya cuman mau antar pacar saya ke rumah majikannya." Nayaka melotot. "Ini saya sudah telat loh. Kamu malah sempat-sempatnya mau antar pacar kamu lagi." Perempuan yang bernama Rara pacarnya Lupus itu keluar dari mobil saat mendengar suara Nayaka yang marah-marah. "Bos, jangan marah dong. Saya cuman minta antar Yayang Lupus di jalan perumahan elit sana. Dari sini juga nggak terlalu jauh kok. Hemat ongkos, pak bos." Seru Rara. Nayaka berkacak pinggang, moodnya dari semalam berantakan kini bertambah berantakan lagi. "Nggak! Kamu naik ojol atau apa sana. Saya tidak mau antar kamu. Waktu saya sudah mepet ini." Sentak Nayaka marah. Rara mengerucutkan ujung bibirnya, lalu menoleh ke arah Lupus. Mata Rara berkaca-kaca. Dan Lupus yang melihat itu sungguh tidak tega. Dirinya terpaksa memohon pada Nayaka untuk mengantarkan Rara berangkat kerja sebentar saja. Nayaka berdecak, mau tak mau mengijinkan, daripada beradu argument di sana terlalu lama yang akan membuatnya terlambat nantinya. Nayaka duduk di belakang, karena terlalu malas duduk di depan. Keduanya berbincang di dalam mobil, dan Nayaka hanya memutar bola matanya jengah mendengar obrolan sepasang kekasih itu. Hubungan mereka memang terbilang baru, karena baru beberapa hari ini Lupus bertemu dengan Rara, dan mereka langsung jadian. Dan baru beberapa hari bertemu dengan Nayaka dan Nayaka terlalu malas berurusan dengan Rara yang cerewetny luar biasa. Padahal mereka baru bertemu, tapi wanita itu cerewet sekali. "Kamu kerja apa Yang?" "Eum, aku kerja jadi asisten pribadi" "Oh iya? Majikan kamu cowok apa cewek?" "Yang rekrut aku sih ayahnya ya, tapi katanya aku kerja jadi asisten anaknya yang perempuan." "Wah bagus dong, kita berarti jodoh, sama-sama jadi asisten pribadi." Kata Lupus gombal. Nayaka yang mendengar itu memutar bola matanya malas, bibirnya mencibir kedua pasangan di depannya ini. "Btw, nama majikan kamu siapa?" Tanya Lupus. "Katanya namanya, Bu Anandita." Deg Mendengar nama mantan istri di sebut, Nayaka langsung tergelak. Begitupun dengan Lupus. "Katanya, atasan aku ini baru pisah gitu sama suaminya. Dan ayahnya suruh aku buat jagain dia, nggak boleh ketemu sama mantan suaminya, nanti juga di kasih tau fotonya. Malah aku di suruh cariin dia cowok sih. Tapi, pelan-pelan nggak boleh sampai membuat atasan aku ini risih karena dia nggak suka sama orang yang terlalu mencampuri urusannya." Kata Rara. Mata Nayaka semakin terbelalak. "Eh, kaleng comber, boleh kasih tau nama lengkap atasan kamu nggak?" Tanya Nayaka. Rara mencebikkan ujung bibirnya, kesal pastinya dengan panggilan yang di sematkan oleh Nayaka itu. "Tanya yang bagus kek" "Cepetan! Saya tidak punya banyak waktu" Rara mencibir. "Namanya, Anandita Putri Widuri." Deg Tidak salah lagi, itu mantan istrinya...Anandita menelisik penampilan gadis yang baru saja di kenalkan oleh sang ayah sebagai asisten pribadinya itu. Dirinya sampai memicingkan matanya menatap gadis yang bernama Rara fitriani itu.Rara yang di tatap jadi gerogi, dirinya salah tingkah sendiri. Di dalam hatinya sana tetap was-was , takut kalau dirinya sampai tidak di terima.Bibirnya berusaha agar tetap diam dan kalem, walaupun mulutnya sudah gatal ingin berbicara panjang lebar. Rara ini type orang yang tak bisa diam, mulutnya terus nyerocos. Entah apa saja di katakan olehnya, bahkan hal yang tak penting sekalipun.Tapi, jangan anggap enteng kepintaran Rara. Rara gadis yang sangat pintar, banyak yang telah memuji kinerjanya. Dirinya juga sebelumnua menjadi karyawan di perusahaan milik Arthur. Arthur yang sangat menyukai kinerja Rara menempatkan Rara menjadi seorang asisten pribadi sang anak."Rara ini sangat pintar. Kamu tidak akan rugi memperkejakannya. Dia juga yang akan membantu kamu mengelola perusahaan itu." Ucap Arthur
Anandita dengan langkah malas memasuki kantor cabang milik ayahnya itu. Dirinya terlalu malas berurusan dengan pekerjaan seperti ini. Bertahun-tahun setelah selesai kuliah, Anandita di suruh memegang salah satu perusahaan milik Arthur, namun Anandita sama sekali tidak mau. Dirinya malah memilih menikah dengan Nayaka pada waktu itu.Bukan tanpa sebab, dirinya memang terlalu malas berurusan dengan orang asing. Tapi kali ini, Anandita harus menerima kenyataan, dan dirinya harus bekerja."Pagi Bu Dita," seorang pria paruh baya yang di ketahui sebagai manajer di perusahaan itu menyapa Anandita. Dirinya sudah menunggu anak dari atasannya yang akan memimpin perusahaan itu di loby perusahaan itu. Sudah di hubungi sebelumnya oleh Arthur, dan dirinya bergegas menunggu sang atasan di sana.Anandita menurunkan kaca mata yang menempel pada hidungnya, matanya melirik pada seorang pria paruh baya yang tampak menunduk hormat padanya. "Pak Jasen?"Pria yang bernama Jasen itu mengangguk dengan senyum
“Aastaga, bos gue selama cerai jadi gila” batin Lupus mengeluh menyaksikan tingkah bos-nya yang di luar nalar itu. Bagaimana tidak, jika Nayaka bersikap seperti biasa saja saat menguntit sang mantan istri mungkin Lupus tak akan mengeluh seperti saat sekarang ini, bosnya malah mengenakan kostum tentara dengan wajah yang di coret- coret, padahal kalau berpenampilan seperti biasa saja, tak ada yang curiga juga. Ini penampilan bos-nya yang seperti ini malah menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung kafe itu. "Mama!! Ada pak tentara yang mau perang!!" Seru seorang bocah laki-laki sambil menunjuk ke arah Nayaka dan Lupus. Lupus sudah misu-misu sambil mengumpat. Sang wanita yang merupakan mamanya anak itu langsung menarik tangan anaknya. "Jauh-jauh Nikel, itu bukan tentara, tapi orang gila yang nyasar ke kafe ini" kata wanita itu. Nayaka tak peduli dengan perkataan perempuan itu, yang dirinya pedulikan hanyalah Anandita. Fokusnya pada Anandita saja. Sedangkan Lupus sudah menatap ke
Srett“Jauhkan tangan kamu dari tubuh istri saya!” Pekik Nayaka, matanya menyorot tajam ke arah pria yang tadi berani sekali menyentuh mantan istrinya itu..Pria itu mengangkat keua tangannya ke atas tana kalau dirinya tidak tau. "Maaf, saya hanya ingin menolong saja." Ucap pria itu.Nayaka berdecih sinis, lalu membuang pandangannya ke samping, dadanya masih berebar sangat kencang menahan rasa emosi yang menyelimuti dirinya. Lalu matanya menoleh ke arah Anandita yang masih berada di dalam dekapannya."Saayang...""Lepas!" Pekik Anandita, lalu menepis tangan Nayaka yang ingin meraih tangannya kembali."Jauh-jauh dari saya!"Nayaka mengusap wajahnya kasar, bahkan tangannya sudah penuh dengan tinta berwarna hijau yang ada di wajahnya tadi."Sayang, kita perlu berbicara, jangan seperti ini." Ucap Nayaka.Anandita tertawa miris. "Mau bicaa apa lagi ha?! Mau kasihbtau bagaimana kamu berhubungan dengan wanita itu, iya?!" Sentak Anandita matanya berkaca-kaca."Sayang, kamu harus mendengar p
"Sudah pulang? Bagaimana tadi ketemu kliennya? Tadi pak Jansen sudah menghubungi ayah, katanya kamu berhasil membuat klien yang dari Arab itu bekerja sama dengan perusahaan kita." Ucap Arthur saat melihat Anandita baru tiba di rumah. Arthur sengaja pulang cepat karena ingin bertanya pada anaknya itu.Anandita tersenyum tipis, dirinya hanya mengangguk singkat saja, Anandita juga lagi tidak mood setelah pertemuan tadi dengan Nayaka.Arthur mengangkat alisnya ke atas saat melihat wajah murung anaknya. "Kamu kenapa kok kayaknya tidak semangat gitu? Ada yang mengusik pikiran kamu? Ayah lihat tadi kamu baik-baik saja"Anandita mengerjapkan kedua bola matanya, dirinya tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada ayahnya jika dirinya habis bertemu dengan mantan suaminya."Eum nggak kenapa-kenapa kok, Yah, Dita cuman capek aja," sahut AnanditaArthur mengangguk. "Nanti ayah hubungi Jansen dan bilang sama dia biar dia ngurangi pekerjaan kamu, kasihan anak ayah jadi capek kayak begini."Anand
|Kabar buruk, bos. Hari ini kata Rara, Bu bos akan ketemu sama pria yang mau di jodohkan sama Bu bos. Mereka akan ketemu di kafe Permana, jam sepuluh|Mata Nayaka mendelik membaca pesan yang baru saja di kirim oleh Lupus. Ini Nayaka baru saja selesai mandi, dan dirinya sungguh tak menyangka jika Lupus akan membawa kabar yang tak mengenakan. Bukan tak mengenakan lagi, kabar ini bahkan membuat hati Nayaka benar-benar mendidih. Nayaka sungguh marah sekali.PrangPonsel mahal itu harus hancur lebur saat Nayaka tiba-tiba membantingnya, Nayaka sama sekali tidak peduli dengan ponselnya yang berharga puluhan juta itu. Amarahnya kai ini benar-benar tidak bisa di bendung lagi.Kalau saja ada seseorang di dekat Nayaka, mungkin Nayaka akan menghajar orang itu."Saya tidak akan membiarkan siapapun itu bisa memiliki kamu, Dita.." Seru Nayaka engan nafas yang memburu,Nayaka langsung meraih tas kerjanya, tidak peuli engan ponselnya yang sudah hancur, irinya langsung bergegas menuju ke kantor.Sampai
Nayaka menarik pisau yang sudah memang di belinya di toko tadi. Dirinya memang tak pernah membawa senjata tajam seperti itu, jadi dirinya tak punya. Ada sih, di apartemennya, itu juga untuk memotong sayuran. Tidak mungkin Nayaka kembali ke apartemennya lagi hanya untuk mengambil pisau, dirinya bisa membeli di toko ataupun tempat yang lainnya."Bos beneran?" Lupus jadi bergidik sendiri melihat sang bos yang sibuk dengan pisau tajam itu. Dirinya tak menyangka jika bos-nya bisa jadi se-psikopat seperti ini.Nayaka mengangkat kepalanya. Menoleh ke arah Lupus yang wajahnya memang benar-benar takut. "Kenapa? Kamu mau jadi bahan eksperimen?" Alis Nayaka di naik turunkan.Lupus dengan cepat menggelengkan kepalanya, gila saja kalau dirinya mau. Dirinya belum menikah, dirinya masih mau hidup lama."Tapi, beneran bos mau cincang itu orang?""Tergantung sih, kalau dia ngeyel,"Jawaban ambigu, tapi membuat Lupus bertambah ngeri. Dirinya tak mengatakan apapun lagi, karena takut salah bicara yang
“Astaghfirullah...” Anandita buru-buru masuk ke dalam mobil dan mengelus dadanya yang berdebar sangat kencang."Kenapa dia ada dimana-mana?" Gumam Anandita.Rara yang ada di samping duduk di kursi kemudi itu mengerutkan keningnya. "Bu bos kenapa?" Tanya Rara yang heran kenapa tiba-tiba atasannya seperti itu.Anandita menarik nafasnya, lalu membuangnya. "Nggak saya nggak apa-apa, cuman lihat setan aja tadi"Rara mendekik dengan alis yang bertaut. "Bu bos bisa lihat setan?" Tanya Rara heran.Anandita menganggukkan kepalanya. "Iya serem banget."Bulu kuduk Rara jadi meremang mendengar perkataan Bu bos-nya itu. "Yang bener bu bos? Setannya kayak mana?" Tanya Rara penasaran tapi dirinya takut juga.Annadita menghela nafasnya kasar, padahal dirinya hanya bercanda saja, tapi sepertinya sang asistennya itu menanggapinya dengan serius."Udah jangan banyak tanya lagi, yang penting serem, kalau kamu yang lihat pasti langsung pingsan" kata Anandita,"Pantes ya bu bos, tadi si pia yang mau di jodo
Nayaka menatap tajam ke arah Anandita, sungguh perkataan wanita itu menyinggung perasaannya.Saat Anandita dengan gamblang menyatakan bahwa ia belum siap untuk memiliki anak, wajah Nayaka memerah, urat-urat di lehernya menegang.Tanpa bisa mengendalikan emosinya, ia melempar gelas yang berada di tangannya ke dinding, pecahan kaca berhamburan di lantai dengan suara yang mengejutkan Anandita.Prang"Nggak siap? Nyatanya selama menikah kamu selalu bilang seperti itu, Dita!" teriak Nayaka, suaranya bergetar karena amarah yang tak bisa dikendalikan.Anandita menggigit bibir, menahan air mata yang hendak jatuh. "Aku hanya... aku hanya butuh waktu. Dan apa yang kita lakukan ini salah. Semestinya kita nggak berbuat hubungan yang seperti ini. Kita sudah bercerai.," suaranya bergetar, hampir tidak terdengar.Nayaka menghela napas kasar, rasa frustrasi memuncak. "Waktu? Berapa lama lagi aku harus menunggu, hah? Sampai kamu benar-benar pergi dari hidup aku?! Kamu dengan gampang pergi itu karena
"Kalau sampai bos ketahuan dan Bu bos marah besar, bos harus lakuin ini...." Lupus membisikkan sesuatu, sampai membuat telinga Nayaka rasanya panas, serta wajahnya memerah. Nayaka mendorong sebal wajah asistennya itu. "Kamu ya... Pikirannya jor0k bener. Belum menikah sudah punya pikiran seperti itu."Lupus mengerucutkan ujung bibirnya, "tapi cara ini ampuh. Saya yakin Bu bos nggak bakalan ninggalin pak bos lagi, apalagi kalau benih pak bos tumbuh. Ya kali Bu bos mau hamil tanpa suami, si Arthur juga pasti nggak bakalan bisa berbuat apa-apa." Kata Lupus mengompori. Kening Nayaka berkerut, dirinya tampak berpikir, setelahnya sebuah senyuman miring terbit di bibirnya. "Kenapa saya nggak lakuin itu dari dulu," gumam Nayaka, bahkan dulu dirinya menahan untuk tidak punya anak dan melakukan hal itu dengan mantan istrinya itu pasti mereka menggunakan alat pengaman, dan berakhir keduanya belum memiliki keturunan, dan Nayaka tidak mempermasalahkannya, karena mereka menikah atas cinta, Nayaka
Di tengah hiruk-pikuk pulau Bali, sebuah proyek pembangunan besar sedang berlangsung. Kawasan yang tadinya adalah sawah dan ladang kini telah berubah menjadi lahan yang dipenuhi dengan mesin dan peralatan berat. Bumi telah digali dan diubah, meninggalkan gundukan tanah dan batu yang berserakan di mana-mana. Truk-truk besar berlalu lalang, membawa material bangunan seperti baja, yang bersinar di bawah terik matahari tropis.Udara di sekitar lokasi pembangunan terasa panas dan berdebu, aroma tanah yang baru digali bercampur dengan bau mesin diesel yang beroperasi. Suara bising dari mesin-mesin yang berkerja, seperti bor dan crane, mendominasi suasana, menenggelamkan suara-suara alami yang biasa terdengar di pedesaan Bali.Di kejauhan, siluet Gunung Agung berdiri megah, kontras dengan kekacauan dan keramaian di lokasi pembangunan.Anandita berdiri di sana, dengan Rara yang selalu setia menemaninya, sedangkan kepala proyek itu terus menjelaskan semuanya.Anandita berdiri di samping meja k
Tubuh Anandita menegang seiring dengan pesan masuk itu. Zerin yang ada di sampingnya sampai mengerutkan keningnya saat melihat tingkah temannya itu."Lo kenapa?"Anandita sampai melemparkan ponselnya itu di sana, membuat Zerin terkejut dengan tingkah temannya itu.Zerin mengambil ponsel milik temannya yang tergeletak di sana, lalu melihat apa yang membuat temannya itu sampai terkejut seperti tadi.Zerin membaca pesan dari nomor yang bernam Renaldi, kening sering berkerut samar. "Ini, pacar elo?"Anandita mencoba menetralkan perasaannya, sungguh dirinya merasa ketakutan sekali saat mendapatkan pesan dari pria yang bernama Renaldi itu. Berbagai macam praduga langsung muncul di dalam kepalanya, pikiran negatif juga lolos masuk ke dalam kepalanya. Apa tujuan pria itu mendekati dirinya dengan identitas palsu."Iya, dia pacar aku. Dan dia yang mau jadi suami aku"Mata Zerin terbelalak, dirinya terkejut pastinya. "Udah jauh hubungan elo sama dia?"Anandita menghela nafasnya kasar, tak di pun
Di tengah hamparan pasir yang halus dan lembut, Bali menyuguhkan keindahan alam yang luar biasa dengan pantainya yang memukau.Air laut yang jernih berwarna biru kehijauan, berpadu sempurna dengan langit biru cerah yang terbentang luas di atasnya. Pohon-pohon kelapa menjulang tinggi, menambahkan nuansa tropis yang khas pada pemandangan tersebut. Di sepanjang pantai, barisan kursi pantai dan payung berwarna-warni menawarkan tempat beristirahat bagi para wisatawan yang ingin menikmati sinar matahari.Sementara itu, pedagang lokal berkeliling menjajakan kerajinan tangan, minuman kelapa segar, dan aneka makanan khas Bali yang menggugah selera. Suasana di Bali tidak hanya dipenuhi dengan keindahan alam, tetapi juga kekayaan budaya yang terlihat dari banyaknya pura yang megah dan patung dewa yang tersebar di berbagai sudut. Keharuman dupa yang lembut tercium dari kejauhan, mengiringi alunan musik gamelan yang merdu, menciptakan suasana yang damai dan harmonis.Kota Bali, dengan segala peson
Hari demi hari berlalu, Renaldi terus membuktikan perasaannya pada Anandita, membuat hati Anandita luluh. Renaldi bahkan selalu datang ke kantor Anandita, menyempatkan diri untuk menemui wanita itu, sekadar mengajaknya makan bersama, terkadang mereka juga liburan bersama, tapi jelas tentu ada Rara yang selalu ikut.Dan Anandita mengiyakan ajakan Renaldi, entah mengapa dirinya suka bertemu dan pergi bersama pria itu. Pria itu punya karakter yang mampu membuat Anandita luluh.Pria tampan brewokan itu bahkan dengan terang-terangan menyatakan perasaannya, dan melamar Anandita beberapa hari yang lalu, tapi Anandita belum memberikan jawabannya.Matahari perlahan tenggelam di cakrawala, memberikan kilauan keemasan yang menerangi langit sore itu dengan warna oranye dan merah muda.Cahaya matahari yang redup dan lembut tersebut memantul lembut di permukaan air danau yang tenang, menciptakan tarian cahaya yang memukau di atas gelombang kecil yang berkilauan. Di tepian danau, beberapa burung ai
|Astaga! Pak bos harus lihat. Kalau bisa langsung datang aja sekarang, kejadiannya lagi live ini. LIVE.... Anda harus lihat, betapa romantisnya Bu bos sama pacar barunya...| Send pak bos Nayaka.Namun, centangnya hanya dua abu-abu dan sama sekali belum di baca oleh pak bosnya itu."Ya Tuhan, kalau pak bos tau, pasti langsung pingsan, langsung masuk ke rumah sakit" gumam Rara yang masih berdecak gemas saat melihat pemandangan yang ada di depan matanya sana, saat Bu bosnya malah makan siang romantis oleh Renaldi."Ini orang kemana sih?! Nggak butuh informasi gue lagi apa?!" Kembali Rara bergumam kesal sambil menatap ponselnya yang menampilkan beberapa pesan yang dirinya kirim untuk Nayaka, namun sama sekali belum di baca ataupun di lihat oleh pria itu."Gue kirim ini video, Bu bos sama cowok. Bakalan nangis bombay deh elo pak bos" seru Rara sambil meng-klik menu kamera dan langsung merekam video Anandita bersama dengan Renaldi.Beruntung keduanya tidak tau kalau pintu ruangan kerja Anan
"Bu bos"Anandita menoleh, matanya menatap Rara yang tengah menatap ke arahnya."Kamu mau ngomong apa?" Tanya Anandita sambil mengerutkan keningnya.Rara menghela nafasnya kasar. "Itu, tadi ada yang kirim makanan pagi-pagi ke rumah, itu pacar Bu bos yang baru?" Tanya Rara takut-takut.Anandita tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepalanya. "Saya belum punya pacar. Saya masih jadi janda.""His, bu bos. Tapi bener kan, yang ngirim calon suami Bu bos?""Eum, bukan calon suami sih, lebih tepatnya orang yang baru mau di jodohkan dengan saya. Saya belum jawab iya, jadi belum bisa di bilang kalau dia calon suami saya. Bisa jadi kan? Nanti saya jawab nggak, bukan calon suami saya deh." Jelas Anandita membuat Rara tersenyum lebar."Bagus deh Bu bos, jangan buru-buru cari pasangan, Bu bos harus tau dulu bagaimana sifatnya, ya kalau sehari dua hari sih, belum ketahuan ya, pasti masih kalem dan adem-adem aja." Celetuk Rara."Saya tau, Ra. Saya sudah pernah gagal sekali dalam berumah tangga, jadi
"Sayang... Jangan lari-lari, nanti kamu jatuh!" Teriak Nayaka saat melihat Anandita berlari sambil melemparkan senyuman manisnya ke arah Nayaka. "Coba kejar kalau bisa, wlee."Nayaka berdecak, bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman manis, sungguh rupanya wanitanya itu ingin bermain-main dengan dirinya. "Awas ya, kalau dapat mas tangkap, mas kurung kamu!" "Oke, kita lihat mas bisa tangkap aku apa nggak? Kalau nggak bisa, mas harus terima hukuman dari Dita." Teriak Dita sambil tersenyum cantik ke arah Nayaka.Nayaka mengayunkan kedua kakinya dan langsung mengejar istri tercintanya itu, dirinya tak akan membiarkan Anandita memenangkan ini. Namun, sudah beberapa menit kemudian, Nayaka sama sekali tidak berhasil mengejar Anandita. Bahkan, dirinya sudah terasa sangat lelah, keringat di dahinya mengucur deras. Nayaka menghentikan laju larinya, dan berjongkok di sana. Matanya menatap ke depan sana, dimana keberadaan Anandita yang saat itu juga berhenti, tetapi di jarak yang sangat jauh