"Sungguh aneh," gumam Valen kemudian membuang muka. Jarak dengan laki-laki di depannya itu benar-benar membuat Valen tidak nyaman. Segera ia kembali duduk untuk menikmati cappucino yang masih dia genggam.
"So what? Saya memang harus marah padamu karena tidak ada kabarnya selama ini," sahut laki-laki yang menjengkelkan itu lalu duduk di sisi Valen. "Saya Fernan, Nona!" sambung laki-laki yang bernama Fernan. Dia menatap lekat tiket pesawat yang dipegang Valen. Setelah itu meraih ponselnya yang ada di saku celana.Valen pun menoleh menatap Fernan. Dia benar-benar tidak mengenali laki-laki di hadapannya itu. Otaknya mulai berpikir keras, tetapi Valen tidak ingat sama sekali wajah laki-laki itu. Valen hanya bisa memutar malas bola matanya kemudian mengalihkan pandangan dari laki-laki bernama Fernan tersebut."Anda lupa dengan saya, Nona Valen?" tanya laki-laki itu seraya menyunggingkan senyum tanpa menoleh pada Valen karena matanya fokus pada ponsel. "Anda benar-benar tidak ingat? Apa karena saya semakin tampan?" ungkap Fernan membuat Valen kembali menoleh dan menatapnya."Maaf, tapi saya benar-benar tidak ingat siapa anda. Dan andai saya salah, saya minta maaf," jawab Valen. Fernan lagi-lagi menyunggingkan senyum. "Siapapun anda, terima kasih sapu tangannya. Saya rasa tidak perlu dikembalikan karena ini kotor dan basah." Valen kembali mengalihkan pandangannya."Wajar kamu nggak ingat aku, Val. Kita berpisah saat usiamu masih lima tahun. Tapi aku sangat ingat waktu itu kamu menangisi kepergianku. Dan … aku nggak akan pernah lupa dengan wajahmu. Kamu tahu, aku kesini untuk cari kamu setelah dua belas tahun. Tapi kita malah ketemu disini."Fernan tiba-tiba merubah gaya bicaranya yang formal menjadi santai. Bahkan kali ini dia menunjukkan seutas senyum manis saat kedua mata Valen lagi-lagi menatapnya."Hah? Dua belas tahun?" ujar Valen terkejut."Valen, aku Delondra Saputra. Tapi sekarang kamu bisa panggil aku, Fernan. Kamu benar-benar lupa? Coba liat aku, walaupun aku semakin tampan, tapi wajahku nggak banyak berubah lo?" papar Fernan entah kenapa satu tangannya tiba-tiba mendarat di bahu Valen.Valen kembali mengingat nama yang baru saja disebutkan laki-laki narsis yang terus saja membanggakan dirinya dengan ketampanan itu. Namun lagi-lagi dia sama sekali tidak ingat baik nama maupun wajah dari laki-laki yang mengaku Delon tersebut."Ck! Maaf, saya tidak ingat." Valen menepis tangan Fernan yang sembarang menyentuh dirinya tersebut."Sorry!" ucap Fernan lirih. Namun Valen tetap tidak peduli dengannya. "Ke Eropa mau liburan?" tanya Fernan basa-basi."Bukan urusan anda, Tuan Fernan atau Tuan Delon. Terserah! Saya mohon untuk tidak mengganggu saya lagi, tolong!" mohon Valen tanpa menoleh.Valen tidak mau ambil pusing dan mencari tempat duduk kosong yang ada di belakangnya. Valen tidak mau berurusan dengan orang asing."Kita pulang sekarang!" ucap Fernan dalam sebuah panggilan. Setelah beberapa saat ada seorang yang menghampirinya lalu duduk bersanding."Kenapa tidak jadi pergi, Tuan Fe?" tanya pria di sisi Fernan. Valen yang mendengar pertanyaan laki-laki yang diperkirakan usianya sama dengan dirinya itu, tiba-tiba merasa ingin tahu."Aku menemukannya, Jo," jawab Fernan tanpa menoleh dan sibuk dengan layar ponselnya. Mendengar jawaban Fernan, Valen kembali tak acuh."Syukurlah kalau begitu. Dimana dia sekarang, Tuan Fe?" tanya laki-laki bernama Jonathan. Dia adalah asisten pribadi Fernan."Diamlah! Kita akan segera take of." Jonathan pun menurut dan tetap diam. Kini raut wajah Fernan maupun Jonathan kembali terlihat dingin serta arogan.Beberapa saat kemudian, nomor pesawat terbang milik Velen diumumkan akan segera take off. Valen beranjak dan pergi untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum dia naik ke dalam pesawat. Tentu saja Fernan mengikuti Valen dari belakang bersama Jonathan."Aku gugup sekali. Ini pertama kalinya aku naik pesawat. Apa nggak pa-pa?" batin Valen bertanya pada diri sendiri dan tetap terus melangkah tanpa menyadari jika Fernan ada dibelakangnya.Setelah masuk ke dalam pesawat, beberapa kali Valen terlihat menarik dan membuang napas untuk menghilangkan rasa gugupnya. Valen disambut lalu dibantu oleh seorang pramugari cantik untuk mencari tempat duduknya."Thank you," ucap Valen setelah mendapatkan tempat duduknya dan pramugari tersebut hanya mengangguk serta tersenyum manis kemudian pergi.Setelah mendapatkan tempat duduk dan memasukkan tas kecil yang dia bawa di kabin, Valen pun duduk di tempatnya. Kursi yang begitu nyaman bahkan untuk tidur. Heru benar-benar memberikan hadiah terbaik untuknya. Mengingat Heru, Valen jadi ingat dengan Vanya. Segera dia ambil ponsel miliknya dan menghubungi sang sahabat sebelum pesawatnya take off.Vanya memberikan banyak nasehat karena Valen baru pertama kali naik pesawat. "Dasar Vanya bawel!" gumam Valen sesaat setelah panggilan itu terputus."Anda juga bawel, Nona!" kata Fernan yang tiba-tiba duduk di sisi Valen.Tentu saja Valen terheran-heran karena laki-laki menyebalkan itu tiba-tiba muncul dan duduk dengan santai di sisinya."Anda mengikuti saya, Tuan?" tanya Valen mengangkat satu alisnya."Sepertinya tujuan kita hanya sama," jawab Fernan kemudian memejamkan matanya.Valen kembali tak acuh dengan Fernan dan duduk dengan nyaman. Dia juga memasang earphone yang disediakan untuk mendengarkan musik. Valen pun memejamkan matanya. Alih-alih daripada memikirkan Fernan.Tidak lama setelah itu, pesawat yang dia naiki mulai berjalan. Valen kembali gugup bahkan tangannya berkeringat dingin. Namun dia mencoba tetap tenang dan memberikan semangat pada dirinya sendiri hingga lampu tanda pesawat terbang stabil menyala. Aba-aba dari pramugari bahwa sudah bisa melepaskan sabuk pengaman membuat Valen merasa lega."Ada yang anda butuhkan, Tuan dan Nyonya?" tanya salah satu pramugari pada Fernan juga Valen."Tidak ada," jawab mereka dengan kompak kemudian keduanya saling menatap. Fernan menyunggingkan senyum sedangkan Valen menatapnya sinis.Bisa-bisanya mereka mengatakan hal yang sama bahkan dengan kompak juga saling menoleh."Baiklah. Jika ada sesuatu yang dibutuhkan, bisa panggil salah satu dari kami. Permisi!" Pramugari itu pun pergi.Namun karena pesawat mengalami guncangan beberapa kali, Valen terpaksa menggenggam kuat tangan Fernan saat hal tersebut terjadi karena takut. Tentu saja Fernan dengan senang hati membalas genggaman tangan Valen."Jangan takut! Pesawat ini cuma menembus awan hitam saja," kata Fernan lirih.Valen tidak mendengar apa yang dikatakan Fernan. Dia hanya memejamkan matanya dan meremas kuat tangan Fernan. Guncangan itu bukan hanya membuat Valen gugup, tetapi juga panik."Hei … sudah aku bilang, jangan takut! Ada aku. Everything is fine, Valen," kata Fernan lagi seraya mengusap ujung kepala Valen dengan lembutnya.Sentuhan lembut itu mampu membuka mata Valen dan menatap Fernan yang terlihat begitu khawatir. Valen merasa dejavu dengan apa yang baru saja dia alami."Sebenarnya … siapa kamu?"Perjalanan panjang yang cukup membuatnya lelah dan ketakutan pun berakhir sudah setelah terbang beberapa jam lamanya. "Thanks dan Sorry untuk yang tadi. Ini … pertama kalinya saya naik pesawat," ucap Valen saat pesawatnya benar-benar telah berhenti."Its okay!" jawab Fernan datar.Setelah itu Valen tak acuh dan segera beranjak terlebih dahulu karena tak mau mendapatkan banyak pertanyaan dari Fernan tentang mau kemana atau tinggal dimana. Sebenarnya kejadian dejavu tadi membuat Valen bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun dia segera melupakan hal tersebut."Perjalanan masih jauh, semangat, Valen," batinnya memberikan semangat pada diri sendiri.Dari sekian banyaknya kota indah di Eropa, Cochem, Rhineland-Palatinate, Jerman adalah tempat yang paling dia inginkan.Bukan hanya itu saja, tetapi secara kebetulan Heru juga punya bisnis di Jerman, jadi Vanya juga bisa ikut bersama Heru saat ada perjalanan bisnis ke Jerman. Berbeda dengan sebelumnya, kini wajah Valen berubah bahagia sebab
Kata-kata manis yang baru saja dia dapatkan dari Fernan benar-benar membuat Valen harus mengingat sosok Gio dalam benaknya. Sudut bibir yang menyungging dan sorot mata yang terlihat menyedihkan adalah raut wajah yang dilihat oleh Fernan.Laki-laki itu memang tidak tahu pasti apa yang telah dilalui Valen sampai gadis cantik di depannya itu mengabaikan apa yang baru saja dia katakan."Valen, apa kamu dengar apa yang aku katakan?" tanya Fernan sekali lagi untuk memastikan bahwa kali ini Valen mendengarnya."Hm, aku mendengarnya dengan sangat jelas, Tuan. Anda sungguh pria aneh, Tuan! Kita baru bertemu beberapa hari lalu dan anda mau menikahi saya padahal anda tahu saya ini sedang hamil? Anda terlihat berwibawa dan cukup tampan. Tapi anda mau menikahi gadis cacat seperti saya?"Fernan tidak memberikan reaksi apa pun. Sorot matanya masih sama, tetapi hatinya sedikit terkoyak dengan kata-kata Valen. Fernan tidak berpikir sedikitpun bahwa Valen itu wanita cacat. Mungkin karena dia tidak bisa
Baik Bunda Alive maupun laki-laki yang mengaku bernama Delon itu masih mendapatkan tatapan heran dari Valen. Vanya sendiri ikut berdiri di ambang pintu juga dengan tatapan heran dan tidak mengenal laki-laki yang sedang berpelukan dengan Bunda Alive.Entah kenapa Valen tiba-tiba merasa aneh dengan kehadiran pria yang sudah beberapa bulan tidak ada kabarnya tersebut dan datang baru beberapa saat setelah Vanya juga Bunda asuhnya datang."Nggak mungkin dia mengawasi aku dua puluh empat jam tanpa aku sadari, bukan?" batin Valen masih dengan tatapan yang sama pada Fernan. Laki-laki itu benar-benar misterius."Bunda apa kabar? Maaf Delon nggak pernah jenguk Bunda di panti," ucap Delon seraya melepaskan pelukannya. "Bunda nggak berubah, masih sangat cantik." Puji Delon dengan senyuman."Dasar anak nakal! Kamu juga nggak berubah, masih sangat jail!" jawab Bunda seraya memukul lengan Delon dan Valen benar-benar masih bingung dengan keakraban antara Bunda asuhnya dengan Delon alias Fernan itu."
Malam itu, Valen cukup dilanda kebingungan karena sedang berusaha untuk mengingat laki-laki bernama Lonlon yang dimaksud oleh Bunda Alive. Namun seberapa keras Valen mencoba mengingat nama itu, hasilnya tetap saja sama. Dia tidak bisa mengingat laki-laki tersebut.Mungkin memang Valen sudah tidak akan bisa mengingat laki-laki yang mau bertanggung jawab atas anak dalam kandungannya tersebut. Hanya saja Valen sangat penasaran karena sikap Fernan sedikit mencairkan hatinya yang membeku."Val, are you okay?" tanya Vanya yang tiba-tiba masuk ke kamar Valen karena dia tahu persis pasti Valen akan memikirkan Fernan."Em, apa kamu juga lagi mikirin hal yang sama?" Valen balik bertanya."Kenapa ya aku kok nggak inget sama sekali dengan Fernan. Tapi nggak mungkin juga Bunda bohong sama kamu. Dan ... menurutku nggak ada salahnya kamu mencoba membuka hati untuk Fernan. Bukannya dia yang selama ini yang kirim kamu makanan dan dia juga bilang tinggal di dekat kamu loh. Apa itu nggak cukup sweet?"V
Semua wanita pasti akan senang dengan kehadiran seorang buah hati di dalam rahimnya. Begitu juga gadis bernama Valencia Bellina. Ya, dia masih gadis karena belum menikah. Hari ini gadis tersebut berencana untuk mengatakan kehamilan pada sang kekasih yang bernama Sergio Ramos."Akhirnya … Mami sama Papi bakal menikah, Nak. Mami mau siap-siap setelah itu kita ketemu Papi ya," ujar Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata.Valen pun pergi ke tempat kerja kekasihnya, Gio. Namun belum Valen turun dari taksi, dia melihat Gio masuk ke dalam mobil bersama Vanes, sahabatnya."Loh, mereka mau kemana? Tumben Gio dan Vanes jalan bareng gitu! Bukannya Vanes nggak suka dengan Gio?" gumam Valen menatap kepergian mobil yang dinaiki Gio dan Vanes."Pak, ikuti mobil itu ya?" titah Valen pada supir taksi dan sang supir mengangguk paham.Ternyata mobil yang diikuti Valen berhenti disebuah butik dan itu bukan butik biasa melainkan butik yang menyediakan perlengkapan pernikahan. Valen semakin terhera
Sepulangnya dari pesta pernikahan mantan kekasih dan mantan sahabatnya itu, Valen menatap seluruh ruang rumahnya dari ambang pintu. Matanya kembali menitikkan cairan bening, tetapi dengan segera Valen menyeka air mata itu. "Aku harus pergi dari sini. Demi kamu, Nak. Kita nggak bisa tinggal di sisi bayang-bayang ayah kamu yang jahat itu," gumam Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata. Awalnya Valen tidak mau menerima kehadiran anak dari benih Gio tersebut, tetapi Valen sadar jika calon anaknya itu tidak bersalah sama sekali. Satu minggu terpuruk dan mengurung diri di kamar membuat Valen sadar jika sebelumnya dia menginginkan anak itu demi mendapatkan restu orang tua Gio, tetapi kali ini bukan itu alasannya.Beberapa hari kemudian, Valen memutuskan untuk pergi dari kota yang telah memberikan banyak luka di hatinya. Walaupun Vanya melarangnya, tetapi tentu saja Valen kekeh dengan pendiriannya untuk meninggalkan kota itu."Tapi … aku … aku nggak rela jauh dari kamu, Val," ujar Va
Malam itu, Valen cukup dilanda kebingungan karena sedang berusaha untuk mengingat laki-laki bernama Lonlon yang dimaksud oleh Bunda Alive. Namun seberapa keras Valen mencoba mengingat nama itu, hasilnya tetap saja sama. Dia tidak bisa mengingat laki-laki tersebut.Mungkin memang Valen sudah tidak akan bisa mengingat laki-laki yang mau bertanggung jawab atas anak dalam kandungannya tersebut. Hanya saja Valen sangat penasaran karena sikap Fernan sedikit mencairkan hatinya yang membeku."Val, are you okay?" tanya Vanya yang tiba-tiba masuk ke kamar Valen karena dia tahu persis pasti Valen akan memikirkan Fernan."Em, apa kamu juga lagi mikirin hal yang sama?" Valen balik bertanya."Kenapa ya aku kok nggak inget sama sekali dengan Fernan. Tapi nggak mungkin juga Bunda bohong sama kamu. Dan ... menurutku nggak ada salahnya kamu mencoba membuka hati untuk Fernan. Bukannya dia yang selama ini yang kirim kamu makanan dan dia juga bilang tinggal di dekat kamu loh. Apa itu nggak cukup sweet?"V
Baik Bunda Alive maupun laki-laki yang mengaku bernama Delon itu masih mendapatkan tatapan heran dari Valen. Vanya sendiri ikut berdiri di ambang pintu juga dengan tatapan heran dan tidak mengenal laki-laki yang sedang berpelukan dengan Bunda Alive.Entah kenapa Valen tiba-tiba merasa aneh dengan kehadiran pria yang sudah beberapa bulan tidak ada kabarnya tersebut dan datang baru beberapa saat setelah Vanya juga Bunda asuhnya datang."Nggak mungkin dia mengawasi aku dua puluh empat jam tanpa aku sadari, bukan?" batin Valen masih dengan tatapan yang sama pada Fernan. Laki-laki itu benar-benar misterius."Bunda apa kabar? Maaf Delon nggak pernah jenguk Bunda di panti," ucap Delon seraya melepaskan pelukannya. "Bunda nggak berubah, masih sangat cantik." Puji Delon dengan senyuman."Dasar anak nakal! Kamu juga nggak berubah, masih sangat jail!" jawab Bunda seraya memukul lengan Delon dan Valen benar-benar masih bingung dengan keakraban antara Bunda asuhnya dengan Delon alias Fernan itu."
Kata-kata manis yang baru saja dia dapatkan dari Fernan benar-benar membuat Valen harus mengingat sosok Gio dalam benaknya. Sudut bibir yang menyungging dan sorot mata yang terlihat menyedihkan adalah raut wajah yang dilihat oleh Fernan.Laki-laki itu memang tidak tahu pasti apa yang telah dilalui Valen sampai gadis cantik di depannya itu mengabaikan apa yang baru saja dia katakan."Valen, apa kamu dengar apa yang aku katakan?" tanya Fernan sekali lagi untuk memastikan bahwa kali ini Valen mendengarnya."Hm, aku mendengarnya dengan sangat jelas, Tuan. Anda sungguh pria aneh, Tuan! Kita baru bertemu beberapa hari lalu dan anda mau menikahi saya padahal anda tahu saya ini sedang hamil? Anda terlihat berwibawa dan cukup tampan. Tapi anda mau menikahi gadis cacat seperti saya?"Fernan tidak memberikan reaksi apa pun. Sorot matanya masih sama, tetapi hatinya sedikit terkoyak dengan kata-kata Valen. Fernan tidak berpikir sedikitpun bahwa Valen itu wanita cacat. Mungkin karena dia tidak bisa
Perjalanan panjang yang cukup membuatnya lelah dan ketakutan pun berakhir sudah setelah terbang beberapa jam lamanya. "Thanks dan Sorry untuk yang tadi. Ini … pertama kalinya saya naik pesawat," ucap Valen saat pesawatnya benar-benar telah berhenti."Its okay!" jawab Fernan datar.Setelah itu Valen tak acuh dan segera beranjak terlebih dahulu karena tak mau mendapatkan banyak pertanyaan dari Fernan tentang mau kemana atau tinggal dimana. Sebenarnya kejadian dejavu tadi membuat Valen bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun dia segera melupakan hal tersebut."Perjalanan masih jauh, semangat, Valen," batinnya memberikan semangat pada diri sendiri.Dari sekian banyaknya kota indah di Eropa, Cochem, Rhineland-Palatinate, Jerman adalah tempat yang paling dia inginkan.Bukan hanya itu saja, tetapi secara kebetulan Heru juga punya bisnis di Jerman, jadi Vanya juga bisa ikut bersama Heru saat ada perjalanan bisnis ke Jerman. Berbeda dengan sebelumnya, kini wajah Valen berubah bahagia sebab
"Sungguh aneh," gumam Valen kemudian membuang muka. Jarak dengan laki-laki di depannya itu benar-benar membuat Valen tidak nyaman. Segera ia kembali duduk untuk menikmati cappucino yang masih dia genggam."So what? Saya memang harus marah padamu karena tidak ada kabarnya selama ini," sahut laki-laki yang menjengkelkan itu lalu duduk di sisi Valen. "Saya Fernan, Nona!" sambung laki-laki yang bernama Fernan. Dia menatap lekat tiket pesawat yang dipegang Valen. Setelah itu meraih ponselnya yang ada di saku celana.Valen pun menoleh menatap Fernan. Dia benar-benar tidak mengenali laki-laki di hadapannya itu. Otaknya mulai berpikir keras, tetapi Valen tidak ingat sama sekali wajah laki-laki itu. Valen hanya bisa memutar malas bola matanya kemudian mengalihkan pandangan dari laki-laki bernama Fernan tersebut."Anda lupa dengan saya, Nona Valen?" tanya laki-laki itu seraya menyunggingkan senyum tanpa menoleh pada Valen karena matanya fokus pada ponsel. "Anda benar-benar tidak ingat? Apa karen
Sepulangnya dari pesta pernikahan mantan kekasih dan mantan sahabatnya itu, Valen menatap seluruh ruang rumahnya dari ambang pintu. Matanya kembali menitikkan cairan bening, tetapi dengan segera Valen menyeka air mata itu. "Aku harus pergi dari sini. Demi kamu, Nak. Kita nggak bisa tinggal di sisi bayang-bayang ayah kamu yang jahat itu," gumam Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata. Awalnya Valen tidak mau menerima kehadiran anak dari benih Gio tersebut, tetapi Valen sadar jika calon anaknya itu tidak bersalah sama sekali. Satu minggu terpuruk dan mengurung diri di kamar membuat Valen sadar jika sebelumnya dia menginginkan anak itu demi mendapatkan restu orang tua Gio, tetapi kali ini bukan itu alasannya.Beberapa hari kemudian, Valen memutuskan untuk pergi dari kota yang telah memberikan banyak luka di hatinya. Walaupun Vanya melarangnya, tetapi tentu saja Valen kekeh dengan pendiriannya untuk meninggalkan kota itu."Tapi … aku … aku nggak rela jauh dari kamu, Val," ujar Va
Semua wanita pasti akan senang dengan kehadiran seorang buah hati di dalam rahimnya. Begitu juga gadis bernama Valencia Bellina. Ya, dia masih gadis karena belum menikah. Hari ini gadis tersebut berencana untuk mengatakan kehamilan pada sang kekasih yang bernama Sergio Ramos."Akhirnya … Mami sama Papi bakal menikah, Nak. Mami mau siap-siap setelah itu kita ketemu Papi ya," ujar Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata.Valen pun pergi ke tempat kerja kekasihnya, Gio. Namun belum Valen turun dari taksi, dia melihat Gio masuk ke dalam mobil bersama Vanes, sahabatnya."Loh, mereka mau kemana? Tumben Gio dan Vanes jalan bareng gitu! Bukannya Vanes nggak suka dengan Gio?" gumam Valen menatap kepergian mobil yang dinaiki Gio dan Vanes."Pak, ikuti mobil itu ya?" titah Valen pada supir taksi dan sang supir mengangguk paham.Ternyata mobil yang diikuti Valen berhenti disebuah butik dan itu bukan butik biasa melainkan butik yang menyediakan perlengkapan pernikahan. Valen semakin terhera