Berbeda dengan keadaan Airin, di sofa apartemen lantai 12, Leonel tengah bercinta dengan begitu panas bersama sekretaris kesayangannya. Ia selalu saja bergairah setiap kali melihat wanita itu.
“Uuuuuh.” Livy mendesah. Ia menatap Leonel dengan penuh cinta. Seakan lelaki itu adalah miliknya. Lengannya ia lingkarkan ke leher lelaki itu. Ia menggigit bibir bawahnya untuk meredam kebisingan yang ia timbulkan.“Lepaskan saja. Kau tahu kan, aku lebih suka mendengar desahan.” Leonel berucap dengan napas yang terengah-engah.“Aku takut didengar oleh tetangga apartemen.” Wanita itu memiliki alasan yang kuat. Ia seorang wanita lajang. Reputasinya di lingkungan apartemen begitu baik. Semua tetangga mengenalnya sebagai wanita yang sopan dan penuh santun. Ia sangat ramah dan memilih senyum yang tampak manis. Siapa sangka di balik itu semua ia memiliki jiwa yang begitu liar. Bahkan dengan sadar diri menggoda suami orang hanya karena ia menyukainya. Tidak peduli dengan wanita yang menjadi pasangan lelaki itu.Leonel mendaratkan bibirnya di bibir seksi itu. Ia terus memaju mundurkan pinggangnya sembari melumat bibir yang membuat ia begitu kecanduan sehingga selalu ingin merasakan nikmatnya. Suara decakan terdengar ketika mereka saling melumat satu dengan yang lain.Livy merasa cukup sesak ketika tubuh besar milik Leonel menimpa tubuhnya. Namun, itu bisa ditutupi dengan rasa nikmat yang ia terima dari lelaki itu.“Aaaah.” Leonel mendesah. Kepalanya serasa ingin meledak karena merasa terlalu nikmat.Hanya saja, Leonel berhenti sejenak.Tiga menit setelah itu, ia bangkit dengan posisi berlutut. Livy ia tarik dan ia minta untuk melakukan pose menungging. Kembali ia mencari kepuasan dari sekretaris kesayangannya itu.“Aaahh.” Livy mendesah. “Besok ada meeting penting, jangan tinggalkan apa pun di leherku.”“Kau bisa menutupinya dengan rambut indahmu.” Leonel mencari alasan. Ia tinggalkan banyak bekas cupangan di sana.Mereka terus bercinta tanpa mengenal waktu. Hingga dering ponsel terdengar di tengah percintaan.Leonel mengabaikan. Ia terus menikmati tubuh Livy dengan penuh nafsu. Ia ingin menguras cairan cintanya sebanyak mungkin. Membuang bibit-bibit bayi begitu saja di atas lantai dan juga di atas perut Livy.Ponsel terus berdering.“Ck!” Loenel berdecak.“Coba kau periksa dulu. Barangkali penting.” Livy berucap dengan sangat lembut disertai desahan.“Tidak ada yang lebih penting dibanding tubuhmu.” Leonel kembali mengecup leher jenjang itu.Ponsel berdering entah untuk yang kesekian kali.Leonel tampak sangat kesal. Ia menebak jika itu adalah istrinya. Dalam hati ia berjanji akan memberikan Airin pelajaran ketika pulang nanti. Berani sekali wanita itu mengganggu keseruannya dalam menikmati tubuh Livy.Namun, bukan Airin yang menghubungi. Melainkan Robin. Air wajah Leonel berubah seketika. Ia berusaha menormalkan napasnya yang terdengar sangat memburu seakan ia habis olah raga berat malam ini.“Halo, Pa.” Leonel berucap dengan penuh sopan, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.Livy menghampiri. Ia peluk tubuh polos milik Leonel dari belakang. Ia mulai menggoda lelaki itu. Telapak tangannya yang halus menggenggam dan mengocok laras panjang milik Leonel. Wajah Leonel memerah dan memanas. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengeluarkan desahan-desahan.“Airin bersamamu?” Robin bertanya dengan penuh khawatir.“Iya. Dia sedang pergi membeli minum. Ada apa?”“Papa menghubunginya dua jam yang lalu, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Barusan papa hubungi lagi, tapi nomornya sudah tidak aktif. Kalian baik-baik saja?” Robin bertanya memastikan.“Kami baik-baik saja. Mungkin Hp Airin di-silent, jadi dia tidak tahu jika papa nelpon.”“Papa harap juga begitu. Kalian pulang sekarang, papa punya firasat tidak baik.”“Sebentar lagi, Pa. Airin masih ingin jalan-jalan.”“Ya sudah, kalian hati-hati di sana. Kau jaga istrimu baik-baik. Susul dia ke tempatnya membeli minum. Jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk padanya atau kau akan papa habisi.” Robin memberikan ancaman.“I-iya, Pa.” Leonel terdengar cukup takut mendapat ancaman itu.“Ada apa?” Livy bertanya setelah Leonel mematikan sambungan panggilan dan menaruh ponsel di atas meja kaca.“Wanita sialan itu bikin ulah. Dia pasti sengaja mematikan ponselnya agar aku dimarahi oleh ayahku.” Leonel berucap dengan kesal.Livy tersenyum manis. “Mengapa kau tidak menceraikannya saja? Aku sudah tidak tahan menjalin hubungan di belakang. Kadang aku juga ingin menunjukkan hubungan kita ke orang-orang. Terlebih teman-temanku.”“Aku sedang berusaha. Kau tahu kan, aku tidak akan bisa pisah dengannya jika bukan dia yang meminta lebih dulu. Dia yang punya kunci di dalam hubungan kami.”“Kau kurang kasar padanya. Kau harus bersikap lebih kasar lagi.”“Aku sudah bersikap sekasar mungkin.”“Beri dia pukulan.” Livy memberikan saran.“Ayahku akan memotong tanganku jika aku menyakitinya secara fisik.”“Apa istrimu memang mempunyai power sekuat itu?”“Dia anak tunggal kaya-raya dari teman ayahku. Ayahku punya hutang budi yang sangat besar pada mereka. Apa pun yang dia inginkan, ayahku merasa itu sebagai perintah yang harus dilakukan. Kau tahu, ayahku itu sangat galak dan tegas, tapi dia bisa sangat lembut pada Airin. Kadang aku ingin membunuhnya ketika aku merasa kesal. Dia benar-benar membuatku merasa sangat muak.”Livy semakin mengeratkan pelukan. Wajahnya ia tempelkan ke punggung lelaki itu.“Bagaimana jika kau beritahu istrimu tentang hubungan kita? Kurasa dia akan marah dan meminta pisah.” Livy menyarankan.“Kurasa itu bukan jalan terbaik. Aku akan terus mengabaikannya selama beberapa bulan ke depan, kita lihat sejauh mana dia bisa bertahan.”***
Tepat pukul sebelas malam, Leonel pamit untuk pulang meski sebenarnya ia ingin menetap di sana lebih lama lagi. Ia beri Livy kecupan di kening, lalu beranjak pergi.“Untuk apa aku berbohong?” Leonel berucap dengan serius. Ia tidak tampak seperti orang yang tengah menutupi sesuatu. Sebab, ia memang berpikir seperti itu.Robin menghela napas dengan kasar. Percaya begitu saja dengan ucapan putranya. Sebab, lelaki itu tidak terlihat seperti orang yang telah berbohong. Terlebih ia bisa melihat noda lipstick di kemeja Leonel. Berpikir jika itu bekas kecupan Airin. Itu artinya tidak terjadi apa-apa di antara keduanya.***Motor butut itu melaju dengan lambat. Sang pengendara menatap ke kiri dan kanan, mencari lahan rumput untuk makanan ternak. Ia baru saja mendapat info dari temannya jika rumput di sana sangat segar. Ketika menemukan padang rumput, ia menghentikan motornya dan turun dari kendaraan roda dua. Lelaki berkulit gelap itu membawa sabetan yang biasa ia gunakan untuk mengambil rumput.Ketika tengah sibuk menyabet, ia dikejutkan dengan sosok seorang wanita di sana. Awalnya ia berpikir jika itu hanya manekin rusak, sebab kulit Airin benar-benar b
“Airin!” Robin berlari menuju ruang di mana Airin tengah dirawat. Namun, langkahnya ditahan, sebab tidak ada yang bisa masuk ke sana untuk saat ini. Airin butuh perawatan yang sangat intensif.“Apa yang terjadi?” Lelaki paruh baya itu bertanya pada para petugas yang berada di sana. Mereka menjelaskan apa yang sudah terjadi.“Bagaiman mungkin? Tadi malam dia ada di rumah orangtuanya.” Robin tidak percaya sama sekali. Ia menatap dari pintu kaca. Tampak ada banyak selang yang terhubung dengan tubuh lemah itu. Airin bahkan belum terbangun sama sekali. Layar yang memonitor detak jantung menunjukkan bahwa detak jantung Airin sangat lemah saat ini.Robin merasa sangat panas. Tangannya terkepal, api amarah menguasai hati. Akan ia cari pelaku yang menodai menantunya, jika sudah ia temukan para pelaku itu, akan langsung ia habisi tanpa memberi ampun sama sekali.“Kau sudah memberitahu Leonel?” Robin bertanya pada Alex yang berdiri tidak jauh darinya.“Aku sudah berusaha menghubunginya, tapi pan
“Silakan pakai APD yang disediakan. Hanya lima belas menit saja.” Perawat itu mengizinkan.Robin tampak sangat bersemangat. Ia langsung melakukan apa yang perawat itu katakan.Lima belas menit kali ini adalah lima belas menit paling berharga bagi Robin. Ia berdiri di samping brankar, menatap Airin dengan sangat dalam.Sementara Leonel hanya bisa menatap dari luar. Luka di wajahnya seakan tidak berarti apa-apa setelah ia melihat luka Airin. Lelaki itu menatap jemarinya, ia lupa kapan terakhir kali ia mengenakan cincin pernikahan mereka. Senyum Airin kini terbayang-bayang di pikirannya. Airin selalu bersikap begitu lembut dan manis sekeras dan sekasar apa pun ia bersikap.Ucapan Robin beberapa menit yang lalu terasa menusuk hatinya. “Wanita berhati malaikat sepertinya harus menikah dengan lelaki iblis sepertimu!” Kalimat itu terngiang-ngiang di otaknya. Matanya berkaca-kaca. Sadar jika ia telah melakukan banyak kesalahan. Tidak seharusnya ia memperlakukan Airin seperti itu. Seharusnya i
“Memang, ke mana mereka?” Arie bertanya dengan kering berkerut. Ia sudah berpesan pada Robin untuk mengatakan pada Airin bahwa malam ini mereka akan datang untuk berkunjung. Namun, ternyata pesannya tidak disampaikan ke orangnya.Leonel hendak memberi jawaban, tapi dering ponsel membuatnya urung berucap. Tertera nama Livy di layar ketika ia merogoh saku untuk mengecek siapa yang menghubungi. Ekspresi lelaki itu langsung berubah total. Wajahnya semakin terlihat pucat. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Keringat dingin tiba-tiba datang menyerang.Leonel menolak panggilan, ia tidak berani menerima panggilan Livy, sebab ada mertuanya di sana. Ia akan habis jika Arie tahu bahwa dirinya telah mendua.“Kenapa tidak diangkat? Itu dari Airin?” Lenzy bertanya dengan penuh harap. Rasa rindu dalam dada sudah memuncak, tidak sabar ingin bertemu dengan buah hati kesayangan. Meski Airin sudah 22 tahun dan telah memiliki suami seperi Leonel, tetap saja bagi mereka Airin hanyalah seorang anak kecil.
TIT!“Dokter! Dokter!” Robin berlari memanggil petugas ketika Airin memberikan tanda-tanda bahwa dirinya akan siuman.Tidak lama berselang, Robin kembali lagi bersama seorang dokter dan beberapa perawat untuk memeriksa kondisinya. Benar saja, saat dokter tiba di sana, Airin telah membuka mata. Wanita itu berkedip berulang kali untuk menyesuaikan pandangan dengan cahaya. Ia tampak begitu terganggu dengan cahaya ketika pertama kali membuka mata di saat bangkit dari koma.Airin seperti orang linglung, masih setengah sadar ketika ia menatap sekitar. Para petugas tampak sibuk dalam memeriksa kondisinya.Robin tampak begitu senang hingga matanya berkaca-kaca. Seminggu sudah Airin tidak sadarkan diri dan kini akhirnya bisa bangun kembali meski kondisinya masih belum membaik sama sekali.Airin tidak bisa berbicara, bahkan untuk membuka mulut pun ia tidak snaggup karena rahangnya masih terasa sangat sakit. Untung saja rahangnya hanya bergeser, tidak patah. Jadi, penyembuhannya tidak memakan wa
“Istri saya baik-baik saja kan, Dok?” Leonel tampak panik.Airin merasa senang ketika sang suami mengkhawatirkan dirinya. Hal yang tidak pernah ia terima dari lelaki itu sejak enam bulan terakhir. Mendapati wajah panik lelaki itu, ia merasa bahwa Leonel masih peduli dan mencintainya.“Kau menekan perutnya?”“Tidak, aku hanya memeluknya.”“Pelukanmu terlalu kuat sehingga menekan perutnya. Bengkak di perutnya akibat hantaman itu masih sangat sensitive. Organ dalamnya harus mendapat perawatan itensif selama beberapa hari ini. Tolong dijaga istrinya agar tidak melakukan gerakan berat. Dia harus itirahat total.” Dokter mengingatkan.“Saya akan menjaganya, Dok.” Leonel berucap dengan nada yang begitu meyakinkan.Airin meraih tangan suaminya, ia genggam tangan itu dan ia taruh di dadanya. Ia tidak ingin Leonel pergi meninggalkan dirinya. Sebab, ia merasa aman jika suaminya berada di sisinya.Leonel berkaca-kaca menatap istrinya. setelah apa yang ia lakukan selama ini hingga membuat istrinya
“Biarkan aku masuk, Pa.” Leonel memohon dengan sangat. Kali ini tidak ada yang ia harapkan selain bisa bertemu dengan Airin.“Kau hanya akan membuat sakitnya semakin parah.” Robin tetap tidak mengizinkan.“Aku ingin tahu kondisinya sekarang.”“Dia baik-baik saja selama kau tidak mendekatinya.” Robin berucap dengan tegas, lalu kembali menutup pintu.Airin menatap sang mertua dengan sorot penuh tanya. Harapannya sangat besar ingin agar Leonel berada di sisinya. Namun, Robin selalu saja menghalangi. Ia sedikit kecewa dan kesal akan sikap mertuanya itu.“Mas Leo.” Airin berucap dengan suara serak menahan tangis. Seakan protes pada Robin karena tidak mengizinkan Leonel untuk masuk.“Mengapa kau masih saja menginginkannya? Apa kau lupa kau jadi seperti ini karena ulahnya? Jika dia tidak bisa mencintaimu dengan baik, biar papa yang melakukan tugasnya.” Robin berucap dengan sangat lembut, berusaha menghibur hati Airin yang sedang kemalut.Airin menggeleng. “Mas Leonel ….” Wanita itu terus saj
“Airin!” Arie dan Lenzy berlari menuju ranjang di mana putri mereka tengah terbaring tak berdaya di sana.“Ya ampun, Sayang. Kenapa kamu jadi seperti ini, Nak?” Lenzy menangis memeluk tubuh putrinya yang penuh dengan luka.“Mami?” Airin cukup terkejut ketika kedua orangtuanya berada di sana. Setelah siuman, ini pertama kali kedua orang itu datang untuk bertemu dengannya. Di tengah malam seperti itu pula.Robin tidak main-main dengan ucapannya. Setelah meluapkan amarahnya pada Leonel beberapa saat yang lalu, ia segera menghubungi teman baiknya untuk memberitahu mereka mengenai kondisi Airin saat ini. Tentu saja mereka sangat terkejut sekaligus marah, sebab lebih dari seminggu sudah Airin dirawat dan baru malam ini mereka diberitahu mengenai kondisi wanita itu.Arie sangat marah saat tahu bahwa berita tentang putrinya itu benar adanya. Ia cukup kecewa pada Robin yang telah merahasiakan kondisi putrinya. Ia juga sangat kecewa karena orang yang ia percaya tidak bisa menjaga Airin seperti
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener