Perjalanan panjang yang cukup membuatnya lelah dan ketakutan pun berakhir sudah setelah terbang beberapa jam lamanya.
"Thanks dan Sorry untuk yang tadi. Ini … pertama kalinya saya naik pesawat," ucap Valen saat pesawatnya benar-benar telah berhenti."Its okay!" jawab Fernan datar.Setelah itu Valen tak acuh dan segera beranjak terlebih dahulu karena tak mau mendapatkan banyak pertanyaan dari Fernan tentang mau kemana atau tinggal dimana. Sebenarnya kejadian dejavu tadi membuat Valen bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun dia segera melupakan hal tersebut."Perjalanan masih jauh, semangat, Valen," batinnya memberikan semangat pada diri sendiri.Dari sekian banyaknya kota indah di Eropa, Cochem, Rhineland-Palatinate, Jerman adalah tempat yang paling dia inginkan.Bukan hanya itu saja, tetapi secara kebetulan Heru juga punya bisnis di Jerman, jadi Vanya juga bisa ikut bersama Heru saat ada perjalanan bisnis ke Jerman. Berbeda dengan sebelumnya, kini wajah Valen berubah bahagia sebab sudah tiba di negara tujuannya. Walaupun dia masih harus menempuh perjalanan beberapa jam lagi untuk sampai ke tempat tinggal yang disarankan oleh Heru.Fernan juga sang Jonathan masih terus berada di belakang Valen sejak dia keluar dari bandara. Rasa bahagianya semakin terlihat jelas saat dia tahu tujuan Valen ternyata tidak jauh dari tempat tinggalnya."Aku mau rumah di dekat gadis itu," ujar Fernan membuat Jonathan sedikit heran."Apa dia gadis yang Tuan Fe cari?" tanya Jonathan, tetapi tidak mendapatkan jawaban. Fernan hanya menyunggingkan senyum kemudian mengibaskan jari telunjuknya tanda meminta supir untuk kembali melajukan mobil.***"Bener-bener indah. Disini … Mama akan memulai kehidupan baru denganmu, Baby."Valen sudah bertemu dengan orang suruhan Heru yang mengantarkan dirinya sampai ke tempat tujuan. Bukan hanya keindahan saja yang dia inginkan disana, melainkan banyak kebun anggur dan ramah lingkungan. Valen sangat ingin bersepeda menjelajahi lembah sungai dan kebun anggur itu sejak dia tahu rekomendasi kota tersebut dari teman kuliahnya. Kota tradisional Jerman yang letaknya di lembah sungai Moselle itu benar-benar memikat mata Valen."Nggak apa nggak dapet yang di bukit itu, disini juga udah nyaman banget," gumam Valen seraya menghirup kebebasan dan udara yang begitu segar.Walaupun Valen tidak bisa mendapatkan tempat tinggal yang berdekatan dengan Cochem Castle, tetapi tempat tinggal yang dia dapatkan juga tidak kalah indah karena masih berada di dekat lembah sungai. Pemandangan dengan lampu cahaya orange akan dia nantikan saat malam sudah tiba nanti.Rumah yang dia dapatkan cukup sederhana dan masih sangat tradisional karena terbuat dari setengah kayu. Sebenarnya dia sangatlah lelah dan malas untuk merapikan barang-barangnya karena perjalanan jauh, tetapi semangatnya muncul kembali saat Valen menatap seraya mengelus perutnya yang masih rata itu. Beberapa kali dia mengusap lembut calon anaknya yang masih sebesar biji jagung."Kita akan bahagia walaupun hanya berdua, Baby," ucap Valen seraya mengusap perut. Valen pun kembali dengan aktivitasnya setelah bicara dengan calon anaknya. Dialah satu-satunya alasan kenapa harus tetap hidup.Belum selesai mengeluarkan semua barang yang ada di dalam koper, Valen mendapati suara ketukan pintu. Valen cukup terkejut dan takut karena dia tidak mengenal siapapun di sana, tetapi ada orang yang mengetuk pintu. Beruntung lah rumah yang dia tempati itu ada sebuah lingkaran kecil di pintu yang bisa melihat siapa yang ada di luar. Segera Valen pun beranjak."Hah? Kok?" Valen bergumam karena heran ada seorang pria dengan seragam seperti pengantar makanan. Dia pun segera membuka pintu rumahnya."Mrs. Valencia?" sapa seorang laki-laki tinggi dengan seragam kombinasi merah dan memakai helm. Dia menyodorkan empat paper bag pada Velen setelah Valen menganggukkan kepalanya."Thank you!" ucapnya saat pengantar makanan itu memberikan empat kantong paper bag seraya tersenyum manis dan berlalu pergi. "Siapa yang nganter ini?" Tentu saja dia heran, tetapi sesaat kemudian Valen ingat dengan nama Delon. "Apa dia? Tapi dia sebenarnya siapa? Kenapa tahu aku disini? Apa dia menguntit?" Banyak pertanyaan di otak Valen yang tidak langsung mendapatkan jawaban.Namun Valen tetap bersyukur karena saat ini dia memang sangatlah lapar. Apalagi Valen harus ingat kalau anak yang dia kandung butuh nutrisi. Akhirnya Valen mengemas bahan makanan yang baru saja dia dapatkan untuk mengisi perutnya terlebih dahulu.***"Serius?" tanya Vanya dibalik panggilan telepon."Hm, udah seminggu ini. Tapi aku bener-bener nggak inget siapa dia, cuma … waktu dia sentuh kepala aku … kayak pernah aja ngerasain," papar Valen menjelaskan beberapa kejadian saat di pesawat."Ya udah, nikmatin aja. Kenalan lebih dalam juga boleh. Siapa tau jodoh," kata Valen terdengar cekikikan di balik panggilan itu."Van, kamu tau aku bukan wanita yang ….""Iya … maaf." Keduanya pun mengalihkan pembicaraan dan tidak membahas tentang Fernan lagi.Satu minggu telah berlalu begitu saja. Valen tidak pernah keluar rumah kecuali saat sore untuk bersepeda. Setiap hari di pagi dan sore hari, Valen selalu mendapatkan kiriman paket berupa makanan juga camilan dan kebutuhan lainnya. Valen mau menolak, tetapi saat Valen tidak menerima paket tersebut, sang pengantar selalu berwajah sedih. Valen sedikit tahu dari bahasanya kalau dia bisa dipecat sampai mendapatkan bintang satu karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.Seperti biasanya, saat sore menjelma, Valen menyewa sepeda dan bersepeda menikmati indahnya kota Cochem itu. Namun saat dia sedang menikmati sunset, Valen dikejutkan oleh sosok laki-laki yang bersepeda sejajar dengannya."Hallo, Nona Valen," sapa Fernan.Valen hanya menoleh dan menatap Fernan sesaat. Dia tentu tidak suka momen indahnya diganggu. Hanya saja tiba-tiba dia berpikir seharusnya berterima kasih atas kiriman paket setiap hari yang dia dapat."Thanks untuk semuanya. Tapi … anda tidak perlu lagi mengirimkan sesuatu lagi, Tuan Fernan," ujar Valen tanpa menoleh."Aku hanya khawatir, Nona. Itu juga bukan sesuatu yang merepotkan," jawab Fernan yang juga ikut menikmati indahnya sunset di hadapannya."Hm. Tapi tidak perlu sampai anda kirimkan pembalut juga, Tuan. Benda itu udah nggak berguna dan terlalu intim, ck!"Mendengar itu Fernan menoleh menatap Valen dengan satu alis yang terangkat. Dia tentu heran kenapa Valen mengatakan hal demikian."Ck, saya sedang hamil, Tua . Jadi saya tidak butuh pembalut untuk sembilan bulan kedepan," jelas Valen berhasil membuat Fernan terkejut."Hamil?" Fernan mengulang perkataan Valen dan kini raut wajahnya berubah dingin."Ck, sebenarnya bukan urusan anda, Tuan Fernan. Apa anda kecewa mendengar saya hamil?" Valen pun kembali menoleh. Keduanya saling menatap untuk beberapa saat. Valen pun menyunggingkan senyum melihat raut wajah Fernan."Menikahlah denganku. Aku akan menjaga kalian," ucap Fernan mampu membuat Valen mematung.Kata-kata manis yang baru saja dia dapatkan dari Fernan benar-benar membuat Valen harus mengingat sosok Gio dalam benaknya. Sudut bibir yang menyungging dan sorot mata yang terlihat menyedihkan adalah raut wajah yang dilihat oleh Fernan.Laki-laki itu memang tidak tahu pasti apa yang telah dilalui Valen sampai gadis cantik di depannya itu mengabaikan apa yang baru saja dia katakan."Valen, apa kamu dengar apa yang aku katakan?" tanya Fernan sekali lagi untuk memastikan bahwa kali ini Valen mendengarnya."Hm, aku mendengarnya dengan sangat jelas, Tuan. Anda sungguh pria aneh, Tuan! Kita baru bertemu beberapa hari lalu dan anda mau menikahi saya padahal anda tahu saya ini sedang hamil? Anda terlihat berwibawa dan cukup tampan. Tapi anda mau menikahi gadis cacat seperti saya?"Fernan tidak memberikan reaksi apa pun. Sorot matanya masih sama, tetapi hatinya sedikit terkoyak dengan kata-kata Valen. Fernan tidak berpikir sedikitpun bahwa Valen itu wanita cacat. Mungkin karena dia tidak bisa
Baik Bunda Alive maupun laki-laki yang mengaku bernama Delon itu masih mendapatkan tatapan heran dari Valen. Vanya sendiri ikut berdiri di ambang pintu juga dengan tatapan heran dan tidak mengenal laki-laki yang sedang berpelukan dengan Bunda Alive.Entah kenapa Valen tiba-tiba merasa aneh dengan kehadiran pria yang sudah beberapa bulan tidak ada kabarnya tersebut dan datang baru beberapa saat setelah Vanya juga Bunda asuhnya datang."Nggak mungkin dia mengawasi aku dua puluh empat jam tanpa aku sadari, bukan?" batin Valen masih dengan tatapan yang sama pada Fernan. Laki-laki itu benar-benar misterius."Bunda apa kabar? Maaf Delon nggak pernah jenguk Bunda di panti," ucap Delon seraya melepaskan pelukannya. "Bunda nggak berubah, masih sangat cantik." Puji Delon dengan senyuman."Dasar anak nakal! Kamu juga nggak berubah, masih sangat jail!" jawab Bunda seraya memukul lengan Delon dan Valen benar-benar masih bingung dengan keakraban antara Bunda asuhnya dengan Delon alias Fernan itu."
Malam itu, Valen cukup dilanda kebingungan karena sedang berusaha untuk mengingat laki-laki bernama Lonlon yang dimaksud oleh Bunda Alive. Namun seberapa keras Valen mencoba mengingat nama itu, hasilnya tetap saja sama. Dia tidak bisa mengingat laki-laki tersebut.Mungkin memang Valen sudah tidak akan bisa mengingat laki-laki yang mau bertanggung jawab atas anak dalam kandungannya tersebut. Hanya saja Valen sangat penasaran karena sikap Fernan sedikit mencairkan hatinya yang membeku."Val, are you okay?" tanya Vanya yang tiba-tiba masuk ke kamar Valen karena dia tahu persis pasti Valen akan memikirkan Fernan."Em, apa kamu juga lagi mikirin hal yang sama?" Valen balik bertanya."Kenapa ya aku kok nggak inget sama sekali dengan Fernan. Tapi nggak mungkin juga Bunda bohong sama kamu. Dan ... menurutku nggak ada salahnya kamu mencoba membuka hati untuk Fernan. Bukannya dia yang selama ini yang kirim kamu makanan dan dia juga bilang tinggal di dekat kamu loh. Apa itu nggak cukup sweet?"V
Semua wanita pasti akan senang dengan kehadiran seorang buah hati di dalam rahimnya. Begitu juga gadis bernama Valencia Bellina. Ya, dia masih gadis karena belum menikah. Hari ini gadis tersebut berencana untuk mengatakan kehamilan pada sang kekasih yang bernama Sergio Ramos."Akhirnya … Mami sama Papi bakal menikah, Nak. Mami mau siap-siap setelah itu kita ketemu Papi ya," ujar Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata.Valen pun pergi ke tempat kerja kekasihnya, Gio. Namun belum Valen turun dari taksi, dia melihat Gio masuk ke dalam mobil bersama Vanes, sahabatnya."Loh, mereka mau kemana? Tumben Gio dan Vanes jalan bareng gitu! Bukannya Vanes nggak suka dengan Gio?" gumam Valen menatap kepergian mobil yang dinaiki Gio dan Vanes."Pak, ikuti mobil itu ya?" titah Valen pada supir taksi dan sang supir mengangguk paham.Ternyata mobil yang diikuti Valen berhenti disebuah butik dan itu bukan butik biasa melainkan butik yang menyediakan perlengkapan pernikahan. Valen semakin terhera
Sepulangnya dari pesta pernikahan mantan kekasih dan mantan sahabatnya itu, Valen menatap seluruh ruang rumahnya dari ambang pintu. Matanya kembali menitikkan cairan bening, tetapi dengan segera Valen menyeka air mata itu. "Aku harus pergi dari sini. Demi kamu, Nak. Kita nggak bisa tinggal di sisi bayang-bayang ayah kamu yang jahat itu," gumam Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata. Awalnya Valen tidak mau menerima kehadiran anak dari benih Gio tersebut, tetapi Valen sadar jika calon anaknya itu tidak bersalah sama sekali. Satu minggu terpuruk dan mengurung diri di kamar membuat Valen sadar jika sebelumnya dia menginginkan anak itu demi mendapatkan restu orang tua Gio, tetapi kali ini bukan itu alasannya.Beberapa hari kemudian, Valen memutuskan untuk pergi dari kota yang telah memberikan banyak luka di hatinya. Walaupun Vanya melarangnya, tetapi tentu saja Valen kekeh dengan pendiriannya untuk meninggalkan kota itu."Tapi … aku … aku nggak rela jauh dari kamu, Val," ujar Va
"Sungguh aneh," gumam Valen kemudian membuang muka. Jarak dengan laki-laki di depannya itu benar-benar membuat Valen tidak nyaman. Segera ia kembali duduk untuk menikmati cappucino yang masih dia genggam."So what? Saya memang harus marah padamu karena tidak ada kabarnya selama ini," sahut laki-laki yang menjengkelkan itu lalu duduk di sisi Valen. "Saya Fernan, Nona!" sambung laki-laki yang bernama Fernan. Dia menatap lekat tiket pesawat yang dipegang Valen. Setelah itu meraih ponselnya yang ada di saku celana.Valen pun menoleh menatap Fernan. Dia benar-benar tidak mengenali laki-laki di hadapannya itu. Otaknya mulai berpikir keras, tetapi Valen tidak ingat sama sekali wajah laki-laki itu. Valen hanya bisa memutar malas bola matanya kemudian mengalihkan pandangan dari laki-laki bernama Fernan tersebut."Anda lupa dengan saya, Nona Valen?" tanya laki-laki itu seraya menyunggingkan senyum tanpa menoleh pada Valen karena matanya fokus pada ponsel. "Anda benar-benar tidak ingat? Apa karen
Malam itu, Valen cukup dilanda kebingungan karena sedang berusaha untuk mengingat laki-laki bernama Lonlon yang dimaksud oleh Bunda Alive. Namun seberapa keras Valen mencoba mengingat nama itu, hasilnya tetap saja sama. Dia tidak bisa mengingat laki-laki tersebut.Mungkin memang Valen sudah tidak akan bisa mengingat laki-laki yang mau bertanggung jawab atas anak dalam kandungannya tersebut. Hanya saja Valen sangat penasaran karena sikap Fernan sedikit mencairkan hatinya yang membeku."Val, are you okay?" tanya Vanya yang tiba-tiba masuk ke kamar Valen karena dia tahu persis pasti Valen akan memikirkan Fernan."Em, apa kamu juga lagi mikirin hal yang sama?" Valen balik bertanya."Kenapa ya aku kok nggak inget sama sekali dengan Fernan. Tapi nggak mungkin juga Bunda bohong sama kamu. Dan ... menurutku nggak ada salahnya kamu mencoba membuka hati untuk Fernan. Bukannya dia yang selama ini yang kirim kamu makanan dan dia juga bilang tinggal di dekat kamu loh. Apa itu nggak cukup sweet?"V
Baik Bunda Alive maupun laki-laki yang mengaku bernama Delon itu masih mendapatkan tatapan heran dari Valen. Vanya sendiri ikut berdiri di ambang pintu juga dengan tatapan heran dan tidak mengenal laki-laki yang sedang berpelukan dengan Bunda Alive.Entah kenapa Valen tiba-tiba merasa aneh dengan kehadiran pria yang sudah beberapa bulan tidak ada kabarnya tersebut dan datang baru beberapa saat setelah Vanya juga Bunda asuhnya datang."Nggak mungkin dia mengawasi aku dua puluh empat jam tanpa aku sadari, bukan?" batin Valen masih dengan tatapan yang sama pada Fernan. Laki-laki itu benar-benar misterius."Bunda apa kabar? Maaf Delon nggak pernah jenguk Bunda di panti," ucap Delon seraya melepaskan pelukannya. "Bunda nggak berubah, masih sangat cantik." Puji Delon dengan senyuman."Dasar anak nakal! Kamu juga nggak berubah, masih sangat jail!" jawab Bunda seraya memukul lengan Delon dan Valen benar-benar masih bingung dengan keakraban antara Bunda asuhnya dengan Delon alias Fernan itu."
Kata-kata manis yang baru saja dia dapatkan dari Fernan benar-benar membuat Valen harus mengingat sosok Gio dalam benaknya. Sudut bibir yang menyungging dan sorot mata yang terlihat menyedihkan adalah raut wajah yang dilihat oleh Fernan.Laki-laki itu memang tidak tahu pasti apa yang telah dilalui Valen sampai gadis cantik di depannya itu mengabaikan apa yang baru saja dia katakan."Valen, apa kamu dengar apa yang aku katakan?" tanya Fernan sekali lagi untuk memastikan bahwa kali ini Valen mendengarnya."Hm, aku mendengarnya dengan sangat jelas, Tuan. Anda sungguh pria aneh, Tuan! Kita baru bertemu beberapa hari lalu dan anda mau menikahi saya padahal anda tahu saya ini sedang hamil? Anda terlihat berwibawa dan cukup tampan. Tapi anda mau menikahi gadis cacat seperti saya?"Fernan tidak memberikan reaksi apa pun. Sorot matanya masih sama, tetapi hatinya sedikit terkoyak dengan kata-kata Valen. Fernan tidak berpikir sedikitpun bahwa Valen itu wanita cacat. Mungkin karena dia tidak bisa
Perjalanan panjang yang cukup membuatnya lelah dan ketakutan pun berakhir sudah setelah terbang beberapa jam lamanya. "Thanks dan Sorry untuk yang tadi. Ini … pertama kalinya saya naik pesawat," ucap Valen saat pesawatnya benar-benar telah berhenti."Its okay!" jawab Fernan datar.Setelah itu Valen tak acuh dan segera beranjak terlebih dahulu karena tak mau mendapatkan banyak pertanyaan dari Fernan tentang mau kemana atau tinggal dimana. Sebenarnya kejadian dejavu tadi membuat Valen bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun dia segera melupakan hal tersebut."Perjalanan masih jauh, semangat, Valen," batinnya memberikan semangat pada diri sendiri.Dari sekian banyaknya kota indah di Eropa, Cochem, Rhineland-Palatinate, Jerman adalah tempat yang paling dia inginkan.Bukan hanya itu saja, tetapi secara kebetulan Heru juga punya bisnis di Jerman, jadi Vanya juga bisa ikut bersama Heru saat ada perjalanan bisnis ke Jerman. Berbeda dengan sebelumnya, kini wajah Valen berubah bahagia sebab
"Sungguh aneh," gumam Valen kemudian membuang muka. Jarak dengan laki-laki di depannya itu benar-benar membuat Valen tidak nyaman. Segera ia kembali duduk untuk menikmati cappucino yang masih dia genggam."So what? Saya memang harus marah padamu karena tidak ada kabarnya selama ini," sahut laki-laki yang menjengkelkan itu lalu duduk di sisi Valen. "Saya Fernan, Nona!" sambung laki-laki yang bernama Fernan. Dia menatap lekat tiket pesawat yang dipegang Valen. Setelah itu meraih ponselnya yang ada di saku celana.Valen pun menoleh menatap Fernan. Dia benar-benar tidak mengenali laki-laki di hadapannya itu. Otaknya mulai berpikir keras, tetapi Valen tidak ingat sama sekali wajah laki-laki itu. Valen hanya bisa memutar malas bola matanya kemudian mengalihkan pandangan dari laki-laki bernama Fernan tersebut."Anda lupa dengan saya, Nona Valen?" tanya laki-laki itu seraya menyunggingkan senyum tanpa menoleh pada Valen karena matanya fokus pada ponsel. "Anda benar-benar tidak ingat? Apa karen
Sepulangnya dari pesta pernikahan mantan kekasih dan mantan sahabatnya itu, Valen menatap seluruh ruang rumahnya dari ambang pintu. Matanya kembali menitikkan cairan bening, tetapi dengan segera Valen menyeka air mata itu. "Aku harus pergi dari sini. Demi kamu, Nak. Kita nggak bisa tinggal di sisi bayang-bayang ayah kamu yang jahat itu," gumam Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata. Awalnya Valen tidak mau menerima kehadiran anak dari benih Gio tersebut, tetapi Valen sadar jika calon anaknya itu tidak bersalah sama sekali. Satu minggu terpuruk dan mengurung diri di kamar membuat Valen sadar jika sebelumnya dia menginginkan anak itu demi mendapatkan restu orang tua Gio, tetapi kali ini bukan itu alasannya.Beberapa hari kemudian, Valen memutuskan untuk pergi dari kota yang telah memberikan banyak luka di hatinya. Walaupun Vanya melarangnya, tetapi tentu saja Valen kekeh dengan pendiriannya untuk meninggalkan kota itu."Tapi … aku … aku nggak rela jauh dari kamu, Val," ujar Va
Semua wanita pasti akan senang dengan kehadiran seorang buah hati di dalam rahimnya. Begitu juga gadis bernama Valencia Bellina. Ya, dia masih gadis karena belum menikah. Hari ini gadis tersebut berencana untuk mengatakan kehamilan pada sang kekasih yang bernama Sergio Ramos."Akhirnya … Mami sama Papi bakal menikah, Nak. Mami mau siap-siap setelah itu kita ketemu Papi ya," ujar Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata.Valen pun pergi ke tempat kerja kekasihnya, Gio. Namun belum Valen turun dari taksi, dia melihat Gio masuk ke dalam mobil bersama Vanes, sahabatnya."Loh, mereka mau kemana? Tumben Gio dan Vanes jalan bareng gitu! Bukannya Vanes nggak suka dengan Gio?" gumam Valen menatap kepergian mobil yang dinaiki Gio dan Vanes."Pak, ikuti mobil itu ya?" titah Valen pada supir taksi dan sang supir mengangguk paham.Ternyata mobil yang diikuti Valen berhenti disebuah butik dan itu bukan butik biasa melainkan butik yang menyediakan perlengkapan pernikahan. Valen semakin terhera