Bab 64. Perihal Takdir
"Akan apa?"
Ainun mengulum senyum berusaha mengingat nasihat sang umi. Katanya, ikhlas itu bukan merelakan sesuatu dengan air mata, tetapi bisa merelakan sesuatu dengan senyuman.
Adapun cara terbaik untuk bisa merelakan sesuatu adalah dengan meyakini bahwa apa pun yang datang, pasti akan pergi.
Setelah itu, Ainun menjawab, "aku akan memikirkannya. Kalau sekarang jualan sudah selesai, aku mau pamit pulang dulu. Mau bantu umi memasak."
Mereka semua mengulum senyum. Diqi pun berdiri, menawarkan diri untuk mengantar. Bu Zahra yang ternyata masih istirahat tidak bisa keluar, jadi Ainun pulang begitu saja diantar oleh Diqi.
Mereka duduk dalam satu kendaraan yang sama, tetapi dipisahkan oleh tas ransel Diqi. Motor melaju dengan kecepatan sedang.
Dalam perjalanan, timbul sebuah pertanyaan dari lelaki yang sedang mengemudi itu. Dia penasaran akan satu hal. Berdehem, menengok pada spion sebelum akhirnya bertanya, "kamu ko
Bab 65. Lelaki Menyebalkan"Umi, kalau bisa ambil tali sekarang soalnya ada yang ngintip ke kamar Ainun. Nanti aku ceritain, Mi," kata Alia setengah berbisik.Bu Madinah mengangguk, kemudian melangkah cepat masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Alia dan Ainun terus waspada melihat mereka bergulat.Dalam beberapa menit, Nizar berhasil membuat lelaki misterius itu tersungkur ke belakang membuatnya terbaring di lantai. Segera setelah Bu Aminah datang membawa tali dan melemparnya pada Nizar, lelaki itu sudah dalam keadaan tangan terikat di belakang."Buka topengnya!" pinta Alia lantas mendekati mereka berdua.Masih dalam keadaan napas tersengal ketika Nizar menarik paksa kain yang menutupi seluruh kepala lelaki itu. Bukan main, Ainun menggeram lantas menendang lututnya karena emosi sudah meluap sampai ke ubun-ubun."Jadi kamu yang selalu nakutin aku tiap malam? Niat banget nintip? Untung aja aku tidur memakai jilbab juga matiin lampu, kalau nggak
Bab 66. Berbunga-Bunga"Sayang, hari ini aku kayaknya bakal pulang terlambat soalnya bulan depan itu hari jadi sekolah yang ke empat puluh. Semua guru dan kepala sekolah harus ikut rapat buat ngebahas acara dan lomba. Kebetulan guru olahraga cuma aku, jadi gak bisa diwakilkan." Nizar menjelaskan setelah mendapat pesan lima menit yang lalu dari kepala sekolah.Alia mengangguk. Sekolah tempat Nizar mengajar itu memang selalu merayakan anniversary setiap lima tahun. Jadi, mau tidak mau Nizar memang harus ikut karena ada lomba azan, hafalan juz 30 sekaligus lomba tilawah qur'an yang diikuti oleh kelas empat, lima dan enam."Oh iya, nanti aku mampir juga ke rumah Ustazah Halimah buat minta izin, kamu ngajinya malam saja. Soalnya kalau cuma Kak Nawaf yang jualan, bisa tidak adil," lanjut Nizar lagi sambil memakai pecinya."Iya, Sayang.""Makanya, sebelum menikah itu dianjurkan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya karena kehidupan setelah menikah itu berbeda
Bab 67. Orang dari Masa Lalu"Apa? Tadi kamu bilang apa?"Rania mendekat, sambil memanyunkan bibir. Kedua tangannya disembunyikan dalam saku gamis. Ya, dari segi penampilan semakin mirip dengan Ainun."Masa Kak Nawaf nggak dengar?""Dengar, cuma takut salah dengar. Coba diulang!""Oalah, pantesan pesan aku gak dibales. Ternyata Ayang udah sibuk jualan?""Maaf, nama aku masih tetap Nawaf, dan oh kamu ada pesanan?"Rania memutar bola mata malas lantas duduk di dekat Diqi. Kembali memaksakan senyum. "Itu loh, maksudnya tadi aku kirim chat di Whats-App, tapi gak ada balasan sampai sekarang. Ternyata Ayang udah sibuk jualan.""Bukan, namaku bukan Ayang. Masih Nawaf!""Bakso love-nya satu sama es teh, Yang."Nawaf menarik napas panjang, memejamkan mata, lalu kembali menyiapkan pesanan dari pelanggan online. Tiga porsi bakso meriang biasa, satu porsi bakso meriang love dan dua es teh manis.Setelah menyiapkan semu
Bab 68. Rasa PenasaranNawaf membuat pesanan dibantu oleh Diqi. Sementara Alia masih terus memposting di berbagai akun sosial media. Untung saja Ainun datang satu menit setelah dia mengomel.Gadis itu meminta maaf karena datang sangat terlambat. Dia mengatakan kalau tadi diserang penyakit perut karena tidak sengaja makan mie instan pedas.Sebenarnya kalau dibilang tidak sengaja itu adalah alasan saja karena semua orang bisa saja menghindar kecuali tidak tahu kalau makanan itu pedas, misal dia buat atau mati rasa dan apakah mungkin?Namun, alasan Ainun diterima karena dia tahu tidak mungkin gadis itu berbohong demi menghindari pekerjaan. Satu bulan ke depan dia akan menerima gaji yang akan ditentukan oleh Nawaf, jadi memang tidak ada alasan untuk kabur."Sekarang udah mendingan?" tanya Alia penasaran.Gadis bermata indah itu mengangguk, walaupun tetap saja tidak bisa menutupi semuanya karena wajah dan bibirnya pucat pasi."Ainun, bisa
Bab 69. Bukan Inginku"Alia, ponsel Nizar tolong diambil. Aku sibuk mengedit video!" pinta Ainun dengan tatapan tak bersahabat.Padahal dia hanya sibuk mencatat alamat, belum sampai mengedit video. Akan tetapi Alia memilih mengangguk dan mengambil ponsel Nizar ketimbang memperpanjang masalah.Perempuan itu menduga kalau Ainun tidak ingin menyentuh benda apa pun yang menjadi milik Nizar. Sebenarnya bagus karena dia sedang berusaha melupakan masa lalu, tetapi tetap saja semua menjadi kaku.Mereka kembali melanjutkan pekerjaan. Setelah selesai mencatat alamat, Diqi datang sendirian dan langsung duduk di dekat Ainun. Meski ketahuan punya rasa, tetap saja dia percaya diri karena mereka sudah lama bersahabat."Sibuk apa, Ai?""Ini baru mau ngedit video. By the way, kenapa pulang sendiri? Kak Nawaf mana?"Diqi menoleh ke segala arah dan menyadari kalau Nawaf tidak pulang bersamanya. Padahal sejak tadi dia sibuk cerita. Pantas saja orang-oran
Bab 70. Orang tak Waras"Laki-laki tadi siapa? Lu mau selingkuh dari gue?" bentaknya tepat di depan wajah Ainun."Memangnya kamu siapa sampai harus aku selingkuhin? Kita gak ada hubungan apa-apa. Mengerti?" balas Ainun ketus, tidak mau kalah.Akan tetapi, Tio justru semakin murka. Rasa cemburu dalam dadanya terus membuncah. Kalau saja bisa, Tio sangat ingin mengambil nyawa lelaki tadi."Mending kamu pulang dan jangan datang ke sini lagi. Please, aku gak akan pernah cinta sama kamu!" lanjut Ainun lagi. Gadis itu tentu saja berani karena banyak orang berlalu lalang, terutama karena Bu Madinah ada di dekatnya."Tunggu, lu nganggap cinta gue gak tulus? Ainun, gue udah berusaha buat salat, kok, meski telat.""Tapi lu pemabuk. Gue gak suka sama cowok yang doyan sama khamar.""Lah, gue pemabuk, tapi hati gue baik. Percuma salat kalau punya rasa dendam dalam hati, kan? Lah, gue? Gue sering bantu orang-orang.""Bantu gimana?""Ba
Bab 71. Ini tentang Takdir"Laki-laki itu siapa?""Orang gak waras, Kak. Dia pasti sengaja ke sini buat mengulik informasi soalnya kemarin dia liat aku dibonceng sama Diqi.""Dia Tio yang aku ceritain kemarin itu loh, Kak. Inget, gak?" Alia ikut menimpali padahal tengah sibuk membuat pesanan pelanggan lain. Masih pukul sebelas siang, tetapi sudah ada lebih tujuh pembeli dan itu harus mereka syukuri."Oh iya, ingat-ingat. Jadi kemarin yang kamu ceritain naksir sama Ainun?""Bukan naksir lagi, Kak. Kemarin aja dia bilang mau ngelamar aku bulan depan," jawab Ainun mengerucutkan bibir padahal lelaki itu bertanya pada sang adik."Kok, bisa? Emang kamu respon apa gimana?" Alia menganga, lalu kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya, membungkus pesanan satu per satu untuk kemudian,dia serahkan pada pembeli.Bakso meriang love ternyata lebih menarik minat pembeli karena bentuknya yang unik. Beruntung Bu Zahra sudah fit, jadi bisa membantu Na
Bab 72. Acara LamaranHari yang dinanti-nanti telah tiba, keluarga Diqi sudah berkumpul di rumah Ainun tepat pukul sembilan pagi di hari jumat. Hanya Diqi, lalu kedua orangtuanya yakni Pak Zaid dan Bu Ruqayyah serta gurunda tercinta Ustaz Hamka karena saudaranya tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang sudah lama menuntut diselesaikan.Ainun sendiri duduk di antara dua orang dewasa, yakni Bu Madinah dan pamannya sebagai wali nikah nanti Pak Hasyim. Hidangan sudah menghiasi meja panjang itu, cukup sederhana, tetapi suasana begitu tenang."Jujur saja, kami tidak pernah berpikir mencari calon untuk Diqi karena dia itu selain tidak mudah jatuh cinta, kami juga percaya kalau dia bisa memilih yang terbaik untuk dirinya dan kami rasa Ainun memang sangat pantas," kata Pak Zaid lagi tersenyum ramah."Betul sekali, Bu Madinah. Sebagai orang tua, saya sudah mengenal betul siapa Ainun. Berulang kali kami bertemu karena dia sahabat Diqi juga. Dia tidak pernah datang sen