**Inara sama sekali tidak berani memandang kepada Eliza sesudahnya. Ia menunduk, berharap secepatnya wanita cantik itu mengajaknya pulang saja. Inara sudah tahu semuanya pasti berakhir seperti ini. Seharusnya ia tidak pernah bersama Gavin saja. Seharusnya ia tidak perlu bertemu lagi dengan pria itu setelah lima tahun berhasil ia habiskan untuk membesarkan putrinya sendirian. Seharusnya–“Inara, Honey? Kenapa wajahnya jadi murung seperti itu? Apakah Mom melakukan kesalahan? Sorry, hm?”Perempuan itu nyaris tidak mempercayai pendengarannya. Ia mengangkat wajah pelan-pelan dan memberanikan diri memandang Eliza. Tanpa ia duga, wanita itu juga tengah memandang ke arahnya. Manik biru jernihnya masih menatap Inara penuh rasa sayang, sama seperti kemarin-kemarin sejak pertama bertemu.“M-Mom?”“Yes, Sweety? Ada apa? Kamu nggak nyaman sama sesuatu? Tell me.”Inara nyaris tidak bisa menahan tangis. Ia malu menanyakan hal ini, tapi ia juga sungguh ingin tahu alasan Eliza. “Ap-apa menurut Mom in
**Gavin tertegun selama beberapa detik setelah Inara berujar demikian. Selama ini, istrinya tidak pernah menyinggung-nyinggung perihal perlakuan Riani kepadanya, namun kali ini tidak demikian. Mungkin Inara sudah terlampau lelah hingga bisa berkata demikian?“Sayang ….” Pria itu berujar lirih sementara meraih telapak tangan wanitanya. “Aku benar-benar minta maaf dengan perlakuan Mami sama kamu. Apa saja yang dia katakan tadi? Dia bilang sesuatu sama Bu Eliza?”Gavin terlihat panik sendiri, namun Inara justru tersenyum. Ia membalas genggaman tangan sang suami.“Nggak apa-apa. Ya, seperti biasanya, lah. Rasanya aku sudah nggak kaget sama kata-kata ibu kamu. Lagian semua yang dia bilang memang kenyataan.”“Apapun yang melukai kamu, akan melukai aku juga, Inara. Aku akan bikin perhitungan sama Mami kalau dia berani bertindak lebih jauh. Karena di kantor tadi dia juga ngancam mau celakain kamu kalau aku nggak bersikap baik sama Jessica. Itulah mengapa aku khawatir banget pas kamu bilang a
**“Apa kita perlu pindah dulu dari sini untuk sementara waktu, sampai kamu tenang, Sayang?” Gavin menawarkan, ketika beberapa saat kemudian waktu berlalu. Inara sudah mendapatkan perawatan dari dokter keluarga. Ia terpaksa mendapat empat jahitan pada luka di telapak kakinya akibat pecahan kaca itu.“Nggak perlu sampai seperti itu, Pa,” jawab Inara dengan senyum kecil. “Aku baik-baik saja, sungguh.”Inara dan Gavin sedang duduk di ruang tamu saat itu, dan entah firasat atau apa, Joseph datang tak lama setelah kejadian itu berselang.“Nggak tampak apa-apa di rekaman CCTV. Gelap banget, bahkan bayangan orang aja nggak ada,” tutur Joseph yang baru saja masuk melalui pintu depan. Sebelumnya, pria itu sedang memeriksa rekaman kamera pengawas di pos sekuriti depan rumah.“Tapi daerah samping rumah yang kena lemparan batu itu memang agak sedikit tersembunyi dari jarak pandang kamera, sih,” lanjut Joseph, “apa nggak sebaiknya Inara sama Aylin dipindahkan di tempat yang aman dulu, Vin?”“Tadin
**Riani Sanjaya mendelik di ambang pintu ruangan putranya. Dengan kedua hasta terlipat di dada, wanita itu melangkah masuk pelan-pelan.“Masihkah kamu bertanya kenapa aku nggak suka dengan perempuan yang kamu sebut istri itu?” tanyanya sengak.Gavin tidak menanggapi. Lebih daripada itu, ia justru lebih khawatir apakah ibunya mendengar pembahasan sebelum ini tentang rencananya memindahkan Inara ke rumah baru?“Aku nggak suka, karena dia akan mengotori keturunan Sanjaya dengan kasta rendahannya itu.”“Mam,” sela Gavin, habis sabar juga, akhirnya. “Sejak kapan negeri ini punya aturan berkasta-kasta begitu? Jangan bicara omong kosong, lah.”“Ck! Dia cuma bekas cleaning service dan tanpa hujan tanpa angin, dia mengaku-ngaku mengandung anakmu, Vin!”“Aku ingat pernah melakukannya, Mam. Dan Aylin memang putriku. Aku sudah membuktikan keabsahannya dengan tes DNA di rumah sakit terpercaya yang Mami tahu sendiri hasilnya seratus persen akurat. Bahkan sesungguhnya tanpa tes pun semua orang juga
**“Itu karena kamu sendiri yang nggak mau berusaha! Kamu yang nggak mau bergerak dan hanya mengandalkan aku!”Jessica tersentak saat mendengar bentakan dari belakangnya. Ia menoleh dan mendapati Riani Sanjaya memasuki ruangan sembari memasang wajah masam.“Kalau kamu terus begini, sampai mati juga nggak akan bisa mendapatkan Gavin!”Gadis itu terkesiap. Kendati demikian, tidak berhasil menyuarakan sanggahan apapun. Hanya mampu menunduk, menelan mentah-mentah hardikan dari ibu pria yang dicintainya.“Apa rencanamu sesudah ini, ha? Mau tetap begini sampai kapan? Mau memandang Gavin saja dari jendela sampai kapan, kamu?”Jessica rasanya kian terpuruk. Sesungguhnya ia sudah sangat putus asa dari semenjak Gavin menikah. Rasanya sudah tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan hati pria itu. Sesungguhnya semua gertakan yang ia lontarkan hanyalah pelarian dari rasa putus asanya sebab cinta yang tidak pernah bersambut selama bertahun-tahun lamanya.“Mam, apakah masih ada harapan?” desah gadis
**Beberapa minggu berikutnya terlewat tanpa insiden yang berarti. Tidak ada teror yang terjadi lagi, menandakan keberadaan Inara dan Aylin di rumah barunya, tidak diketahui oleh orang-orang yang kerap bermaksud jahat. Dalam hal ini, Riani dan Jessica.Bahkan Inara berani mengajak putri kecilnya jalan-jalan ke taman kota di dekat-dekat sana jikalau sedang bosan di rumah.“Asal jangan terlalu jauh dan terlalu lama di luar,” titah Gavin pagi ini, saat Inara minta izin untuk belanja ke supermarket yang tidak jauh dari kawasan rumahnya.“Hanya belanja, Papa. Lagian supermarketnya hanya satu blok dari rumah. Aku jalan kaki saja sama Aylin, ya?”Gavin mengernyit tidak setuju. “Minta antar Rendra, Sayang.”“Nggak perlu, Papa. Kami jalan kaki saja, biar sehat.”“No! Aku punya lebih dari cukup bawahan untuk sekedar mengawalmu belanja.”“Sayang, aku serius. Aku pengen date berdua sama Aylin.”Gavin masih terpaku dengan wajah keberatan. Ia menghela napas kemudian. “Berjanjilah, kamu nggak akan k
**“Nggak bisa ditelepon!” Salah seorang yang sedang berusaha menghubungi Gavin mengeluh dengan panik. “Tuan Muda nggak angkat teleponnya!”“Sial! Jadi bagaimana ini? Demi Tuhan, Nona Aylin, tolong bisakah Nona berhenti menangis sebentar saja?” Satu yang lain tidak kalah panik. Terlebih lagi, Aylin memang sama sekali tidak bisa berhenti menangis. Ia melotot dengan ngeri kepada mamanya yang terbaring bersimbah darah dan merintih lirih di ambang kesadarannya.“Kita bawa ke rumah sakit terdekat dulu, baru nanti kita pikirkan lagi hal ini,” putus si pengemudi kemudian,yang diangguki oleh kedua kawannya.Mobil hitam itu lantas meluncur kencang menuju rumah sakit terdekat. Berpacu dengan waktu, sebab kesadaran Inara sedikit demi sedikit mulai lindap.Namun beberapa saat kemudian hingga mobil itu telah sampai di depan gate UGD rumah sakit terdekat dan Inara sudah dibawa masuk serta mendapatkan pertolongan, Gavin ternyata tetap saja tidak bisa dihubungi.“Kita nggak bisa bergerak begitu saja
**Rendra memacu Audi milik Gavin dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang disebutkan oleh tuan mudanya barusan. Sementara itu Gavin sendiri, sedang duduk dengan gusar sembari memijiti pangkal hidungnya di kursi penumpang. Sebelumnya, pria itu memaksa hendak berkendara sendiri ke rumah sakit, namun sang supir tidak mengizinkan. Apa jadinya pria yang tidak sabaran itu jika nekat mengemudi sendiri dalam keadaan kalut seperti itu.“Sial! Kapan kita sampai, Rendra?” Gavin mengumpat pelan. Ia sudah menelepon para bawahan yang ia perintahkan mengawal Inara dan Aylin, dan menghujani mereka bertiga dengan makian dan umpatan yang jelas tidak lulus sensor, tapi hatinya masih kesal sekali.“Dua menit lagi, Tuan Muda. Harap bersabar sebentar, kita tidak bisa mengebut di area rumah sakit,” jawab Rendra tenang. Sepanjang perjalanan yang sebenarnya hanya memakan waktu sepuluh menit itu, Rendra juga sudah diteriaki banyak pengguna jalan lain sebab mengemudi dengan ugal-ugalan. Jika bukan kare