Baik Bunda Alive maupun laki-laki yang mengaku bernama Delon itu masih mendapatkan tatapan heran dari Valen. Vanya sendiri ikut berdiri di ambang pintu juga dengan tatapan heran dan tidak mengenal laki-laki yang sedang berpelukan dengan Bunda Alive.
Entah kenapa Valen tiba-tiba merasa aneh dengan kehadiran pria yang sudah beberapa bulan tidak ada kabarnya tersebut dan datang baru beberapa saat setelah Vanya juga Bunda asuhnya datang."Nggak mungkin dia mengawasi aku dua puluh empat jam tanpa aku sadari, bukan?" batin Valen masih dengan tatapan yang sama pada Fernan. Laki-laki itu benar-benar misterius."Bunda apa kabar? Maaf Delon nggak pernah jenguk Bunda di panti," ucap Delon seraya melepaskan pelukannya. "Bunda nggak berubah, masih sangat cantik." Puji Delon dengan senyuman."Dasar anak nakal! Kamu juga nggak berubah, masih sangat jail!" jawab Bunda seraya memukul lengan Delon dan Valen benar-benar masih bingung dengan keakraban antara Bunda asuhnya dengan Delon alias Fernan itu."Aku berubah semakin tampan, Bunda," kata Delon memuji dirinya sendiri."Iya ... kamu semakin tampan, Anak Nakal," sahut Bunda Alive masih terus memukul bahu Delon."Apa kita mau ngobrol disini, Bunda? Sebaiknya Bunda ajak Delon masuk karena ibu hamil itu nggak akan biarkan Delon masuk," kata Delon melirik Valen dengan nada meledek. Valen langsung melotot kesal pada Delon."Ah, iya. Dia nggak akan ingat sama kamu, Delon. Ayo masuk! Bunda akan jelaskan di dalam." Delon pun masuk dan duduk di kursi berbeda. Sedangkan Valen duduk bersebelahan dengan Vanya. Bunda Alive nampak sedih menatap Valen juga Delon secara bergantian."Bunda, kenapa diam saja? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Delon tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan Bunda Alive."Bun, emang Valen dan Vanya kenal sama dia?" kali ini Valen yang angkat suara karena saat ini dia begitu penasaran dengan sosok Delon yang begitu akrab dengan Ibu Asuhnya itu. Mungkin dengan mendengarkan penjelasan dari Bunda Alive, Valen bisa mengubah pemikirannya pada laki-laki itu."Valen, dia Lonlon, orang yang kamu sayangi sejak kecil. Kalian dulu sangat dekat sampai saat dia diadopsi seseorang, kamu jatuh sakit. Kamu demam tinggi beberapa hari dan terus menyebut namanya," jelas Bunda Alive, tetapi tak kuasa menahan tangis."Jadi, maksudnya Valen hilang ingatan, Bun?" tanya Delon yang mengerti kenapa Valen melupakan dirinya. Bunda Alive hanya mengangguk."Valen nggak ngerti, Bun. Jadi Valen dulu benar-benar kenal dia?" Velen masih belum bisa menerima kenyataan."Vanya juga nggak kenal dia, Bun." Kini Vanya ikut bicara karena juga tidak mengingat wajah Delon."Vanya, kamu hanya bertemu Delon beberapa kali aja karena Delon keburu di adopsi. Sedangkan Valen berbeda. Delon mengenal Valen sejak Valen masih bayi. Valen sangat menyayangi Delon layaknya seorang Kakak, makanya Valen nggak pernah panggil Delon, tetapi Lonlon. Valen demam tinggi sampai harus konsumsi obat tidur dan obat penenang saat itu. Valen cukup depresi saat kepergian Delon. Bunda bahkan membawa dia ke psikiater demi kesembuhan Valen." Penjelasan Bunda Alive membuat hati Delon semakin sakit."Maaf, udah buat kamu kesakitan. Tapi ... aku memang harus keluar dari panti agar bisa melindungimu seutuhnya, Valen." Delon tertunduk penuh penyesalan."Tapi anda juga tidak pernah ada kabar lagi setelah tahu saya hamil, Tuan? Kenapa sekarang anda jadi begitu menyesal?" tanya Valen masih belum merubah gaya bahasanya."Aku nggak pernah kemana-mana, Valen. Aku selalu dekat denganmu. Aku bahkan membeli rumah di dekatmu agar aku bisa melihatmu walaupun dari kejauhan," jawab Delon dengan tersenyum manis. "Aku ... aku memang pengecut, tapi hatiku sakit saat tahu kenapa kamu hamil. Maaf ... maafkan aku karena terlambat. Jika Bunda nggak disini, aku nggak tahu apakah aku bisa menjelaskan ini semua atau tidak," Delon benar-benar menitikkan air matanya."Val, aku rasa Delon ini sangat baik. Coba kamu berusaha buat ingat masa kecil kalian," bisik Vanya."Valen! Aku bukan nggak menerima bayi yang kamu kandung. Beberapa bulan ini aku sangat takut jika aku benar-benar nggak bisa meraihmu karena kehadiran bayi itu. Maaf, kalaupun kamu sulit mengingat apa yang kita lalui dulu, kita bisa mulai semuanya dari awal, Val. Aku ... aku sungguh-sungguh ingin bersamamu dan menikahimu. Aku akan mencintai bayi yang kamu kandung layaknya anakku. Bolehkan aku memulai semuanya dari awal lagi? Aku harus dapat izin mu karena aku nggak mau kamu terganggu bahkan stres karena kehadiranku, itu juga nggak baik untuk calon anak kita." Delon terlihat sangat serius dengan ucapannya."Anak kita?" ulang Valen membuat Delon langsung mengangguk.Suasana di rumah Valen cukup mendebarkan. Valen benar-benar tidak mengingat nama Delon maupun Lonlon, tetapi Valen melihat ketulusan di mata Delon. Dia memang butuh seseorang untuk melindunginya juga anaknya."Maaf. Beri aku waktu. Aku nggak tahu harus gimana saat ini," Valen tertunduk. Vanya dan Bunda Alive hanya bisa memberikan dukungan lewat pelukan.Suara ketukan pintu membuat semua orang menoleh ke arah pintu utama. "Tuan Fernan, Tuan Baren mencari anda," kata seseorang dengan setelan jas berwarna serba hitam dan berkacamata senada dengan tubuh tinggi dan brewokan, memanggil."Maaf, aku harus pergi dulu. Ah, namaku disini Fernan Hance Baren, aku takut kamu kesulitan kalau panggil aku dengan Delon atau Lonlon." Delon menatap lalu tersenyum pada Valen. "Aku pergi dulu, Bunda. Delon sangat senang saat tahu Bunda disini, makanya Delon tadi buru-buru dari kantor kesini dan meninggalkan rapat penting. Delon pamit dulu, Bunda. Nitip Valen." Delon pun pergi saat Bunda Alive hanya menganggukkan kepalanya.Bukan hanya ingin berbicara lama-lama saja karena kerinduannya pada Delon, tetapi Bunda Alive juga tidak bisa melarang anak asuhnya itu. Delon pun pergi dengan beberapa orang yang berpakaian seragam. "Sepertinya Delon jadi orang hebat," gumam Bunda Alive membuat Valen dan Vanya saling menatap"Memang dulu yang mengadopsi Delon siapa, Bun?" tanya Velen mulai kepo tentang Delon."Dulu memang ada orang asing yang ke panti, bahkan dia nggak bisa bahasa Indonesia dan membawa penerjemah. Katanya orang itu liat Delon nyebrang jalan dan langsung teringat anaknya yang hilang. Delon bahkan langsung mau di adopsi orang itu. Padahal sebelumnya Delon nggak mau pergi dari panti. Katanya mau tumbuh besar di panti dan jaga adik-adiknya di panti. Nggak tahunya dia sangatlah berubah," jelas Bunda Alive."Val, nggak ada salahnya kamu coba buka hati sama laki-laki itu. Kalau Bunda aja udah yakin dia baik, aku juga yakin dia laki-laki yang baik," kata Vanya meyakinkan Valen."Tapi aku bukan lagi wanita yang layak diperjuangkan, Van.""Kamu berhak bahagia, Val. Dia bahkan nggak keberatan dengan hadirnya anak yang kamu kandung ini. Dia juga butuh sosok ayah.""Aku nggak tahu,""Kamu harus mencobanya,""Iya, Nak. Nggak ada salahnya buka hati untuk Delon, eh maksudnya Fernan. Bunda yakin dia orang yang sangat baik,""Iya, Bun. Akan Valen pikirkan."Setelah kepergian Fernan, mereka pun membicarakan hal lainnya karena Bunda Alive juga tidak mau membuat Valen terlalu banyak pikiran untuk memaksa mengingat nama Delon maupun Lonlon.Malam itu, Valen cukup dilanda kebingungan karena sedang berusaha untuk mengingat laki-laki bernama Lonlon yang dimaksud oleh Bunda Alive. Namun seberapa keras Valen mencoba mengingat nama itu, hasilnya tetap saja sama. Dia tidak bisa mengingat laki-laki tersebut.Mungkin memang Valen sudah tidak akan bisa mengingat laki-laki yang mau bertanggung jawab atas anak dalam kandungannya tersebut. Hanya saja Valen sangat penasaran karena sikap Fernan sedikit mencairkan hatinya yang membeku."Val, are you okay?" tanya Vanya yang tiba-tiba masuk ke kamar Valen karena dia tahu persis pasti Valen akan memikirkan Fernan."Em, apa kamu juga lagi mikirin hal yang sama?" Valen balik bertanya."Kenapa ya aku kok nggak inget sama sekali dengan Fernan. Tapi nggak mungkin juga Bunda bohong sama kamu. Dan ... menurutku nggak ada salahnya kamu mencoba membuka hati untuk Fernan. Bukannya dia yang selama ini yang kirim kamu makanan dan dia juga bilang tinggal di dekat kamu loh. Apa itu nggak cukup sweet?"V
Semua wanita pasti akan senang dengan kehadiran seorang buah hati di dalam rahimnya. Begitu juga gadis bernama Valencia Bellina. Ya, dia masih gadis karena belum menikah. Hari ini gadis tersebut berencana untuk mengatakan kehamilan pada sang kekasih yang bernama Sergio Ramos."Akhirnya … Mami sama Papi bakal menikah, Nak. Mami mau siap-siap setelah itu kita ketemu Papi ya," ujar Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata.Valen pun pergi ke tempat kerja kekasihnya, Gio. Namun belum Valen turun dari taksi, dia melihat Gio masuk ke dalam mobil bersama Vanes, sahabatnya."Loh, mereka mau kemana? Tumben Gio dan Vanes jalan bareng gitu! Bukannya Vanes nggak suka dengan Gio?" gumam Valen menatap kepergian mobil yang dinaiki Gio dan Vanes."Pak, ikuti mobil itu ya?" titah Valen pada supir taksi dan sang supir mengangguk paham.Ternyata mobil yang diikuti Valen berhenti disebuah butik dan itu bukan butik biasa melainkan butik yang menyediakan perlengkapan pernikahan. Valen semakin terhera
Sepulangnya dari pesta pernikahan mantan kekasih dan mantan sahabatnya itu, Valen menatap seluruh ruang rumahnya dari ambang pintu. Matanya kembali menitikkan cairan bening, tetapi dengan segera Valen menyeka air mata itu. "Aku harus pergi dari sini. Demi kamu, Nak. Kita nggak bisa tinggal di sisi bayang-bayang ayah kamu yang jahat itu," gumam Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata. Awalnya Valen tidak mau menerima kehadiran anak dari benih Gio tersebut, tetapi Valen sadar jika calon anaknya itu tidak bersalah sama sekali. Satu minggu terpuruk dan mengurung diri di kamar membuat Valen sadar jika sebelumnya dia menginginkan anak itu demi mendapatkan restu orang tua Gio, tetapi kali ini bukan itu alasannya.Beberapa hari kemudian, Valen memutuskan untuk pergi dari kota yang telah memberikan banyak luka di hatinya. Walaupun Vanya melarangnya, tetapi tentu saja Valen kekeh dengan pendiriannya untuk meninggalkan kota itu."Tapi … aku … aku nggak rela jauh dari kamu, Val," ujar Va
"Sungguh aneh," gumam Valen kemudian membuang muka. Jarak dengan laki-laki di depannya itu benar-benar membuat Valen tidak nyaman. Segera ia kembali duduk untuk menikmati cappucino yang masih dia genggam."So what? Saya memang harus marah padamu karena tidak ada kabarnya selama ini," sahut laki-laki yang menjengkelkan itu lalu duduk di sisi Valen. "Saya Fernan, Nona!" sambung laki-laki yang bernama Fernan. Dia menatap lekat tiket pesawat yang dipegang Valen. Setelah itu meraih ponselnya yang ada di saku celana.Valen pun menoleh menatap Fernan. Dia benar-benar tidak mengenali laki-laki di hadapannya itu. Otaknya mulai berpikir keras, tetapi Valen tidak ingat sama sekali wajah laki-laki itu. Valen hanya bisa memutar malas bola matanya kemudian mengalihkan pandangan dari laki-laki bernama Fernan tersebut."Anda lupa dengan saya, Nona Valen?" tanya laki-laki itu seraya menyunggingkan senyum tanpa menoleh pada Valen karena matanya fokus pada ponsel. "Anda benar-benar tidak ingat? Apa karen
Perjalanan panjang yang cukup membuatnya lelah dan ketakutan pun berakhir sudah setelah terbang beberapa jam lamanya. "Thanks dan Sorry untuk yang tadi. Ini … pertama kalinya saya naik pesawat," ucap Valen saat pesawatnya benar-benar telah berhenti."Its okay!" jawab Fernan datar.Setelah itu Valen tak acuh dan segera beranjak terlebih dahulu karena tak mau mendapatkan banyak pertanyaan dari Fernan tentang mau kemana atau tinggal dimana. Sebenarnya kejadian dejavu tadi membuat Valen bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun dia segera melupakan hal tersebut."Perjalanan masih jauh, semangat, Valen," batinnya memberikan semangat pada diri sendiri.Dari sekian banyaknya kota indah di Eropa, Cochem, Rhineland-Palatinate, Jerman adalah tempat yang paling dia inginkan.Bukan hanya itu saja, tetapi secara kebetulan Heru juga punya bisnis di Jerman, jadi Vanya juga bisa ikut bersama Heru saat ada perjalanan bisnis ke Jerman. Berbeda dengan sebelumnya, kini wajah Valen berubah bahagia sebab
Kata-kata manis yang baru saja dia dapatkan dari Fernan benar-benar membuat Valen harus mengingat sosok Gio dalam benaknya. Sudut bibir yang menyungging dan sorot mata yang terlihat menyedihkan adalah raut wajah yang dilihat oleh Fernan.Laki-laki itu memang tidak tahu pasti apa yang telah dilalui Valen sampai gadis cantik di depannya itu mengabaikan apa yang baru saja dia katakan."Valen, apa kamu dengar apa yang aku katakan?" tanya Fernan sekali lagi untuk memastikan bahwa kali ini Valen mendengarnya."Hm, aku mendengarnya dengan sangat jelas, Tuan. Anda sungguh pria aneh, Tuan! Kita baru bertemu beberapa hari lalu dan anda mau menikahi saya padahal anda tahu saya ini sedang hamil? Anda terlihat berwibawa dan cukup tampan. Tapi anda mau menikahi gadis cacat seperti saya?"Fernan tidak memberikan reaksi apa pun. Sorot matanya masih sama, tetapi hatinya sedikit terkoyak dengan kata-kata Valen. Fernan tidak berpikir sedikitpun bahwa Valen itu wanita cacat. Mungkin karena dia tidak bisa
Malam itu, Valen cukup dilanda kebingungan karena sedang berusaha untuk mengingat laki-laki bernama Lonlon yang dimaksud oleh Bunda Alive. Namun seberapa keras Valen mencoba mengingat nama itu, hasilnya tetap saja sama. Dia tidak bisa mengingat laki-laki tersebut.Mungkin memang Valen sudah tidak akan bisa mengingat laki-laki yang mau bertanggung jawab atas anak dalam kandungannya tersebut. Hanya saja Valen sangat penasaran karena sikap Fernan sedikit mencairkan hatinya yang membeku."Val, are you okay?" tanya Vanya yang tiba-tiba masuk ke kamar Valen karena dia tahu persis pasti Valen akan memikirkan Fernan."Em, apa kamu juga lagi mikirin hal yang sama?" Valen balik bertanya."Kenapa ya aku kok nggak inget sama sekali dengan Fernan. Tapi nggak mungkin juga Bunda bohong sama kamu. Dan ... menurutku nggak ada salahnya kamu mencoba membuka hati untuk Fernan. Bukannya dia yang selama ini yang kirim kamu makanan dan dia juga bilang tinggal di dekat kamu loh. Apa itu nggak cukup sweet?"V
Baik Bunda Alive maupun laki-laki yang mengaku bernama Delon itu masih mendapatkan tatapan heran dari Valen. Vanya sendiri ikut berdiri di ambang pintu juga dengan tatapan heran dan tidak mengenal laki-laki yang sedang berpelukan dengan Bunda Alive.Entah kenapa Valen tiba-tiba merasa aneh dengan kehadiran pria yang sudah beberapa bulan tidak ada kabarnya tersebut dan datang baru beberapa saat setelah Vanya juga Bunda asuhnya datang."Nggak mungkin dia mengawasi aku dua puluh empat jam tanpa aku sadari, bukan?" batin Valen masih dengan tatapan yang sama pada Fernan. Laki-laki itu benar-benar misterius."Bunda apa kabar? Maaf Delon nggak pernah jenguk Bunda di panti," ucap Delon seraya melepaskan pelukannya. "Bunda nggak berubah, masih sangat cantik." Puji Delon dengan senyuman."Dasar anak nakal! Kamu juga nggak berubah, masih sangat jail!" jawab Bunda seraya memukul lengan Delon dan Valen benar-benar masih bingung dengan keakraban antara Bunda asuhnya dengan Delon alias Fernan itu."
Kata-kata manis yang baru saja dia dapatkan dari Fernan benar-benar membuat Valen harus mengingat sosok Gio dalam benaknya. Sudut bibir yang menyungging dan sorot mata yang terlihat menyedihkan adalah raut wajah yang dilihat oleh Fernan.Laki-laki itu memang tidak tahu pasti apa yang telah dilalui Valen sampai gadis cantik di depannya itu mengabaikan apa yang baru saja dia katakan."Valen, apa kamu dengar apa yang aku katakan?" tanya Fernan sekali lagi untuk memastikan bahwa kali ini Valen mendengarnya."Hm, aku mendengarnya dengan sangat jelas, Tuan. Anda sungguh pria aneh, Tuan! Kita baru bertemu beberapa hari lalu dan anda mau menikahi saya padahal anda tahu saya ini sedang hamil? Anda terlihat berwibawa dan cukup tampan. Tapi anda mau menikahi gadis cacat seperti saya?"Fernan tidak memberikan reaksi apa pun. Sorot matanya masih sama, tetapi hatinya sedikit terkoyak dengan kata-kata Valen. Fernan tidak berpikir sedikitpun bahwa Valen itu wanita cacat. Mungkin karena dia tidak bisa
Perjalanan panjang yang cukup membuatnya lelah dan ketakutan pun berakhir sudah setelah terbang beberapa jam lamanya. "Thanks dan Sorry untuk yang tadi. Ini … pertama kalinya saya naik pesawat," ucap Valen saat pesawatnya benar-benar telah berhenti."Its okay!" jawab Fernan datar.Setelah itu Valen tak acuh dan segera beranjak terlebih dahulu karena tak mau mendapatkan banyak pertanyaan dari Fernan tentang mau kemana atau tinggal dimana. Sebenarnya kejadian dejavu tadi membuat Valen bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun dia segera melupakan hal tersebut."Perjalanan masih jauh, semangat, Valen," batinnya memberikan semangat pada diri sendiri.Dari sekian banyaknya kota indah di Eropa, Cochem, Rhineland-Palatinate, Jerman adalah tempat yang paling dia inginkan.Bukan hanya itu saja, tetapi secara kebetulan Heru juga punya bisnis di Jerman, jadi Vanya juga bisa ikut bersama Heru saat ada perjalanan bisnis ke Jerman. Berbeda dengan sebelumnya, kini wajah Valen berubah bahagia sebab
"Sungguh aneh," gumam Valen kemudian membuang muka. Jarak dengan laki-laki di depannya itu benar-benar membuat Valen tidak nyaman. Segera ia kembali duduk untuk menikmati cappucino yang masih dia genggam."So what? Saya memang harus marah padamu karena tidak ada kabarnya selama ini," sahut laki-laki yang menjengkelkan itu lalu duduk di sisi Valen. "Saya Fernan, Nona!" sambung laki-laki yang bernama Fernan. Dia menatap lekat tiket pesawat yang dipegang Valen. Setelah itu meraih ponselnya yang ada di saku celana.Valen pun menoleh menatap Fernan. Dia benar-benar tidak mengenali laki-laki di hadapannya itu. Otaknya mulai berpikir keras, tetapi Valen tidak ingat sama sekali wajah laki-laki itu. Valen hanya bisa memutar malas bola matanya kemudian mengalihkan pandangan dari laki-laki bernama Fernan tersebut."Anda lupa dengan saya, Nona Valen?" tanya laki-laki itu seraya menyunggingkan senyum tanpa menoleh pada Valen karena matanya fokus pada ponsel. "Anda benar-benar tidak ingat? Apa karen
Sepulangnya dari pesta pernikahan mantan kekasih dan mantan sahabatnya itu, Valen menatap seluruh ruang rumahnya dari ambang pintu. Matanya kembali menitikkan cairan bening, tetapi dengan segera Valen menyeka air mata itu. "Aku harus pergi dari sini. Demi kamu, Nak. Kita nggak bisa tinggal di sisi bayang-bayang ayah kamu yang jahat itu," gumam Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata. Awalnya Valen tidak mau menerima kehadiran anak dari benih Gio tersebut, tetapi Valen sadar jika calon anaknya itu tidak bersalah sama sekali. Satu minggu terpuruk dan mengurung diri di kamar membuat Valen sadar jika sebelumnya dia menginginkan anak itu demi mendapatkan restu orang tua Gio, tetapi kali ini bukan itu alasannya.Beberapa hari kemudian, Valen memutuskan untuk pergi dari kota yang telah memberikan banyak luka di hatinya. Walaupun Vanya melarangnya, tetapi tentu saja Valen kekeh dengan pendiriannya untuk meninggalkan kota itu."Tapi … aku … aku nggak rela jauh dari kamu, Val," ujar Va
Semua wanita pasti akan senang dengan kehadiran seorang buah hati di dalam rahimnya. Begitu juga gadis bernama Valencia Bellina. Ya, dia masih gadis karena belum menikah. Hari ini gadis tersebut berencana untuk mengatakan kehamilan pada sang kekasih yang bernama Sergio Ramos."Akhirnya … Mami sama Papi bakal menikah, Nak. Mami mau siap-siap setelah itu kita ketemu Papi ya," ujar Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata.Valen pun pergi ke tempat kerja kekasihnya, Gio. Namun belum Valen turun dari taksi, dia melihat Gio masuk ke dalam mobil bersama Vanes, sahabatnya."Loh, mereka mau kemana? Tumben Gio dan Vanes jalan bareng gitu! Bukannya Vanes nggak suka dengan Gio?" gumam Valen menatap kepergian mobil yang dinaiki Gio dan Vanes."Pak, ikuti mobil itu ya?" titah Valen pada supir taksi dan sang supir mengangguk paham.Ternyata mobil yang diikuti Valen berhenti disebuah butik dan itu bukan butik biasa melainkan butik yang menyediakan perlengkapan pernikahan. Valen semakin terhera