**Inara terpukau. Ia tidak bisa bergerak saat Eliza bergerak maju dan memeluknya dengan sangat lembut. Masih tidak bisa bergerak kala wanita itu menyentuh kedua pipinya dengan isak tangis tersendat-sendat.Tidak bisa dipungkiri, kedua netra basah Eliza menyiratkan kerinduan yang mendalam kepada entah siapa yang wanita itu lihat dalam diri Inara sekarang.“Mom, jangan menangis.” Inara mengulas senyum kecil. “Walaupun saya tidak terbukti memiliki DNA yang identik dengan keluarga Bagaskara, saya nggak keberatan kalaupun Mom menganggap saya anak dan Aylin cucu. Saya justru sangat merasa terhormat.”“Oh, Inara ….” Wanita berparas menawan itu terisak kian keras setelahnya. “Tanpa tes pun kamu adalah putri kami. Maafkan Mom, Mom hanya ingin kepastian saja.”Inara menepuk-nepuk lengan perempuan itu, sementara membiarkan Eliza menuntaskan isak tangisnya. Perlahan bertukar pandang dengan sang suami, dan Inara senang saat melihat Gavin melayangkan senyum tulus kepadanya.Kemudian, prosedur tes
**Arsa menyerahkan kertas surat pemberitahuan dari rumah sakit itu kepada sang istri. Kedua netranya diselimuti kabut, memendam hujan yang sudah siap tumpah. Sementara Eliza yang tadinya menolak membaca secara langsung, mau tak mau jadi mengambil surat itu dari tangan Arsa setelah melihat ekspresi suaminya.Dan Inara sendiri sudah tahu bagaimana hasil tes itu bahkan sebelum pasangan suami istri Bagaskara memberi tahu. Ya, mana mungkin kan dirinya adalah putri dari keluarga aristokrat seperti keluarga Bagaskara. Ibu Yanti selalu menyampaikan hal yang sama setiap kali Inara menanyakan bagaimana kisahnya hingga ia berakhir hidup di panti asuhan. Seorang perempuan muda menyerahkan dirinya pada suatu hari, berkata tidak sanggup membesarkannya karena pria yang membuatnya melahirkan seorang putri tidak sudi bertanggung jawab. Inara sudah berdamai dengan kenyataan itu, dan sama sekali tidak pernah berharap ada kisah lain di belakang semua ini.Namun, selepas membaca baris-baris kalimat dalam
**Inara tidak tahu harus mengambil sikap yang bagaimana untuk menghadapi Aldo. Jujur saja, dari awal ia sudah agak segan kepada pria itu. Hanya karena Aldo adalah sahabat dekat Gavin, ia berani mendekat sedikit lebih intens. Sekarang ketika berhadapan dengan kenyataan besar bahwa ia memiliki hubungan darah dengan pria ini, sejujurnya Inara masih belum bisa menghilangkan rasa segannya. Jika ditambah lagi dengan pengakuan Aldo tentang bagaimana perasaannya, Inara benar-benar tidak tahu bagaimana harus bersikap.“Jangan pikirkan aku.” Pria itu tersenyum sembari menggusak lembut surai Inara. “Aku akan baik-baik saja. Aku bisa mengatasi ini. Justru seharusnya aku yang harus minta maaf kepadamu. Karena jika kita telusuri lagi dari awal, aku adalah satu-satunya yang bertanggung jawab, yang membuatmu terpaksa bertemu dengan Gavin malam itu.”Inara menelan saliva. Ingatan itu kini sudah tidak begitu terasa menyakitkan, sebab Gavin menebus semuanya dengan begitu banyak cinta. Namun tetap saja,
**“Rumahnya kosong, katamu?” Riani Sanjaya mengerutkan dahi. Memandang pintu tertutup di kejauhan dari balik sunglasses yang ia sedang kenakan.“Benar, Nyonya besar. Hanya ada sekuriti di gerbang yang menjaga. Dia bilang Tuan Muda sudah meninggalkan rumah sejak beberapa minggu yang lalu.”“Sial!” Riani mengumpat pelan. “Gavin tetap datang ke kantor seperti biasa, tapi dia sudah nggak ada di sini lagi? Kemana dia membawa perempuan itu pergi?”Wanita cantik itu terdiam dengan pandangan setajam mata elang yang masih mengarah kepada gerbang rumah putranya yang kini tertutup rapat. Rumah yang dibelikan Gavin diam-diam untuk perempuan miskin tidak tahu diri yang mengaku-ngaku telah mengandung pewaris keluarga Sanjaya. Riani berdecih, menyesal telah memerintahkan bawahannya melempar batu ke salah satu jendela rumah itu. Hanya batu.“Kenapa aku nggak lempar bom saja sekalian? Toh kalaupun mereka hancur, bukan urusanku. Hanya kena batu, ternyata malah bikin aku sendiri repot. Sial!”Sedan hit
**(Mengandung konten 21+)“Inara? Baby, I’m home ….”Gavin membuka pintu rumah yang baru beberapa minggu ia tempati bersama keluarga kecilnya. Sepasang obsidian gelap miliknya menyorot, mengitari seluruh ruangan guna mencari keberadaan sang istri tercinta yang tidak kelihatan di manapun.“Inara? Kamu di mana?”Pria itu mengayun langkah menuju ruang tengah, sampai di taman belakang yang berbatasan dengan kolam renang, ia melihat perempuan ayu itu sedang bercengkerama dengan putrinya serta dua orang bocah perempuan yang entah siapa.“Inara?” Gavin melongokkan kepala di ambang pintu kaca.“Ah, Papa, sudah pulang?” Perempuan itu menoleh. Mengulas senyum favorit Gavin yang secara ajaib bisa meredakan lelah dalam waktu sedetik.“Ada siapa itu?”Melihat dahi prianya berkerut, Inara segera berdiri. Meninggalkan tiga bocah perempuan yang sedang asyik berkutat dengan buku bergambar dan pena.“Ada teman-temannya Aylin, Sayang. Sebentar, aku panggil Sara biar temani mereka, ya. Agak ngeri kalau
**Kendati Gavin Devano Sanjaya menginginkan Aylin menghabiskan sebanyak mungkin waktu di dalam rumah, namun ia tidak bisa menampik bahwa putri kecilnya itu memiliki jiwa sosial yang tinggi –seperti yang dikatakan Inara. Maka, mengesampingkan kekhawatirannya yang mungkin terlalu besar, akhirnya Gavin mengalah dan mengizinkan Aylin bersekolah di sekolah umum. Putri kecil Sanjaya yang jelita itu senang tak kepalang, dan hari ini sudah melewati minggu ketiganya di taman kanak-kanak.Ketika sarapan bersama sang papa, Aylin sibuk mengantongi apel yang berada di atas meja.“Untuk apa itu?” tanya Gavin, tidak bisa menahan senyum melihat buah hati kesayangannya.“Ini?” Aylin menoleh dengan kedua manik lentik yang membulat. “Aylin bawa apel buat Noel dan Aby, Papa.”“Siapa itu Noel dan Aby?”“Ah, kok Papa nggak tahu?” Bibir mungilnya mencebik lucu. “Besties Aylin, dong.”Pria itu nyaris tersedak americano yang sedang ia teguk. Tertawa lepas mendengar kata-kata si putri. “Kamu baru mau enam tah
**Ketika dalam tempo lima belas menit Rendra sama sekali tidak bisa melacak mobil yang membawa pergi Aylin, pria itu terpaksa memberitahukan keadaannya kepada Tuan Mudanya. Biarlah ia babak belur atau bagaimana nanti, yang jelas Gavin harus tahu hal ini dulu.Pria itu membawa Audi-nya menjauh dari pelataran sekolah, menuju kantor SR dengan kecepatan tinggi. Berkejaran dengan waktu sebelum nona kecilnya dibawa pergi terlalu jauh. Tepat pada saat Gavin sedang mengantar beberapa tamunya keluar ruangan, setelah kunjungan bisnis, Rendra sampai dengan napas agak memburu.“Kenapa denganmu?” tanya Gavin sepeninggal tamu-tamunya, Memandang heran wajah Rendra yang pias dan tegang.“Seseorang menjemput Nona Kecil lima menit sebelum saya datang.” Rendra tetap menjawab dengan tegas dan tenang, ciri khas dirinya. Meskipun sebenarnya jantungnya sudah seperti akan lepas dari tempatnya bertengger.Gavin seketika mematung mendengar itu. Ia menatap asistennya tanpa berkedip. “Jelaskan apa maksudmu samp
**Entah dua atau tiga jam kemudian.“Ini di mana, Om?”Aylin mengerjapkan mata saat mobil yang ditumpanginya masuk ke sebuah tempat yang gelap. Gadis cilik itu menengok ke sana kemari, memindai pemandangan sekitar yang seratus persen asing. Jujur saja hati kecilnya dicengkeram ketakutan. Namun putri cilik yang jelita itu hanya akan menangis jika melihat ibunya terluka. Selain dari itu, Aylin masih bisa menahan diri. Ia adalah putri Gavin Devano Sanjaya, keberanian yang mengalir dalam darahnya, ia warisi dari sang ayah.“Om, jadi beneran Om ini penculik, ya?”“Diam!”Seketika bungkam, namun masih tetap tidak menunjukkan gelagat ketakutan yang sangat kentara. Aylin justru kembali duduk tenang, bersandar dan menyenandungkan twinkle-twinkle little star sembari memainkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Menghidupkan flashlight warna-warni, membuat pria di depannya kian frustasi.“Sial, di mana orang itu?” Mengumpat pelan, Aylin menyipitkan mata dan memperhatikan si pria