**Joseph Sanjaya sempat melirik dengan ekor mata kepada Aldo, yang berada di sampingnya. Dua laki-laki berbeda generasi itu tampak sama-sama menyembunyikan raut gelisah masing-masing. Kekhawatiran yang sama, jika sampai Gavin mendengar percakapan yang barusan. Namun ternyata, putra tunggal Sanjaya itu hanya menunjuk gelas wine yang masih Joseph genggam.“Matahari baru aja terbit dan lo udah ngajakin bokap gue minum-minum, Al?”Tanpa sadar, Aldo menghembuskan napas lega. “Ya kenapa, sih? Emang minum harus pakai jam, kah?”“Kalo buat lo, gue nggak peduli, jir. Tapi ini bokap gue. Orang tua, Al!”“Vin, Papi okay,” sela Joseph akhirnya. Pria paruh baya itu tersenyum samar sebab kekhawatirannya ternyata tidak terjadi. “Papi yang minta sama Aldo, kok. Soalnya semalam kita berdua nggak sempat tidur, iya kan, Al? Jadi we need some booster buat bantu istirahat.”“Lagian ngapain sih nggak langsung istirahat aja, tadi?”“Papi mau pastikan keadaan Aylin. Takut dia kenapa-kenapa. Dia pasti trauma
**Jessica berlari melintasi koridor-koridor ruangan kantor dengan tangan tetap menutupi mulut. Hingga di belokan, ia menabrak sesuatu yang terasa keras. Mengeluh dan mundur selangkah, ia mengangkat wajah, hanya demi menemukan seorang Revaldo Bagaskara yang juga sedang memandang dengan shock.“Jessica?” ucap pria itu, refleks saja. Kedua alisnya tampak berkerut menatap gadis di hadapannya yang keadaannya jauh dari kata baik.“Kenapa kamu, Jes?”“Bukan urusanmu!”“Hm?” Aldo kemudian hanya menampakkan raut penuh tanya saat Jessica kembali berlari menghindar. “Perempuan aneh.”Pria itu kemudian melanjutkan langkah menuju ruangan adik iparnya, tanpa lagi ambil pusing dengan apa yang baru saja ia temui. Sampai di sana, disambut dengan pandangan tajam Gavin seketika saat ia membuka pintu.“Apa-apaan lo ngeliatin gue begitu?” protesnya tak terima. “Gue baru masuk, bahkan belum sempet ngomong apa-apa. Lo udah ngeliatin gue kek gue tukang cari masalah aja.”“Gue kira lo Jessica lagi,” tukas Ga
**Jessica menginjak pedal gas mobilnya dengan kecepatan agak tinggi. Mengarahkan laju kendaraannya menuju kediaman Riani Sanjaya dalam keadaan kalut dan masih berurai air mata. Sesekali perempuan itu harus menyeka kedua netra sebab pandangannya terhalangi oleh kabut akibat tangis teredam.“Mami, i’m give up,” tuturnya kemudian saat telah sampai di hadapan Riani yang sedang duduk santai di hadapan laptop di teras samping rumah. Wanita itu sedang antusias memantau grafik saham, omong-omong.“Apa maksudmu?” tanya Riani sambil lalu. Ia masih belum benar-benar menyimak apa yang gadis itu katakan.“Mami, aku rasanya nggak bisa lagi melanjutkan ini. Aku mau pergi menyusul orang tuaku saja. Aku nggak mau di sini dan menunggu Gavin lagi. Ini terlalu menyakitkan.”Barulah Riani Sanjaya mengalihkan atensi dari layar laptopnya setelah ia mendengar penuturan panjang Jessica. Wanita itu memutar tubuh, menghadap yang lebih muda, membelalakkan mata dengan raut tidak setuju.“Aku tanya, apa maksudmu,
**“Rendra, katakan!” Gavin berkata dengan kemarahan teredam. Kedua alis tebal itu bertaut seiring air wajah merah padam sebab menahan emosi. “Apakah ibuku sendiri yang melakukan ini?”Dan Rendra hanya bisa menelan saliva menghadapi kemarahan Tuan Mudanya. Pria itu lebih tua daripada Gavin, namun ia akui Gavin memiliki aura dominan yang bisa membuat nyali lawan bicaranya menciut. Hanya kepada Inara saja segala sikap sedingin es itu bisa sepenuhnya luruh.Rendra memilih melanjutkan menyampaikan informasi ini hingga tuntas.“Menurut pengakuan ketiga tersangka, semuanya begitu. Namun seperti yang anda ketahui, aparat negeri kita ini akan tunduk di bawah kuasa harta. Mereka tentu saja memilih menyimpan rapat-rapat fakta ini dari publik sebab telah ada yang mengatur. Semua media yang berkumpul dalam konferensi pers kemarin, mendapatkan informasi bahwa Nona Kecil diculik karena para tersangka mengincar tebusan.”“Demi Tuhan ….” Gavin memijat pangkal hidungnya. Kedua matanya mendadak lelah d
**Gavin keluar dari kediaman orang tuanya dengan perasan hampa luar biasa. Rendra yang mengikuti dari belakang tidak berani mengatakan apapun hingga pria itu masuk ke dalam Audi miliknya. Di dalam sana, Gavin menghela napas panjang. Sementara memejamkan mata, ia berujar kepada sang asisten pribadi.“Pulang saja ke rumah, Ren. Aku mau ketemu istriku.”“Baik, Tuan Muda.”Namun belum lagi Rendra menyalakan mesin mobil, suara dering ponsel Gavin mengalihkan perhatian. Si empunya ponsel menengok malas-malasan sebelum menemukan nama ayahnya tertera di layar.“Ya, Pap?” Gavin menjawab teleponnya segera.“Kamu baru datang, Vin? Papi lihat mobilmu dari lantai tiga.”Gavin menahan Rendra agar tidak dulu tancap gas dari sana. Ia kembali keluar dari mobil dan mendongak, menoleh ke beranda lantai tiga. Sosok Joseph Sanjaya sedang melambaikan tangan dari sana.“Tapi aku lagi males naik lagi ke sana, Pap.” Gavin melanjutkan percakapan ponselnya. “Aku udah mau balik. Tadi ketemu Mami saja, sebentar.
**Inara duduk termangu sembari memandangi putrinya yang sedang bermain-main dengan kucing besar kesayangannya. Anak harimau yang gadis cilik itu temukan di jalanan tengah hutan beberapa saat yang lalu itu, kini sudah menjadi peliharaan yang manis dan penurut. Aylin memperlakukannya seakan binatang buas itu adalah adiknya sendiri. Ia menamainya Kimmy dan mengajaknya bermain sepanjang hari.Meski hal itu membuat teman-teman baik si bocah jadi jarang bermain ke rumah, sebab takut dengan keberadaan Kimmy yang memang sudah sepantasnya ditakuti.Inara masih memandang lekat putrinya. Teringat pengakuan Gavin bahwa perencana di balik penculikan Aylin adalah Riani Sanjaya, sang Mami, mertuanya sendiri.“Kita memang berdosa sudah hadir di tengah kehidupan Papa ya, Nak?” Perempuan itu berujar dengan sendu. “Meski harus Mama akui, kalau Papa nggak datang dan jemput kita, kehidupan kita nggak akan pernah sebaik sekarang ini.”Senyum itu merekah saat Inara teringat betapa berat perjuangannya mengh
**“Riani ….”Wanita berparas memukau itu menoleh saat namanya disebut lirih. Ia tidak tampak terkejut saat melihat siapa yang tengah datang dalam langkah pelan. Justru melanjutkan kegiatannya menggulir layar iPad.Joseph menghela napas lirih. Lelah sesungguhnya menghadapi sikap dingin dari perempuan ini. Sudah dan selalu seperti ini sejak kurang lebih tiga puluh delapan tahun Joseph melabuhkan rasa kepadanya.“Kenapa?” Perempuan itu bertanya singkat. “Ada perlu apa denganku?”“Apakah harus ada perlu sesuatu untuk aku duduk disampingmu?”“Aku nggak punya banyak waktu untuk berbasa-basi. Banyak yang harus aku kerjakan.”Joseph lagi-lagi hanya menghela napas mendapati sikap tidak ramah itu. Ia pandang lekat wanita yang telah memberinya satu putra.Joseph mencintai Riani.Namun Riani tidak pernah mencintainya.Lebih dari empat puluh tahun yang lalu, Joseph Sanjaya adalah manager operasional yang paling bisa diandalkan oleh Catur Handika, ayah Riani. Kala itu SR masih bernama Miracle. Seb
**Aldo memarkirkan SUV-nya di pelataran kafe yang sepi. Ia menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan, kemudian mengecek ponselnya sekali lagi.“Ini anak mimpi apa jam segini ngajakin ngafe. Udah berasa banyak duit apa gimana, dia?” gerutu pria itu sembari turun dari mobil.Untuk sesaat, visual Aldo yang luar biasa terasa bagai angin sejuk yang menerpa beberapa pegawai kafe perempuan. Wajah latin yang memukau, dengan postur tubuh nyaris sempurna –Aldo memiliki tinggi badan sekitar 190 sentimeter, omong-omong– dipadu outfit premium serta kendaraan memadai.Sayang sekali pria tiga puluh delapan tahun itu hanya gemar melakukan one night stand dengan gadis-gadis seksi penghuni bar elit di kota itu, sehingga sampai usia demikian, ia belum memiliki pandangan untuk berumah tangga.Pernikahan itu merepotkan, begitu kata Aldo. Hatinya sempat limbung dan nyaris jatuh kepada pesona lembut Inara, jika saja tidak segera tertampar oleh kenyataan dramatis bahwa Inara adalah Regina, adik k