**Kendati Gavin Devano Sanjaya menginginkan Aylin menghabiskan sebanyak mungkin waktu di dalam rumah, namun ia tidak bisa menampik bahwa putri kecilnya itu memiliki jiwa sosial yang tinggi –seperti yang dikatakan Inara. Maka, mengesampingkan kekhawatirannya yang mungkin terlalu besar, akhirnya Gavin mengalah dan mengizinkan Aylin bersekolah di sekolah umum. Putri kecil Sanjaya yang jelita itu senang tak kepalang, dan hari ini sudah melewati minggu ketiganya di taman kanak-kanak.Ketika sarapan bersama sang papa, Aylin sibuk mengantongi apel yang berada di atas meja.“Untuk apa itu?” tanya Gavin, tidak bisa menahan senyum melihat buah hati kesayangannya.“Ini?” Aylin menoleh dengan kedua manik lentik yang membulat. “Aylin bawa apel buat Noel dan Aby, Papa.”“Siapa itu Noel dan Aby?”“Ah, kok Papa nggak tahu?” Bibir mungilnya mencebik lucu. “Besties Aylin, dong.”Pria itu nyaris tersedak americano yang sedang ia teguk. Tertawa lepas mendengar kata-kata si putri. “Kamu baru mau enam tah
**Ketika dalam tempo lima belas menit Rendra sama sekali tidak bisa melacak mobil yang membawa pergi Aylin, pria itu terpaksa memberitahukan keadaannya kepada Tuan Mudanya. Biarlah ia babak belur atau bagaimana nanti, yang jelas Gavin harus tahu hal ini dulu.Pria itu membawa Audi-nya menjauh dari pelataran sekolah, menuju kantor SR dengan kecepatan tinggi. Berkejaran dengan waktu sebelum nona kecilnya dibawa pergi terlalu jauh. Tepat pada saat Gavin sedang mengantar beberapa tamunya keluar ruangan, setelah kunjungan bisnis, Rendra sampai dengan napas agak memburu.“Kenapa denganmu?” tanya Gavin sepeninggal tamu-tamunya, Memandang heran wajah Rendra yang pias dan tegang.“Seseorang menjemput Nona Kecil lima menit sebelum saya datang.” Rendra tetap menjawab dengan tegas dan tenang, ciri khas dirinya. Meskipun sebenarnya jantungnya sudah seperti akan lepas dari tempatnya bertengger.Gavin seketika mematung mendengar itu. Ia menatap asistennya tanpa berkedip. “Jelaskan apa maksudmu samp
**Entah dua atau tiga jam kemudian.“Ini di mana, Om?”Aylin mengerjapkan mata saat mobil yang ditumpanginya masuk ke sebuah tempat yang gelap. Gadis cilik itu menengok ke sana kemari, memindai pemandangan sekitar yang seratus persen asing. Jujur saja hati kecilnya dicengkeram ketakutan. Namun putri cilik yang jelita itu hanya akan menangis jika melihat ibunya terluka. Selain dari itu, Aylin masih bisa menahan diri. Ia adalah putri Gavin Devano Sanjaya, keberanian yang mengalir dalam darahnya, ia warisi dari sang ayah.“Om, jadi beneran Om ini penculik, ya?”“Diam!”Seketika bungkam, namun masih tetap tidak menunjukkan gelagat ketakutan yang sangat kentara. Aylin justru kembali duduk tenang, bersandar dan menyenandungkan twinkle-twinkle little star sembari memainkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Menghidupkan flashlight warna-warni, membuat pria di depannya kian frustasi.“Sial, di mana orang itu?” Mengumpat pelan, Aylin menyipitkan mata dan memperhatikan si pria
**Gavin masih memeluk pundak Inara. Mengusapnya lembut sementara perempuan itu berusaha menghapus sisa-sisa air mata. Kedua netranya bengkak dan sembab, menandakan berapa lama ia menangis. Kendati demikian, tangis itu sama sekali tidak bisa ia hentikan.Tidak tega rasa hati Gavin melihat wanita kesayangannya seperti ini. Perempuan itu terus menolak saat diajak pulang dan bersikeras menunggu kabar apapun tentang putri mereka di pos polisi perbatasan kota hingga berjam-jam waktu berlalu.“Tuan Sanjaya?”Gavin menoleh dan mendapati seorang petugas kepolisian yang tampaknya adalah komandan atau semacam itu, memanggil namanya sementara berjalan mendekat.“Public service kantor resort melaporkan bahwa putri anda menelepon ke sana beberapa menit yang lalu.”Hati Gavin dan Inara seperti mencelos mendengar itu. Keduanya serentak berdiri dari kursi, menyambut si komandan.“Aylin?” tegas Gavin separuh tak percaya. “Menelepon? Bagaimana maksud anda?”“Petugas mengatakan Nona Aylin menelepon meng
**“Dia ketakutan, bodoh! Bisa pelan sedikit tidak sih, kau itu?”“Menurutmu gimana caranya dobrak pintu mobil dengan pelan? Siapa yang bodoh, ha?”Dua pria berpakaian hitam-hitam itu masih sempat berdebat di depan kaca samping kemudi yang sudah hancur berantakan. Salah satunya lantas merogohkan tangan dengan hati-hati untuk menekan kunci dan membuka pintunya.Terbuka, sudah. Aylin tersedu sedan ketakutan, merapatkan tubuh mungilnya ke ujung kursi belakang sementara menatap horor kepada dua entitas yang kini juga membuka pintu di depannya.“Nona, anda bisa mati kalau berada di dalam mobil dalam keadaan terkunci seperti tadi,” gerutu yang seorang. “Siapa sih yang punya ide bodoh macam begitu? Nona, ke mana orang yang bawa mobil ini?”Kini Aylin bisa melihat wajah keduanya yang sangar dan tampak bengis. Menatapnya masam seakan Aylin beban kecil yang tidak bisa mereka tinggalkan.“Ke mana orang itu, hah?”“A-Aylin nggak tahu ….”“Hah, sial! Ikut kami, Nona kecil!”“Ma-mama ….” Bibir mung
**Para petugas sigap menyisir lokasi untuk mencari petunjuk dan barang bukti, sementara gavin yang masih tampak sangat terpukul berusaha menenangkan Inara. Kalut dan tidak bisa berpikir jernih lagi, pria itu memilih membiarkan para petugas saja yang bekerja dan membawa istrinya menyingkir.“Ponselnya ada di bawah kursi!” Seseorang berseru, menunjuk benda pipih hitam yang terselip di bawah pintu.“Seperti tidak sengaja terjatuh. Mereka membawa Nona Kecil berlari kabur atau bagaimana?”Kata-kata itu bagaikan belati yang kembali menusuk hati Inara dan Gavin. Membawa Aylin berlari kabur? Betapa sulit tidak membayangkan hal-hal buruk jika para petugas itu berujar demikian.“Tuan Sanjaya, anda dan Nyonya sebaiknya menunggu di dalam mobil saja sementara kami memeriksa ponselnya. Kemungkinan besar petunjuk akan segera kami dapatkan karena barang bukti sudah kami dapatkan,” tutur komandan yang tadi. Pria itu memandang penuh simpati kepada pasangan suami istri yang sedang berduka.Gavin hanya
**Joseph Sanjaya terbelalak penuh. Ia menatap penuh rasa marah dan kecewa kepada sang istri yang duduk bersilang kaki tanpa sedikitpun merasa bersalah.Selama sesaat pria itu tampak tidak bisa mengatakan apapun dan hanya berdiri terpaku. Hingga akhirnya ia kembali menunjuk sang istri dan mendesis menahan emosi.“Katakan padaku, apa yang kamu lakukan kepada Aylin!”“Ah, aku hanya mau kasih Gavin pelajaran sedikit biar dia nggak kurang ajar. Anak itu nggak aku apa-apakan, tenang saja. Aku hanya menyuruh orang-orangku membawanya pergi.”“Dan meninggalkannya di tengah hutan katamu tadi?” Joseph masih berujar sementara melotot murka. “Riani, demi Tuhan, Aylin itu cucumu!”“Bukan,” tukas Riani dengan dingin. “Sama sekali bukan. Aku sudah bilang nggak akan mengakui siapapun yang keluar dari rahim perempuan itu.”“Terserah! Sekarang katakan padaku di mana Aylin! Katakan!”Riani mengernyit melihat suaminya sampai semurka itu hanya karena seorang bocah kecil. “Carilah sana sendiri, Joseph. Kam
**Tubuh kecil Aylin rasanya seperti diguncang sebab terlalu gemetar saat tampak olehnya dua titik cahaya yang menyala dalam kegelapan. Bayangan hitam keluar dari gundukan semak belukar, menimbulkan suara kemeresak keras yang menciutkan nyali.Sungguh, gadis kecil itu rasa separuh kesadarannya sudah hampir melayang karena sergapan ketakutan hebat. Ini adalah mimpi buruk paling buruk yang pernah bocah enam tahun itu alami. Dan sayangnya, ini bukanlah mimpi.“Ma-Mama ….” Suaranya serak memanggil. Ia merangkak mundur dengan kedua tangan, menjauhi entitas misterius dengan sepasang mata menyala yang diam beberapa meter di depannya. Aylin tidak bisa memutuskan apakah itu adalah manusia yang sama seperti dirinya, ataukah seekor binatang, atau bahkan hantu?“Mama, Aylin takut. Mama, Aylin takut hantu ….” Bisikan pelan seiring tangis tanpa suara keluar dari bibir gadis cilik itu. Kedua manik gelapnya yang bersimbah air mata justru melebar dan tanpa bisa ia cegah menatap lekat kepada dua titik