**Riani Sanjaya merapatkan mobilnya ke halaman parkir sebuah grocery shop terbesar di kota itu. Posisi mobilnya saat ini memungkinkan dirinya mengedarkan pandang seluas halaman parkir tersebut. Ketika atensinya jatuh kepada Audi berwarna abu-abu tua yang tampak mencolok berada di antara mobil-mobil lain, wanita itu tersenyum puas.“Nah, benar dugaanku. Perempuan itu memang berada di sini. Ternyata instingku masih sama seperti dulu, tajam.”Riani memutuskan duduk di beranda gedung toko tiga lantai itu untuk menunggu Inara dan Rendra keluar dari sana. Terlalu membuang-buang waktu jika dirinya masuk ke dalam. Riani tidak pernah suka dengan seluk beluk perumahtanggaan sejak dulu kala.Sekitar sepuluh atau lima belas menit menunggu dalam suasana bosan, wanita itu akhirnya melihat siapa yang ia cari.Perempuan muda itu berjalan keluar dari toko dengan Rendra yang mengikuti di belakangnya. Rendra membawa dua kantong belanjaan, sementara Inara membawa satu. Gegas Riani berdiri dari kursinya
**“Pak Ren, kasih aja belanjaannya sama Bu Sara di dapur, ya. Biar ditata sama beliau. Aku masuk dulu.”Rendra mengangguk mengiyakan saat Inara terburu-buru keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah. Pria berusia empat puluh lima tahun itu tertawa kecil. Geli sendiri dengan tingkah polos nyonya mudanya.Sementara Inara yang awalnya bermaksud mencari Aylin untuk menghibur hati, mendadak menghentikan langkah ketika berpapasan dengan Gavin di koridor kamar.“Loh, sudah pulang belanjanya?” tanya pria itu, “kenapa kok begitu mukanya?”Inara memandang sang suami dengan takut-takut. Ini sudah bisa ia tebak, karena seperti yang tadi Rendra katakan, mata Inara kelihatan merah dan sembab.“Inara, kamu habis menangis, ya?” Gavin menyadari hal itu. Ia meraih bahu kecil sang istri dan memaksa perempuan itu menghadap ke arahnya. “Inara?”“Gavin ….”“Kenapa? Kenapa menangis? Siapa yang bikin kamu menangis?”Inara seketika melemparkan diri ke dalam pelukan sang suami. Masih melanjutkan tang
**Joseph baru saja mematikan ponsel setelah menerima panggilan masuk dari Aldo. Pria itu tidak bisa menahan senyum, Aldo dalam perjalanan menjemput dirinya untuk bersama-sama ke rumah Gavin. Ia bilang keluarganya sudah menunggu di sana.Berkunjung ke rumah sang putra dan menemui cucu tercinta adalah kebahagiaan terbesar untuk Joseph saat ini.“Untung saja aku sudah mandi. Ah, aku akan tunggu Aldo di halaman depan saja, biar nanti langsung berangkat,” gumam Joseph, bermonolog sebelum mengayun langkah menuju pintu lift di ujung ruangan rumahnya untuk turun ke lantai dasar.Sampai di sana, ternyata senyum dan senandung Joseph harus hilang sebab sang istri ternyata juga tengah berada di tempat yang sama.Riani sedang duduk di atas kap mobilnya dengan masih mengenakan baju kantor serta riasan lengkap. Wajahnya mendung dengan kedua mata menatap lekat kepada layar ponsel dalam genggamannya. Agaknya, ia baru datang.“Riani?” Joseph menyebut pelan. Terlalu riskan rasanya jika berada di tempat
**Kesedihan Joseph ternyata berlarut-larut hingga banyak waktu ke depan. Saat sedang bersama dengan Aylin, atau Inara dan Gavin, kesedihan itu mungkin bisa teralihkan. Namun saat Joseph kembali berada di rumahnya sendiri, ia tidak bisa mengendalikan rasa sedih yang mencengkeram hatinya.Terlebih saat ini Riani kembali aktif di kantor, sehingga Joseph nyaris tidak pernah bertemu muka dengan wanita itu selain saat sarapan pagi. Di samping juga karena Riani sendiri yang enggan didekati.Maka, hari-hari Joseph habiskan dalam sepi, merenungi cintanya yang tiga puluh sembilan tahun bertepuk sebelah tangan.Ponsel berdering saat Joseph sedang melamun di tepi balkon lantai tiga, tempat favoritnya menikmati senja yang perlahan mulai lindap menyambut malam. Awan-awan jingga yang menyepuh bagian barat kaki langit tampak syahdu sekali.Pria itu mendekati benda pipih yang ia letakkan di atas meja beranda balkon. Nama Inara tertera di layarnya. Dengan senyum mengembang, Joseph menerima panggilan
**“Aku coba hubungi Mami lagi ya, Sayang?”Inara menepuk pelan bahu Gavin sebelum beranjak dari sofa ruang tunggu kamar VIP tempat Joseph dirawat.Berjam-jam telah berlalu dan Joseph sekarang sudah berada di ruangan ICU VIP meski belum sadar dan belum boleh ditunggui. Inara dan Gavin menunggu di ruangan khusus yang disediakan, sementara Rendra sedang membereskan masalah administrasi.Gavin meraih tangan Inara dan mencegahnya beranjak. “Nggak usah, Inara. Sepertinya nggak ada gunanya juga. Lagian belum tentu kalau Mami mau datang.”Kedua alis Inara terangkat naik tanpa sadar. “Kok begitu? Siapa tahu sekarang Mami sudah ada di rumah dan lagi cari Papi, lho.”“Kalaupun iya, para maid di rumah pasti sudah kasih tahu Papi ada di mana, dan Mami sudah dari tadi ada di sini. Nyatanya enggak, kan?”Inara terdiam, tidak bisa menjawab apapun. Hanya memandang iba kepada sang suami yang tampak begitu terpukul dengan kejadian ini.“Di sini saja, Inara. Aku nggak bisa tanpa kamu sekarang ini.”Ah,
**Hampir menjelang pagi, Arsa, Eliza, dan Aldo datang, menyusul ke rumah sakit. Eliza seketika berbagi pelukan dan air mata dengan sang putri. Seluruh keluarga inti sudah berada di tempat saat ini.“Mami kamu nggak datang, Vin?” Arsa bertanya, yang segera mendapatkan delikan tidak setuju dari Eliza.“Nggak apa-apa, Ma’am.” Tapi Gavin menimpali dengan senyuman. “Memang kenyataannya seperti ini, kan? Ya, benar. Inara sudah nelepon Mami tadi. Dia nggak mau datang atau seperti itu. Sepertinya sakitnya Papi ada hubungannya sama Mami. Papi lagi pegang cincin pernikahan Mami sampai di ruangan UGD kemarin.”Pasangan suami istri Bagaskara itu bertukar pandang setelah mendengar keterangan Gavin. Hanya bisa menghela napas sembari menepuk-nepuk pelan pundak menantu mereka untuk memberikan dukungan moral. Sangat mengerti, sebab kekecewaan tergambar jelas dalam raut wajah Gavin.“Kalian berdua semalaman di sini dan nggak tidur, kan? Gue beliin sesuatu di luar, ya?” Gavin menawarkan, lebih karena i
**Semesta seperti turut bersedih atas kehilangan Joseph Sanjaya siang itu. Gerimis mengalun turun. Tidak deras, namun konstan bagaikan air mata langit.Sebelum Joseph dikebumikan di peristirahatan terakhirnya, dan sebelum berita duka disampaikan kepada seluruh kerabat, Gavin ingin mengabarkan semua ini sendiri kepada Riani. Maka di bawah rinai gerimis yang turun dalam senyap siang itu, Gavin mengemudi sendirian menuju kantor SR, di mana sang ibu sedang berada.Jas hitam dan rambutnya yang basah menarik perhatian seluruh penghuni kantor, namun Gavin tidak peduli. Ia masuk lift menuju ruangan pimpinan dalam diam, tidak berbagi sapa kepada siapapun yang ditemuinya.Riani yang sedang fokus pada pekerjaan mengangkat wajah perlahan saat pintu ruangannya dibuka tanpa diketuk dulu. Ia gagal menyuarakan hardikan saat mendapati siapa yang datang dan seperti apa keadaannya.“Gavin?” gumamnya pelan. Kedua matanya tajam menatap sosok sang putra yang tampak sangat tidak biasa. Kulitnya yang pucat
**Riani Sanjaya terus menangis sesenggukan di kursi belakang mobil yang ia tumpangi. Tidak tahu ke mana pria dalam mobil itu akan membawanya. Dan sebab rasa putus asa yang terlampau besar, sepertinya Riani tidak lagi peduli ia akan dibawa ke mana.“Nyonya kenapa sendirian di tengah jalan?” Pria dari balik kemudi itu bertanya. Ia memandang penuh simpati dari kaca spion.Riani hanya menggeleng. Air mata berjatuhan, membasahi bibirnya yang pias. Semua orang yang melihatnya, akan mengira wanita itu tengah bersedih karena kehilangan orang yang ia cintai. Tidak ada seorang pun yang tahu, bahwa Riani menangis sebab rasa sesal yang menghantam hatinya dengan telak.Apakah pada titik ini, Riani sudah bisa dibilang mencintai Joseph? Kalau benar begitu, maka hari ini ia akan menjadi orang yang paling tidak beruntung di dunia ini. Rasa cinta itu datang setelah ia kehilangan.“Siapa kau ini?” Setelah beberapa saat waktu berlalu, Riani akhirnya memutuskan bertanya. “Kau tahu di mana suamiku berada
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be