**Jessica menginjak pedal gas mobilnya dengan kecepatan agak tinggi. Mengarahkan laju kendaraannya menuju kediaman Riani Sanjaya dalam keadaan kalut dan masih berurai air mata. Sesekali perempuan itu harus menyeka kedua netra sebab pandangannya terhalangi oleh kabut akibat tangis teredam.“Mami, i’m give up,” tuturnya kemudian saat telah sampai di hadapan Riani yang sedang duduk santai di hadapan laptop di teras samping rumah. Wanita itu sedang antusias memantau grafik saham, omong-omong.“Apa maksudmu?” tanya Riani sambil lalu. Ia masih belum benar-benar menyimak apa yang gadis itu katakan.“Mami, aku rasanya nggak bisa lagi melanjutkan ini. Aku mau pergi menyusul orang tuaku saja. Aku nggak mau di sini dan menunggu Gavin lagi. Ini terlalu menyakitkan.”Barulah Riani Sanjaya mengalihkan atensi dari layar laptopnya setelah ia mendengar penuturan panjang Jessica. Wanita itu memutar tubuh, menghadap yang lebih muda, membelalakkan mata dengan raut tidak setuju.“Aku tanya, apa maksudmu,
**“Rendra, katakan!” Gavin berkata dengan kemarahan teredam. Kedua alis tebal itu bertaut seiring air wajah merah padam sebab menahan emosi. “Apakah ibuku sendiri yang melakukan ini?”Dan Rendra hanya bisa menelan saliva menghadapi kemarahan Tuan Mudanya. Pria itu lebih tua daripada Gavin, namun ia akui Gavin memiliki aura dominan yang bisa membuat nyali lawan bicaranya menciut. Hanya kepada Inara saja segala sikap sedingin es itu bisa sepenuhnya luruh.Rendra memilih melanjutkan menyampaikan informasi ini hingga tuntas.“Menurut pengakuan ketiga tersangka, semuanya begitu. Namun seperti yang anda ketahui, aparat negeri kita ini akan tunduk di bawah kuasa harta. Mereka tentu saja memilih menyimpan rapat-rapat fakta ini dari publik sebab telah ada yang mengatur. Semua media yang berkumpul dalam konferensi pers kemarin, mendapatkan informasi bahwa Nona Kecil diculik karena para tersangka mengincar tebusan.”“Demi Tuhan ….” Gavin memijat pangkal hidungnya. Kedua matanya mendadak lelah d
**Gavin keluar dari kediaman orang tuanya dengan perasan hampa luar biasa. Rendra yang mengikuti dari belakang tidak berani mengatakan apapun hingga pria itu masuk ke dalam Audi miliknya. Di dalam sana, Gavin menghela napas panjang. Sementara memejamkan mata, ia berujar kepada sang asisten pribadi.“Pulang saja ke rumah, Ren. Aku mau ketemu istriku.”“Baik, Tuan Muda.”Namun belum lagi Rendra menyalakan mesin mobil, suara dering ponsel Gavin mengalihkan perhatian. Si empunya ponsel menengok malas-malasan sebelum menemukan nama ayahnya tertera di layar.“Ya, Pap?” Gavin menjawab teleponnya segera.“Kamu baru datang, Vin? Papi lihat mobilmu dari lantai tiga.”Gavin menahan Rendra agar tidak dulu tancap gas dari sana. Ia kembali keluar dari mobil dan mendongak, menoleh ke beranda lantai tiga. Sosok Joseph Sanjaya sedang melambaikan tangan dari sana.“Tapi aku lagi males naik lagi ke sana, Pap.” Gavin melanjutkan percakapan ponselnya. “Aku udah mau balik. Tadi ketemu Mami saja, sebentar.
**Inara duduk termangu sembari memandangi putrinya yang sedang bermain-main dengan kucing besar kesayangannya. Anak harimau yang gadis cilik itu temukan di jalanan tengah hutan beberapa saat yang lalu itu, kini sudah menjadi peliharaan yang manis dan penurut. Aylin memperlakukannya seakan binatang buas itu adalah adiknya sendiri. Ia menamainya Kimmy dan mengajaknya bermain sepanjang hari.Meski hal itu membuat teman-teman baik si bocah jadi jarang bermain ke rumah, sebab takut dengan keberadaan Kimmy yang memang sudah sepantasnya ditakuti.Inara masih memandang lekat putrinya. Teringat pengakuan Gavin bahwa perencana di balik penculikan Aylin adalah Riani Sanjaya, sang Mami, mertuanya sendiri.“Kita memang berdosa sudah hadir di tengah kehidupan Papa ya, Nak?” Perempuan itu berujar dengan sendu. “Meski harus Mama akui, kalau Papa nggak datang dan jemput kita, kehidupan kita nggak akan pernah sebaik sekarang ini.”Senyum itu merekah saat Inara teringat betapa berat perjuangannya mengh
**“Riani ….”Wanita berparas memukau itu menoleh saat namanya disebut lirih. Ia tidak tampak terkejut saat melihat siapa yang tengah datang dalam langkah pelan. Justru melanjutkan kegiatannya menggulir layar iPad.Joseph menghela napas lirih. Lelah sesungguhnya menghadapi sikap dingin dari perempuan ini. Sudah dan selalu seperti ini sejak kurang lebih tiga puluh delapan tahun Joseph melabuhkan rasa kepadanya.“Kenapa?” Perempuan itu bertanya singkat. “Ada perlu apa denganku?”“Apakah harus ada perlu sesuatu untuk aku duduk disampingmu?”“Aku nggak punya banyak waktu untuk berbasa-basi. Banyak yang harus aku kerjakan.”Joseph lagi-lagi hanya menghela napas mendapati sikap tidak ramah itu. Ia pandang lekat wanita yang telah memberinya satu putra.Joseph mencintai Riani.Namun Riani tidak pernah mencintainya.Lebih dari empat puluh tahun yang lalu, Joseph Sanjaya adalah manager operasional yang paling bisa diandalkan oleh Catur Handika, ayah Riani. Kala itu SR masih bernama Miracle. Seb
**Aldo memarkirkan SUV-nya di pelataran kafe yang sepi. Ia menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan, kemudian mengecek ponselnya sekali lagi.“Ini anak mimpi apa jam segini ngajakin ngafe. Udah berasa banyak duit apa gimana, dia?” gerutu pria itu sembari turun dari mobil.Untuk sesaat, visual Aldo yang luar biasa terasa bagai angin sejuk yang menerpa beberapa pegawai kafe perempuan. Wajah latin yang memukau, dengan postur tubuh nyaris sempurna –Aldo memiliki tinggi badan sekitar 190 sentimeter, omong-omong– dipadu outfit premium serta kendaraan memadai.Sayang sekali pria tiga puluh delapan tahun itu hanya gemar melakukan one night stand dengan gadis-gadis seksi penghuni bar elit di kota itu, sehingga sampai usia demikian, ia belum memiliki pandangan untuk berumah tangga.Pernikahan itu merepotkan, begitu kata Aldo. Hatinya sempat limbung dan nyaris jatuh kepada pesona lembut Inara, jika saja tidak segera tertampar oleh kenyataan dramatis bahwa Inara adalah Regina, adik k
**Riani Sanjaya merapatkan mobilnya ke halaman parkir sebuah grocery shop terbesar di kota itu. Posisi mobilnya saat ini memungkinkan dirinya mengedarkan pandang seluas halaman parkir tersebut. Ketika atensinya jatuh kepada Audi berwarna abu-abu tua yang tampak mencolok berada di antara mobil-mobil lain, wanita itu tersenyum puas.“Nah, benar dugaanku. Perempuan itu memang berada di sini. Ternyata instingku masih sama seperti dulu, tajam.”Riani memutuskan duduk di beranda gedung toko tiga lantai itu untuk menunggu Inara dan Rendra keluar dari sana. Terlalu membuang-buang waktu jika dirinya masuk ke dalam. Riani tidak pernah suka dengan seluk beluk perumahtanggaan sejak dulu kala.Sekitar sepuluh atau lima belas menit menunggu dalam suasana bosan, wanita itu akhirnya melihat siapa yang ia cari.Perempuan muda itu berjalan keluar dari toko dengan Rendra yang mengikuti di belakangnya. Rendra membawa dua kantong belanjaan, sementara Inara membawa satu. Gegas Riani berdiri dari kursinya
**“Pak Ren, kasih aja belanjaannya sama Bu Sara di dapur, ya. Biar ditata sama beliau. Aku masuk dulu.”Rendra mengangguk mengiyakan saat Inara terburu-buru keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah. Pria berusia empat puluh lima tahun itu tertawa kecil. Geli sendiri dengan tingkah polos nyonya mudanya.Sementara Inara yang awalnya bermaksud mencari Aylin untuk menghibur hati, mendadak menghentikan langkah ketika berpapasan dengan Gavin di koridor kamar.“Loh, sudah pulang belanjanya?” tanya pria itu, “kenapa kok begitu mukanya?”Inara memandang sang suami dengan takut-takut. Ini sudah bisa ia tebak, karena seperti yang tadi Rendra katakan, mata Inara kelihatan merah dan sembab.“Inara, kamu habis menangis, ya?” Gavin menyadari hal itu. Ia meraih bahu kecil sang istri dan memaksa perempuan itu menghadap ke arahnya. “Inara?”“Gavin ….”“Kenapa? Kenapa menangis? Siapa yang bikin kamu menangis?”Inara seketika melemparkan diri ke dalam pelukan sang suami. Masih melanjutkan tang
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be