“Rafa, sudah ah. Jangan gangguin aku terus.” Kayana menepis tangan Rafandra yang sejak tadi melingkar di perut datarnya. Berkali-kali Rafandra juga menciumi leher Kayana hingga kekasihnya itu kesal. “Rafa! Duduk yang tenang!” bentak Kayana. Rafandra membalas dengan kekehan. Ia menuruti perintah Kayana, karena bisa saja panci yang sedang dipegangnya akan melayang ke wajahnya. “Hari ini mau main kemana lagi?” tanya Rafandra yang kini sudah duduk di kursi makan. “Mau pulang,” ketus Kayana. “Kay, kamu resign saja dari kantor. Kerja di kantor aku, jadi sekretaris pribadi. Biar Samsul fokus sama pekerjaan utamanya. Bagaimana?” Kayana melirik dari sudut matanya. Entah mengapa ucapan Rafandra sekarang terdengar seperti seorang suami yang sedang menyuruh istrinya. “Kamu kira mudah?” jawab Kayana. Hidangan makan pagi pun tertata rapi di meja makan. Kayana menyendok nasi dan lauk untuk Rafandra lalu duduk di depannya. “Mudah kok.Kamu tinggal ajukan surat langsung pindah deh.” Kayana mend
Kayana dan Rafandra duduk bersampingan. Keduanya nampak diam seperti batu dengan tatapan dingin dan isi kepala yang entah bercabang ke arah mana. Dihadapannya, ada Alyssa yang dengan santainya mengiris steak daging tanpa saus kesukaannya. "Jadi, apa rencana kalian untuk ke depannya?" tanya Alyssa tanpa berpaling dari steaknya. "Jangan bilang mengalir seperti air. Saya tidak suka." Kayana menoleh ke arah Rafandra. Matanya mendelik dan memberi kode dari tatapannya yang tajam. Rafandra tetap tenang, ia menarik kursinya hingga maju ke depan. Alyssa memperhatikan kegelisahan Rafandra dari ujung matanya yang menyipit. "Rafa mau melamar Kayana," ujarnya lantang. Alyssa mendongak. "Rafa cinta mati sama Kayana," lanjutnya. "Benar begitu, Kayana?" pertanyaan dingin itu mengarah pada Kayana. Alyssa menaruh garpu dan pisaunya, fokus pada Kayana yang belum menjawab pertanyaannya. "Benarkah?" "I-iya tante. Rafa sering melamar saya, tapi—" Kayana melirik pada Rafandra, meminta bantuan padanya.
Akibat perkataannya tempo hari, Kayana membuat batasan untuk Rafandra mengenai aturan pernikahan yang akan mereka jalani. Kayana tidak ingin kekasihnya melakukan hal yang aneh seperti waktu lalu saat bertemu dengan ibunya. Kayana lelah. "Dipanggil sama bos tuh," tegur Abil yang berdiri dekat pintu ruangan Kayana. "Katanya ingin ketemu sama kamu," tambahnya. Kayana melirik dari ujung matanya lalu mengangguk. "Terima kasih." "Kamu lagi ada masalah?" Abil masuk ke dalam ruangan. Melihat sahabatnya berwajah kusut, ia berniat untuk membantu masalahnya. "Sedikit. Sepertinya aku butuh konsultasi." Kayana menengadahkan kepalanya ke langit-langit. "Konsultasi apa?" Abil menggeser kursi di depan meja Kayana lalu mendekatinya hingga wajah mereka hampir menempel. "Pernikahan. Kira-kira dimana yang paling bagus?" "Kamu mau konsultasi pernikahan?" tanya Abil dengan suara sedikit kecewa. Air mukanya terlihat sedikit menyedihkan. Faktanya, ia masih berharap pada Kayana hingga saat ini. "Kamu m
Pertemuan dengan Sonia di kantin bawah tadi membuat mood Kayana terganggu. Kesal dan emosi jadi satu. Ingin rasanya membalas semua kata-kata wanita manja itu, tapi ia teringat jika Rafandra adalah orang penting di gedung sebelah. Ia takut jadi bahan pergunjingan nantinya. Setelah selesai makan, Kayana memutuskan untuk segera kembali ke ruangannya. Sedangkan Rafandra yang risih karena diikuti terus oleh Sonia, terpaksa memanggil Samsul untuk menyusulnya. "Samsul, tolong amankan Sonia. Saya mau mengantar nyonya muda dulu," perintah Rafandra yang diangguki oleh Samsul. Merasa tak terima, Sonia meronta minta ikut dengan Rafandra. Beruntung, Samsul berhasil menahannya. "Kay, aku hari sabtu mau ke rumah kamu. Boleh kan?" tanya Rafandra yang membuat Kayana menghentikan langkahnya. "Sejak kapan aku melarang kamu main ke rumah aku?" tanya Kayana balik dengan tangan di pinggang. "Tapi bukan main ke rumah seperti biasa." "Lalu?" Rafandra mendekat lalu berbisik di telinga Kayana. "Mau mel
Kayana terus berlari, tanpa menghiraukan teriakan Rafandra yang memintanya untuk berhenti. Sakit rasanya, mendengar kata-kata yang tadi diucapkan oleh Sonia yang katanya calon tunangannya Rafandra. "Kayana..." Rafandra terus berteriak dan berlari mengejar Kayana yang hampir saja membuka pintu taksi. "Dengarkan aku dulu!" Brakk. Pintu taksi dibanting kasar oleh Rafandra dan ia menyeret tangan Kayana. "Apa yang akan kamu katakan? Kamu mau bilang semua ini salah paham? Kalau bukan salah paham, kenapa kamu tidak menjelaskannya sama aku sebelumnya?" oceh Kayana panjang lebar. Tangan kanan yang digenggam oleh Rafandra ia hempas kasar hingga terlepas. "Kamu jahat. Kamu bohong lagi sama aku!" "Demi tuhan Kayana, aku tidak pernah membohongi kamu. Dengar, ini semua memang salah paham. Aku dan Sonia tidak ada hubungan apa-apa. Tunangan? Itu hanya akal-akalan dia saja," jelas Rafandra panjang lebar. "Apa buktinya?" "Kamu mau bukti?" Rafandra terdiam. Matanya tajam menatap Kayana dengan ta
Klikk Rafandra menyalakan televisi di ruangan kerjanya yang lama. Baru satu hari ia kembali ke tempatnya semula, tapi dirinya mulai tidak betah. Pikirannya tertuju pada Kayana yang kemarin malam bertengkar dengannya. Alhasil, hari ini mereka tidak bertemu lagi di pagi hari. Kayana menolak diantar ke kantor. Mata Rafandra terbelalak lebar saat melihat berita mengenai dirinya dan Kayana beserta Sonia masuk ke deretan gosip panas pekan ini. Segera saja ia mematikan televisi lalu memanggil asistennya dengan suara lantang. "Samsul..." teriak Rafandra. Samsul datang dari arah luar dengan tergesa-gesa. Wajahnya seperti ketakutan mendengar perintah dari tuan mudanya. "Apa bos?" Samsul datang dengan keringat bercucuran di pelipisnya. "Ada masalah?" "Kamu sudah tahu tentang gosip saya di media?" tanya Rafandra. Samsul menggelengkan kepalanya. "Cek akun berita gosip, lihat apakah ada gosip tentang saya. Lalu bayar mereka untuk turunkan beritanya sebelum tersebar luas." Rafandra membuka do
Kayana dilema. Pak Rangga, manajernya yang biasa membela dirinya di depan para petinggi tiba-tiba saja menghindar. Jam pulang yang sudah terlewati sejak lima menit lalu menjadi tak berguna. Kini, mereka bertiga duduk bersama di ruang rapat guna membahas surat perintah yang tadi dikeluarkan oleh Indra selaku direktur di tempat Kayana bekerja. "Saya ingin karyawan di kantor ini disiplin. Tak ada yang berbuat ulah dan mencoreng nama perusahaan," ucapnya tegas sedikit menyindir Kayana. Ia mengubah posisi duduknya, kini tatapannya tertuju pada Kayana yang hanya terdiam menunduk. Kayana terlihat lemah dan tunduk, tapi tangannya mengepal menahan marah yang sekiranya bisa meluap begitu saja. "Kamu mengerti, Kayana?" tanyanya tiba-tiba. Kayana mendongak lalu menggeleng. "Salah saya apa? Saya tak merasa berbuat onar," tantang Kayana. Ia menunjuk pak Rangga dengan jarinya. "Bapak sudah memfitnah saya? Apa saja yang bapak sampaikan pada pak Indra?" "T-tidak. Pak Indra tahu sendiri kok," ela
Brakk “Mama...” Sonia berlari dari lantai atas menuju ruang tamu sambil berlari-lari menghampiri ibunya yang sedang duduk di depan televisi. Sonia menghentak-hentakkan kakinya. Tangan kanannya memegang ponsel yang berisikan video klarifikasi dari Rafandra. “Ada apa?” tanya Anna dengan raut wajah bingung. Ia mengambil ponsel itu dan menonton siaran langsung dari sebuah media infotainment yang menayangkan berita tentang hubungan Rafandra. “Kenapa bisa begini?” “Aku tidak tahu, Ma. Rafa benar-benar ingin menyulut perang sama aku.” Sonia mengambil paksa ponselnya. Ia langsung menghubungi salah satu sahabatnya yang menangani perihal gosip yang tengah beredar. “Halo. Rani, bagaimana ini?” Sonia menggigit bibirnya, ia resah dengan pemberitaan sanggahan yang sedang berlangsung. Ini akan menjatuhkan nama baik dirinya dan keluarga. Rani : Halo, mbak. Saya dan tim sedang membuat berita yang lain. Tenang saja, ini akan menarik. “Keluarkan semua beritanya. Saya mau Rafa dan Kayana malu.” R