**Para petugas sigap menyisir lokasi untuk mencari petunjuk dan barang bukti, sementara gavin yang masih tampak sangat terpukul berusaha menenangkan Inara. Kalut dan tidak bisa berpikir jernih lagi, pria itu memilih membiarkan para petugas saja yang bekerja dan membawa istrinya menyingkir.“Ponselnya ada di bawah kursi!” Seseorang berseru, menunjuk benda pipih hitam yang terselip di bawah pintu.“Seperti tidak sengaja terjatuh. Mereka membawa Nona Kecil berlari kabur atau bagaimana?”Kata-kata itu bagaikan belati yang kembali menusuk hati Inara dan Gavin. Membawa Aylin berlari kabur? Betapa sulit tidak membayangkan hal-hal buruk jika para petugas itu berujar demikian.“Tuan Sanjaya, anda dan Nyonya sebaiknya menunggu di dalam mobil saja sementara kami memeriksa ponselnya. Kemungkinan besar petunjuk akan segera kami dapatkan karena barang bukti sudah kami dapatkan,” tutur komandan yang tadi. Pria itu memandang penuh simpati kepada pasangan suami istri yang sedang berduka.Gavin hanya
**Joseph Sanjaya terbelalak penuh. Ia menatap penuh rasa marah dan kecewa kepada sang istri yang duduk bersilang kaki tanpa sedikitpun merasa bersalah.Selama sesaat pria itu tampak tidak bisa mengatakan apapun dan hanya berdiri terpaku. Hingga akhirnya ia kembali menunjuk sang istri dan mendesis menahan emosi.“Katakan padaku, apa yang kamu lakukan kepada Aylin!”“Ah, aku hanya mau kasih Gavin pelajaran sedikit biar dia nggak kurang ajar. Anak itu nggak aku apa-apakan, tenang saja. Aku hanya menyuruh orang-orangku membawanya pergi.”“Dan meninggalkannya di tengah hutan katamu tadi?” Joseph masih berujar sementara melotot murka. “Riani, demi Tuhan, Aylin itu cucumu!”“Bukan,” tukas Riani dengan dingin. “Sama sekali bukan. Aku sudah bilang nggak akan mengakui siapapun yang keluar dari rahim perempuan itu.”“Terserah! Sekarang katakan padaku di mana Aylin! Katakan!”Riani mengernyit melihat suaminya sampai semurka itu hanya karena seorang bocah kecil. “Carilah sana sendiri, Joseph. Kam
**Tubuh kecil Aylin rasanya seperti diguncang sebab terlalu gemetar saat tampak olehnya dua titik cahaya yang menyala dalam kegelapan. Bayangan hitam keluar dari gundukan semak belukar, menimbulkan suara kemeresak keras yang menciutkan nyali.Sungguh, gadis kecil itu rasa separuh kesadarannya sudah hampir melayang karena sergapan ketakutan hebat. Ini adalah mimpi buruk paling buruk yang pernah bocah enam tahun itu alami. Dan sayangnya, ini bukanlah mimpi.“Ma-Mama ….” Suaranya serak memanggil. Ia merangkak mundur dengan kedua tangan, menjauhi entitas misterius dengan sepasang mata menyala yang diam beberapa meter di depannya. Aylin tidak bisa memutuskan apakah itu adalah manusia yang sama seperti dirinya, ataukah seekor binatang, atau bahkan hantu?“Mama, Aylin takut. Mama, Aylin takut hantu ….” Bisikan pelan seiring tangis tanpa suara keluar dari bibir gadis cilik itu. Kedua manik gelapnya yang bersimbah air mata justru melebar dan tanpa bisa ia cegah menatap lekat kepada dua titik
**Rendra pikir, dirinya terkena serangan jantung. Benar, sebab selama –entah berapa lama– ia merasa napasnya tercekat di tenggorokan dengan kedua bola mata melebar ngeri serta tubuh yang stuck –sama sekali tidak bisa ia gerakkan.Namun kemudian kala sepasang obsidian mungil itu mengerjap silau sebab tersorot lampu mobil, Rendra seperti mendapatkan kembali rohnya yang tadi sempat terbang sejenak.“Nona Kecil!” Pria itu berteriak demikian kerasnya hingga mungkin beberapa hewan malam terkejut. “Nona Kecil! Demi Tuhan, apa yang– Ya Tuhan, menjauh dari makhluk itu, Nona!”Rendra sampai linglung sebab tidak bisa mempercayai penglihatannya. Sekarang Aylin terlihat memeluk anak harimau itu seakan-akan hewan buas tersebut –okay, mungkin memang belum buas– adalah sebuah boneka yang tidak bernyawa.“Om Rendra?” Suara Aylin yang mencicit pelan terdengar sarat kelegaan ketika gadis cilik itu melihat siapa yang keluar dari dalam mobil. Ia bangkit dan melangkah terhuyung-huyung. Sebelum sampai kepa
**“Rendra apa-apaan, kau? Apa yang kau bawa di dalam mobilku, bangsat!”Seperti yang sudah Rendra perkirakan sebelumnya, Gavin sudah pasti murka dengan apa yang ia lihat. Dan sementara pria itu berteriak-teriak marah, Inara dan dua yang lain tampak melotot kaget serta serentak bergerak mundur menjauhi si Audi, seakan mobil itu bisa meledak kapan saja.“Rendra! Keluarkan makhluk itu, kau keparat! Apa kau mau membunuh putriku, ha!”“Papa, Papa jangan marah-marah sama Om Rendra. Dia itu temannya Aylin. Teman Aylin, Papa ….”Gavin masih sangat terkesima kala putri kecilnya itu membuka pintu belakang si Audi A8, lantas mengulurkan tangan dan membelai-belai kepala si bayi harimau.“Aylin yang minta Om Rendra bawa dia. Papa nggak boleh marah sama Om Rendra.”“Ya Tuhan putriku ….” Inara menekan dadanya, entah akan bisa menerima atau tidak kejutan apa lagi yang dibawa pulang putrinya hari ini. Perempuan itu kembali maju selangkah setelah tadi mundur karena shock. Berujar lembut, “Aylin, Sayan
**“Tolol memang! Walau ekspektasiku nggak tinggi sama dua bedebah itu, tapi ini tetap tolol tidak tertolong! Bagaimana kalian mempertanggungjawabkan ini, ha?!”Riani Sanjaya berteriak-teriak melalui ponselnya, tidak peduli bahwa saat ini adalah tengah malam buta. Pun, tidak peduli kepada para penghuni rumahnya yang sebagian besar adalah para asisten dan pengurus rumah. Hanya ada dirinya dan Jessica Freya sebagai tuan rumahnya. Joseph entah sedang berada di mana saat ini. Riani tidak peduli.“Kau urus sajalah sisanya. Hanya begini saja, masa nggak becus?” Kembali, wanita enam puluh dua tahun yang memiliki paras tampak jauh lebih muda daripada usianya itu berbicara dengan nada penuh amarah kepada seseorang dalam ponselnya. “Aku nggak mau tahu, bereskan semuanya! Seperti biasa, buat pihak kepolisian bungkam. Beritahu aku kalau sudah beres semua, sekarang pergi sana!”Hening sejenak. Jessica yang duduk di atas sofa, di belakang wanita itu, hanya bisa menatap dengan wajah pias. Menyimak s
**Joseph Sanjaya sempat melirik dengan ekor mata kepada Aldo, yang berada di sampingnya. Dua laki-laki berbeda generasi itu tampak sama-sama menyembunyikan raut gelisah masing-masing. Kekhawatiran yang sama, jika sampai Gavin mendengar percakapan yang barusan. Namun ternyata, putra tunggal Sanjaya itu hanya menunjuk gelas wine yang masih Joseph genggam.“Matahari baru aja terbit dan lo udah ngajakin bokap gue minum-minum, Al?”Tanpa sadar, Aldo menghembuskan napas lega. “Ya kenapa, sih? Emang minum harus pakai jam, kah?”“Kalo buat lo, gue nggak peduli, jir. Tapi ini bokap gue. Orang tua, Al!”“Vin, Papi okay,” sela Joseph akhirnya. Pria paruh baya itu tersenyum samar sebab kekhawatirannya ternyata tidak terjadi. “Papi yang minta sama Aldo, kok. Soalnya semalam kita berdua nggak sempat tidur, iya kan, Al? Jadi we need some booster buat bantu istirahat.”“Lagian ngapain sih nggak langsung istirahat aja, tadi?”“Papi mau pastikan keadaan Aylin. Takut dia kenapa-kenapa. Dia pasti trauma
**Jessica berlari melintasi koridor-koridor ruangan kantor dengan tangan tetap menutupi mulut. Hingga di belokan, ia menabrak sesuatu yang terasa keras. Mengeluh dan mundur selangkah, ia mengangkat wajah, hanya demi menemukan seorang Revaldo Bagaskara yang juga sedang memandang dengan shock.“Jessica?” ucap pria itu, refleks saja. Kedua alisnya tampak berkerut menatap gadis di hadapannya yang keadaannya jauh dari kata baik.“Kenapa kamu, Jes?”“Bukan urusanmu!”“Hm?” Aldo kemudian hanya menampakkan raut penuh tanya saat Jessica kembali berlari menghindar. “Perempuan aneh.”Pria itu kemudian melanjutkan langkah menuju ruangan adik iparnya, tanpa lagi ambil pusing dengan apa yang baru saja ia temui. Sampai di sana, disambut dengan pandangan tajam Gavin seketika saat ia membuka pintu.“Apa-apaan lo ngeliatin gue begitu?” protesnya tak terima. “Gue baru masuk, bahkan belum sempet ngomong apa-apa. Lo udah ngeliatin gue kek gue tukang cari masalah aja.”“Gue kira lo Jessica lagi,” tukas Ga