**Jessica Freya memutuskan kembali ke kantor SR Corp sesudahnya. Berlama-lama berada di rumah Gavin membuat hatinya sesak tak karuan. Sungguh, tujuan awalnya datang ke sana adalah untuk membereskan dokumen yang harus Gavin tanda tangani –yah di samping juga karena rindu dengan pria itu– namun perlakuan yang ia terima justru seperti itu. Selalu menyakitkan hati.Gadis berusia dua puluh sembilan tahun itu lantas menuju ruang kerja, di mana sekretaris Gavin sebelumnya sedang berada. Perempuan bernama Laksmi yang sedang berada di dalam kubikelnya sendiri itu tersentak begitu Jessica datang dan menggebrak meja.“Apa kamu nggak punya muka sampai harus mencarinya dengan cara seperti itu?”Laksmi mengerutkan alis. Sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Inara katakan.“Mak-maksudnya, Nona–”“Maksudnya, maksudnya! Puas kamu bikin aku malu di hadapan Gavin, hah?” Jessica mendelik murka kepada perempuan yang lebih muda darinya itu. “Bagaimana aku harus menjelaskan kepadamu kalau posisi sekre
**“Halo?”Inara mengernyit saat suara suaminya mendadak menghilang dari pendengaran. Mengira bahwa sambungan teleponnya terputus, perempuan itu sampai mengecek layar ponselnya. Ternyata tidak, panggilannya dengan Gavin masih tetap tersambung.“Halo, Papa?”“Ah!” Suara Gavin terdengar tersentak di seberang sana. Membuat Inara ikut kaget. “Siapa tamunya? Apakah baru datang? Katakan, ada siapa di rumah, Inara?”“Udah agak tadi, kok. Maaf ya, aku nggak kasih tahu karena aku pikir kamu lagi sibuk kerja.”“Iya, siapa tamunya?”Inara bisa memaklumi jikalau suara suaminya terdengar sangat mendesak begitu. Hidup bersama selama nyaris satu tahun belakangan ini membuatnya paham sifat posesif sang suami kadang tak bisa dihindari. Benar, Inara sudah bisa memaklumi hal itu.“Ah, ini ada Bu Eliza di rumah.”“Apa? Ibunya Aldo?”“Ya, tapi–”“Sama Aldo? Aku pulang sekarang juga, Inara!”“Heh, enggak! Nggak sama Pak Aldo, Bu Eliza dateng sendirian. Udah nggak usah panik begitu, nggak ada laki-laki lain
**Inara sama sekali tidak berani memandang kepada Eliza sesudahnya. Ia menunduk, berharap secepatnya wanita cantik itu mengajaknya pulang saja. Inara sudah tahu semuanya pasti berakhir seperti ini. Seharusnya ia tidak pernah bersama Gavin saja. Seharusnya ia tidak perlu bertemu lagi dengan pria itu setelah lima tahun berhasil ia habiskan untuk membesarkan putrinya sendirian. Seharusnya–“Inara, Honey? Kenapa wajahnya jadi murung seperti itu? Apakah Mom melakukan kesalahan? Sorry, hm?”Perempuan itu nyaris tidak mempercayai pendengarannya. Ia mengangkat wajah pelan-pelan dan memberanikan diri memandang Eliza. Tanpa ia duga, wanita itu juga tengah memandang ke arahnya. Manik biru jernihnya masih menatap Inara penuh rasa sayang, sama seperti kemarin-kemarin sejak pertama bertemu.“M-Mom?”“Yes, Sweety? Ada apa? Kamu nggak nyaman sama sesuatu? Tell me.”Inara nyaris tidak bisa menahan tangis. Ia malu menanyakan hal ini, tapi ia juga sungguh ingin tahu alasan Eliza. “Ap-apa menurut Mom in
**Gavin tertegun selama beberapa detik setelah Inara berujar demikian. Selama ini, istrinya tidak pernah menyinggung-nyinggung perihal perlakuan Riani kepadanya, namun kali ini tidak demikian. Mungkin Inara sudah terlampau lelah hingga bisa berkata demikian?“Sayang ….” Pria itu berujar lirih sementara meraih telapak tangan wanitanya. “Aku benar-benar minta maaf dengan perlakuan Mami sama kamu. Apa saja yang dia katakan tadi? Dia bilang sesuatu sama Bu Eliza?”Gavin terlihat panik sendiri, namun Inara justru tersenyum. Ia membalas genggaman tangan sang suami.“Nggak apa-apa. Ya, seperti biasanya, lah. Rasanya aku sudah nggak kaget sama kata-kata ibu kamu. Lagian semua yang dia bilang memang kenyataan.”“Apapun yang melukai kamu, akan melukai aku juga, Inara. Aku akan bikin perhitungan sama Mami kalau dia berani bertindak lebih jauh. Karena di kantor tadi dia juga ngancam mau celakain kamu kalau aku nggak bersikap baik sama Jessica. Itulah mengapa aku khawatir banget pas kamu bilang a
**“Apa kita perlu pindah dulu dari sini untuk sementara waktu, sampai kamu tenang, Sayang?” Gavin menawarkan, ketika beberapa saat kemudian waktu berlalu. Inara sudah mendapatkan perawatan dari dokter keluarga. Ia terpaksa mendapat empat jahitan pada luka di telapak kakinya akibat pecahan kaca itu.“Nggak perlu sampai seperti itu, Pa,” jawab Inara dengan senyum kecil. “Aku baik-baik saja, sungguh.”Inara dan Gavin sedang duduk di ruang tamu saat itu, dan entah firasat atau apa, Joseph datang tak lama setelah kejadian itu berselang.“Nggak tampak apa-apa di rekaman CCTV. Gelap banget, bahkan bayangan orang aja nggak ada,” tutur Joseph yang baru saja masuk melalui pintu depan. Sebelumnya, pria itu sedang memeriksa rekaman kamera pengawas di pos sekuriti depan rumah.“Tapi daerah samping rumah yang kena lemparan batu itu memang agak sedikit tersembunyi dari jarak pandang kamera, sih,” lanjut Joseph, “apa nggak sebaiknya Inara sama Aylin dipindahkan di tempat yang aman dulu, Vin?”“Tadin
**Riani Sanjaya mendelik di ambang pintu ruangan putranya. Dengan kedua hasta terlipat di dada, wanita itu melangkah masuk pelan-pelan.“Masihkah kamu bertanya kenapa aku nggak suka dengan perempuan yang kamu sebut istri itu?” tanyanya sengak.Gavin tidak menanggapi. Lebih daripada itu, ia justru lebih khawatir apakah ibunya mendengar pembahasan sebelum ini tentang rencananya memindahkan Inara ke rumah baru?“Aku nggak suka, karena dia akan mengotori keturunan Sanjaya dengan kasta rendahannya itu.”“Mam,” sela Gavin, habis sabar juga, akhirnya. “Sejak kapan negeri ini punya aturan berkasta-kasta begitu? Jangan bicara omong kosong, lah.”“Ck! Dia cuma bekas cleaning service dan tanpa hujan tanpa angin, dia mengaku-ngaku mengandung anakmu, Vin!”“Aku ingat pernah melakukannya, Mam. Dan Aylin memang putriku. Aku sudah membuktikan keabsahannya dengan tes DNA di rumah sakit terpercaya yang Mami tahu sendiri hasilnya seratus persen akurat. Bahkan sesungguhnya tanpa tes pun semua orang juga
**“Itu karena kamu sendiri yang nggak mau berusaha! Kamu yang nggak mau bergerak dan hanya mengandalkan aku!”Jessica tersentak saat mendengar bentakan dari belakangnya. Ia menoleh dan mendapati Riani Sanjaya memasuki ruangan sembari memasang wajah masam.“Kalau kamu terus begini, sampai mati juga nggak akan bisa mendapatkan Gavin!”Gadis itu terkesiap. Kendati demikian, tidak berhasil menyuarakan sanggahan apapun. Hanya mampu menunduk, menelan mentah-mentah hardikan dari ibu pria yang dicintainya.“Apa rencanamu sesudah ini, ha? Mau tetap begini sampai kapan? Mau memandang Gavin saja dari jendela sampai kapan, kamu?”Jessica rasanya kian terpuruk. Sesungguhnya ia sudah sangat putus asa dari semenjak Gavin menikah. Rasanya sudah tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan hati pria itu. Sesungguhnya semua gertakan yang ia lontarkan hanyalah pelarian dari rasa putus asanya sebab cinta yang tidak pernah bersambut selama bertahun-tahun lamanya.“Mam, apakah masih ada harapan?” desah gadis
**Beberapa minggu berikutnya terlewat tanpa insiden yang berarti. Tidak ada teror yang terjadi lagi, menandakan keberadaan Inara dan Aylin di rumah barunya, tidak diketahui oleh orang-orang yang kerap bermaksud jahat. Dalam hal ini, Riani dan Jessica.Bahkan Inara berani mengajak putri kecilnya jalan-jalan ke taman kota di dekat-dekat sana jikalau sedang bosan di rumah.“Asal jangan terlalu jauh dan terlalu lama di luar,” titah Gavin pagi ini, saat Inara minta izin untuk belanja ke supermarket yang tidak jauh dari kawasan rumahnya.“Hanya belanja, Papa. Lagian supermarketnya hanya satu blok dari rumah. Aku jalan kaki saja sama Aylin, ya?”Gavin mengernyit tidak setuju. “Minta antar Rendra, Sayang.”“Nggak perlu, Papa. Kami jalan kaki saja, biar sehat.”“No! Aku punya lebih dari cukup bawahan untuk sekedar mengawalmu belanja.”“Sayang, aku serius. Aku pengen date berdua sama Aylin.”Gavin masih terpaku dengan wajah keberatan. Ia menghela napas kemudian. “Berjanjilah, kamu nggak akan k