"Selamat ibu Kayana dan pak Rafa. Ibu Kayana positif hamil dengan usia kandungan tiga minggu. Sesuai dengan report yang diberikan tadi, sejak dua minggu lalu seharusnya ibu Kayana sudah memeriksakan kandungan. Beruntung tidak ada kekurangan gizi untuk calon bayinya." Kayana tersenyum mengangguk mendengar penjelasan dokter Saras, dokter yang sudah dipercaya oleh Alyssa untuk memeriksakan kandungan. "Tuh, kamu kenapa tidak periksa kemarin? Untung saja tidak ada masalah." Alyssa meniru ucapan dokter Saras menasehati Kayana yang dibalas dengan anggukan pelan olehnya. "Kayana kemarin tidak terasa kalau hamil. Yang bermasalah malah suami saya, dok. Dia marah-marah terus," tunjuk Kayana pada Rafandra yang mencebikkan bibirnya. Kayana membalasnya dengan seringainya. "Ah, berarti efek morning sickness dan perubahan hormonnya terbaru suami ibu Kayana. Jangan lupa minum vitamin ya. Jangan stress, harus banyak makan makanan bergizi," pesan dokter Sarah pada Kayana. Kayana mengangguk paham. "
“Sayang, kamu tahu tidak?” Rafandra menggelengkan kepalanya. Kayana menoleh lalu tertawa. “Aku memang belum kasih tahu sih.”“Menyebalkan,” gerutu Rafandra.“Tadi sehabis makan malam, aku ke kamar mama. Terus—” Kayana menjeda sejenak kalimatnya. Ia menarik napas cukup dalam. Terdengar sedikit berat hingga Rafandra yang tadi sibuk membalas surel di laptop, kini benda itu sudah ditaruhnya di meja samping ranjang. Rafandra membalik posisi tidurnya menghadap ke arah Kayana hingga mata mereka saling bertatapan. Rafandra memandang wajah Kayana yang terlihat sangatlah serius.“Lalu?” tanya Rafandra penasaran.“Kamu mau tahu?” goda Kayana dengan wajah menyebalkan.“Kamu niat mau kasih tahu aku apa tidak?” Rafandra merajuk, ia membalik badannya mencari laptop namun dengan cepat dicegah oleh Kayana. “Aku mau lanjut kerja nih,” ketus Rafandra yang kini berwajah masam.“Jangan marah dong sayang. Tadi, saat aku ke kamar mama, aku dengar sesuatu yang—” Kayana kembali menjeda kalimatnya lalu menari
Samsul masuk ke dalam ruangan Rafandra tepat pukul delapan pagi. Saat itu Rafandra baru saja tiba dan mendudukkan dirinya di kursi nyaman itu. Samsul memberi salam lalu ikut duduk setelah dipersilakan oleh Rafandra. “Bos, selamat pagi,” sapa Samsul yag dibalas gumaman oleh bosnya. Rafandra mendongakkan kepalanya menatap Samsul yang hanya diam saja setelah menyapanya tadi. Rafandra menaruh pena lalu menatap ke sekelilingnya sebelum akhirnya bertanya pada Samsul. “Kenapa kamu baru ceritakan sekarang kalau ada sesuatu yang aneh dengan papa saya. Apa alasannya?” Samsul menarik napas panjang. Di kepalanya ia merancang berbagai skenario agar bosnya tak marah dan murka padanya.Ia juga sempat berdoa dalam hati semoga saja bosnya tidak mengamuk. “Kenapa diam saja?” bentak Rafandra yang membuat mata Samsul membelalak lebar. Samsul menelan ludahnya ketakutan. Baru kali ini ia dibentak kasar oleh bosnya tanpa basa-basi. “Kalau kamu tidak mau bicara, saya bisa—” “B-baik bos. Saya akan ceritak
"Selamat siang." Samsul menghentikan pekerjaannya, melihat seseorang tergesa-gesa berjalan ke arahnya, ia pun menengadahkan kepalanya. "Mas Samsul bisa jemput pak bos besar ke rumah sakit?" Samsul mengerutkan dahinya. "Ke rumah sakit? Pak bos besar kenapa?" Seseorang yang bertanya tadi adalah asisten Wirautama yang kebetulan berada di kantor Rafandra untuk mengecek keperluan bos besarnya itu. Satu detik setelah Samsul bertanya, orang itu menepuk dahinya. "Tidak jadi mas. Permisi." Orang itu berlari ke arah lift pekerja dan sepertinya sedang terburu-buru turun ke lantai bawah. Merasa ada yang aneh, Samsul pun ikut turun ke bawah. Ia mengikuti orang itu lewat lift khusus untuk petinggi perusahaan. Samsul terus mengikuti orang itu hingga ke lantai bawah perusahaan. Orang itu ternyata sedang berbicara dengan supir pribadi bos besar yang ternyata sedang beristirahat di dekat kendaraan kantor. Samsul mengendap-endap mencari tempat yang nyaman untuk menguping pembicaraan mereka. Terden
Alyssa berpikir sejenak dengan rencana kepulangannya ke rumah besar. Ia memang masih kesal pada suaminya, tapi hati tak bisa berbohong jika dirinya begitu merindukan senyuman manis seorang Wirautama. Namun, niat itu berhasil dicegah oleh Rafandra. Bertepatan dengan putranya yang masuk ke dalam rumah, Alyssa malah terdiam mendengar penjelasan dari Rafandra. "Papa enggak akan pulang ke rumah malam ini. Coba saja mama telpon simbok nanti malam. Terus, mama hubungi papa setelahnya." Rafandra begitu percaya diri saat mengatakannya pada Alyssa karena lima menit yang lalu, Samsul mengirimkan bukti percakapan supir pribadi dan ayahnya. Dalam percakapan itu tertulis jika ayahnya sengaja malam ini menginap di sebuah rumah yang belum diketahui milik siapa. "Papa bilang sesuatu sama kamu?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Lalu, kenapa kamu tahu kalau papa tidak pulang malam ini?" "Firasat," jawab Rafandra singkat. "Kamu sudah mengetahuinya?" Alyssa bertanya dengan tatapan penuh menyelidik
Kayana tak bisa mengajak Rafandra bicara banyak malam ini. Sepulangnya dari makan malam, tak ada suara sepatah katapun yang keluar dari mulut Rafandra. Suami Kayana itu hanya bungkam. Bahkan tak ada sapaan salam sebelum tidur seperti biasanya. Rafandra memilih tidur lebih awal. Pria itu naik ke atas ranjang tanpa menghiraukan Kayana yang tengah mengajaknya bicara. "Kamu mau diam sampai kapan?" tanya Kayana yang sudah bosan dengan sikap Rafandra. Menurutnya, Rafandra itu kekanakan, sering bertingkah tidak jelas seperti ini. Rafandra tetap diam. Ia memilih beranjak ke samping tempat tidur dan berbalik memunggungi Kayana. Geram, Kayana menarik selimut yang menutupi tubuh Rafandra lalu berteriak. "Kamu tidak hargai aku sebagai istri kamu?" Rafandra menarik kembali selimut itu. Bibirnya berdecak kesal. "Aku lagi capek. Aku tidak mau bertengkar dengan siapapun hari ini. Jadi, kamu lebih baik diam saja." Rafandra menoleh sejenak ke belakang. Lalu berkata lagi, "Sekarang tidur, Kayana."
Alyssa masih penasaran dengan tingkah aneh suaminya yang semakin mencurigakan. Sebenarnya ia tahu, hanya saja semua rahasia itu dipendamnya dalam hati. Ia masih menghargai nama ‘Wirautama’ yang seorang pengusaha terkenal. Tidak mungkin dirinya membeberkan semua rahasia itu di depan orang banyak kecuali mereka mengetahuinya sendiri. Dirinya tak ingin nama keluarganya jadi perbincangan publik. Bagaimana jika ada musuh yang memanfaatkan keadaan itu? Rasa penasaran Alyssa semakin memuncak. Di depan ruangan kerja sang suami tercinta, ia berdiri dengan perasaan gelisah yang berkecamuk di dalam dadanya. Alyssa menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Kakinya melangkah pelan menuju pintu masuk, pelan-pelan ia membukanya. Namun langkahnya terhenti saat ia mendengar sayup-sayup dari arahnya berdiri suara berat Wirautama sedang bicara dengan seseorang di luar sana. “Alyssa dan Rafandra sudah mengetahui semuanya. Kita tidak bisa menutupinya lagi. Aku akan membicarakan ini dengan me
“Nama wanita itu Rani.” Alyssa membuka percakapan dengan Rafandra setelah keduanya memilih hening tanpa suara sejak turun dari gedung kantor suaminya.Wanita itu menoleh ke arah luar jendela lalu menatap wajah anaknya yang tengah sibuk menyetir. “Mama sudah ajukan perceraian tapi papamu menolak.” Rafandra menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan besar yang kini mulai mengular padat. Ini waktu makan siang, banyak kendaraan keluar dari gedung untuk mencari tempat makan langganan. Rafandra menghela napas panjang lalu mengembuskannya pelan. Terasa berat karena ada sesak yang tersimpan di dadanya. “Rafa sudah mengetahuinya dari Samsul. Kemarin ia bercerita, papa kembali bertemu dengan wanita itu di sebuah tempat. Ma, apapun keputusannya, aku dan Kayana akan dukung,” ucap Rafandra yang kini membelokkan mobilnya ke sebuah jalan menuju kompleks perumahan. “Napas mama sesak. Kalau sewaktu-waktu mama tidak ada, kamu dan Kayana harus selalu saling menguatkan satu sama lain. Mama sayang k
Lima tahun kemudian Tak terasa usia pernikahan Rafandra dan Kayana telah memasuki tahun ke lima. Ada yang bertambah di tahun tersebut, satu anak dari Kayana di tahun ke tiga saat si kembar sudah mulai aktif berjalan. Rafandra sempat kewalahan menghadapi ke tiga anaknya yang mulai tumbuh besar. Si kembar juga mulai cerewet seperti ibunya. "Papa, mau itu." Rafisha menunjuk pohon mangga yang berbuat lebat belakang rumah orangtua Kayana. Cukup tinggi, Rafandra sampai mengernyitkan dahinya. "Ambilin." "Papa enggak bisa. Suruh om Samsul saja ya." Rafandra merinding membayangkan betapa tingginya pohon mangga itu. Ia lebih baik menunggu di bawah sambil mengawasi kedua anak kembarnya. "Papa payah." Rafisha merengut. Tak lama kemudian ia berhasil menarik kakeknya untuk mengambilkan mangga yang dimaksud olehnya tadi. Dengan senang hati sang kakek mengambilkannya. Diambilnya sebuah kayu tinggi dekat pohon dan dalam sekali tarikan, dua mangga berhasil diambilnya. "Hore, buah mangga." Rahisya
Empat bulan kemudian "Rafa! Rafa!" Suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rafandra yang masih terbuai mimpi sayup-sayup mendengar suara itu. Tak terdengar lagi, ia pun melanjutkan mimpinya. "Rafa!" Mata Rafandra langsung terbelalak. Terkejut dengan suara keras yang memanggil namanya dari dalam sana. "Iya!" Rafandra berlari ke tempat asal suara dan mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. "Astaga! Kayana." Tanpa banyak tanya lagi ia segera menggendong tubuh Kayana yang lemas. Ada aliran darah di sekitar kakinya bercampur dengan cairan bening. Tas kecil di atas meja rias ia sambar beserta kunci mobil dan ponselnya. Berjalan cepat menuruni anak tangga, Rafandra berteriak nyaring membangunkan seisi rumah. "Woy, bangun. Tolongin. Kayana mau melahirkan!" teriaknya. Samsul yang kebetulan sedang menginap di rumah Rafandra pun ikut terbangun mendengar teriakan keras dari bosnya itu. Segera ia berlari menyusul Rafandra yang sudah berada di luar rumah. "Bos. Bu Kayana mau me
Mau tidak mau, kabar kelahiran anak kedua Wirautama membawa dampak besar bagi perusahaan. Terlebih lagi, istri keduanya adalah seorang selebritis yang sering mendapat perhatian publik atas apa yang dilakukannya. Bukan tidak mungkin, hal seperti ini akan jadi momok yang menakutkan bagi Wirautama dan keluarganya. Belum sampai satu hari berita itu dimuat, sudah muncul lagi satu isu yang membuat Rafandra tercekat. Isu tentang keretakan rumah tangga ibu dan ayahnya yang entah dari mana kabar itu berhembus. Ini yang paling dibenci oleh Rafandra. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah berita itu keluar. "Ada-ada saja berita aneh. Ini papa harus klarifikasi." Rafandra membuang ponselnya ke atas sofa di ruang tengah. "Rafa capek, Ma." "Nanti mama bantu klarifikasi. Kamu pikirkan perusahaan saja dan Kayana." Alyssa yang berdiri tangga bawah melirik Kayana dan Rafandra yang sedang duduk berdua di ruang tengah. "Anak papamu akan dibawa kesini. Mereka akan tinggal bersama kita." "Benarkah?" Kayana
Tentang berita kelahiran anak Rani, pertama kali diketahui oleh Alyssa saat tak sengaja menguping pembicaraan salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter. Ia mengatakan ada pasien masuk ke ruang bersalin dengan status mengkhawatirkan. Informasi itu didapatkan dari seorang suster yang menerima pasien itu di ruang gawat darurat. Teman Alyssa bercerita, dia seperti pernah melihat wanita itu tapi lupa tepatnya di mana. Ia pun bertanya pada Alyssa, walau tak yakin dengan jawabannya. "Tadi, kalau tidak salah namanya adalah Rani iswandari. Nama suaminya Wirautama. Alyssa, nama Wirautama di Jakarta tidak hanya nama suamimu kan?" Alyssa terdiam saat itu. Nama Rani dan Wirautama memang banyak, tapi yang terlibat cinta di belakang layar hanya mereka berdua. Tidak salah lagi, pasti itu Rani istri kedua suaminya. "Dia melahirkan? Siapa yang mengantarnya?" tanya Alyssa yang mulai khawatir. Ia takut terjadi sesuatu dengan wanita itu dan dirinya akan terus merasa bersalah hingga akhir hidup
"Istrimu melahirkan!" Alyssa menaruh ponselnya segera setelah berteriak. Wirautama yang berada di kamar terkejut dengan suara teriakan itu. Ia segera berlari keluar kamar menemui Alyssa. "Ada apa?" balasnya. "Aku dapat info, istrimu melahirkan. Kamu tidak menjenguknya?" tanya Alyssa memastikan. Terdiam sambil berpikir sejenak, Wirautama belum bisa memutuskan akan datang atau tidak. Ia bimbang memutuskan hal tersebut. Lalu Alyssa kembali bertanya, "Kamu jenguk tidak? Kalau tidak, biar aku yang jenguk." "Kalau berdua dengan kamu, aku ikut." "Ok. Aku ganti pakaian dulu." Alyssa segera masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian sementara Wirautama menunggu di luar. Rafandra yang baru saja dari luar rumah, baru selesai mencuci mobilnya melihat keheranan wajah ayahnya yang diam memucat seperti terkena sihir. "Kenapa, Pa?" tegur Rafandra. Wirautama terlonjak kaget lalu menggelengkan kepalanya. "Kok diam saja?" "Kamu enggak kerja?" Wirautama malah balik bertanya pada Rafandra. "Izi
Karena kondisi tubuh Wirautama telah membaik, ia sudah diizinkan untuk kembali beraktivitas walau hanya sekedar duduk tanpa turun langsung ke lapangan. Rafandra sebagai anak yang sangat sayang pada ayahnya, rela menggantikan tugas sementara ayahnya sebelum rapat pimpinan direksi yang akan dilaksanakan bulan depan. Menunggu ayahnya selesai membaca dokumen yang ia bawa, Rafandra lebih mementingkan pesan yang dikirimkan oleh istrinya. Pesan ringan, hanya seputar keinginan istrinya yang aneh. "Kayana lagi rewel?" tanya Wirautama mengintip dari balik kacamatanya. Rafandra mengangguk. "Biasa, itu. Minta apa dia sekarang?" "Minta belikan croffle, cromboloni. Makanan aneh, Pa. Pasti ujung-ujungnya Rafa yang makan," keluh Rafandra. "Ya enggak apa-apa. Yang penting istri kamu senang, anak kamu juga." Rafandra hanya mengangguk-angguk sambil memainkan ponselnya. "Papa enggak pulang? Udah jam makan siang. Mama bilang jangan terlalu banyak kerja." Rafandra berdiri dari duduknya, mengambil doku
Pagi sekali sepasang suami istri itu bangun. Baru saja menapakkan kaki mereka di dapur, keduanya sudah disambut suara pekikan Alyssa yang sedang mengkomandoi asisten rumah tangga yang akan memasak sarapan pagi itu. "Jangan kebanyakan gula. Kalau bisa, tomatnya ditambah." asisten rumah tangga itu hanya diam saja sambil mengangguk pelan. "Kayana tidak suka manis. Nanti bikin tehnya dibuat lebih kental sedikit." "Iya Bu." Saatnya Alyssa kembali ke ruang makan. Sudah ada Kayana dan Rafandra yang duduk manis berbincang satu sama lain. Kayana terlihat segar dengan rambut basahnya. Begitu pula Rafandra yang sejak tadi mengusak-usak rambut sang istri. Keduanya tampak akur tak seperti biasanya. "Tumben keramas pagi-pagi," sindir Alyssa. Sedikit berdehem, ia bertanya lagi pada keduanya. "Tadi malam habis berbuat yang enak-enak ya?" Alyssa terkekeh hingga membuat wajah Kayana memerah. Ia menoleh ke sebelahnya, Rafandra juga ikut terkekeh karena membayangkan kejadian tadi malam. Kayana yang
"Aku mau pulang ke rumah ibu. Mau liburan di sana." Kayana merajuk. Sejak pulang dari rumah sakit dan berjalan-jalan sebentar di sekitar area mall, rupanya tak membuat mood kesayangan Rafandra itu membaik. Apalagi, saat di resto tadi dirinya bertemu dengan Sonia secara tak sengaja dengan sikap sok centilnya. Seketika hancurlah semua niat dirinya yang ingin bermanja-manja dengan sang suami. "Besok ya. Aku antar ke rumah ibu." Rafandra mencoba bersikap sabar menghadapi ibu hamil yang sering meraung-raung tak jelas seperti Kayana. Persediaan sabarnya harus lebih dari hari biasa. "Terus, kamu nginep di sana enggak?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Kamu tega ninggalin aku sendirian kalau malam?" Rafandra menepuk dahinya. Memang serba salah menjawab pertanyaan dari Kayana saat ini. "Aku kan kerja—" "Kalau kamu kerja, memangnya ada larangan tinggal di rumah aku? Kamu jahat, Rafa. Kamu enggak sayang lagi sama aku." Kayana mulai merengek. Air matanya menetes melalui pipinya ya
Rafandra menyempatkan diri datang ke rumah sakit bertemu dengan ayahnya yang masih dirawat di sana. Dirinya datang tidak hanya sendiri, bersama dengan Kayana tentunya. Baru saja ia masuk, mata ayahnya telah memindainya dari jarak jauh seolah dirinya adalah seorang penjahat. Memang seperti itulah Wirautama jika sedang mengintai seseorang. "Pa, biasa aja lihatin Rafa." risih, Rafandra menegur ayahnya. Kayana yang mengekor di belakang mengucapkan salam lalu mencium tangan ayah mertuanya. "Papa udah sembuh belum sih?" "Dasar anak durhaka. Tuh istri kamu saja cium tangan, kamu malah melengos." Wirautama memukul lengan Rafandra pelan, namun anaknya itu berlagak kesakitan. "Bagaimana dengan Sonia? Berhasil dipindahkannya?" Rafandra menggedikkan bahunya. "Papa kenapa bikin peraturan seperti itu sih? Kenapa Sonia dimasukkan ke dalam tim pengembangan juga?" "Dia bagus, idenya selalu menarik dan public speakingnya selalu didengar oleh investor. Apa salahnya kalau kita masukkan dia ke dalam t