Bab 61. Pelukan Nestapa
Saat jeda sepuluh menit menjelang salat asar yang kebetulan tidak ada pelanggan baru lagi, mereka menutup pagar sementara. Hanya ada beberapa orang yang makan di tempat, tentu saja mereka adalah sekumpulan makhluk genit yang sudah lama merindukan kepulangan Nawaf.
Keuntungan hari ini belum mereka hitung, menunggu kelar saja. Empat puluh delapan pelanggan online tentu saja membuat Ainun tidak kalah sibuknya membalas pesan mereka satu per satu yang langsung di arahkan ke Whats-App.
Ainun membuat grup dadakan agar bisa me-list pesanan mereka. Nanti peserta bisa keluar kalau sudah menerima bakso itu sekaligus mengomentari rasa dan sebagainya.
Lelah menjawab pertanyaan mereka. Ainun menggunakan voice note. Jika pertanyaan itu dari seorang lelaki, Diqi inisiatif membalas, begitu pula sebaliknya.
Kelar, lima kurir berangkat menuju lokasi. Nawaf dan Nizar mengangkat kursi kayu panjang, kemudian mereka berlima duduk di sana, menunggu
Bab 62. Kesengajaan"Siapa yang menjadi orang ketiga?" Diqi langsung berdiri di hadapan Ainun.Mereka semua perlahan mundur melihat tatapan tajam dari lelaki itu. Setelahnya, menyerahkan uang pada Alia, kabur bersama-sama.Stok bakso tinggal sedikit, begitu juga dengan es teh manis. Namun, suasana hati Ainun sudah rusak. Gadis itu duduk di kursi panjang semula, kemudian bersandar sambil menghela napas panjang.Pikirannya tidak bisa tenang. Semenjak ditinggal Nizar, dia selalu mendapat ledekan dari orang-orang bahkan kepada mereka yang tidak dia kenal.Sementara itu, Alia tersenyum manis. "Biar jualannya dilanjut Nizar sama Kak Nawaf. Ayo, kita masuk ke dalam. Diqi juga pasti capek.""Aku bantu mereka saja," sahut Diqi masih tanpa senyuman. Lelaki berkulit putih itu sangat tidak suka apabila ada yang berani menyakiti hati Ainun dengan sengaja.Mereka bertiga kembali jualan. Ah ya, Rania ternyata masih di sana. Akan tetapi, Alia tidak b
Bab 63. Menikahlah, Ainun"Itu karena Rania. Dia salah paham tentang isi percakapan palsu yang dibuat oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Intinya Ainun sendiri sudah jelas melupakan Nizar!" Jawaban dari Alia berhasil membungkam pertanyaan tetangga.Nizar yang sejak tadi diam terpaksa menyuruh mereka pulang dan menganggap grand opening sudah berakhir meskipun masih ada satu jam lagi juga stok masih ada.Mereka mengunci gerbang, kemudian langsung masuk rumah setelah merapikan semuanya. Stok yang masih ada bisa dijual lagi besok, sedangkan es teh manis akan mereka minum sendiri.Ainun ingin pamit, tetapi mereka justru melarangnya. Ya, Nawaf mencengkram lengan gadis bermata indah itu memaksa untuk tetap duduk di ruang tamu. Untung saja dia selalu memakai gamis, jadi mereka tidak bersentuhan secara langsung."Ada yang mau aku sampaikan sama kamu, Ainun. Ini terkait dengan segala hinaan, cemooh serta prasangka buruk mereka ketika melihatmu. Tidak sem
Bab 64. Perihal Takdir"Akan apa?"Ainun mengulum senyum berusaha mengingat nasihat sang umi. Katanya, ikhlas itu bukan merelakan sesuatu dengan air mata, tetapi bisa merelakan sesuatu dengan senyuman.Adapun cara terbaik untuk bisa merelakan sesuatu adalah dengan meyakini bahwa apa pun yang datang, pasti akan pergi.Setelah itu, Ainun menjawab, "aku akan memikirkannya. Kalau sekarang jualan sudah selesai, aku mau pamit pulang dulu. Mau bantu umi memasak."Mereka semua mengulum senyum. Diqi pun berdiri, menawarkan diri untuk mengantar. Bu Zahra yang ternyata masih istirahat tidak bisa keluar, jadi Ainun pulang begitu saja diantar oleh Diqi.Mereka duduk dalam satu kendaraan yang sama, tetapi dipisahkan oleh tas ransel Diqi. Motor melaju dengan kecepatan sedang.Dalam perjalanan, timbul sebuah pertanyaan dari lelaki yang sedang mengemudi itu. Dia penasaran akan satu hal. Berdehem, menengok pada spion sebelum akhirnya bertanya, "kamu ko
Bab 65. Lelaki Menyebalkan"Umi, kalau bisa ambil tali sekarang soalnya ada yang ngintip ke kamar Ainun. Nanti aku ceritain, Mi," kata Alia setengah berbisik.Bu Madinah mengangguk, kemudian melangkah cepat masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Alia dan Ainun terus waspada melihat mereka bergulat.Dalam beberapa menit, Nizar berhasil membuat lelaki misterius itu tersungkur ke belakang membuatnya terbaring di lantai. Segera setelah Bu Aminah datang membawa tali dan melemparnya pada Nizar, lelaki itu sudah dalam keadaan tangan terikat di belakang."Buka topengnya!" pinta Alia lantas mendekati mereka berdua.Masih dalam keadaan napas tersengal ketika Nizar menarik paksa kain yang menutupi seluruh kepala lelaki itu. Bukan main, Ainun menggeram lantas menendang lututnya karena emosi sudah meluap sampai ke ubun-ubun."Jadi kamu yang selalu nakutin aku tiap malam? Niat banget nintip? Untung aja aku tidur memakai jilbab juga matiin lampu, kalau nggak
Bab 66. Berbunga-Bunga"Sayang, hari ini aku kayaknya bakal pulang terlambat soalnya bulan depan itu hari jadi sekolah yang ke empat puluh. Semua guru dan kepala sekolah harus ikut rapat buat ngebahas acara dan lomba. Kebetulan guru olahraga cuma aku, jadi gak bisa diwakilkan." Nizar menjelaskan setelah mendapat pesan lima menit yang lalu dari kepala sekolah.Alia mengangguk. Sekolah tempat Nizar mengajar itu memang selalu merayakan anniversary setiap lima tahun. Jadi, mau tidak mau Nizar memang harus ikut karena ada lomba azan, hafalan juz 30 sekaligus lomba tilawah qur'an yang diikuti oleh kelas empat, lima dan enam."Oh iya, nanti aku mampir juga ke rumah Ustazah Halimah buat minta izin, kamu ngajinya malam saja. Soalnya kalau cuma Kak Nawaf yang jualan, bisa tidak adil," lanjut Nizar lagi sambil memakai pecinya."Iya, Sayang.""Makanya, sebelum menikah itu dianjurkan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya karena kehidupan setelah menikah itu berbeda
Bab 67. Orang dari Masa Lalu"Apa? Tadi kamu bilang apa?"Rania mendekat, sambil memanyunkan bibir. Kedua tangannya disembunyikan dalam saku gamis. Ya, dari segi penampilan semakin mirip dengan Ainun."Masa Kak Nawaf nggak dengar?""Dengar, cuma takut salah dengar. Coba diulang!""Oalah, pantesan pesan aku gak dibales. Ternyata Ayang udah sibuk jualan?""Maaf, nama aku masih tetap Nawaf, dan oh kamu ada pesanan?"Rania memutar bola mata malas lantas duduk di dekat Diqi. Kembali memaksakan senyum. "Itu loh, maksudnya tadi aku kirim chat di Whats-App, tapi gak ada balasan sampai sekarang. Ternyata Ayang udah sibuk jualan.""Bukan, namaku bukan Ayang. Masih Nawaf!""Bakso love-nya satu sama es teh, Yang."Nawaf menarik napas panjang, memejamkan mata, lalu kembali menyiapkan pesanan dari pelanggan online. Tiga porsi bakso meriang biasa, satu porsi bakso meriang love dan dua es teh manis.Setelah menyiapkan semu
Bab 68. Rasa PenasaranNawaf membuat pesanan dibantu oleh Diqi. Sementara Alia masih terus memposting di berbagai akun sosial media. Untung saja Ainun datang satu menit setelah dia mengomel.Gadis itu meminta maaf karena datang sangat terlambat. Dia mengatakan kalau tadi diserang penyakit perut karena tidak sengaja makan mie instan pedas.Sebenarnya kalau dibilang tidak sengaja itu adalah alasan saja karena semua orang bisa saja menghindar kecuali tidak tahu kalau makanan itu pedas, misal dia buat atau mati rasa dan apakah mungkin?Namun, alasan Ainun diterima karena dia tahu tidak mungkin gadis itu berbohong demi menghindari pekerjaan. Satu bulan ke depan dia akan menerima gaji yang akan ditentukan oleh Nawaf, jadi memang tidak ada alasan untuk kabur."Sekarang udah mendingan?" tanya Alia penasaran.Gadis bermata indah itu mengangguk, walaupun tetap saja tidak bisa menutupi semuanya karena wajah dan bibirnya pucat pasi."Ainun, bisa
Bab 69. Bukan Inginku"Alia, ponsel Nizar tolong diambil. Aku sibuk mengedit video!" pinta Ainun dengan tatapan tak bersahabat.Padahal dia hanya sibuk mencatat alamat, belum sampai mengedit video. Akan tetapi Alia memilih mengangguk dan mengambil ponsel Nizar ketimbang memperpanjang masalah.Perempuan itu menduga kalau Ainun tidak ingin menyentuh benda apa pun yang menjadi milik Nizar. Sebenarnya bagus karena dia sedang berusaha melupakan masa lalu, tetapi tetap saja semua menjadi kaku.Mereka kembali melanjutkan pekerjaan. Setelah selesai mencatat alamat, Diqi datang sendirian dan langsung duduk di dekat Ainun. Meski ketahuan punya rasa, tetap saja dia percaya diri karena mereka sudah lama bersahabat."Sibuk apa, Ai?""Ini baru mau ngedit video. By the way, kenapa pulang sendiri? Kak Nawaf mana?"Diqi menoleh ke segala arah dan menyadari kalau Nawaf tidak pulang bersamanya. Padahal sejak tadi dia sibuk cerita. Pantas saja orang-oran