Pertemuan dengan Sonia di kantin bawah tadi membuat mood Kayana terganggu. Kesal dan emosi jadi satu. Ingin rasanya membalas semua kata-kata wanita manja itu, tapi ia teringat jika Rafandra adalah orang penting di gedung sebelah. Ia takut jadi bahan pergunjingan nantinya. Setelah selesai makan, Kayana memutuskan untuk segera kembali ke ruangannya. Sedangkan Rafandra yang risih karena diikuti terus oleh Sonia, terpaksa memanggil Samsul untuk menyusulnya. "Samsul, tolong amankan Sonia. Saya mau mengantar nyonya muda dulu," perintah Rafandra yang diangguki oleh Samsul. Merasa tak terima, Sonia meronta minta ikut dengan Rafandra. Beruntung, Samsul berhasil menahannya. "Kay, aku hari sabtu mau ke rumah kamu. Boleh kan?" tanya Rafandra yang membuat Kayana menghentikan langkahnya. "Sejak kapan aku melarang kamu main ke rumah aku?" tanya Kayana balik dengan tangan di pinggang. "Tapi bukan main ke rumah seperti biasa." "Lalu?" Rafandra mendekat lalu berbisik di telinga Kayana. "Mau mel
Kayana terus berlari, tanpa menghiraukan teriakan Rafandra yang memintanya untuk berhenti. Sakit rasanya, mendengar kata-kata yang tadi diucapkan oleh Sonia yang katanya calon tunangannya Rafandra. "Kayana..." Rafandra terus berteriak dan berlari mengejar Kayana yang hampir saja membuka pintu taksi. "Dengarkan aku dulu!" Brakk. Pintu taksi dibanting kasar oleh Rafandra dan ia menyeret tangan Kayana. "Apa yang akan kamu katakan? Kamu mau bilang semua ini salah paham? Kalau bukan salah paham, kenapa kamu tidak menjelaskannya sama aku sebelumnya?" oceh Kayana panjang lebar. Tangan kanan yang digenggam oleh Rafandra ia hempas kasar hingga terlepas. "Kamu jahat. Kamu bohong lagi sama aku!" "Demi tuhan Kayana, aku tidak pernah membohongi kamu. Dengar, ini semua memang salah paham. Aku dan Sonia tidak ada hubungan apa-apa. Tunangan? Itu hanya akal-akalan dia saja," jelas Rafandra panjang lebar. "Apa buktinya?" "Kamu mau bukti?" Rafandra terdiam. Matanya tajam menatap Kayana dengan ta
Klikk Rafandra menyalakan televisi di ruangan kerjanya yang lama. Baru satu hari ia kembali ke tempatnya semula, tapi dirinya mulai tidak betah. Pikirannya tertuju pada Kayana yang kemarin malam bertengkar dengannya. Alhasil, hari ini mereka tidak bertemu lagi di pagi hari. Kayana menolak diantar ke kantor. Mata Rafandra terbelalak lebar saat melihat berita mengenai dirinya dan Kayana beserta Sonia masuk ke deretan gosip panas pekan ini. Segera saja ia mematikan televisi lalu memanggil asistennya dengan suara lantang. "Samsul..." teriak Rafandra. Samsul datang dari arah luar dengan tergesa-gesa. Wajahnya seperti ketakutan mendengar perintah dari tuan mudanya. "Apa bos?" Samsul datang dengan keringat bercucuran di pelipisnya. "Ada masalah?" "Kamu sudah tahu tentang gosip saya di media?" tanya Rafandra. Samsul menggelengkan kepalanya. "Cek akun berita gosip, lihat apakah ada gosip tentang saya. Lalu bayar mereka untuk turunkan beritanya sebelum tersebar luas." Rafandra membuka do
Kayana dilema. Pak Rangga, manajernya yang biasa membela dirinya di depan para petinggi tiba-tiba saja menghindar. Jam pulang yang sudah terlewati sejak lima menit lalu menjadi tak berguna. Kini, mereka bertiga duduk bersama di ruang rapat guna membahas surat perintah yang tadi dikeluarkan oleh Indra selaku direktur di tempat Kayana bekerja. "Saya ingin karyawan di kantor ini disiplin. Tak ada yang berbuat ulah dan mencoreng nama perusahaan," ucapnya tegas sedikit menyindir Kayana. Ia mengubah posisi duduknya, kini tatapannya tertuju pada Kayana yang hanya terdiam menunduk. Kayana terlihat lemah dan tunduk, tapi tangannya mengepal menahan marah yang sekiranya bisa meluap begitu saja. "Kamu mengerti, Kayana?" tanyanya tiba-tiba. Kayana mendongak lalu menggeleng. "Salah saya apa? Saya tak merasa berbuat onar," tantang Kayana. Ia menunjuk pak Rangga dengan jarinya. "Bapak sudah memfitnah saya? Apa saja yang bapak sampaikan pada pak Indra?" "T-tidak. Pak Indra tahu sendiri kok," ela
Brakk “Mama...” Sonia berlari dari lantai atas menuju ruang tamu sambil berlari-lari menghampiri ibunya yang sedang duduk di depan televisi. Sonia menghentak-hentakkan kakinya. Tangan kanannya memegang ponsel yang berisikan video klarifikasi dari Rafandra. “Ada apa?” tanya Anna dengan raut wajah bingung. Ia mengambil ponsel itu dan menonton siaran langsung dari sebuah media infotainment yang menayangkan berita tentang hubungan Rafandra. “Kenapa bisa begini?” “Aku tidak tahu, Ma. Rafa benar-benar ingin menyulut perang sama aku.” Sonia mengambil paksa ponselnya. Ia langsung menghubungi salah satu sahabatnya yang menangani perihal gosip yang tengah beredar. “Halo. Rani, bagaimana ini?” Sonia menggigit bibirnya, ia resah dengan pemberitaan sanggahan yang sedang berlangsung. Ini akan menjatuhkan nama baik dirinya dan keluarga. Rani : Halo, mbak. Saya dan tim sedang membuat berita yang lain. Tenang saja, ini akan menarik. “Keluarkan semua beritanya. Saya mau Rafa dan Kayana malu.” R
Setelah mendapat ancaman dari Alyssa, Sonia tak lagi menampakkan batang hidungnya. Terlebih saat Sonia berniat menyebarkan berita bohong tentang Rafandra yang menginap di rumahnya. Sonia kira, Alyssa akan takut ternyata ibu Rafandra itu malah menantang dirinya. Keesokan harinya, secara mengejutkan seluruh berita tentang Kayana dan Rafandra menghilang dari meja redaksi dan media sosial berganti dengan berita yang tak kalah menghebohkan. Berita ini pula yang membuat Kayana kesal. Kayana berkacak pinggang di depan Rafandra. Sejak tadi pagi, ia tak hentinya mengoceh perihal berita tentang rencana pernikahan dirinya dan Rafandra, kekasihnya. "Aku tuh bukan artis. Kenapa nama aku muncul di media sosial akun gosip?" ocehnya. Rafandra menggedikkan bahunya. "Bikin kesal saja. Hapus beritanya." "Kamu memang bukan artis, tapi aku kan anak pengusaha terkenal. Makanya disorot sama media," jawab Rafandra dengan angkuhnya. "Cih, aku yang risih." "Nanti juga lama-lama terbiasa." Tring!! Tring
"Aku jahat?" Rafandra menoleh. Dua kata yang meluncur dari bibir Kayana membuat matanya berkedip dua kali. Ingin memastikan apakah indera pendengarannya tak salah menangkap kata. "Aku jahat tidak?" sekali lagi Kayana bertanya dan itu membuat Rafandra menggelengkan kepalanya. "Aku hanya—" "Tidak, kamu tidak jahat. Itu kan balasan yang setimpal buat mereka. Jangan merasa kamu bersalah karena membuat mereka menerima ganjaran apa yang telah dikerjakannya," ujar Rafandra penuh kata bijak. "Tapi aku seperti penjahat yang kejam." "Kata siapa?" "Kata a—" Tring!! Tring!! "Eh, sebentar. Ada telpon masuk." Rafandra memberi kode pada Kayana untuk diam. "Ada apa, Sam?" Rafandra sengaja meninggikan suaranya. Samsul : bos, ini si mbak Sonia nangis-nangis pas mau saya jemput buat bikin kesaksian. Katanya mau jalan damai saja. Suara Samsul sayup-sayup terdengar di ujung telpon. Kayana melirik sekilas, Rafandra pun sama. Mereka saling memberi kode dalam lirikan mata itu. "Terus?" Samsul :
"Kayana!" teriak Rafandra dari kejauhan. Kekasih Kayana itu berlari-lari mengejar wanita pujaan hatinya yang entah mengapa jalannya menjadi sangat cepat. Kayana menoleh sekilas, namun tetap berjalan cepat menghindari kejaran kekasihnya. Tak membutuhkannya waktu lama, Kayana berhasil ditangkap oleh Rafandra. "Dengarkan aku dulu. Tadi itu—" "Apa?" Kayana menyela pembicaraan. "Enak, ciuman sama Sonia?" sindir Kayana. "Aku tidak pernah mencium Sonia. Kamu bisa lihat kan di foto tadi? Sonia sengaja memotret aku saat tertidur. Sumpah demi tuhan aku tidak menyentuhnya," ujar Rafandra sambil mengangkat tangannya ke atas. Kayana sedikit percaya akan ucapannya. Karena selama ini Rafandra terbukti tidak pernah berbohong, kecuali menyamar jadi supir. "Aku mau pulang." Kayana menunduk memainkan jarinya. Sungguh, hari ini kepalanya seperti akan meledak. Bertemu dengan orang-orang jahat membuat tubuhnya sakit. "Aku antar." Kayana melepas tangan Rafandra yang bertengger di lengannya. "Kita bica
Lima tahun kemudian Tak terasa usia pernikahan Rafandra dan Kayana telah memasuki tahun ke lima. Ada yang bertambah di tahun tersebut, satu anak dari Kayana di tahun ke tiga saat si kembar sudah mulai aktif berjalan. Rafandra sempat kewalahan menghadapi ke tiga anaknya yang mulai tumbuh besar. Si kembar juga mulai cerewet seperti ibunya. "Papa, mau itu." Rafisha menunjuk pohon mangga yang berbuat lebat belakang rumah orangtua Kayana. Cukup tinggi, Rafandra sampai mengernyitkan dahinya. "Ambilin." "Papa enggak bisa. Suruh om Samsul saja ya." Rafandra merinding membayangkan betapa tingginya pohon mangga itu. Ia lebih baik menunggu di bawah sambil mengawasi kedua anak kembarnya. "Papa payah." Rafisha merengut. Tak lama kemudian ia berhasil menarik kakeknya untuk mengambilkan mangga yang dimaksud olehnya tadi. Dengan senang hati sang kakek mengambilkannya. Diambilnya sebuah kayu tinggi dekat pohon dan dalam sekali tarikan, dua mangga berhasil diambilnya. "Hore, buah mangga." Rahisya
Empat bulan kemudian "Rafa! Rafa!" Suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rafandra yang masih terbuai mimpi sayup-sayup mendengar suara itu. Tak terdengar lagi, ia pun melanjutkan mimpinya. "Rafa!" Mata Rafandra langsung terbelalak. Terkejut dengan suara keras yang memanggil namanya dari dalam sana. "Iya!" Rafandra berlari ke tempat asal suara dan mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. "Astaga! Kayana." Tanpa banyak tanya lagi ia segera menggendong tubuh Kayana yang lemas. Ada aliran darah di sekitar kakinya bercampur dengan cairan bening. Tas kecil di atas meja rias ia sambar beserta kunci mobil dan ponselnya. Berjalan cepat menuruni anak tangga, Rafandra berteriak nyaring membangunkan seisi rumah. "Woy, bangun. Tolongin. Kayana mau melahirkan!" teriaknya. Samsul yang kebetulan sedang menginap di rumah Rafandra pun ikut terbangun mendengar teriakan keras dari bosnya itu. Segera ia berlari menyusul Rafandra yang sudah berada di luar rumah. "Bos. Bu Kayana mau me
Mau tidak mau, kabar kelahiran anak kedua Wirautama membawa dampak besar bagi perusahaan. Terlebih lagi, istri keduanya adalah seorang selebritis yang sering mendapat perhatian publik atas apa yang dilakukannya. Bukan tidak mungkin, hal seperti ini akan jadi momok yang menakutkan bagi Wirautama dan keluarganya. Belum sampai satu hari berita itu dimuat, sudah muncul lagi satu isu yang membuat Rafandra tercekat. Isu tentang keretakan rumah tangga ibu dan ayahnya yang entah dari mana kabar itu berhembus. Ini yang paling dibenci oleh Rafandra. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah berita itu keluar. "Ada-ada saja berita aneh. Ini papa harus klarifikasi." Rafandra membuang ponselnya ke atas sofa di ruang tengah. "Rafa capek, Ma." "Nanti mama bantu klarifikasi. Kamu pikirkan perusahaan saja dan Kayana." Alyssa yang berdiri tangga bawah melirik Kayana dan Rafandra yang sedang duduk berdua di ruang tengah. "Anak papamu akan dibawa kesini. Mereka akan tinggal bersama kita." "Benarkah?" Kayana
Tentang berita kelahiran anak Rani, pertama kali diketahui oleh Alyssa saat tak sengaja menguping pembicaraan salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter. Ia mengatakan ada pasien masuk ke ruang bersalin dengan status mengkhawatirkan. Informasi itu didapatkan dari seorang suster yang menerima pasien itu di ruang gawat darurat. Teman Alyssa bercerita, dia seperti pernah melihat wanita itu tapi lupa tepatnya di mana. Ia pun bertanya pada Alyssa, walau tak yakin dengan jawabannya. "Tadi, kalau tidak salah namanya adalah Rani iswandari. Nama suaminya Wirautama. Alyssa, nama Wirautama di Jakarta tidak hanya nama suamimu kan?" Alyssa terdiam saat itu. Nama Rani dan Wirautama memang banyak, tapi yang terlibat cinta di belakang layar hanya mereka berdua. Tidak salah lagi, pasti itu Rani istri kedua suaminya. "Dia melahirkan? Siapa yang mengantarnya?" tanya Alyssa yang mulai khawatir. Ia takut terjadi sesuatu dengan wanita itu dan dirinya akan terus merasa bersalah hingga akhir hidup
"Istrimu melahirkan!" Alyssa menaruh ponselnya segera setelah berteriak. Wirautama yang berada di kamar terkejut dengan suara teriakan itu. Ia segera berlari keluar kamar menemui Alyssa. "Ada apa?" balasnya. "Aku dapat info, istrimu melahirkan. Kamu tidak menjenguknya?" tanya Alyssa memastikan. Terdiam sambil berpikir sejenak, Wirautama belum bisa memutuskan akan datang atau tidak. Ia bimbang memutuskan hal tersebut. Lalu Alyssa kembali bertanya, "Kamu jenguk tidak? Kalau tidak, biar aku yang jenguk." "Kalau berdua dengan kamu, aku ikut." "Ok. Aku ganti pakaian dulu." Alyssa segera masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian sementara Wirautama menunggu di luar. Rafandra yang baru saja dari luar rumah, baru selesai mencuci mobilnya melihat keheranan wajah ayahnya yang diam memucat seperti terkena sihir. "Kenapa, Pa?" tegur Rafandra. Wirautama terlonjak kaget lalu menggelengkan kepalanya. "Kok diam saja?" "Kamu enggak kerja?" Wirautama malah balik bertanya pada Rafandra. "Izi
Karena kondisi tubuh Wirautama telah membaik, ia sudah diizinkan untuk kembali beraktivitas walau hanya sekedar duduk tanpa turun langsung ke lapangan. Rafandra sebagai anak yang sangat sayang pada ayahnya, rela menggantikan tugas sementara ayahnya sebelum rapat pimpinan direksi yang akan dilaksanakan bulan depan. Menunggu ayahnya selesai membaca dokumen yang ia bawa, Rafandra lebih mementingkan pesan yang dikirimkan oleh istrinya. Pesan ringan, hanya seputar keinginan istrinya yang aneh. "Kayana lagi rewel?" tanya Wirautama mengintip dari balik kacamatanya. Rafandra mengangguk. "Biasa, itu. Minta apa dia sekarang?" "Minta belikan croffle, cromboloni. Makanan aneh, Pa. Pasti ujung-ujungnya Rafa yang makan," keluh Rafandra. "Ya enggak apa-apa. Yang penting istri kamu senang, anak kamu juga." Rafandra hanya mengangguk-angguk sambil memainkan ponselnya. "Papa enggak pulang? Udah jam makan siang. Mama bilang jangan terlalu banyak kerja." Rafandra berdiri dari duduknya, mengambil doku
Pagi sekali sepasang suami istri itu bangun. Baru saja menapakkan kaki mereka di dapur, keduanya sudah disambut suara pekikan Alyssa yang sedang mengkomandoi asisten rumah tangga yang akan memasak sarapan pagi itu. "Jangan kebanyakan gula. Kalau bisa, tomatnya ditambah." asisten rumah tangga itu hanya diam saja sambil mengangguk pelan. "Kayana tidak suka manis. Nanti bikin tehnya dibuat lebih kental sedikit." "Iya Bu." Saatnya Alyssa kembali ke ruang makan. Sudah ada Kayana dan Rafandra yang duduk manis berbincang satu sama lain. Kayana terlihat segar dengan rambut basahnya. Begitu pula Rafandra yang sejak tadi mengusak-usak rambut sang istri. Keduanya tampak akur tak seperti biasanya. "Tumben keramas pagi-pagi," sindir Alyssa. Sedikit berdehem, ia bertanya lagi pada keduanya. "Tadi malam habis berbuat yang enak-enak ya?" Alyssa terkekeh hingga membuat wajah Kayana memerah. Ia menoleh ke sebelahnya, Rafandra juga ikut terkekeh karena membayangkan kejadian tadi malam. Kayana yang
"Aku mau pulang ke rumah ibu. Mau liburan di sana." Kayana merajuk. Sejak pulang dari rumah sakit dan berjalan-jalan sebentar di sekitar area mall, rupanya tak membuat mood kesayangan Rafandra itu membaik. Apalagi, saat di resto tadi dirinya bertemu dengan Sonia secara tak sengaja dengan sikap sok centilnya. Seketika hancurlah semua niat dirinya yang ingin bermanja-manja dengan sang suami. "Besok ya. Aku antar ke rumah ibu." Rafandra mencoba bersikap sabar menghadapi ibu hamil yang sering meraung-raung tak jelas seperti Kayana. Persediaan sabarnya harus lebih dari hari biasa. "Terus, kamu nginep di sana enggak?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Kamu tega ninggalin aku sendirian kalau malam?" Rafandra menepuk dahinya. Memang serba salah menjawab pertanyaan dari Kayana saat ini. "Aku kan kerja—" "Kalau kamu kerja, memangnya ada larangan tinggal di rumah aku? Kamu jahat, Rafa. Kamu enggak sayang lagi sama aku." Kayana mulai merengek. Air matanya menetes melalui pipinya ya
Rafandra menyempatkan diri datang ke rumah sakit bertemu dengan ayahnya yang masih dirawat di sana. Dirinya datang tidak hanya sendiri, bersama dengan Kayana tentunya. Baru saja ia masuk, mata ayahnya telah memindainya dari jarak jauh seolah dirinya adalah seorang penjahat. Memang seperti itulah Wirautama jika sedang mengintai seseorang. "Pa, biasa aja lihatin Rafa." risih, Rafandra menegur ayahnya. Kayana yang mengekor di belakang mengucapkan salam lalu mencium tangan ayah mertuanya. "Papa udah sembuh belum sih?" "Dasar anak durhaka. Tuh istri kamu saja cium tangan, kamu malah melengos." Wirautama memukul lengan Rafandra pelan, namun anaknya itu berlagak kesakitan. "Bagaimana dengan Sonia? Berhasil dipindahkannya?" Rafandra menggedikkan bahunya. "Papa kenapa bikin peraturan seperti itu sih? Kenapa Sonia dimasukkan ke dalam tim pengembangan juga?" "Dia bagus, idenya selalu menarik dan public speakingnya selalu didengar oleh investor. Apa salahnya kalau kita masukkan dia ke dalam t