“Aaah, mmmpht! Uuuuhhh … aaahhh.” Terdengar samar suara desahan itu berasal dari kamar utama. Jantung Leonel seakan berhenti berdetak. Wajahnya memucat, ia membatu di tempat. Ia baru saja kembali dari bekerja, tapi langsung disambut dengan desahan-desahan penuh nikmat yang jelas sekali bunyian itu berasal dari mulut istrinya.
Gegas Leonel berlari menuju kamar, ia lempar tas kerjanya secara sembarang. Pintu kamar tidak terkunci sama sekali ketika ia memutar gagang.“Bajingan!” Leonel memaki dengan emosi yang menguasai. Wajahnya memerah dengan rahang yang mengeras. Napasnya terdengar ngos-ngosan karena menahan amarah.“Mas ….” Airin menoleh menatap suaminya. Wajah wanita itu tampak memerah menahan kenikmatan. Suaranya terdengar parau, serak, dan bergetar. Tubuhnya setengah telanjang dengan keringat yang membasahi badan.Leonel menatap sekitar, mencari seseorang.“Di mana keparat itu?!” Leonel mencari menuju kamar mandi, tapi tidak menemukan tanda-tanda keberadaan lelaki lain di sana. Ia kembali menuju ranjang, merunduk untuk mengecek kolong ranjang. Namun, tetap saja tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada Airin seorang diri dengan televisi yang tengah menyala. Layar kaca itu menayangkan pasangan yang tengah bercinta. Desahan, erangan, dan juga decakan terdengar berasal dari tayangan itu.“Mas nyari siapa?” Airin bangkit berdiri. Dipeluknya tubuh sang suami dari belakang, berusaha menenangkan sekaligus melepas kerinduan.Namun, emosi Leonel masih belum mereda. Ia lepas pelukan istrinya dengan kasar, kemudian beranjak menuju jendela yang tampak terkunci dengan gorden yang tertutup sempurna. Ia bahkan tidak mencium ada aroma parfum lelaki lain di sana.“Dengan siapa kau bercinta?” Leonel menyorot istrinya dengan tajam. Manik matanya seakan hendak menikam. Pikirannya tengah dikuasai oleh banyak hal.Airin tersenyum lebar. Ia sama sekali tidak tersinggung ketika pelukannya dilepas secara paksa oleh suaminya. Ia terus berusaha agar bersikap lembut, sebab ia sangat mencintai lelaki yang tengah berdiri di hadapannya. Apa pun yang lelaki itu lakukan, tidak akan mampu mengurangi sedikit pun kadar cintanya.“Aku tidak bercinta dengan siapa pun.” Airin menjawab dengan lembut disertai senyum manis di bibirnya.“Jangan berpikir kau bisa membohongiku. Aku mendengar desahanmu dari ruang depan, lalu dengan tampilanmu yang sekarang, kau yakin aku masih bisa percaya dengan kata-kata yang kau lontarkan?” Leonel berucap dengan tajam.Senyum Airin semakin lebar menatap wajah marah suaminya. Sebab, itu menandakan bahwa Leonel masih mencintainya. Lelaki itu tidak akan marah jika ia tidak punya rasa.“Aku mencari kenikmatan dengan tanganku sendiri. Kau tidak ingin memuaskanku, jadi aku cari kepuasan sendiri tanpa harus memaksamu untuk melakukan apa yang tidak kau inginkan.”“Kau masturbasi?” Leonel bertanya memastikan.Airin mengangguk. Matanya tampak menyipit ketika ia tersenyum menatap lelaki itu. Ia beranjak meraih remote control, lalu mematikan televisi yang tengah menayangkan film dewasa.“Aku terlalu menikmatinya, jadi aku tidak sadar jika kau sudah pulang.” Airin membenarkan dan merapikan pakaiannya.Leonel menghela napas dengan dalam, tidak habis pikir dengan apa yang telah dilakukan oleh Airin. Bisa-bisanya wanita itu masturbasi di jam seperti sekarang. Namun, ia merasa sangat lega. Sebab, tidak ada lelaki lain di dalam kamarnya.Airin mendekat. Ia melingkarkan kedua lengannya ke leher Leonel. Sorot matanya seakan meminta agar lelaki itu menuntaskan hasrat yang tengah memuncak. Ia merasa sangat tanggung, sebab Leonel menghentikan aksinya sebelum ia meraih kepuasan.Airin mendekatkan wajahnya, hendak melumat bibir Leonel yang sudah sangat ia rindukan. Bibir itu sangat basah dan kenyal, rasanya juga begitu manis dan membuat candu. Sudah tiga hari ia tidak merasakan kekenyalan bibir itu.“Aku capek.” Leonel membuang muka sebelum bibir mereka saling beradu. Ia selalu saja mencari cara dan alasan untuk menolak setiap adegan romantis yang Airin harapkan.Airin menghela napas kecewa. Namun, ia tetap tersenyum dengan wajah ceria. Wanita berambut bergelombang itu melepas lingkaran tangannya di leher Leonel. Menyembunyikan tumpukan kekecewaan di balik manisnya senyum yang ia miliki.“Mau mandi sekarang atau mau aku buatin minum dulu?” Airin bertanya dengan begitu lembut. Tatapannya penuh cinta menyorot sang suami.“Aku mau istirahat. Aku sedang pusing karena proyegku gagal lagi, kau jangan ganggu aku” Leonel mengempaskan tubuhnya ke ranjang dengan cukup kasar. Terdengar helaan napas berat berasal dari lelaki itu. Jemarinya memijit pelipis atas untuk mengurangi rasa pusing di kepala. Ia memejamkan mata.Airin mendekat. Ia lepas sepatu dan kaus kaki yang membungkus kaki Leonel. Setelahnya ia ikut naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh suaminya yang tengah berbaring kelelahan.“Mau aku pijitin?” Airin langsung memijit ubun-ubun suaminya sebelum mendapat jawaban.Leonel tidak melarang. Ia tampak menikmati setiap pijitan yang Airin berikan.“Lain kali kalau mau begitu lagi, pintu kamar sama pintu depan jangan lupa dikunci.” Leonel memberi peringatan.Airin menghela napas. Awalnya ia berpikir jika Leonel akan berubah karena merasa tertampar dan tersadarkan ketika menyaksikan dirinya tengah masturbasi. Namun, nyatanya tidak sama sekali.“Mas, apa aku tidak menarik sehingga kau tidak ingin bercinta denganku?” Airin akhirnya melontarkan pertanyaan yang telah menguasai otaknya selama enam bulan terakhir. Mereka sudah dua tahun menikah dan belum dikaruniai anak. Kualitas bercinta mereka juga makin ke sini makin menurun. Leonel seakan bosan terhadap tubuh indah milik istrinya sehingga enggan untuk melakukan hubungan suami istri sesering biasanya. Airin tidak ingat kapan terakhir kali mereka bercinta. Yang ia tahu, bulan ini sang suami belum pernah menjamahnya. Sementara bulan akan segera berganti.Leonel hanya akan mencium bibirnya sesekali. Itu juga karena Airin yang sudah memaksa dan mendesak.“Aku capek.” Leonel memberi jawaban yang serupa. Entah sudah berapa kali jawaban itu ia lontarkan untuk menanggapi pertanyaan dari Airin.“Bukan karena cara bercintaku yang tidak sesuai dengan keinginanmu? Aku akan upgrade cara bermainku jika kau merasa tidak puas dengan cara mainku.”Leonel menoleh menatap istrinya. Ia sorot manik mata indah itu dengan dalam.“Bukankah kita sudah pernah berdiskusi jika rumah tangga itu bukan hanya masalah selangkangan? Tapi masalah komitmen.” Lelaki itu berucap dengan lembut.“Tapi nafkah batin itu juga bagian dari komitmen yang pernah kita bicarakan.”“Aku tidak bernafsu, Airin. Aku sangat lelah, tenagaku juga sudah habis di tempat kerja.”“Lalu, bagaimana denganku? Aku selalu bernafsu ketika melihatmu.”“Kau lakukan saja seperti tadi. Kau bisa mencari kepuasan sendiri bukan? Kau tidak membutuhkanku untuk mendapatkan kepuasanmu. Aku akan membelikanmu mainan seks untuk menambah imajinasimu.” Leonel berucap dengan enteng. Seakan tidak ada beban sama sekali.Lagi, Airin menghela napas dengan kasar. Ia tidak lagi mampu berkata-kata setelah mendengar kalimat yang terlontar dari mulut suaminya. Jika terus begini, apa arti dari pernikahan mereka? Apa arti Leonel dalam hidupnya jika lelaki itu tidak melakukan kewajibannya sebagai seorang suami? Jika hanya nafkah berupa uang, ia tidak perlu menikah untuk mendapatkan itu. Sebab, orangtuanya juga orang kaya. Mereka akan memenuhi semua kebutuhannya tanpa diminta.Tak sadarkah Leonel bahwa yang Airin butuhkan hanya pria itu?
“Aaah … hhhh!” Terdengar desahan memenuhi ruang kerja milik Leonel.Di atas meja dengan tumpukan map itu, tampak seorang wanita mendesah di bawah Leonel. Mendengar itu, Leonel semakin merasa panas, menikmati sensasi di selangkangannya. “Apa istrimu tidak akan marah jika dia tahu kau selingkuh denganku?” Livy bertanya dengan napas yang terdengar begitu ngos-ngosan, seperti orang yang habis marathon puluhan kilo meter. Matanya merem melek menikmati sodokan yang semakin lama terasa semakin nikmat.“Persetan dengan wanita itu. Dia hanya wanita bodoh yang tidak tahu apa-apa. Dia akan memaafkanku jika dia mengetahui perbuatanku.” Leonel berucap dengan penuh percaya diri. Ia berhenti bergerak, menciptakan gurat kecewa di wajah cantik Livy, sebab ia hampir mencapai puncak kenikmatan.Plak!Leonel memberikan pukulan yang cukup keras. Menciptakan bekas kemerahan dengan telapak tangan di bokong montok, mulus, dan putih milik Livy. Wanita itu merasa panas di sana, cukup sakit karena Leonel lag
“Mas ….” Airin menyambut dengan senyuman ketika Leonel pulang. Ia peluk tubuh atletis itu dengan penuh kasih sayang. Ia bermanja di sana, mendongak menatap wajah suaminya.“Aku capek, Airin.” Leonel berucap dengan wajah masam. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan. Tampak sekali jika ia merasa sangat risih ketika dipeluk oleh sang istri.Airin melepas pelukan. Wajahnya tampak berbinar, manik matanya memancarkan cahaya kebahagiaan. Ia menjinjit, memberi kecupan lembut di bibir Leonel.“Ck!” Leonel berdecak. Ia usap bibirnya untuk menghapus bekas ciuman Airin di sana.Air wajah Airin tampak berubah. Jelas saja itu sangat menyakiti hatinya. Sebelumnya Leonel masih ingin menciumnya, tapi kini lelaki itu seakan merasa sangat jijik kepadanya.Leonel berlalu begitu saja, meninggalkan Airin yang tengah berdiri membatu di depan pintu masuk. Wanita itu masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap berpikir positif. Tidak ingin ia menyakiti hatinya dengan ber
“Sayang ….” Airin memanggil dengan sangat lembut. Ia usap rambut belakang suaminya, membangunkan.“Hmmm.” Leonel hanya mendehem. Kepalanya ia tolehkan ke arah lain, tetap tidur dengan posisi telungkup.“Ayo bangun, sudah siang.” Ditepuknya pundak Leonel dengan pelan.“Aku masih mengantuk. Ini hari libur, biarkan aku tidur.”“Ada papa di luar.”Mendengar kalimat itu, seketika rasa ngantuk Leonel mendadak menghilang. Ia lekas duduk, matanya yang semula sayu, kini berubah menjadi sangat segar.“Mengapa kau tidak bilang padaku?”“Aku sudah memberitahumu.”“Ck!” Leonel berdecak. Ia usap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu beranjak turun dari ranjang. Secepat kilat ia beranjak menuju kamar mandi.Airin menghela napas dengan dalam. Ia ikut bangkit, beranjak menuju lemari untuk menyiapkan baju ganti. Hal yang paling ia sukai adalah ketika Leonel mengenakan pakaian yang ia pilih, juga memakan masakan yang ia hidangkan. Hanya dua hal itu kini yang bisa membuat hatinya senang. Sebab, hub
[Sayang, kau tidak jadi ke sini? Ini sudah hampir jam delapan malam. Kau bilang kau akan datang jam lima sore.] Sebuah pesan masuk dari Livy.Leonel menghela napas dengan dalam. Ia menoleh, menatap istri dan ayahnya yang tengah berbincang di depan televisi. Keduanya tampak sangat akrab. Ada banyak hal yang tengah mereka bicarakan.[Aku sudah rindu goyanganmu. Ah, aku sudah basah hanya dengan membayangkanmu saja. Aku sangat horny sekarang.] Wanita itu kembali mengirimkan pesan.[Aku akan ke sana sebentar lagi. Aku harus mencari alasan karena ayahku ada di sini.][Apa dia akan melarangmu? Sementara istri bodohmu itu tidak pernah melarang kau pergi ke mana saja.][Aku takut pada ayahku.][Apa dia galak?][Sangat.][Aku menunggumu, cepatlah datang.]Lagi, Leonel menghela napas dengan dalam. Ia bangkit berdiri, meraih kunci mobil dan hendak beranjak pergi.“Mau ke mana kau?” Robin bertanya dengan sorot begitu dalam menatap sang putra.“Aku keluar sebentar, mau cari angin. Ini malam minggu,
Airin bahkan hampir kehilangan napas dengan wajah memerah. Wanita itu sama sekali tidak bisa menghirup oksigen.Lampu mobil yang mati membuat Airin tidak bisa mengenali wajah para pelaku.“Hantam saja biar dia berhenti memberontak.” Salah satu dari mereka berucap.Plak! Wajah Airin digampar dengan sangat kuat. Membuat wanita malang itu langsung kehilangan kesadaran. Tampak darah segar keluar dari lubang hidungnya. Sudut bibirnya pecah, pipinya bengkak dan biru lebam.Salah satu dari lelaki itu menjilat wajah Airin. Lidahnya dengan kasar menghapus darah yang mengalir dari hidung wanita itu. Seakan cairan merah itu berupa sirup manis baginya.“Kalung ini sepertinya mahal.” Kalung berlian yang Airin kenakan ditarik dengan kasar. Lalu, dikantongkan.“Sepertinya dia anak orang kaya. Kita bisa kesusahan jika membebaskannya. Sebaiknya dia kita bunuh saja.” Salah satu dari mereka berucap.Ponsel yang berada di dalam tas Airin berdering. Tertulis nama sang bapak mertua di sana. Tampaknya lelak
Berbeda dengan keadaan Airin, di sofa apartemen lantai 12, Leonel tengah bercinta dengan begitu panas bersama sekretaris kesayangannya. Ia selalu saja bergairah setiap kali melihat wanita itu. “Uuuuuh.” Livy mendesah. Ia menatap Leonel dengan penuh cinta. Seakan lelaki itu adalah miliknya. Lengannya ia lingkarkan ke leher lelaki itu. Ia menggigit bibir bawahnya untuk meredam kebisingan yang ia timbulkan.“Lepaskan saja. Kau tahu kan, aku lebih suka mendengar desahan.” Leonel berucap dengan napas yang terengah-engah.“Aku takut didengar oleh tetangga apartemen.” Wanita itu memiliki alasan yang kuat. Ia seorang wanita lajang. Reputasinya di lingkungan apartemen begitu baik. Semua tetangga mengenalnya sebagai wanita yang sopan dan penuh santun. Ia sangat ramah dan memilih senyum yang tampak manis. Siapa sangka di balik itu semua ia memiliki jiwa yang begitu liar. Bahkan dengan sadar diri menggoda suami orang hanya karena ia menyukainya. Tidak peduli dengan wanita yang menjadi pasangan l
“Untuk apa aku berbohong?” Leonel berucap dengan serius. Ia tidak tampak seperti orang yang tengah menutupi sesuatu. Sebab, ia memang berpikir seperti itu.Robin menghela napas dengan kasar. Percaya begitu saja dengan ucapan putranya. Sebab, lelaki itu tidak terlihat seperti orang yang telah berbohong. Terlebih ia bisa melihat noda lipstick di kemeja Leonel. Berpikir jika itu bekas kecupan Airin. Itu artinya tidak terjadi apa-apa di antara keduanya.***Motor butut itu melaju dengan lambat. Sang pengendara menatap ke kiri dan kanan, mencari lahan rumput untuk makanan ternak. Ia baru saja mendapat info dari temannya jika rumput di sana sangat segar. Ketika menemukan padang rumput, ia menghentikan motornya dan turun dari kendaraan roda dua. Lelaki berkulit gelap itu membawa sabetan yang biasa ia gunakan untuk mengambil rumput.Ketika tengah sibuk menyabet, ia dikejutkan dengan sosok seorang wanita di sana. Awalnya ia berpikir jika itu hanya manekin rusak, sebab kulit Airin benar-benar b
“Airin!” Robin berlari menuju ruang di mana Airin tengah dirawat. Namun, langkahnya ditahan, sebab tidak ada yang bisa masuk ke sana untuk saat ini. Airin butuh perawatan yang sangat intensif.“Apa yang terjadi?” Lelaki paruh baya itu bertanya pada para petugas yang berada di sana. Mereka menjelaskan apa yang sudah terjadi.“Bagaiman mungkin? Tadi malam dia ada di rumah orangtuanya.” Robin tidak percaya sama sekali. Ia menatap dari pintu kaca. Tampak ada banyak selang yang terhubung dengan tubuh lemah itu. Airin bahkan belum terbangun sama sekali. Layar yang memonitor detak jantung menunjukkan bahwa detak jantung Airin sangat lemah saat ini.Robin merasa sangat panas. Tangannya terkepal, api amarah menguasai hati. Akan ia cari pelaku yang menodai menantunya, jika sudah ia temukan para pelaku itu, akan langsung ia habisi tanpa memberi ampun sama sekali.“Kau sudah memberitahu Leonel?” Robin bertanya pada Alex yang berdiri tidak jauh darinya.“Aku sudah berusaha menghubunginya, tapi pan
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener