“Mas ….” Airin menyambut dengan senyuman ketika Leonel pulang. Ia peluk tubuh atletis itu dengan penuh kasih sayang. Ia bermanja di sana, mendongak menatap wajah suaminya.
“Aku capek, Airin.” Leonel berucap dengan wajah masam. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan. Tampak sekali jika ia merasa sangat risih ketika dipeluk oleh sang istri.Airin melepas pelukan. Wajahnya tampak berbinar, manik matanya memancarkan cahaya kebahagiaan. Ia menjinjit, memberi kecupan lembut di bibir Leonel.“Ck!” Leonel berdecak. Ia usap bibirnya untuk menghapus bekas ciuman Airin di sana.Air wajah Airin tampak berubah. Jelas saja itu sangat menyakiti hatinya. Sebelumnya Leonel masih ingin menciumnya, tapi kini lelaki itu seakan merasa sangat jijik kepadanya.Leonel berlalu begitu saja, meninggalkan Airin yang tengah berdiri membatu di depan pintu masuk. Wanita itu masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap berpikir positif. Tidak ingin ia menyakiti hatinya dengan berprasangka buruk pada sang suami.Terdengar helaan napas kasar berasal dari Airin. Wanita itu ikut melangkah setelah sosok suaminya menghilang dari jangkauan pandang. Ia susul lelaki itu menuju kamar. Leonel tengah terkapar di ranjang ketika ia masuk ke sana.Airin menyunggingkan senyum ketika manik mata mereka saling beradu. Tidak ingin ia menunjukkan wajah kecewanya pada sang suami. Barangkali Leonel telah melewati hari yang buruk di kantor, sehingga mood-nya selalu hancur ketika ia pulang.Senyum Airin memudar ketika Leonel mengalihkan pandangan. Bukannya membalas senyum sang istri, ia malah membuang muka menatap ke sudut yang lain. Lelaki itu berbalik, memunggungi Airin yang melangkah menuju ranjang.“Mas, apa aku melakukan kesalahan? Kalau kamu kesal terhadap sesuatu yang aku lakukan, beritahu aku. Aku tidak akan bisa mengetahui kesalahanku jika kamu tidak memberitahuku.” Airin berucap dengan sangat lembut. Ia berlutut di lantai, melepas sepatu dan kaus kaki Leonel seperti yang ia lakukan setiap hari.Leonel tidak menanggapi. Lelaki itu hanya diam dengan mata yang terpejam.Airin menghela napas dengan kasar. Ia bangkit berdiri, meletakkan sepasang sepatu itu di sudut kamar. Setelahnya, ia beranjak menuju lemari untuk mengambil pakaian ganti bagi Leonel.Airin menatap suaminya yang kini telah terlelap dengan pulas. Ia tatap sosok lelaki itu dengan begitu lekat. Berusaha mengingat kesalahan apa yang sudah ia perbuat hingga hubungan mereka menjadi seperti ini. Leonel tidak lagi sehangat yang dulu. Ia tidak lagi pernah menangkap sorot cinta dari setiap tatapan yang Leonel berikan untuknya. Ia bisa merasakan jika kehadirannya dibenci oleh suaminya.“Mas, makan dulu sebelum tidur.” Airin berucap dengan lembut. Ia mendekat, duduk di tepian ranjang.Namun, Leonel tidak memberi tanggapan sama sekali.“Sayang ….” Airin mengguncang tubuh suaminya dengan pelan, membangunkan.“Apa sih?” Leonel tampak kesal. Ia bahkan mulai menunjukkan ketidaksukaannya pada Airin.“Makan dulu. Kamu bisa sakit kalau selalu tidur dengan perut kosong.” Airin berucap dengan penuh perhatian.“Aku sudah kenyang.” Leonel berucap dengan ketus.“Kamu makan di kantor?”“Aku ngantuk, Airin! Apa kau tidak bisa membiarkanku merasa tenang sedikit saja? Kau selalu saja menggangguku!” Leonel berucap dengan kasar. Ia meninggikan suara, menunjukkan bahwa ia tidak suka.“Kamu marah?” Mata Airin mulai berkaca-kaca. Ia tidak pernah dibentak selama hidupnya, bahkan oleh orangtuanya. Ia selalu dimanja sedari kecil hingga dewasa. Wajar saja jika bentakan kecil yang Leonel berikan melukai perasaannya. Apalagi ia sangat mencintai lelaki itu. Cintanya pada sang suami lebih besar dibanding rasa cintanya pada diri sendiri.Leonel tidak lagi berucap. Lelaki itu berbalik, memeluk bantal guling dan kembali melanjutkan tidur yang sempat terjeda. Dalam sekejap saja, helaan napasnya sudah terdengar begitu teratur. Pertanda bahwa ia sudah terjatuh dalam tidur.Airin menghela napas dengan kasar. Ia sudah tidak sanggup menahan perasaan. Lekas ia bangkit berdiri, lalu beranjak keluar dari kamar. Tangis wanita itu pecah juga pada akhirnya. Ia tidak berani menangis di dalam kamar karena takut membangunkan suaminya.Airin menangis tersedu-sedu. Merasa sangat sakit atas perlakuan lelaki itu. Leonel memang tidak menyakitinya secara fisik, lelaki itu juga masih bertanggungjawab atas nafkah materi. Namun, perasannya terasa dicabik-cabik setelah diperlakukan seperti itu.Bunyi bel menghentikan tangis Airin. Wanita itu menghela napas dengan dalam, berusaha menetralisir perasaan. Ia usap kedua pipinya dengan kasar. Lekas ia menuruni anak-anak tangga, membukakan pintu untuk tamu yang entah siapa.“Papa.” Airin tersenyum menyambut bapak mertuanya. Ia mencium punggung tangan lelaki itu, lalu mempersilakannnya untuk masuk.“Kamu habis nangis?” Robin bertanya dengan penuh perhatian. Diusapnya puncak kepala Airin dengan penuh kasih sayang.“Ah, tidak, Pa.” Airin berbohong menjawab.Robin menghela napas dengan dalam. Ia tahu jika Airin telah berbohong. Hanya dengan menatap matanya yang sembab, semua orang tahu jika ia baru saja menangis.“Leo di mana? Belum pulang?” Robin menatap rumah yang tampak sunyi.“Sudah tidur, Pa. Kelelahan kayaknya.” Airin menghempaskan bokong di sofa berseberangan dengan bapak mertuanya.“Setiap papa ke sini, anak itu selalu tidur. Apa dia tidur sampai pagi?”“Iya, Pa.” Airin terus tersenyum.“Hubungan kalian baik-baik saja? Kau tidak menyembunyikan sesuatu dari papa kan?” Robin menyelidik.“Apa yang bisa aku sembunyikan dari Papa? Papa selalu tahu segala hal sebelum kuberitahu.” Airin melakukan pembelaan, mencari kalimat yang pas sebagai alasan.“Lalu, kenapa kau menangis?” Lelaki paruh baya itu menatap dengan dalam. Alis kanannya terangkat menunggu jawaban.“Aku tidak menangis, Papa.” Airin tetap saja membantah.“Jangan bohong sama papa.”Airin menggeleng. Berusaha meyakinkan Robin bahwa ia baik-baik saja.Robin menatap begitu lekat. Tatapannya untuk Airin lebih dari sekadar tatapan seorang ayah pada anaknya. Manik mata itu menunjukkan perasaan cinta yang berbeda. Pikirannya liar setiap kali ia menatap sosok Airin. Dadanya berdebar, terasa membuncah karena perasaan cinta yang meluap-luap.“Papa akan tinggal di sini.” Robin berucap dengan nada yang tidak meminta persetujuan sama sekali.“Ti-tinggal di sini?” Airin tampak gugup mendengar ucapan Robin. Ia tampak resah. Wajahnya sedikit pucat. Hal itu semakin meyakinkan Robin jika ada hal yang tengah disembunyikan oleh Airin. Tidak mungkin wanita itu memberikan ekspresi keberatan jika memang tidak terjadi sesuatu di rumah itu.“Kau keberatan?” Robin bertanya memastikan. Ia menyorot semakin dalam.Airin menggigit bibir bawahnya. Ia tampak tengah berpikir dengan berat.“Aku tidak bisa memutuskan tanpa persetujuan Mas Leo.”“Leo pasti akan setuju.”“Tapi, Pa—”“Apa kau tidak nyaman jika papa tinggal di sini?”Airin menggeleng dengan pelan. Ia senang jika Robin tinggal bersama mereka, sebab itu bisa sedikit mengisi kekosongan hidupnya. Kehadiran Robin akan mengusir rasa kesepian yang mendera dirinya setengah tahun terakhir. Namun, ia takut jika Robin sampai tahu permasalahan rumah tangga mereka yang sedang tidak baik-baik saja. Ia tidak ingin mertuanya tahu jika ia dan Leonel tidak seharmonis biasanya.“Sayang ….” Airin memanggil dengan sangat lembut. Ia usap rambut belakang suaminya, membangunkan.“Hmmm.” Leonel hanya mendehem. Kepalanya ia tolehkan ke arah lain, tetap tidur dengan posisi telungkup.“Ayo bangun, sudah siang.” Ditepuknya pundak Leonel dengan pelan.“Aku masih mengantuk. Ini hari libur, biarkan aku tidur.”“Ada papa di luar.”Mendengar kalimat itu, seketika rasa ngantuk Leonel mendadak menghilang. Ia lekas duduk, matanya yang semula sayu, kini berubah menjadi sangat segar.“Mengapa kau tidak bilang padaku?”“Aku sudah memberitahumu.”“Ck!” Leonel berdecak. Ia usap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu beranjak turun dari ranjang. Secepat kilat ia beranjak menuju kamar mandi.Airin menghela napas dengan dalam. Ia ikut bangkit, beranjak menuju lemari untuk menyiapkan baju ganti. Hal yang paling ia sukai adalah ketika Leonel mengenakan pakaian yang ia pilih, juga memakan masakan yang ia hidangkan. Hanya dua hal itu kini yang bisa membuat hatinya senang. Sebab, hub
[Sayang, kau tidak jadi ke sini? Ini sudah hampir jam delapan malam. Kau bilang kau akan datang jam lima sore.] Sebuah pesan masuk dari Livy.Leonel menghela napas dengan dalam. Ia menoleh, menatap istri dan ayahnya yang tengah berbincang di depan televisi. Keduanya tampak sangat akrab. Ada banyak hal yang tengah mereka bicarakan.[Aku sudah rindu goyanganmu. Ah, aku sudah basah hanya dengan membayangkanmu saja. Aku sangat horny sekarang.] Wanita itu kembali mengirimkan pesan.[Aku akan ke sana sebentar lagi. Aku harus mencari alasan karena ayahku ada di sini.][Apa dia akan melarangmu? Sementara istri bodohmu itu tidak pernah melarang kau pergi ke mana saja.][Aku takut pada ayahku.][Apa dia galak?][Sangat.][Aku menunggumu, cepatlah datang.]Lagi, Leonel menghela napas dengan dalam. Ia bangkit berdiri, meraih kunci mobil dan hendak beranjak pergi.“Mau ke mana kau?” Robin bertanya dengan sorot begitu dalam menatap sang putra.“Aku keluar sebentar, mau cari angin. Ini malam minggu,
Airin bahkan hampir kehilangan napas dengan wajah memerah. Wanita itu sama sekali tidak bisa menghirup oksigen.Lampu mobil yang mati membuat Airin tidak bisa mengenali wajah para pelaku.“Hantam saja biar dia berhenti memberontak.” Salah satu dari mereka berucap.Plak! Wajah Airin digampar dengan sangat kuat. Membuat wanita malang itu langsung kehilangan kesadaran. Tampak darah segar keluar dari lubang hidungnya. Sudut bibirnya pecah, pipinya bengkak dan biru lebam.Salah satu dari lelaki itu menjilat wajah Airin. Lidahnya dengan kasar menghapus darah yang mengalir dari hidung wanita itu. Seakan cairan merah itu berupa sirup manis baginya.“Kalung ini sepertinya mahal.” Kalung berlian yang Airin kenakan ditarik dengan kasar. Lalu, dikantongkan.“Sepertinya dia anak orang kaya. Kita bisa kesusahan jika membebaskannya. Sebaiknya dia kita bunuh saja.” Salah satu dari mereka berucap.Ponsel yang berada di dalam tas Airin berdering. Tertulis nama sang bapak mertua di sana. Tampaknya lelak
Berbeda dengan keadaan Airin, di sofa apartemen lantai 12, Leonel tengah bercinta dengan begitu panas bersama sekretaris kesayangannya. Ia selalu saja bergairah setiap kali melihat wanita itu. “Uuuuuh.” Livy mendesah. Ia menatap Leonel dengan penuh cinta. Seakan lelaki itu adalah miliknya. Lengannya ia lingkarkan ke leher lelaki itu. Ia menggigit bibir bawahnya untuk meredam kebisingan yang ia timbulkan.“Lepaskan saja. Kau tahu kan, aku lebih suka mendengar desahan.” Leonel berucap dengan napas yang terengah-engah.“Aku takut didengar oleh tetangga apartemen.” Wanita itu memiliki alasan yang kuat. Ia seorang wanita lajang. Reputasinya di lingkungan apartemen begitu baik. Semua tetangga mengenalnya sebagai wanita yang sopan dan penuh santun. Ia sangat ramah dan memilih senyum yang tampak manis. Siapa sangka di balik itu semua ia memiliki jiwa yang begitu liar. Bahkan dengan sadar diri menggoda suami orang hanya karena ia menyukainya. Tidak peduli dengan wanita yang menjadi pasangan l
“Untuk apa aku berbohong?” Leonel berucap dengan serius. Ia tidak tampak seperti orang yang tengah menutupi sesuatu. Sebab, ia memang berpikir seperti itu.Robin menghela napas dengan kasar. Percaya begitu saja dengan ucapan putranya. Sebab, lelaki itu tidak terlihat seperti orang yang telah berbohong. Terlebih ia bisa melihat noda lipstick di kemeja Leonel. Berpikir jika itu bekas kecupan Airin. Itu artinya tidak terjadi apa-apa di antara keduanya.***Motor butut itu melaju dengan lambat. Sang pengendara menatap ke kiri dan kanan, mencari lahan rumput untuk makanan ternak. Ia baru saja mendapat info dari temannya jika rumput di sana sangat segar. Ketika menemukan padang rumput, ia menghentikan motornya dan turun dari kendaraan roda dua. Lelaki berkulit gelap itu membawa sabetan yang biasa ia gunakan untuk mengambil rumput.Ketika tengah sibuk menyabet, ia dikejutkan dengan sosok seorang wanita di sana. Awalnya ia berpikir jika itu hanya manekin rusak, sebab kulit Airin benar-benar b
“Airin!” Robin berlari menuju ruang di mana Airin tengah dirawat. Namun, langkahnya ditahan, sebab tidak ada yang bisa masuk ke sana untuk saat ini. Airin butuh perawatan yang sangat intensif.“Apa yang terjadi?” Lelaki paruh baya itu bertanya pada para petugas yang berada di sana. Mereka menjelaskan apa yang sudah terjadi.“Bagaiman mungkin? Tadi malam dia ada di rumah orangtuanya.” Robin tidak percaya sama sekali. Ia menatap dari pintu kaca. Tampak ada banyak selang yang terhubung dengan tubuh lemah itu. Airin bahkan belum terbangun sama sekali. Layar yang memonitor detak jantung menunjukkan bahwa detak jantung Airin sangat lemah saat ini.Robin merasa sangat panas. Tangannya terkepal, api amarah menguasai hati. Akan ia cari pelaku yang menodai menantunya, jika sudah ia temukan para pelaku itu, akan langsung ia habisi tanpa memberi ampun sama sekali.“Kau sudah memberitahu Leonel?” Robin bertanya pada Alex yang berdiri tidak jauh darinya.“Aku sudah berusaha menghubunginya, tapi pan
“Silakan pakai APD yang disediakan. Hanya lima belas menit saja.” Perawat itu mengizinkan.Robin tampak sangat bersemangat. Ia langsung melakukan apa yang perawat itu katakan.Lima belas menit kali ini adalah lima belas menit paling berharga bagi Robin. Ia berdiri di samping brankar, menatap Airin dengan sangat dalam.Sementara Leonel hanya bisa menatap dari luar. Luka di wajahnya seakan tidak berarti apa-apa setelah ia melihat luka Airin. Lelaki itu menatap jemarinya, ia lupa kapan terakhir kali ia mengenakan cincin pernikahan mereka. Senyum Airin kini terbayang-bayang di pikirannya. Airin selalu bersikap begitu lembut dan manis sekeras dan sekasar apa pun ia bersikap.Ucapan Robin beberapa menit yang lalu terasa menusuk hatinya. “Wanita berhati malaikat sepertinya harus menikah dengan lelaki iblis sepertimu!” Kalimat itu terngiang-ngiang di otaknya. Matanya berkaca-kaca. Sadar jika ia telah melakukan banyak kesalahan. Tidak seharusnya ia memperlakukan Airin seperti itu. Seharusnya i
“Memang, ke mana mereka?” Arie bertanya dengan kering berkerut. Ia sudah berpesan pada Robin untuk mengatakan pada Airin bahwa malam ini mereka akan datang untuk berkunjung. Namun, ternyata pesannya tidak disampaikan ke orangnya.Leonel hendak memberi jawaban, tapi dering ponsel membuatnya urung berucap. Tertera nama Livy di layar ketika ia merogoh saku untuk mengecek siapa yang menghubungi. Ekspresi lelaki itu langsung berubah total. Wajahnya semakin terlihat pucat. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Keringat dingin tiba-tiba datang menyerang.Leonel menolak panggilan, ia tidak berani menerima panggilan Livy, sebab ada mertuanya di sana. Ia akan habis jika Arie tahu bahwa dirinya telah mendua.“Kenapa tidak diangkat? Itu dari Airin?” Lenzy bertanya dengan penuh harap. Rasa rindu dalam dada sudah memuncak, tidak sabar ingin bertemu dengan buah hati kesayangan. Meski Airin sudah 22 tahun dan telah memiliki suami seperi Leonel, tetap saja bagi mereka Airin hanyalah seorang anak kecil.
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener