Semua wanita pasti akan senang dengan kehadiran seorang buah hati di dalam rahimnya. Begitu juga gadis bernama Valencia Bellina. Ya, dia masih gadis karena belum menikah. Hari ini gadis tersebut berencana untuk mengatakan kehamilan pada sang kekasih yang bernama Sergio Ramos.
"Akhirnya … Mami sama Papi bakal menikah, Nak. Mami mau siap-siap setelah itu kita ketemu Papi ya," ujar Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata.Valen pun pergi ke tempat kerja kekasihnya, Gio. Namun belum Valen turun dari taksi, dia melihat Gio masuk ke dalam mobil bersama Vanes, sahabatnya."Loh, mereka mau kemana? Tumben Gio dan Vanes jalan bareng gitu! Bukannya Vanes nggak suka dengan Gio?" gumam Valen menatap kepergian mobil yang dinaiki Gio dan Vanes."Pak, ikuti mobil itu ya?" titah Valen pada supir taksi dan sang supir mengangguk paham.Ternyata mobil yang diikuti Valen berhenti disebuah butik dan itu bukan butik biasa melainkan butik yang menyediakan perlengkapan pernikahan. Valen semakin terheran-heran. Dia pun ikut masuk tanpa diketahui Gio maupun Vanes."Sayang, kamu suka yang mana baju pengantinnya?" tanya Gio berhasil membuat Valen membulatkan kedua matanya."Em … itu, Mas! Wah kayaknya ini cocok dan pas buat badan aku. Nggak terlalu terbuka juga bagian dadanya," jawab Vanes dengan senang hati.Valen tidak mau termakan rasa penasarannya kemudian bergegas berdiri di hadapan Gio juga Vanes yang saling tersenyum bahagia. Mereka tentu terkejut dengan kedatangan Valen."Bisa jelaskan kenapa kalian memilih gaun pengantin bersama? Vanes … kamu bukannya nggak suka dengan Gio?" tanya Valen menatap dengan mata yang sudah berkaca-kaca."Valen … maaf! Aku … aku dijodohkan dengan Vanes. Kami akan menikah minggu depan," papar Gio."Valen … aku … sebenarnya aku mencintai Gio," sahut Vanes ragu.Valen mundur seraya menggelengkan kepalanya beberapa kali menatap tidak percaya kedua orang yang dia sayangi itu berkhianat. Memang Vanes selalu bisa mendapatkan apa yang dia mau, termasuk Gio. Pasti orang tua Vanes melakukan semua cara agar Gio mau menikah dengan Vanes, anak dari pimpinan tempat Gio bekerja."Kalian …." Valen menggantungkan ucapannya kemudian pergi dari butik tersebut.Valen pulang dengan isak tangis yang kebetulan diketahui oleh Vanya, sahabatnya yang sengaja berkunjung ke rumah Valen. Namun Valen tidak mempedulikan keberadaan Vanya dan langsung mengunci diri di kamar mandi."Valen … buka pintunya! Valen!" teriak Vanya seraya mengetuk pintu beberapa kaliBukannya membuka pintu dan menjelaskan pada sahabatnya itu, Valen semakin menenggelamkan kepalanya diantara kedua kaki yang sedang dia peluk. Cairan bening tidak hentinya keluar dari matanya."Aku wanita yang nggak berguna … aku mau mati dan menemui kedua orang tuaku! Aku mau bertanya pada mereka, kenapa dulu melahirkanku tapi mereka membiarkan aku hidup menderita sendiri di dunia ini? Dan … bagaimana dengan nasib anakku ini? Apa dia akan mendapatkan takdir yang sama denganku?"Setelah beberapa saat, Valen menguatkan diri untuk berdiri. Langkahnya sangat berat serta sempoyongan. Kram dan kesemutan di kakinya tidak dia rasa sama sekali. Matanya yang merah sedang mencari sesuatu yang berguna untuk mengakhiri hidupnya itu.Namun, tubuhnya tiba-tiba terpaku saat matanya menatap pantulan diri dicermin. Valen yang begitu cantik dengan rambut pirang sedikit bergelombang dan kulit sawo matang yang jadi incaran banyak laki-laki, kini menjadi Valen yang menyedihkan, itulah yang dia pikirkan. Sudut bibirnya menyungging membentuk sebuah lesung pipi. Dia menertawakan dirinya yang tampak buruk di depan cermin itu."Kamu bodoh percaya begitu saja dengan ucapan Gio! Bawa serta mati anak yang ada dalam perutmu ini. Dia hanya akan jadi pembawa sial untukmu. Ditambah kamu bukalah gadis perawan lagi, jadi tidak mungkin ada laki-laki yang mau denganmu, Valen." Napasnya terengah-engah menahan amarah."Sebaiknya kamu memang mati sekarang juga, arghh …!" Valen mengayunkan tangannya ke arah cermin, tetapi tenaganya yang lemah tidak membuat cermin itu pecah begitu saja. Dia pun kembali terduduk memeluk lutut.Rambutnya berantakan, tubuhnya berkeringat dingin dan matanya memerah juga bengkak karena menangis terlalu lama. Gadis itu benar-benar terlihat tidak berdaya sama sekali saat ini.Valen pun teringat akan kejadian dua bulan lalu saat dimana dirinya dan Gio berencana memadu kasih demi mendapatkan restu. Pandangan matanya menerawang kosong ke arah depan tanpa berkedip."Aku takut hamil sebelum kita menikah dan aku takut nggak bisa merawat anak kita dengan baik. Kamu juga tau Mama kamu belum merestui kita.""Tenanglah! Hal yang bagus kalau kamu hamil. Mama pasti akan langsung merestui hubungan kita. Nikmatilah! Semuanya akan baik-baik saja. Kamu milikku malam ini.""Valen!" Panggil Vanya setelah pintu berhasil terbuka dengan bantuan pemadam kebakaran. Valen menatap Vanya dengan raut wajah yang lemah. Vanya langsung memeluk Valen. "Its okay! Semuanya akan baik-baik saja!" ucap Vanya, tetapi Valen malah pingsan.***Satu Minggu kemudian, kini Valen berada di depan pintu utama sebuah gedung pernikahan yang sangat mewah. Sebelum dia memasuki gedung itu, diliriknya sebuah foto berukuran besar sedang terpampang di depan pintu masuk.Dua orang dalam foto itu sedang tersenyum menunjukkan betapa bahagianya mereka berdua. Foto itu adalah foto dua orang yang sangat dia kenal dan dia sayangi, tetapi dulu. Valen hanya menyunggingkan sudut bibirnya menatap foto tersebut.Valen tahu kabar dan tempat pernikahan Gio juga Vanes dari Vanya karena beberapa karyawan di tempat Vanya bekerja mendapatkan undangan. Walaupun Vanya melarang Valen datang, tetapi Valen tetap memaksa karena dia harus menunjukkan bahwa Valen baik-baik saja tanpa Gio."Wah … kalian manis sekali," ucap Valen di hadapan foto itu."Cium … cium … cium!" Teriakan para tamu undangan itu membuat telinga Valen terasa ditusuk oleh ribuan jarum saking tidak sukanya dengan kata-kata yang terlontar dari para tamu undangan tersebut.Terlihat tanpa ragu, seorang Sergio meraih tengkuk Vanes dan mencium bibir wanita yang telah menjadi pendamping hidupnya. Suara tepuk tangan yang amat sangat meriah pun kembali terdengar. Ricuhnya suasana di gedung itu semakin menjadi saat mempelai wanita melemparkan bunga pengantin. Melihat itu semua, lagi-lagi Valen hanya menyunggingkan bibirnya."Tidak akan ada Valen yang dulu, yang lemah, yang mudah ditipu dan diatur oleh orang-orang bermuka dua seperti kalian. Valen yang sekarang adalah Valen yang kuat, yang mampu menghadapi kesakitan dari manusia yang tidak bertanggung jawab. Gio, kamu pasti akan menyesal, ini sumpahku!" Valen bermonolog sendiri, tanpa didengar oleh orang lain.Valen berjalan perlahan dan langsung meraih segelas jus jeruk yang waiters bawa kemudian meneguknya dengan sorot mata yang tidak lepas dari arah pelaminan. Gio ternyata menyadari kehadirannya dan menunjukkan wajah terkejut. Valen pun mengangkat gelas yang dia pegang, lalu kembali meneguknya dan mengukir senyum jahat ke arah Gio.Valen melangkah lagi, kali ini menuju pelaminan. Tempat dimana mantan kekasih sahabatnya sendiri bersanding dengan gaun pengantin yang begitu indah. Gio dan Vanes sangat gugup melihat Valen berjalan semakin mendekati mereka berdua."Ck, santai! Aku nggak akan ngapa-ngapain. Aku cuma mau kasih ucapan selamat sama makan gratis aja," ucap Valen dengan senyum nanar."Tolong … jangan rusak kebahagiaan kami! Aku akan mengirimkan uang ke rekening kamu sekarang juga, Val. Setelah itu, jangan pernah muncul di hadapan kami berdua," ucap Gio terlihat meraih ponselnya dari saku celana, wajahnya tampak was-was."Ck, nggak perlu! Kamu pikir aku kesini untuk minta belas kasihmu? Aku bilang aku mau kasih ucapan selamat, gitu aja!" Tanpa Valen duga, dua orang pria tinggi dan tegap menghampirinya. Langsung mencekal kedua pergelangan tangannya. Tentu saja itu pasti bodyguard Vanes."Jangan sentuh aku!" ucap Valen melotot menatap tajam dua orang bodyguard pria tersebut. "Aku bisa pergi sendiri karena kakiku masih sangat kuat untuk melangkah." Valen menepis kasar, hingga tangannya terlepas."Pergilah! Kamu bukan tamu di pesta ini!" ujar Vanes sinis."Ingat baik-baik! Karma itu ada. Semoga kalian segera mendapatkan karma itu!"Sepulangnya dari pesta pernikahan mantan kekasih dan mantan sahabatnya itu, Valen menatap seluruh ruang rumahnya dari ambang pintu. Matanya kembali menitikkan cairan bening, tetapi dengan segera Valen menyeka air mata itu. "Aku harus pergi dari sini. Demi kamu, Nak. Kita nggak bisa tinggal di sisi bayang-bayang ayah kamu yang jahat itu," gumam Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata. Awalnya Valen tidak mau menerima kehadiran anak dari benih Gio tersebut, tetapi Valen sadar jika calon anaknya itu tidak bersalah sama sekali. Satu minggu terpuruk dan mengurung diri di kamar membuat Valen sadar jika sebelumnya dia menginginkan anak itu demi mendapatkan restu orang tua Gio, tetapi kali ini bukan itu alasannya.Beberapa hari kemudian, Valen memutuskan untuk pergi dari kota yang telah memberikan banyak luka di hatinya. Walaupun Vanya melarangnya, tetapi tentu saja Valen kekeh dengan pendiriannya untuk meninggalkan kota itu."Tapi … aku … aku nggak rela jauh dari kamu, Val," ujar Va
"Sungguh aneh," gumam Valen kemudian membuang muka. Jarak dengan laki-laki di depannya itu benar-benar membuat Valen tidak nyaman. Segera ia kembali duduk untuk menikmati cappucino yang masih dia genggam."So what? Saya memang harus marah padamu karena tidak ada kabarnya selama ini," sahut laki-laki yang menjengkelkan itu lalu duduk di sisi Valen. "Saya Fernan, Nona!" sambung laki-laki yang bernama Fernan. Dia menatap lekat tiket pesawat yang dipegang Valen. Setelah itu meraih ponselnya yang ada di saku celana.Valen pun menoleh menatap Fernan. Dia benar-benar tidak mengenali laki-laki di hadapannya itu. Otaknya mulai berpikir keras, tetapi Valen tidak ingat sama sekali wajah laki-laki itu. Valen hanya bisa memutar malas bola matanya kemudian mengalihkan pandangan dari laki-laki bernama Fernan tersebut."Anda lupa dengan saya, Nona Valen?" tanya laki-laki itu seraya menyunggingkan senyum tanpa menoleh pada Valen karena matanya fokus pada ponsel. "Anda benar-benar tidak ingat? Apa karen
Perjalanan panjang yang cukup membuatnya lelah dan ketakutan pun berakhir sudah setelah terbang beberapa jam lamanya. "Thanks dan Sorry untuk yang tadi. Ini … pertama kalinya saya naik pesawat," ucap Valen saat pesawatnya benar-benar telah berhenti."Its okay!" jawab Fernan datar.Setelah itu Valen tak acuh dan segera beranjak terlebih dahulu karena tak mau mendapatkan banyak pertanyaan dari Fernan tentang mau kemana atau tinggal dimana. Sebenarnya kejadian dejavu tadi membuat Valen bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun dia segera melupakan hal tersebut."Perjalanan masih jauh, semangat, Valen," batinnya memberikan semangat pada diri sendiri.Dari sekian banyaknya kota indah di Eropa, Cochem, Rhineland-Palatinate, Jerman adalah tempat yang paling dia inginkan.Bukan hanya itu saja, tetapi secara kebetulan Heru juga punya bisnis di Jerman, jadi Vanya juga bisa ikut bersama Heru saat ada perjalanan bisnis ke Jerman. Berbeda dengan sebelumnya, kini wajah Valen berubah bahagia sebab
Kata-kata manis yang baru saja dia dapatkan dari Fernan benar-benar membuat Valen harus mengingat sosok Gio dalam benaknya. Sudut bibir yang menyungging dan sorot mata yang terlihat menyedihkan adalah raut wajah yang dilihat oleh Fernan.Laki-laki itu memang tidak tahu pasti apa yang telah dilalui Valen sampai gadis cantik di depannya itu mengabaikan apa yang baru saja dia katakan."Valen, apa kamu dengar apa yang aku katakan?" tanya Fernan sekali lagi untuk memastikan bahwa kali ini Valen mendengarnya."Hm, aku mendengarnya dengan sangat jelas, Tuan. Anda sungguh pria aneh, Tuan! Kita baru bertemu beberapa hari lalu dan anda mau menikahi saya padahal anda tahu saya ini sedang hamil? Anda terlihat berwibawa dan cukup tampan. Tapi anda mau menikahi gadis cacat seperti saya?"Fernan tidak memberikan reaksi apa pun. Sorot matanya masih sama, tetapi hatinya sedikit terkoyak dengan kata-kata Valen. Fernan tidak berpikir sedikitpun bahwa Valen itu wanita cacat. Mungkin karena dia tidak bisa
Baik Bunda Alive maupun laki-laki yang mengaku bernama Delon itu masih mendapatkan tatapan heran dari Valen. Vanya sendiri ikut berdiri di ambang pintu juga dengan tatapan heran dan tidak mengenal laki-laki yang sedang berpelukan dengan Bunda Alive.Entah kenapa Valen tiba-tiba merasa aneh dengan kehadiran pria yang sudah beberapa bulan tidak ada kabarnya tersebut dan datang baru beberapa saat setelah Vanya juga Bunda asuhnya datang."Nggak mungkin dia mengawasi aku dua puluh empat jam tanpa aku sadari, bukan?" batin Valen masih dengan tatapan yang sama pada Fernan. Laki-laki itu benar-benar misterius."Bunda apa kabar? Maaf Delon nggak pernah jenguk Bunda di panti," ucap Delon seraya melepaskan pelukannya. "Bunda nggak berubah, masih sangat cantik." Puji Delon dengan senyuman."Dasar anak nakal! Kamu juga nggak berubah, masih sangat jail!" jawab Bunda seraya memukul lengan Delon dan Valen benar-benar masih bingung dengan keakraban antara Bunda asuhnya dengan Delon alias Fernan itu."
Malam itu, Valen cukup dilanda kebingungan karena sedang berusaha untuk mengingat laki-laki bernama Lonlon yang dimaksud oleh Bunda Alive. Namun seberapa keras Valen mencoba mengingat nama itu, hasilnya tetap saja sama. Dia tidak bisa mengingat laki-laki tersebut.Mungkin memang Valen sudah tidak akan bisa mengingat laki-laki yang mau bertanggung jawab atas anak dalam kandungannya tersebut. Hanya saja Valen sangat penasaran karena sikap Fernan sedikit mencairkan hatinya yang membeku."Val, are you okay?" tanya Vanya yang tiba-tiba masuk ke kamar Valen karena dia tahu persis pasti Valen akan memikirkan Fernan."Em, apa kamu juga lagi mikirin hal yang sama?" Valen balik bertanya."Kenapa ya aku kok nggak inget sama sekali dengan Fernan. Tapi nggak mungkin juga Bunda bohong sama kamu. Dan ... menurutku nggak ada salahnya kamu mencoba membuka hati untuk Fernan. Bukannya dia yang selama ini yang kirim kamu makanan dan dia juga bilang tinggal di dekat kamu loh. Apa itu nggak cukup sweet?"V
Malam itu, Valen cukup dilanda kebingungan karena sedang berusaha untuk mengingat laki-laki bernama Lonlon yang dimaksud oleh Bunda Alive. Namun seberapa keras Valen mencoba mengingat nama itu, hasilnya tetap saja sama. Dia tidak bisa mengingat laki-laki tersebut.Mungkin memang Valen sudah tidak akan bisa mengingat laki-laki yang mau bertanggung jawab atas anak dalam kandungannya tersebut. Hanya saja Valen sangat penasaran karena sikap Fernan sedikit mencairkan hatinya yang membeku."Val, are you okay?" tanya Vanya yang tiba-tiba masuk ke kamar Valen karena dia tahu persis pasti Valen akan memikirkan Fernan."Em, apa kamu juga lagi mikirin hal yang sama?" Valen balik bertanya."Kenapa ya aku kok nggak inget sama sekali dengan Fernan. Tapi nggak mungkin juga Bunda bohong sama kamu. Dan ... menurutku nggak ada salahnya kamu mencoba membuka hati untuk Fernan. Bukannya dia yang selama ini yang kirim kamu makanan dan dia juga bilang tinggal di dekat kamu loh. Apa itu nggak cukup sweet?"V
Baik Bunda Alive maupun laki-laki yang mengaku bernama Delon itu masih mendapatkan tatapan heran dari Valen. Vanya sendiri ikut berdiri di ambang pintu juga dengan tatapan heran dan tidak mengenal laki-laki yang sedang berpelukan dengan Bunda Alive.Entah kenapa Valen tiba-tiba merasa aneh dengan kehadiran pria yang sudah beberapa bulan tidak ada kabarnya tersebut dan datang baru beberapa saat setelah Vanya juga Bunda asuhnya datang."Nggak mungkin dia mengawasi aku dua puluh empat jam tanpa aku sadari, bukan?" batin Valen masih dengan tatapan yang sama pada Fernan. Laki-laki itu benar-benar misterius."Bunda apa kabar? Maaf Delon nggak pernah jenguk Bunda di panti," ucap Delon seraya melepaskan pelukannya. "Bunda nggak berubah, masih sangat cantik." Puji Delon dengan senyuman."Dasar anak nakal! Kamu juga nggak berubah, masih sangat jail!" jawab Bunda seraya memukul lengan Delon dan Valen benar-benar masih bingung dengan keakraban antara Bunda asuhnya dengan Delon alias Fernan itu."
Kata-kata manis yang baru saja dia dapatkan dari Fernan benar-benar membuat Valen harus mengingat sosok Gio dalam benaknya. Sudut bibir yang menyungging dan sorot mata yang terlihat menyedihkan adalah raut wajah yang dilihat oleh Fernan.Laki-laki itu memang tidak tahu pasti apa yang telah dilalui Valen sampai gadis cantik di depannya itu mengabaikan apa yang baru saja dia katakan."Valen, apa kamu dengar apa yang aku katakan?" tanya Fernan sekali lagi untuk memastikan bahwa kali ini Valen mendengarnya."Hm, aku mendengarnya dengan sangat jelas, Tuan. Anda sungguh pria aneh, Tuan! Kita baru bertemu beberapa hari lalu dan anda mau menikahi saya padahal anda tahu saya ini sedang hamil? Anda terlihat berwibawa dan cukup tampan. Tapi anda mau menikahi gadis cacat seperti saya?"Fernan tidak memberikan reaksi apa pun. Sorot matanya masih sama, tetapi hatinya sedikit terkoyak dengan kata-kata Valen. Fernan tidak berpikir sedikitpun bahwa Valen itu wanita cacat. Mungkin karena dia tidak bisa
Perjalanan panjang yang cukup membuatnya lelah dan ketakutan pun berakhir sudah setelah terbang beberapa jam lamanya. "Thanks dan Sorry untuk yang tadi. Ini … pertama kalinya saya naik pesawat," ucap Valen saat pesawatnya benar-benar telah berhenti."Its okay!" jawab Fernan datar.Setelah itu Valen tak acuh dan segera beranjak terlebih dahulu karena tak mau mendapatkan banyak pertanyaan dari Fernan tentang mau kemana atau tinggal dimana. Sebenarnya kejadian dejavu tadi membuat Valen bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun dia segera melupakan hal tersebut."Perjalanan masih jauh, semangat, Valen," batinnya memberikan semangat pada diri sendiri.Dari sekian banyaknya kota indah di Eropa, Cochem, Rhineland-Palatinate, Jerman adalah tempat yang paling dia inginkan.Bukan hanya itu saja, tetapi secara kebetulan Heru juga punya bisnis di Jerman, jadi Vanya juga bisa ikut bersama Heru saat ada perjalanan bisnis ke Jerman. Berbeda dengan sebelumnya, kini wajah Valen berubah bahagia sebab
"Sungguh aneh," gumam Valen kemudian membuang muka. Jarak dengan laki-laki di depannya itu benar-benar membuat Valen tidak nyaman. Segera ia kembali duduk untuk menikmati cappucino yang masih dia genggam."So what? Saya memang harus marah padamu karena tidak ada kabarnya selama ini," sahut laki-laki yang menjengkelkan itu lalu duduk di sisi Valen. "Saya Fernan, Nona!" sambung laki-laki yang bernama Fernan. Dia menatap lekat tiket pesawat yang dipegang Valen. Setelah itu meraih ponselnya yang ada di saku celana.Valen pun menoleh menatap Fernan. Dia benar-benar tidak mengenali laki-laki di hadapannya itu. Otaknya mulai berpikir keras, tetapi Valen tidak ingat sama sekali wajah laki-laki itu. Valen hanya bisa memutar malas bola matanya kemudian mengalihkan pandangan dari laki-laki bernama Fernan tersebut."Anda lupa dengan saya, Nona Valen?" tanya laki-laki itu seraya menyunggingkan senyum tanpa menoleh pada Valen karena matanya fokus pada ponsel. "Anda benar-benar tidak ingat? Apa karen
Sepulangnya dari pesta pernikahan mantan kekasih dan mantan sahabatnya itu, Valen menatap seluruh ruang rumahnya dari ambang pintu. Matanya kembali menitikkan cairan bening, tetapi dengan segera Valen menyeka air mata itu. "Aku harus pergi dari sini. Demi kamu, Nak. Kita nggak bisa tinggal di sisi bayang-bayang ayah kamu yang jahat itu," gumam Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata. Awalnya Valen tidak mau menerima kehadiran anak dari benih Gio tersebut, tetapi Valen sadar jika calon anaknya itu tidak bersalah sama sekali. Satu minggu terpuruk dan mengurung diri di kamar membuat Valen sadar jika sebelumnya dia menginginkan anak itu demi mendapatkan restu orang tua Gio, tetapi kali ini bukan itu alasannya.Beberapa hari kemudian, Valen memutuskan untuk pergi dari kota yang telah memberikan banyak luka di hatinya. Walaupun Vanya melarangnya, tetapi tentu saja Valen kekeh dengan pendiriannya untuk meninggalkan kota itu."Tapi … aku … aku nggak rela jauh dari kamu, Val," ujar Va
Semua wanita pasti akan senang dengan kehadiran seorang buah hati di dalam rahimnya. Begitu juga gadis bernama Valencia Bellina. Ya, dia masih gadis karena belum menikah. Hari ini gadis tersebut berencana untuk mengatakan kehamilan pada sang kekasih yang bernama Sergio Ramos."Akhirnya … Mami sama Papi bakal menikah, Nak. Mami mau siap-siap setelah itu kita ketemu Papi ya," ujar Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata.Valen pun pergi ke tempat kerja kekasihnya, Gio. Namun belum Valen turun dari taksi, dia melihat Gio masuk ke dalam mobil bersama Vanes, sahabatnya."Loh, mereka mau kemana? Tumben Gio dan Vanes jalan bareng gitu! Bukannya Vanes nggak suka dengan Gio?" gumam Valen menatap kepergian mobil yang dinaiki Gio dan Vanes."Pak, ikuti mobil itu ya?" titah Valen pada supir taksi dan sang supir mengangguk paham.Ternyata mobil yang diikuti Valen berhenti disebuah butik dan itu bukan butik biasa melainkan butik yang menyediakan perlengkapan pernikahan. Valen semakin terhera