“Airin!” Robin berlari menuju ruang di mana Airin tengah dirawat. Namun, langkahnya ditahan, sebab tidak ada yang bisa masuk ke sana untuk saat ini. Airin butuh perawatan yang sangat intensif.
“Apa yang terjadi?” Lelaki paruh baya itu bertanya pada para petugas yang berada di sana. Mereka menjelaskan apa yang sudah terjadi.“Bagaiman mungkin? Tadi malam dia ada di rumah orangtuanya.” Robin tidak percaya sama sekali. Ia menatap dari pintu kaca. Tampak ada banyak selang yang terhubung dengan tubuh lemah itu. Airin bahkan belum terbangun sama sekali. Layar yang memonitor detak jantung menunjukkan bahwa detak jantung Airin sangat lemah saat ini.Robin merasa sangat panas. Tangannya terkepal, api amarah menguasai hati. Akan ia cari pelaku yang menodai menantunya, jika sudah ia temukan para pelaku itu, akan langsung ia habisi tanpa memberi ampun sama sekali.“Kau sudah memberitahu Leonel?” Robin bertanya pada Alex yang berdiri tidak jauh darinya.“Aku sudah berusaha menghubunginya, tapi panggilanku selalu ditolak.” Alexa menjawab dengan rasa simpati yang begitu besar. “Aku akan ke rumah orang tua Kak Airin setelah praktekku selesai hari ini.”“Tidak—jangan beritahu keluarganya lebih dulu. Papa tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka tahu kondisi Airin saat ini.” Robin tampak sangat frustrasi. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu beranjak pergi.Mobil Toyota putih itu berhenti di parkiran gedung tempat di mana Leonel bekerja. Lelaki bertubuh tinggi itu berlari masuk dan melewati lorong demi lorong menuju ruang di mana Leonel berada. Napasnya terdengar begitu memburu, keringat dingin membasahi jidatnya.“Pak, mohon maaf. Tidak ada yang bisa masuk ke ruangan Pak Leonel sekarang.” Seorang staff menahan langkah Robin.“Aku ingin bertemu dengannya. Ini masalah penting.”“Maaf, Pak. Tapi Pak Leonel sudah berpesan agar tidak ada yang masuk ke ruangannya sebelum mendapat izin.” Lelaki itu tetap menahan.Robin menghela napas dengan kasar. “Aku ayahnya, aku pemilik saham terbesar di perusahaan ini. Aku berhak bertemu dengannya kapan pun yang aku inginkan.” Lelaki itu berucap dengan tegas.“Tapi, Pak—”Robin tidak peduli, ia tetap beranjak menuju ruangan itu. Namun, pintu terkunci ketika ia memutar gagang. Pikiran Robin mulai liar, jika tidak ada hal aneh di dalam sana, tidak mungkin pintu dikunci hingga seperti itu.Brak!Robin memberi tendangan sangat kasar, hingga pintu terbuka dengan lebar. Lelaki itu memang masih memiliki stamina seperti lelaki muda meski usianya sudah beranjak tua.“P-papa!” Leonel sangat terkejut karena pintu terbuka dengan tiba-tiba. Lelaki itu segera mendorong Livy dari atas tubuhnya. Wajahnya tampak pucat dengan jantung yang seakan berhenti berdetak.“Bajingan! Apa yang sedang kau lakukan?” Robin menghampiri putranya yang setengah telanjang. Ia beri hantaman keras pada wajah lelaki itu.Leonel tidak membela diri sama sekali. Ia biarkan dirinya mendapat pukulan dari sang ayah.Sementara Livy memungut pakaiannya di lantai dengan begitu santai. Ia tidak merasa malu sama sekali. Mempertontonkan tubuh polosnya pada dua pria yang ada di sana.“Airin sedang berjuang antara hidup dan mati, sementara kau asyik berduaan dengan wanita lain di sini! Di mana otakmu?!” Robin terus memberi pukulan di wajah tampan Leonel. Hingga punggung tangannya memerah karena noda darah dan juga bengkak karena hantaman yang sangat keras. Napasnya terdengar begitu memburu. Wajahnya terlihat sangat garang, seakan ia serupa hewan buas yang sedang menyerang buruan.“A-apa yang terjadi pada Airin?” Leonel bertanya dengan rasa takut yang luar biasa. Ia lindungi kepalanya dari hantaman sang ayah karena hantaman demi hantaman terasa seakan hendak membunuh dirinya.Robin berhenti memberi pukulan dengan cengkeram yang begitu kuat di leher Leonel. Membuat wajah lelaki itu memerah karena tidak bisa menghela napas. Napasnya tersekat di tenggorokan, ia berpikir ia akan mati di menit itu juga jika Robin tidak melepas cengkeraman.“Di mana Airin tadi malam?” Robin bertanya dengan tajam. Sorot matanya begitu menikam, membuat Leonel menjadi menciut karena merasa sangat takut.“Di rumah orangtuanya.” Leonel menjawab dengan tersendat karena napas yang begitu ngos-ngosan. Ia merasa perih yang luar biasa di wajah dan lehernya. Wajahnya lebam dengan hidung yang mengeluarkan darah dan bibir kiri yang pecah.“Aku tahu kau sedang berbohong. Airin tidak di rumah orangtuanya tadi malam. Di mana kau meninggalkannya? Jawab aku dengan jujur!” Lelaki itu tidak lagi menganggap Leonel sebagai putranya. Ia menyorot lelaki itu seperti orang asing yang telah menyakiti keluarganya.“Aku tidak tahu di mana dia tadi malam. Aku sudah berusaha menghubunginya, tapi nomornya tidak bisa dihubungi. Aku sudah mencarinya ke mana-mana dan tidak menemukannya di mana pun.” Leonel memasukkan kebohongan di sana. Jelas sekali tadi malam ia tidak mencari Airin sama sekali.“Mengapa kau begitu ceroboh? Aku sudah memberimu peringatan untuk tidak lepas perhatian darinya! Mengapa kau tidak menuruti perkataanku?” Robin kembali memukul Leonel dengan kasar.“Atau jangan-jangan kau yang sudah membayar orang untuk mengabisi nyawa istrimu demi wanita itu?” Robin menatap Livy dengan sangat tajam. Ia tandai wajah wanita itu. Berani sekali wanita itu masuk ke dalam kehidupan sang putra dan menghancurkan rumah tangganya.“Apa yang terjadi? Aku tidak mengerti sama sekali.” Leonel bertanya dengan gugup karena rasa takut. Bibirnya terasa sangat perih ketika berucap.“Orang tua Airin menjaganya dengan begitu ketat. Bahkan seekor nyamuk pun tidak ia izinkan menyakiti putrinya. Dan kau … kau membawa Airin ke ambang pintu kematian!” Robin meluapkan amarahnya. Ia kembali memukul, kali ini sasarannya ada di ulu hati sang putra.“Arght!” Loenel merasa seakan isi perutnya telah berpindah karena hantaman itu. Ia benar-benar tidak berdaya dengan serangan ayahnya.Livy yang berada di sana, merasa begitu terpesona dengan Robin. Lelaki itu tampak begitu gagah dan memesona ketika menghajar Leonel. Terlebih ia terlihat masih sangat tampan dengan fisik yang cukup menarik. Ia tidak pernah menduga jika ayah yang selalu Leonel bicarakan ternyata memiliki wujud setampan itu. Ia seperti Leonel di 15 tahun mendatang. Rambutnya tanpa uban. Namun, beberapa kerutan memang tampak menghiasi wajah tampannya.Livy tersenyum menatap pemandangan itu. Ia mulai mengubah strategi, tujuannya kini bukan lagi Leonel. Namun, ayahnya.“Apa yang terjadi pada Airin? Aku benar-benar tidak tahu.” Leonel mulai kehabisan tenaga. Mulutnya bahkan mengeluarkan darah karena hantaman Robin di perutnya.“Sangat mengerikan untuk dibicarakan. Jika aku tahu kondisinya akan begini karena menikah denganmu, aku tidak akan pernah setuju! Berdoa saja biar Airin bisa bangkit dari komanya. Jika dia sampai mati, aku akan membunuhmu.” Robin berucap dengan tajam, memberikan ancaman. Ia berbalik, lalu beranjak pergi dengan emosi yang tidak mereda sama sekali. Sebab, ia mendapati fakta jika selama ini Airin telah diselingkuhi.“Mengapa kau ke sini?” Robin mendorong Leonel dengan kesal saat mendapati sang putra mendatangi ruangan di mana Airin berada. Tidak ia izinkan lelaki itu menyentuh pintu ruangan Airin sama sekali.
Leonel hanya diam dengan tangan gemetar. Ia merasa sangat bersalah setelah mendengar penjelasan dari dokter. Polisi tengah melakukan penyelidikan sekarang. Ia tidak menyangka jika akan seperti ini jadinya. Mendengar kalimat Airin dilecehkan secara seksual oleh lebih dari satu orang, ia merasa begitu ngilu mendengarnya. Bahkan dokter berkata terjadi trauma di rahim Airin yang membuatnya akan kesulitan mendapat anak nantinya. Organ intim wanita itu juga lecet dan mendapatkan luka.
“Pergi kau dari sini!” Robin kembali mendorong karena Leonel tidak ingin pergi dari sana.
Leonel hanya diam, tidak sanggup berkata-kata karena ia penyebab dari ini semua. Andai ia tidak menurunkan Airin di tempat itu tadi malam, Airin pasti masih baik-baik saja sekarang.
“Kau tahu, Airin sangat mencintaimu. Aku tidak tahu apa yang sudah ia lalui selama menjadi istrimu, tapi setelah mendapati apa yang terjadi di kantor siang tadi, aku yakin Airin tidak bahagia dengan pernikahannya.” Robin berucap dengan suara serak. Merasa sakit sekali mendapati kondisi wanita yang begitu ia cintai.
Leonel hanya diam dengan tatapan yang menembus pintu kaca. Airin tampak sangat menyedihkan di dalam sana.
“Airin punya hadiah untukmu, ia sedang mempersiapkannya sekarang. Tapi, aku tidak yakin ia akan tetap menyerahkannya padamu setelah semua ini.” Robin berucap dengan lemah. “Perusahaan milik ayahnya akan diwariskan padanya. Tapi dia meminta agar namanya diganti dengan namamu. Karena dia sangat yakin kau bisa mengurus perusahaan dengan baik. Sementara dia akan menjadi ibu rumah tangga yang mengurus rumah dan anak-anak. Impiannya sangat sederhana. Ingin menjadi seorang istri dan ibu yang bahagia. Sayangnya dia salah memilih suami. Wanita berhati malaikat sepertinya harus menikah dengan lelaki iblis sepertimu.” Robin menekan setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya.
Seorang perawat datang untuk mengecek infus dan semua selang yang terpasang di tubuh Airin.
“Boleh saya masuk?” Leonel bertanya seraya menatap dengan sorot penuh harap.
“Apa Anda keluarganya?”
“Saya sua—”
“Dia orang asing.” Robin langsung memotong. “Saya mertuanya.” Lelaki matang yang tampan itu menambahkan.
“Silakan pakai APD yang disediakan. Hanya lima belas menit saja.” Perawat itu mengizinkan.Robin tampak sangat bersemangat. Ia langsung melakukan apa yang perawat itu katakan.Lima belas menit kali ini adalah lima belas menit paling berharga bagi Robin. Ia berdiri di samping brankar, menatap Airin dengan sangat dalam.Sementara Leonel hanya bisa menatap dari luar. Luka di wajahnya seakan tidak berarti apa-apa setelah ia melihat luka Airin. Lelaki itu menatap jemarinya, ia lupa kapan terakhir kali ia mengenakan cincin pernikahan mereka. Senyum Airin kini terbayang-bayang di pikirannya. Airin selalu bersikap begitu lembut dan manis sekeras dan sekasar apa pun ia bersikap.Ucapan Robin beberapa menit yang lalu terasa menusuk hatinya. “Wanita berhati malaikat sepertinya harus menikah dengan lelaki iblis sepertimu!” Kalimat itu terngiang-ngiang di otaknya. Matanya berkaca-kaca. Sadar jika ia telah melakukan banyak kesalahan. Tidak seharusnya ia memperlakukan Airin seperti itu. Seharusnya i
“Memang, ke mana mereka?” Arie bertanya dengan kering berkerut. Ia sudah berpesan pada Robin untuk mengatakan pada Airin bahwa malam ini mereka akan datang untuk berkunjung. Namun, ternyata pesannya tidak disampaikan ke orangnya.Leonel hendak memberi jawaban, tapi dering ponsel membuatnya urung berucap. Tertera nama Livy di layar ketika ia merogoh saku untuk mengecek siapa yang menghubungi. Ekspresi lelaki itu langsung berubah total. Wajahnya semakin terlihat pucat. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Keringat dingin tiba-tiba datang menyerang.Leonel menolak panggilan, ia tidak berani menerima panggilan Livy, sebab ada mertuanya di sana. Ia akan habis jika Arie tahu bahwa dirinya telah mendua.“Kenapa tidak diangkat? Itu dari Airin?” Lenzy bertanya dengan penuh harap. Rasa rindu dalam dada sudah memuncak, tidak sabar ingin bertemu dengan buah hati kesayangan. Meski Airin sudah 22 tahun dan telah memiliki suami seperi Leonel, tetap saja bagi mereka Airin hanyalah seorang anak kecil.
TIT!“Dokter! Dokter!” Robin berlari memanggil petugas ketika Airin memberikan tanda-tanda bahwa dirinya akan siuman.Tidak lama berselang, Robin kembali lagi bersama seorang dokter dan beberapa perawat untuk memeriksa kondisinya. Benar saja, saat dokter tiba di sana, Airin telah membuka mata. Wanita itu berkedip berulang kali untuk menyesuaikan pandangan dengan cahaya. Ia tampak begitu terganggu dengan cahaya ketika pertama kali membuka mata di saat bangkit dari koma.Airin seperti orang linglung, masih setengah sadar ketika ia menatap sekitar. Para petugas tampak sibuk dalam memeriksa kondisinya.Robin tampak begitu senang hingga matanya berkaca-kaca. Seminggu sudah Airin tidak sadarkan diri dan kini akhirnya bisa bangun kembali meski kondisinya masih belum membaik sama sekali.Airin tidak bisa berbicara, bahkan untuk membuka mulut pun ia tidak snaggup karena rahangnya masih terasa sangat sakit. Untung saja rahangnya hanya bergeser, tidak patah. Jadi, penyembuhannya tidak memakan wa
“Istri saya baik-baik saja kan, Dok?” Leonel tampak panik.Airin merasa senang ketika sang suami mengkhawatirkan dirinya. Hal yang tidak pernah ia terima dari lelaki itu sejak enam bulan terakhir. Mendapati wajah panik lelaki itu, ia merasa bahwa Leonel masih peduli dan mencintainya.“Kau menekan perutnya?”“Tidak, aku hanya memeluknya.”“Pelukanmu terlalu kuat sehingga menekan perutnya. Bengkak di perutnya akibat hantaman itu masih sangat sensitive. Organ dalamnya harus mendapat perawatan itensif selama beberapa hari ini. Tolong dijaga istrinya agar tidak melakukan gerakan berat. Dia harus itirahat total.” Dokter mengingatkan.“Saya akan menjaganya, Dok.” Leonel berucap dengan nada yang begitu meyakinkan.Airin meraih tangan suaminya, ia genggam tangan itu dan ia taruh di dadanya. Ia tidak ingin Leonel pergi meninggalkan dirinya. Sebab, ia merasa aman jika suaminya berada di sisinya.Leonel berkaca-kaca menatap istrinya. setelah apa yang ia lakukan selama ini hingga membuat istrinya
“Biarkan aku masuk, Pa.” Leonel memohon dengan sangat. Kali ini tidak ada yang ia harapkan selain bisa bertemu dengan Airin.“Kau hanya akan membuat sakitnya semakin parah.” Robin tetap tidak mengizinkan.“Aku ingin tahu kondisinya sekarang.”“Dia baik-baik saja selama kau tidak mendekatinya.” Robin berucap dengan tegas, lalu kembali menutup pintu.Airin menatap sang mertua dengan sorot penuh tanya. Harapannya sangat besar ingin agar Leonel berada di sisinya. Namun, Robin selalu saja menghalangi. Ia sedikit kecewa dan kesal akan sikap mertuanya itu.“Mas Leo.” Airin berucap dengan suara serak menahan tangis. Seakan protes pada Robin karena tidak mengizinkan Leonel untuk masuk.“Mengapa kau masih saja menginginkannya? Apa kau lupa kau jadi seperti ini karena ulahnya? Jika dia tidak bisa mencintaimu dengan baik, biar papa yang melakukan tugasnya.” Robin berucap dengan sangat lembut, berusaha menghibur hati Airin yang sedang kemalut.Airin menggeleng. “Mas Leonel ….” Wanita itu terus saj
“Airin!” Arie dan Lenzy berlari menuju ranjang di mana putri mereka tengah terbaring tak berdaya di sana.“Ya ampun, Sayang. Kenapa kamu jadi seperti ini, Nak?” Lenzy menangis memeluk tubuh putrinya yang penuh dengan luka.“Mami?” Airin cukup terkejut ketika kedua orangtuanya berada di sana. Setelah siuman, ini pertama kali kedua orang itu datang untuk bertemu dengannya. Di tengah malam seperti itu pula.Robin tidak main-main dengan ucapannya. Setelah meluapkan amarahnya pada Leonel beberapa saat yang lalu, ia segera menghubungi teman baiknya untuk memberitahu mereka mengenai kondisi Airin saat ini. Tentu saja mereka sangat terkejut sekaligus marah, sebab lebih dari seminggu sudah Airin dirawat dan baru malam ini mereka diberitahu mengenai kondisi wanita itu.Arie sangat marah saat tahu bahwa berita tentang putrinya itu benar adanya. Ia cukup kecewa pada Robin yang telah merahasiakan kondisi putrinya. Ia juga sangat kecewa karena orang yang ia percaya tidak bisa menjaga Airin seperti
“Kau selalu melarangku untuk meninggalkan jejak itu dalam percintaan kita. Sekarang aku tidak lagi penasaran seperti apa rasanya.” Livy berucap dengan senyuman. Senyum yang terlihat begitu jahat.Leonel mengeluarkan ponsel, memotret lehernya untuk memastikan sejelas apa bekasnya. Jemarinya meremas ponsel dengan begitu keras. Dadanya bergemuruh seakan ada api yang membara di sana. Ciuman Livy di lehernya hanya sekejap, tapi meninggalkan bekas yang begitu jelas terlihat. Itu membuktikan jika Livy memang sudah sangat lihai dalam hal itu. Apalagi ketika percintaan pertama mereka waktu itu, dia tidak lagi suci. Tidak seharusnya Leonel menaruh hati pada wanita yang tidak bisa menjaga kesucian semacam Livy.Bisa-bisanya mata hatinya tertutup, sehingga lebih memilih serbuk marimas seperti Livy dibanding serbuk emas seperti Airin.“Aku akan menghabisimu jika ini memberikan masalah dalam hidupku.” Leonel mengusap lehernya, berharap dengan itu bisa menyamarkan bekas merah di sana.Livy tertawa k
“Pi, Mas Leo sudah dikasih tau kalau Airin dipindah ke sini kan?” Airin bertanya dengan sangat lemah pada ayahnya. Bibir wanita itu tampak sangat pucat dan pecah-pecah.“Sudah, Sayang. Sudah papi kasih tahu kok.” Arie menjawab dengan senyuman. Diusapnya lembut ubun-ubun Airin dengan penuh kasih sayang. Ia terpaksa berbohong, sebab tidak ingin Airin bertemu kembali dengan Leonel. Apalagi ia mengetahui perselingkuhan lelaki itu dari Robin.Ayah mana yang tidak akan marah ketika tahu jika putri yang begitu ia sayangi disakiti hingga sedalam itu? Sedikit pun tidak akan ia beri ampun jika ia bertemu kembali dengan Leonel. Tidak akan ia beri maaf sedikit pun untuk Leonel meski lelaki itu bersujud memohon ampun di kakinya.“Pi … Mas Leonel belum datang, ya?” Airin tampak menunggu suaminya. Dari ranjang ruang VVIP itu ia selalu menoleh pada pintu ruangan, berharap Leonel segera datang. Ini sudah mulai larut malam, tapi ia tidak kunjung tidur karena menunggu Leonel menemuinya.“Jangan ditunggu
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener