**“Itu karena kamu sendiri yang nggak mau berusaha! Kamu yang nggak mau bergerak dan hanya mengandalkan aku!”Jessica tersentak saat mendengar bentakan dari belakangnya. Ia menoleh dan mendapati Riani Sanjaya memasuki ruangan sembari memasang wajah masam.“Kalau kamu terus begini, sampai mati juga nggak akan bisa mendapatkan Gavin!”Gadis itu terkesiap. Kendati demikian, tidak berhasil menyuarakan sanggahan apapun. Hanya mampu menunduk, menelan mentah-mentah hardikan dari ibu pria yang dicintainya.“Apa rencanamu sesudah ini, ha? Mau tetap begini sampai kapan? Mau memandang Gavin saja dari jendela sampai kapan, kamu?”Jessica rasanya kian terpuruk. Sesungguhnya ia sudah sangat putus asa dari semenjak Gavin menikah. Rasanya sudah tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan hati pria itu. Sesungguhnya semua gertakan yang ia lontarkan hanyalah pelarian dari rasa putus asanya sebab cinta yang tidak pernah bersambut selama bertahun-tahun lamanya.“Mam, apakah masih ada harapan?” desah gadis
**Beberapa minggu berikutnya terlewat tanpa insiden yang berarti. Tidak ada teror yang terjadi lagi, menandakan keberadaan Inara dan Aylin di rumah barunya, tidak diketahui oleh orang-orang yang kerap bermaksud jahat. Dalam hal ini, Riani dan Jessica.Bahkan Inara berani mengajak putri kecilnya jalan-jalan ke taman kota di dekat-dekat sana jikalau sedang bosan di rumah.“Asal jangan terlalu jauh dan terlalu lama di luar,” titah Gavin pagi ini, saat Inara minta izin untuk belanja ke supermarket yang tidak jauh dari kawasan rumahnya.“Hanya belanja, Papa. Lagian supermarketnya hanya satu blok dari rumah. Aku jalan kaki saja sama Aylin, ya?”Gavin mengernyit tidak setuju. “Minta antar Rendra, Sayang.”“Nggak perlu, Papa. Kami jalan kaki saja, biar sehat.”“No! Aku punya lebih dari cukup bawahan untuk sekedar mengawalmu belanja.”“Sayang, aku serius. Aku pengen date berdua sama Aylin.”Gavin masih terpaku dengan wajah keberatan. Ia menghela napas kemudian. “Berjanjilah, kamu nggak akan k
**“Nggak bisa ditelepon!” Salah seorang yang sedang berusaha menghubungi Gavin mengeluh dengan panik. “Tuan Muda nggak angkat teleponnya!”“Sial! Jadi bagaimana ini? Demi Tuhan, Nona Aylin, tolong bisakah Nona berhenti menangis sebentar saja?” Satu yang lain tidak kalah panik. Terlebih lagi, Aylin memang sama sekali tidak bisa berhenti menangis. Ia melotot dengan ngeri kepada mamanya yang terbaring bersimbah darah dan merintih lirih di ambang kesadarannya.“Kita bawa ke rumah sakit terdekat dulu, baru nanti kita pikirkan lagi hal ini,” putus si pengemudi kemudian,yang diangguki oleh kedua kawannya.Mobil hitam itu lantas meluncur kencang menuju rumah sakit terdekat. Berpacu dengan waktu, sebab kesadaran Inara sedikit demi sedikit mulai lindap.Namun beberapa saat kemudian hingga mobil itu telah sampai di depan gate UGD rumah sakit terdekat dan Inara sudah dibawa masuk serta mendapatkan pertolongan, Gavin ternyata tetap saja tidak bisa dihubungi.“Kita nggak bisa bergerak begitu saja
**Rendra memacu Audi milik Gavin dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang disebutkan oleh tuan mudanya barusan. Sementara itu Gavin sendiri, sedang duduk dengan gusar sembari memijiti pangkal hidungnya di kursi penumpang. Sebelumnya, pria itu memaksa hendak berkendara sendiri ke rumah sakit, namun sang supir tidak mengizinkan. Apa jadinya pria yang tidak sabaran itu jika nekat mengemudi sendiri dalam keadaan kalut seperti itu.“Sial! Kapan kita sampai, Rendra?” Gavin mengumpat pelan. Ia sudah menelepon para bawahan yang ia perintahkan mengawal Inara dan Aylin, dan menghujani mereka bertiga dengan makian dan umpatan yang jelas tidak lulus sensor, tapi hatinya masih kesal sekali.“Dua menit lagi, Tuan Muda. Harap bersabar sebentar, kita tidak bisa mengebut di area rumah sakit,” jawab Rendra tenang. Sepanjang perjalanan yang sebenarnya hanya memakan waktu sepuluh menit itu, Rendra juga sudah diteriaki banyak pengguna jalan lain sebab mengemudi dengan ugal-ugalan. Jika bukan kare
**Orang-orang baik yang peduli dan menyayangi Inara datang pada dua hari berikutnya. Maulina bersama Yanti, serta beberapa adik-adik pantinya. Hal itu membuat Inara sangat terharu, karena kendati dirinya sudah tidak bisa seperti dulu, orang-orang itu ternyata masih mengingat dan menyimpan cinta untuk dirinya.Nah, dan selama dua hari berikutnya, Eliza juga selalu ada di dekat Inara. Wanita itu selalu menyempatkan datang meski tuntutan pekerjaan nyaris tidak mengizinkan. Inara sangat merasa tidak enak, namun ia juga tidak bisa mencegah.“Nggak, Mom nggak sibuk. Ini biasa Mom lakukan setiap hari, kok. Dan lagi, ada Aldo yang sekarang sudah mulai bisa menghandel banyak hal,” ungkap Eliza saat Inara menyampaikan keberatannya hari ini. Ia takut jika dirinya justru menjadi beban banyak orang.“Tapi Mom jadi kurang istirahat,” sanggah Inara, yang seketika disambut oleh senyum hangat wanita bermata biru cemerlang itu.“Justru Mom banyak istirahat kalau ada di sini. Dad juga lebih senang, kar
**Inara terpukau. Ia tidak bisa bergerak saat Eliza bergerak maju dan memeluknya dengan sangat lembut. Masih tidak bisa bergerak kala wanita itu menyentuh kedua pipinya dengan isak tangis tersendat-sendat.Tidak bisa dipungkiri, kedua netra basah Eliza menyiratkan kerinduan yang mendalam kepada entah siapa yang wanita itu lihat dalam diri Inara sekarang.“Mom, jangan menangis.” Inara mengulas senyum kecil. “Walaupun saya tidak terbukti memiliki DNA yang identik dengan keluarga Bagaskara, saya nggak keberatan kalaupun Mom menganggap saya anak dan Aylin cucu. Saya justru sangat merasa terhormat.”“Oh, Inara ….” Wanita berparas menawan itu terisak kian keras setelahnya. “Tanpa tes pun kamu adalah putri kami. Maafkan Mom, Mom hanya ingin kepastian saja.”Inara menepuk-nepuk lengan perempuan itu, sementara membiarkan Eliza menuntaskan isak tangisnya. Perlahan bertukar pandang dengan sang suami, dan Inara senang saat melihat Gavin melayangkan senyum tulus kepadanya.Kemudian, prosedur tes
**Arsa menyerahkan kertas surat pemberitahuan dari rumah sakit itu kepada sang istri. Kedua netranya diselimuti kabut, memendam hujan yang sudah siap tumpah. Sementara Eliza yang tadinya menolak membaca secara langsung, mau tak mau jadi mengambil surat itu dari tangan Arsa setelah melihat ekspresi suaminya.Dan Inara sendiri sudah tahu bagaimana hasil tes itu bahkan sebelum pasangan suami istri Bagaskara memberi tahu. Ya, mana mungkin kan dirinya adalah putri dari keluarga aristokrat seperti keluarga Bagaskara. Ibu Yanti selalu menyampaikan hal yang sama setiap kali Inara menanyakan bagaimana kisahnya hingga ia berakhir hidup di panti asuhan. Seorang perempuan muda menyerahkan dirinya pada suatu hari, berkata tidak sanggup membesarkannya karena pria yang membuatnya melahirkan seorang putri tidak sudi bertanggung jawab. Inara sudah berdamai dengan kenyataan itu, dan sama sekali tidak pernah berharap ada kisah lain di belakang semua ini.Namun, selepas membaca baris-baris kalimat dalam
**Inara tidak tahu harus mengambil sikap yang bagaimana untuk menghadapi Aldo. Jujur saja, dari awal ia sudah agak segan kepada pria itu. Hanya karena Aldo adalah sahabat dekat Gavin, ia berani mendekat sedikit lebih intens. Sekarang ketika berhadapan dengan kenyataan besar bahwa ia memiliki hubungan darah dengan pria ini, sejujurnya Inara masih belum bisa menghilangkan rasa segannya. Jika ditambah lagi dengan pengakuan Aldo tentang bagaimana perasaannya, Inara benar-benar tidak tahu bagaimana harus bersikap.“Jangan pikirkan aku.” Pria itu tersenyum sembari menggusak lembut surai Inara. “Aku akan baik-baik saja. Aku bisa mengatasi ini. Justru seharusnya aku yang harus minta maaf kepadamu. Karena jika kita telusuri lagi dari awal, aku adalah satu-satunya yang bertanggung jawab, yang membuatmu terpaksa bertemu dengan Gavin malam itu.”Inara menelan saliva. Ingatan itu kini sudah tidak begitu terasa menyakitkan, sebab Gavin menebus semuanya dengan begitu banyak cinta. Namun tetap saja,