**SUV hitam milik Gavin berhenti di pelataran luas kediaman kedua orangtuanya ketika malam belum cukup larut. Mungkin sekitar pukul delapan atau sembilan malam. Namun, bagaimanapun Gavin memacu kendaraan dengan cepat, sepertinya ia harus kecewa ketika melihat mobil Jessica sudah ada di sana. Ia terlambat, ya.Lelaki itu disambut oleh raut keruh sang Mami bahkan pada langkahnya yang pertama menapaki lantai rumah.Nah, mendapati ekspresi seperti itu dari Riani Sanjaya, perasaan Gavin semakin tidak enak.“Selamat malam, Mam,” sapa sang putra tunggal Sanjaya. Ia mencoba tersenyum, namun yang keluar justru seringai sarkas. “Mami baik sekali menyambutku seperti ini di pintu masuk. Biasanya nggak pernah.”Riani berdecih. Ia memutar tumit dan melangkah kembali ke dalam ruangan, diikuti Gavin di belakangnya.“Melihat gelagat Mami, sepertinya sudah ada yang melapor macam-macam,” komentar Gavin lagi.Riani menoleh sekilas. “Ke ruang tengah, Vin. Jessica dan Papi sudah menunggu di sana.”“Aku ha
**Inara tidak tahu, menunggu itu ternyata bisa semenjenuhkan ini. Ia juga tidak tahu, malam ternyata bisa terasa sepanjang ini. Sepanjang malam perempuan itu lewati dengan gelisah. Sebentar-sebentar ia terbangun dari tidurnya dan berharap hari sudah terang, namun ternyata waktu hanya bertambah sepuluh menit dan sepuluh menit lagi. Lambat sekali, entah mengapa.Penyebab Inara menunggu hari cepat berganti, tak lain dan tak bukan adalah karena sosok yang beberapa waktu belakangan ini telah menyertai hidupnya.Inara mengkhawatirkan Gavin, ya. Sekali lagi, ia tidak –belum– terlalu mengenal bagaimana kehidupan seorang Gavin Devano Sanjaya, jadi ketika lelaki itu berjanji akan pulang esok pagi, Inara benar-benar berharap pagi yang Gavin janjikan segera datang.“Tunggu, kenapa aku nungguin dia?” Seperti baru tersadar, ia merasa amat heran dengan kelakuannya sendiri. “Bukankah sama sekali nggak menjadi urusanku apa yang dia lakukan di luar sana? Dia meninggalkan aku dan Aylin di dalam rumah m
**“Pak, s-saya nggak sengaja, tolong lepaskan saya, jangan begini–”Inara berusaha menggeser tubuhnya yang jatuh tepat di atas tubuh Gavin, berusaha menyingkirkan kedua tangan yang bertengger dengan santai di pinggangnya itu. Namun, sepertinya satu yang lain sama sekali tidak kooperatif. Tidak bermaksud mengendurkan cengkeramannya, pun. Sampai Inara nyaris menangis dibuatnya.“Pak! Lepaskan!”“Terserah aku mau lepas apa nggak,” tolak Gavin dengan santai. Sesungguhnya pria itu sudah hampir meledak tertawa melihat wajah ketakutan Inara yang hampir menangis, tapi ia masih berpura-pura memasang tampang sangar. Rasanya menyenangkan melihat gadis itu kepayahan menjauh. Menyenangkan sekaligus … membuatnya panas.Baiklah, Gavin mengutuki dirinya sendiri untuk yang terakhir.“Pak,lepas–”“Mama?”Nah, Aylin menyelamatkan keadaan. Gavin akhirnya melepaskan tangannya dari pinggang Inara sehingga perempuan itu bisa menjauhkan diri saat mendapati Aylin sudah berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya
**“Pak Gavin, apa saya boleh duduk di belakang saja, bersama Aylin?” tanya Inara dengan takut-takut. Sebab setelah berkata demikian, Gavin segera melemparkan tatapan tajamnya.“Apa di matamu aku terlihat seperti sopir pribadi?”“Ah, tidak, tidak. Bukan begitu, Pak. Saya hanya–”“Duduk di depan, Inara.”Lalu seperti biasanya, Inara tidak bisa menolak titah pria itu. Ia menutup pintu belakang mobil dan membuka yang depan dengan lesu. Melayangkan tatapan iri kepada Aylin yang sedang bermain-main dalam damai bersama boneka-bonekanya di kursi belakang.Sekali lagi, Inara duduk di samping Gavin di dalam mobil yang beberapa saat kemudian melaju dalam kecepatan konstan menuju entah.Inara kembali membisu sepanjang perjalanan. Ia tidak tahu pria tampan di sampingnya ini akan membawanya ke mana. Pun Inara tidak berani bertanya macam-macam.Sampai akhirnya suara Aylin memecah keheningan canggung itu.“Om, kita mau ke mana?”“Hm?” sahut Gavin pelan, ”Aylin maunya kita ke mana?”“Jalan-jalan ya,
**Inara tahu, Gavin berkali-kali menoleh memandangnya dari balik kemudi. Terlihat dari sudut mata. Namun, Inara sama sekali tidak berani memandang balik. Ini menjengkelkan, benar. Sebab setelah memandang sekilas, Gavin tersenyum-senyum seperti orang lupa diri. Inara merasa sangat terintimidasi karenanya.“Pak Gavin, apakah ini terlihat sangat aneh di mata anda?” desahnya frustasi. Perempuan itu mencengkeram ujung dress berwarna merah marun yang ia kenakan.“Menurutmu, apakah aneh?”“T-tidak, Pak. Tadi waktu di cermin, kelihatan bagus, kok.”“Nah, ya sudah. Berarti nggak aneh.”“Tapi kenapa Pak Gavin menoleh-noleh terus sambil tersenyum begitu?”“Aku tidak tahu kalau aslinya kamu sangat cerewet, Inara. Terjawab sudah dari mana Aylin mendapatkan sifat itu.”Bungkam sudah. Inara seperti mati kutu mendapat pernyataan seperti itu dari Tuan CEO ini. Baginya, ini sangat memalukan. Lantas ia hanya cemberut dengan tangan terus mencengkeram ujung dress yang tepat berada di atas lututnya itu.“
**“Di mana kamu berada beberapa malam ini, Gavin?”Jessica bersendekap dengan kedua hasta menyilang di atas dada. Kerutan halus menghiasi dahinya yang sepagi ini sudah bening berkilauan bersaput make up.“Kenapa bertanya?” jawab Gavin singkat. Membuat yang lebih muda merotasikan bola mata, kesal.“Kalau telepon atau chat aku yang nggak kamu balas, oke lah. Tapi ini Mami, Vin. Please, respek sedikit sama orang tua.”“Jangan bawa-bawa orang tuaku hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.”“What your mean?”Gavin masih fokus kepada berkas-berkas yang bertebaran di atas meja kerjanya. Sama sekali mengabaikan gadis yang sudah effort bangun dan berdandan sepagi ini hanya untuk menemuinya.“Kamu bisa saja mendapatkan seluruh simpati Mami dengan pura-pura perhatian kepadanya. Tapi sorry to say, itu nggak akan berpengaruh apapun buat aku.” “Gosh!” Jessica berdecak frustasi. Rambut panjangnya yang pagi ini di-curly cantik bergoyang seiring gerakan kepalanya. “Bisa-bisanya kamu ngomong seper
**“Aylin, hari ini kita mau ngapain, Nak?” Inara bertanya kepada putri kecilnya sembari mengepang surai panjang gadis cilik tersebut.Hari masih cukup pagi, namun Inara seperti sudah menyelesaikan tugas-tugas rumahnya. Apalagi sekarang ada seorang maid yang dipekerjakan Gavin di rumah itu agar Inara tidak terlalu repot mengurus tetek bengek hal temeh temeh seputar perumahtanggan. Gavin hanya ingin perempuan itu fokus kepada putrinya saja.“Aylin mau menanam bunga, Mama,” tutur putri kecil tersebut dengan semangat. “Kemarin Aylin jalan-jalan sama Opa Joseph dan lihat bunga-bunga bagus, terus Aylin dibelikan biji supaya bisa ditanam sendiri. Begitu kata Opa.”Inara terkekeh pelan. Gembira melihat tumbuh kembang putrinya yang semakin ke sini semakin baik. Benar, sumber daya memang salah satu faktor kesuksesan membesarkan buah hati. Sepertinya, Inara sekarang mulai mensyukuri keadaan. Semua ini tidak akan terjadi jika dulu ia memaksa membawa kabur Aylin dan menolak pendekatan Gavin lagi.
**“Apa kalian sudah gila, ha?”Inara merasa tubuhnya diraih dan dijauhkan dari tangan-tangan kasar milik Riani dan Jessica. Saat ia membuka mata kembali, ternyata Gavin sedang berdiri menjulang di depannya. Melindungi tubuhnya yang kecil di balik punggung lebar milik pria itu. Inara bahkan tidak tahu kapan Gavin datang. Tiba-tiba saja ia berada di sana.“Gavin?” Riani tampak agak terkejut. “Kapan kamu datang?”“Kenapa kalian berdua di sini?” Lelaki itu justru balik bertanya. Rahangnya mengeras, dengan urat pelipis tampak berkedut. Nada bicaranya dingin dan tenang, namun jelas terdapat gejolak kemarahan yang dahsyat di sana.“Berani-beraninya melakukan hal menjijikkan seperti itu kepada putriku dan ibunya. Apa maksud kalian, ha?”“Dia yang mulai!” sambar Jessica berapi-api. “Dia jambak rambut aku, Vin!”“Tanya dirimu sendiri, mengapa dia sampai menjambak rambutmu.”Jessica kehilangan kata-kata. Tentu saja ia tidak lupa, Inara menarik rambutnya karena sebelumnya ia yang lebih dulu mena
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be