**“Nggak bisa ditelepon!” Salah seorang yang sedang berusaha menghubungi Gavin mengeluh dengan panik. “Tuan Muda nggak angkat teleponnya!”“Sial! Jadi bagaimana ini? Demi Tuhan, Nona Aylin, tolong bisakah Nona berhenti menangis sebentar saja?” Satu yang lain tidak kalah panik. Terlebih lagi, Aylin memang sama sekali tidak bisa berhenti menangis. Ia melotot dengan ngeri kepada mamanya yang terbaring bersimbah darah dan merintih lirih di ambang kesadarannya.“Kita bawa ke rumah sakit terdekat dulu, baru nanti kita pikirkan lagi hal ini,” putus si pengemudi kemudian,yang diangguki oleh kedua kawannya.Mobil hitam itu lantas meluncur kencang menuju rumah sakit terdekat. Berpacu dengan waktu, sebab kesadaran Inara sedikit demi sedikit mulai lindap.Namun beberapa saat kemudian hingga mobil itu telah sampai di depan gate UGD rumah sakit terdekat dan Inara sudah dibawa masuk serta mendapatkan pertolongan, Gavin ternyata tetap saja tidak bisa dihubungi.“Kita nggak bisa bergerak begitu saja
**Rendra memacu Audi milik Gavin dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang disebutkan oleh tuan mudanya barusan. Sementara itu Gavin sendiri, sedang duduk dengan gusar sembari memijiti pangkal hidungnya di kursi penumpang. Sebelumnya, pria itu memaksa hendak berkendara sendiri ke rumah sakit, namun sang supir tidak mengizinkan. Apa jadinya pria yang tidak sabaran itu jika nekat mengemudi sendiri dalam keadaan kalut seperti itu.“Sial! Kapan kita sampai, Rendra?” Gavin mengumpat pelan. Ia sudah menelepon para bawahan yang ia perintahkan mengawal Inara dan Aylin, dan menghujani mereka bertiga dengan makian dan umpatan yang jelas tidak lulus sensor, tapi hatinya masih kesal sekali.“Dua menit lagi, Tuan Muda. Harap bersabar sebentar, kita tidak bisa mengebut di area rumah sakit,” jawab Rendra tenang. Sepanjang perjalanan yang sebenarnya hanya memakan waktu sepuluh menit itu, Rendra juga sudah diteriaki banyak pengguna jalan lain sebab mengemudi dengan ugal-ugalan. Jika bukan kare
**Orang-orang baik yang peduli dan menyayangi Inara datang pada dua hari berikutnya. Maulina bersama Yanti, serta beberapa adik-adik pantinya. Hal itu membuat Inara sangat terharu, karena kendati dirinya sudah tidak bisa seperti dulu, orang-orang itu ternyata masih mengingat dan menyimpan cinta untuk dirinya.Nah, dan selama dua hari berikutnya, Eliza juga selalu ada di dekat Inara. Wanita itu selalu menyempatkan datang meski tuntutan pekerjaan nyaris tidak mengizinkan. Inara sangat merasa tidak enak, namun ia juga tidak bisa mencegah.“Nggak, Mom nggak sibuk. Ini biasa Mom lakukan setiap hari, kok. Dan lagi, ada Aldo yang sekarang sudah mulai bisa menghandel banyak hal,” ungkap Eliza saat Inara menyampaikan keberatannya hari ini. Ia takut jika dirinya justru menjadi beban banyak orang.“Tapi Mom jadi kurang istirahat,” sanggah Inara, yang seketika disambut oleh senyum hangat wanita bermata biru cemerlang itu.“Justru Mom banyak istirahat kalau ada di sini. Dad juga lebih senang, kar
**Inara terpukau. Ia tidak bisa bergerak saat Eliza bergerak maju dan memeluknya dengan sangat lembut. Masih tidak bisa bergerak kala wanita itu menyentuh kedua pipinya dengan isak tangis tersendat-sendat.Tidak bisa dipungkiri, kedua netra basah Eliza menyiratkan kerinduan yang mendalam kepada entah siapa yang wanita itu lihat dalam diri Inara sekarang.“Mom, jangan menangis.” Inara mengulas senyum kecil. “Walaupun saya tidak terbukti memiliki DNA yang identik dengan keluarga Bagaskara, saya nggak keberatan kalaupun Mom menganggap saya anak dan Aylin cucu. Saya justru sangat merasa terhormat.”“Oh, Inara ….” Wanita berparas menawan itu terisak kian keras setelahnya. “Tanpa tes pun kamu adalah putri kami. Maafkan Mom, Mom hanya ingin kepastian saja.”Inara menepuk-nepuk lengan perempuan itu, sementara membiarkan Eliza menuntaskan isak tangisnya. Perlahan bertukar pandang dengan sang suami, dan Inara senang saat melihat Gavin melayangkan senyum tulus kepadanya.Kemudian, prosedur tes
**Arsa menyerahkan kertas surat pemberitahuan dari rumah sakit itu kepada sang istri. Kedua netranya diselimuti kabut, memendam hujan yang sudah siap tumpah. Sementara Eliza yang tadinya menolak membaca secara langsung, mau tak mau jadi mengambil surat itu dari tangan Arsa setelah melihat ekspresi suaminya.Dan Inara sendiri sudah tahu bagaimana hasil tes itu bahkan sebelum pasangan suami istri Bagaskara memberi tahu. Ya, mana mungkin kan dirinya adalah putri dari keluarga aristokrat seperti keluarga Bagaskara. Ibu Yanti selalu menyampaikan hal yang sama setiap kali Inara menanyakan bagaimana kisahnya hingga ia berakhir hidup di panti asuhan. Seorang perempuan muda menyerahkan dirinya pada suatu hari, berkata tidak sanggup membesarkannya karena pria yang membuatnya melahirkan seorang putri tidak sudi bertanggung jawab. Inara sudah berdamai dengan kenyataan itu, dan sama sekali tidak pernah berharap ada kisah lain di belakang semua ini.Namun, selepas membaca baris-baris kalimat dalam
**Inara tidak tahu harus mengambil sikap yang bagaimana untuk menghadapi Aldo. Jujur saja, dari awal ia sudah agak segan kepada pria itu. Hanya karena Aldo adalah sahabat dekat Gavin, ia berani mendekat sedikit lebih intens. Sekarang ketika berhadapan dengan kenyataan besar bahwa ia memiliki hubungan darah dengan pria ini, sejujurnya Inara masih belum bisa menghilangkan rasa segannya. Jika ditambah lagi dengan pengakuan Aldo tentang bagaimana perasaannya, Inara benar-benar tidak tahu bagaimana harus bersikap.“Jangan pikirkan aku.” Pria itu tersenyum sembari menggusak lembut surai Inara. “Aku akan baik-baik saja. Aku bisa mengatasi ini. Justru seharusnya aku yang harus minta maaf kepadamu. Karena jika kita telusuri lagi dari awal, aku adalah satu-satunya yang bertanggung jawab, yang membuatmu terpaksa bertemu dengan Gavin malam itu.”Inara menelan saliva. Ingatan itu kini sudah tidak begitu terasa menyakitkan, sebab Gavin menebus semuanya dengan begitu banyak cinta. Namun tetap saja,
**“Rumahnya kosong, katamu?” Riani Sanjaya mengerutkan dahi. Memandang pintu tertutup di kejauhan dari balik sunglasses yang ia sedang kenakan.“Benar, Nyonya besar. Hanya ada sekuriti di gerbang yang menjaga. Dia bilang Tuan Muda sudah meninggalkan rumah sejak beberapa minggu yang lalu.”“Sial!” Riani mengumpat pelan. “Gavin tetap datang ke kantor seperti biasa, tapi dia sudah nggak ada di sini lagi? Kemana dia membawa perempuan itu pergi?”Wanita cantik itu terdiam dengan pandangan setajam mata elang yang masih mengarah kepada gerbang rumah putranya yang kini tertutup rapat. Rumah yang dibelikan Gavin diam-diam untuk perempuan miskin tidak tahu diri yang mengaku-ngaku telah mengandung pewaris keluarga Sanjaya. Riani berdecih, menyesal telah memerintahkan bawahannya melempar batu ke salah satu jendela rumah itu. Hanya batu.“Kenapa aku nggak lempar bom saja sekalian? Toh kalaupun mereka hancur, bukan urusanku. Hanya kena batu, ternyata malah bikin aku sendiri repot. Sial!”Sedan hit
**(Mengandung konten 21+)“Inara? Baby, I’m home ….”Gavin membuka pintu rumah yang baru beberapa minggu ia tempati bersama keluarga kecilnya. Sepasang obsidian gelap miliknya menyorot, mengitari seluruh ruangan guna mencari keberadaan sang istri tercinta yang tidak kelihatan di manapun.“Inara? Kamu di mana?”Pria itu mengayun langkah menuju ruang tengah, sampai di taman belakang yang berbatasan dengan kolam renang, ia melihat perempuan ayu itu sedang bercengkerama dengan putrinya serta dua orang bocah perempuan yang entah siapa.“Inara?” Gavin melongokkan kepala di ambang pintu kaca.“Ah, Papa, sudah pulang?” Perempuan itu menoleh. Mengulas senyum favorit Gavin yang secara ajaib bisa meredakan lelah dalam waktu sedetik.“Ada siapa itu?”Melihat dahi prianya berkerut, Inara segera berdiri. Meninggalkan tiga bocah perempuan yang sedang asyik berkutat dengan buku bergambar dan pena.“Ada teman-temannya Aylin, Sayang. Sebentar, aku panggil Sara biar temani mereka, ya. Agak ngeri kalau