**“Rumahnya kosong, katamu?” Riani Sanjaya mengerutkan dahi. Memandang pintu tertutup di kejauhan dari balik sunglasses yang ia sedang kenakan.“Benar, Nyonya besar. Hanya ada sekuriti di gerbang yang menjaga. Dia bilang Tuan Muda sudah meninggalkan rumah sejak beberapa minggu yang lalu.”“Sial!” Riani mengumpat pelan. “Gavin tetap datang ke kantor seperti biasa, tapi dia sudah nggak ada di sini lagi? Kemana dia membawa perempuan itu pergi?”Wanita cantik itu terdiam dengan pandangan setajam mata elang yang masih mengarah kepada gerbang rumah putranya yang kini tertutup rapat. Rumah yang dibelikan Gavin diam-diam untuk perempuan miskin tidak tahu diri yang mengaku-ngaku telah mengandung pewaris keluarga Sanjaya. Riani berdecih, menyesal telah memerintahkan bawahannya melempar batu ke salah satu jendela rumah itu. Hanya batu.“Kenapa aku nggak lempar bom saja sekalian? Toh kalaupun mereka hancur, bukan urusanku. Hanya kena batu, ternyata malah bikin aku sendiri repot. Sial!”Sedan hit
**(Mengandung konten 21+)“Inara? Baby, I’m home ….”Gavin membuka pintu rumah yang baru beberapa minggu ia tempati bersama keluarga kecilnya. Sepasang obsidian gelap miliknya menyorot, mengitari seluruh ruangan guna mencari keberadaan sang istri tercinta yang tidak kelihatan di manapun.“Inara? Kamu di mana?”Pria itu mengayun langkah menuju ruang tengah, sampai di taman belakang yang berbatasan dengan kolam renang, ia melihat perempuan ayu itu sedang bercengkerama dengan putrinya serta dua orang bocah perempuan yang entah siapa.“Inara?” Gavin melongokkan kepala di ambang pintu kaca.“Ah, Papa, sudah pulang?” Perempuan itu menoleh. Mengulas senyum favorit Gavin yang secara ajaib bisa meredakan lelah dalam waktu sedetik.“Ada siapa itu?”Melihat dahi prianya berkerut, Inara segera berdiri. Meninggalkan tiga bocah perempuan yang sedang asyik berkutat dengan buku bergambar dan pena.“Ada teman-temannya Aylin, Sayang. Sebentar, aku panggil Sara biar temani mereka, ya. Agak ngeri kalau
**Kendati Gavin Devano Sanjaya menginginkan Aylin menghabiskan sebanyak mungkin waktu di dalam rumah, namun ia tidak bisa menampik bahwa putri kecilnya itu memiliki jiwa sosial yang tinggi –seperti yang dikatakan Inara. Maka, mengesampingkan kekhawatirannya yang mungkin terlalu besar, akhirnya Gavin mengalah dan mengizinkan Aylin bersekolah di sekolah umum. Putri kecil Sanjaya yang jelita itu senang tak kepalang, dan hari ini sudah melewati minggu ketiganya di taman kanak-kanak.Ketika sarapan bersama sang papa, Aylin sibuk mengantongi apel yang berada di atas meja.“Untuk apa itu?” tanya Gavin, tidak bisa menahan senyum melihat buah hati kesayangannya.“Ini?” Aylin menoleh dengan kedua manik lentik yang membulat. “Aylin bawa apel buat Noel dan Aby, Papa.”“Siapa itu Noel dan Aby?”“Ah, kok Papa nggak tahu?” Bibir mungilnya mencebik lucu. “Besties Aylin, dong.”Pria itu nyaris tersedak americano yang sedang ia teguk. Tertawa lepas mendengar kata-kata si putri. “Kamu baru mau enam tah
**Ketika dalam tempo lima belas menit Rendra sama sekali tidak bisa melacak mobil yang membawa pergi Aylin, pria itu terpaksa memberitahukan keadaannya kepada Tuan Mudanya. Biarlah ia babak belur atau bagaimana nanti, yang jelas Gavin harus tahu hal ini dulu.Pria itu membawa Audi-nya menjauh dari pelataran sekolah, menuju kantor SR dengan kecepatan tinggi. Berkejaran dengan waktu sebelum nona kecilnya dibawa pergi terlalu jauh. Tepat pada saat Gavin sedang mengantar beberapa tamunya keluar ruangan, setelah kunjungan bisnis, Rendra sampai dengan napas agak memburu.“Kenapa denganmu?” tanya Gavin sepeninggal tamu-tamunya, Memandang heran wajah Rendra yang pias dan tegang.“Seseorang menjemput Nona Kecil lima menit sebelum saya datang.” Rendra tetap menjawab dengan tegas dan tenang, ciri khas dirinya. Meskipun sebenarnya jantungnya sudah seperti akan lepas dari tempatnya bertengger.Gavin seketika mematung mendengar itu. Ia menatap asistennya tanpa berkedip. “Jelaskan apa maksudmu samp
**Entah dua atau tiga jam kemudian.“Ini di mana, Om?”Aylin mengerjapkan mata saat mobil yang ditumpanginya masuk ke sebuah tempat yang gelap. Gadis cilik itu menengok ke sana kemari, memindai pemandangan sekitar yang seratus persen asing. Jujur saja hati kecilnya dicengkeram ketakutan. Namun putri cilik yang jelita itu hanya akan menangis jika melihat ibunya terluka. Selain dari itu, Aylin masih bisa menahan diri. Ia adalah putri Gavin Devano Sanjaya, keberanian yang mengalir dalam darahnya, ia warisi dari sang ayah.“Om, jadi beneran Om ini penculik, ya?”“Diam!”Seketika bungkam, namun masih tetap tidak menunjukkan gelagat ketakutan yang sangat kentara. Aylin justru kembali duduk tenang, bersandar dan menyenandungkan twinkle-twinkle little star sembari memainkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Menghidupkan flashlight warna-warni, membuat pria di depannya kian frustasi.“Sial, di mana orang itu?” Mengumpat pelan, Aylin menyipitkan mata dan memperhatikan si pria
**Gavin masih memeluk pundak Inara. Mengusapnya lembut sementara perempuan itu berusaha menghapus sisa-sisa air mata. Kedua netranya bengkak dan sembab, menandakan berapa lama ia menangis. Kendati demikian, tangis itu sama sekali tidak bisa ia hentikan.Tidak tega rasa hati Gavin melihat wanita kesayangannya seperti ini. Perempuan itu terus menolak saat diajak pulang dan bersikeras menunggu kabar apapun tentang putri mereka di pos polisi perbatasan kota hingga berjam-jam waktu berlalu.“Tuan Sanjaya?”Gavin menoleh dan mendapati seorang petugas kepolisian yang tampaknya adalah komandan atau semacam itu, memanggil namanya sementara berjalan mendekat.“Public service kantor resort melaporkan bahwa putri anda menelepon ke sana beberapa menit yang lalu.”Hati Gavin dan Inara seperti mencelos mendengar itu. Keduanya serentak berdiri dari kursi, menyambut si komandan.“Aylin?” tegas Gavin separuh tak percaya. “Menelepon? Bagaimana maksud anda?”“Petugas mengatakan Nona Aylin menelepon meng
**“Dia ketakutan, bodoh! Bisa pelan sedikit tidak sih, kau itu?”“Menurutmu gimana caranya dobrak pintu mobil dengan pelan? Siapa yang bodoh, ha?”Dua pria berpakaian hitam-hitam itu masih sempat berdebat di depan kaca samping kemudi yang sudah hancur berantakan. Salah satunya lantas merogohkan tangan dengan hati-hati untuk menekan kunci dan membuka pintunya.Terbuka, sudah. Aylin tersedu sedan ketakutan, merapatkan tubuh mungilnya ke ujung kursi belakang sementara menatap horor kepada dua entitas yang kini juga membuka pintu di depannya.“Nona, anda bisa mati kalau berada di dalam mobil dalam keadaan terkunci seperti tadi,” gerutu yang seorang. “Siapa sih yang punya ide bodoh macam begitu? Nona, ke mana orang yang bawa mobil ini?”Kini Aylin bisa melihat wajah keduanya yang sangar dan tampak bengis. Menatapnya masam seakan Aylin beban kecil yang tidak bisa mereka tinggalkan.“Ke mana orang itu, hah?”“A-Aylin nggak tahu ….”“Hah, sial! Ikut kami, Nona kecil!”“Ma-mama ….” Bibir mung
**Para petugas sigap menyisir lokasi untuk mencari petunjuk dan barang bukti, sementara gavin yang masih tampak sangat terpukul berusaha menenangkan Inara. Kalut dan tidak bisa berpikir jernih lagi, pria itu memilih membiarkan para petugas saja yang bekerja dan membawa istrinya menyingkir.“Ponselnya ada di bawah kursi!” Seseorang berseru, menunjuk benda pipih hitam yang terselip di bawah pintu.“Seperti tidak sengaja terjatuh. Mereka membawa Nona Kecil berlari kabur atau bagaimana?”Kata-kata itu bagaikan belati yang kembali menusuk hati Inara dan Gavin. Membawa Aylin berlari kabur? Betapa sulit tidak membayangkan hal-hal buruk jika para petugas itu berujar demikian.“Tuan Sanjaya, anda dan Nyonya sebaiknya menunggu di dalam mobil saja sementara kami memeriksa ponselnya. Kemungkinan besar petunjuk akan segera kami dapatkan karena barang bukti sudah kami dapatkan,” tutur komandan yang tadi. Pria itu memandang penuh simpati kepada pasangan suami istri yang sedang berduka.Gavin hanya
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be