**Entah dua atau tiga jam kemudian.“Ini di mana, Om?”Aylin mengerjapkan mata saat mobil yang ditumpanginya masuk ke sebuah tempat yang gelap. Gadis cilik itu menengok ke sana kemari, memindai pemandangan sekitar yang seratus persen asing. Jujur saja hati kecilnya dicengkeram ketakutan. Namun putri cilik yang jelita itu hanya akan menangis jika melihat ibunya terluka. Selain dari itu, Aylin masih bisa menahan diri. Ia adalah putri Gavin Devano Sanjaya, keberanian yang mengalir dalam darahnya, ia warisi dari sang ayah.“Om, jadi beneran Om ini penculik, ya?”“Diam!”Seketika bungkam, namun masih tetap tidak menunjukkan gelagat ketakutan yang sangat kentara. Aylin justru kembali duduk tenang, bersandar dan menyenandungkan twinkle-twinkle little star sembari memainkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Menghidupkan flashlight warna-warni, membuat pria di depannya kian frustasi.“Sial, di mana orang itu?” Mengumpat pelan, Aylin menyipitkan mata dan memperhatikan si pria
**Gavin masih memeluk pundak Inara. Mengusapnya lembut sementara perempuan itu berusaha menghapus sisa-sisa air mata. Kedua netranya bengkak dan sembab, menandakan berapa lama ia menangis. Kendati demikian, tangis itu sama sekali tidak bisa ia hentikan.Tidak tega rasa hati Gavin melihat wanita kesayangannya seperti ini. Perempuan itu terus menolak saat diajak pulang dan bersikeras menunggu kabar apapun tentang putri mereka di pos polisi perbatasan kota hingga berjam-jam waktu berlalu.“Tuan Sanjaya?”Gavin menoleh dan mendapati seorang petugas kepolisian yang tampaknya adalah komandan atau semacam itu, memanggil namanya sementara berjalan mendekat.“Public service kantor resort melaporkan bahwa putri anda menelepon ke sana beberapa menit yang lalu.”Hati Gavin dan Inara seperti mencelos mendengar itu. Keduanya serentak berdiri dari kursi, menyambut si komandan.“Aylin?” tegas Gavin separuh tak percaya. “Menelepon? Bagaimana maksud anda?”“Petugas mengatakan Nona Aylin menelepon meng
**“Dia ketakutan, bodoh! Bisa pelan sedikit tidak sih, kau itu?”“Menurutmu gimana caranya dobrak pintu mobil dengan pelan? Siapa yang bodoh, ha?”Dua pria berpakaian hitam-hitam itu masih sempat berdebat di depan kaca samping kemudi yang sudah hancur berantakan. Salah satunya lantas merogohkan tangan dengan hati-hati untuk menekan kunci dan membuka pintunya.Terbuka, sudah. Aylin tersedu sedan ketakutan, merapatkan tubuh mungilnya ke ujung kursi belakang sementara menatap horor kepada dua entitas yang kini juga membuka pintu di depannya.“Nona, anda bisa mati kalau berada di dalam mobil dalam keadaan terkunci seperti tadi,” gerutu yang seorang. “Siapa sih yang punya ide bodoh macam begitu? Nona, ke mana orang yang bawa mobil ini?”Kini Aylin bisa melihat wajah keduanya yang sangar dan tampak bengis. Menatapnya masam seakan Aylin beban kecil yang tidak bisa mereka tinggalkan.“Ke mana orang itu, hah?”“A-Aylin nggak tahu ….”“Hah, sial! Ikut kami, Nona kecil!”“Ma-mama ….” Bibir mung
**Para petugas sigap menyisir lokasi untuk mencari petunjuk dan barang bukti, sementara gavin yang masih tampak sangat terpukul berusaha menenangkan Inara. Kalut dan tidak bisa berpikir jernih lagi, pria itu memilih membiarkan para petugas saja yang bekerja dan membawa istrinya menyingkir.“Ponselnya ada di bawah kursi!” Seseorang berseru, menunjuk benda pipih hitam yang terselip di bawah pintu.“Seperti tidak sengaja terjatuh. Mereka membawa Nona Kecil berlari kabur atau bagaimana?”Kata-kata itu bagaikan belati yang kembali menusuk hati Inara dan Gavin. Membawa Aylin berlari kabur? Betapa sulit tidak membayangkan hal-hal buruk jika para petugas itu berujar demikian.“Tuan Sanjaya, anda dan Nyonya sebaiknya menunggu di dalam mobil saja sementara kami memeriksa ponselnya. Kemungkinan besar petunjuk akan segera kami dapatkan karena barang bukti sudah kami dapatkan,” tutur komandan yang tadi. Pria itu memandang penuh simpati kepada pasangan suami istri yang sedang berduka.Gavin hanya
**Joseph Sanjaya terbelalak penuh. Ia menatap penuh rasa marah dan kecewa kepada sang istri yang duduk bersilang kaki tanpa sedikitpun merasa bersalah.Selama sesaat pria itu tampak tidak bisa mengatakan apapun dan hanya berdiri terpaku. Hingga akhirnya ia kembali menunjuk sang istri dan mendesis menahan emosi.“Katakan padaku, apa yang kamu lakukan kepada Aylin!”“Ah, aku hanya mau kasih Gavin pelajaran sedikit biar dia nggak kurang ajar. Anak itu nggak aku apa-apakan, tenang saja. Aku hanya menyuruh orang-orangku membawanya pergi.”“Dan meninggalkannya di tengah hutan katamu tadi?” Joseph masih berujar sementara melotot murka. “Riani, demi Tuhan, Aylin itu cucumu!”“Bukan,” tukas Riani dengan dingin. “Sama sekali bukan. Aku sudah bilang nggak akan mengakui siapapun yang keluar dari rahim perempuan itu.”“Terserah! Sekarang katakan padaku di mana Aylin! Katakan!”Riani mengernyit melihat suaminya sampai semurka itu hanya karena seorang bocah kecil. “Carilah sana sendiri, Joseph. Kam
**Tubuh kecil Aylin rasanya seperti diguncang sebab terlalu gemetar saat tampak olehnya dua titik cahaya yang menyala dalam kegelapan. Bayangan hitam keluar dari gundukan semak belukar, menimbulkan suara kemeresak keras yang menciutkan nyali.Sungguh, gadis kecil itu rasa separuh kesadarannya sudah hampir melayang karena sergapan ketakutan hebat. Ini adalah mimpi buruk paling buruk yang pernah bocah enam tahun itu alami. Dan sayangnya, ini bukanlah mimpi.“Ma-Mama ….” Suaranya serak memanggil. Ia merangkak mundur dengan kedua tangan, menjauhi entitas misterius dengan sepasang mata menyala yang diam beberapa meter di depannya. Aylin tidak bisa memutuskan apakah itu adalah manusia yang sama seperti dirinya, ataukah seekor binatang, atau bahkan hantu?“Mama, Aylin takut. Mama, Aylin takut hantu ….” Bisikan pelan seiring tangis tanpa suara keluar dari bibir gadis cilik itu. Kedua manik gelapnya yang bersimbah air mata justru melebar dan tanpa bisa ia cegah menatap lekat kepada dua titik
**Rendra pikir, dirinya terkena serangan jantung. Benar, sebab selama –entah berapa lama– ia merasa napasnya tercekat di tenggorokan dengan kedua bola mata melebar ngeri serta tubuh yang stuck –sama sekali tidak bisa ia gerakkan.Namun kemudian kala sepasang obsidian mungil itu mengerjap silau sebab tersorot lampu mobil, Rendra seperti mendapatkan kembali rohnya yang tadi sempat terbang sejenak.“Nona Kecil!” Pria itu berteriak demikian kerasnya hingga mungkin beberapa hewan malam terkejut. “Nona Kecil! Demi Tuhan, apa yang– Ya Tuhan, menjauh dari makhluk itu, Nona!”Rendra sampai linglung sebab tidak bisa mempercayai penglihatannya. Sekarang Aylin terlihat memeluk anak harimau itu seakan-akan hewan buas tersebut –okay, mungkin memang belum buas– adalah sebuah boneka yang tidak bernyawa.“Om Rendra?” Suara Aylin yang mencicit pelan terdengar sarat kelegaan ketika gadis cilik itu melihat siapa yang keluar dari dalam mobil. Ia bangkit dan melangkah terhuyung-huyung. Sebelum sampai kepa
**“Rendra apa-apaan, kau? Apa yang kau bawa di dalam mobilku, bangsat!”Seperti yang sudah Rendra perkirakan sebelumnya, Gavin sudah pasti murka dengan apa yang ia lihat. Dan sementara pria itu berteriak-teriak marah, Inara dan dua yang lain tampak melotot kaget serta serentak bergerak mundur menjauhi si Audi, seakan mobil itu bisa meledak kapan saja.“Rendra! Keluarkan makhluk itu, kau keparat! Apa kau mau membunuh putriku, ha!”“Papa, Papa jangan marah-marah sama Om Rendra. Dia itu temannya Aylin. Teman Aylin, Papa ….”Gavin masih sangat terkesima kala putri kecilnya itu membuka pintu belakang si Audi A8, lantas mengulurkan tangan dan membelai-belai kepala si bayi harimau.“Aylin yang minta Om Rendra bawa dia. Papa nggak boleh marah sama Om Rendra.”“Ya Tuhan putriku ….” Inara menekan dadanya, entah akan bisa menerima atau tidak kejutan apa lagi yang dibawa pulang putrinya hari ini. Perempuan itu kembali maju selangkah setelah tadi mundur karena shock. Berujar lembut, “Aylin, Sayan