Bab 67. Orang dari Masa Lalu
"Apa? Tadi kamu bilang apa?"
Rania mendekat, sambil memanyunkan bibir. Kedua tangannya disembunyikan dalam saku gamis. Ya, dari segi penampilan semakin mirip dengan Ainun.
"Masa Kak Nawaf nggak dengar?"
"Dengar, cuma takut salah dengar. Coba diulang!"
"Oalah, pantesan pesan aku gak dibales. Ternyata Ayang udah sibuk jualan?"
"Maaf, nama aku masih tetap Nawaf, dan oh kamu ada pesanan?"
Rania memutar bola mata malas lantas duduk di dekat Diqi. Kembali memaksakan senyum. "Itu loh, maksudnya tadi aku kirim chat di Whats-App, tapi gak ada balasan sampai sekarang. Ternyata Ayang udah sibuk jualan."
"Bukan, namaku bukan Ayang. Masih Nawaf!"
"Bakso love-nya satu sama es teh, Yang."
Nawaf menarik napas panjang, memejamkan mata, lalu kembali menyiapkan pesanan dari pelanggan online. Tiga porsi bakso meriang biasa, satu porsi bakso meriang love dan dua es teh manis.
Setelah menyiapkan semu
Bab 68. Rasa PenasaranNawaf membuat pesanan dibantu oleh Diqi. Sementara Alia masih terus memposting di berbagai akun sosial media. Untung saja Ainun datang satu menit setelah dia mengomel.Gadis itu meminta maaf karena datang sangat terlambat. Dia mengatakan kalau tadi diserang penyakit perut karena tidak sengaja makan mie instan pedas.Sebenarnya kalau dibilang tidak sengaja itu adalah alasan saja karena semua orang bisa saja menghindar kecuali tidak tahu kalau makanan itu pedas, misal dia buat atau mati rasa dan apakah mungkin?Namun, alasan Ainun diterima karena dia tahu tidak mungkin gadis itu berbohong demi menghindari pekerjaan. Satu bulan ke depan dia akan menerima gaji yang akan ditentukan oleh Nawaf, jadi memang tidak ada alasan untuk kabur."Sekarang udah mendingan?" tanya Alia penasaran.Gadis bermata indah itu mengangguk, walaupun tetap saja tidak bisa menutupi semuanya karena wajah dan bibirnya pucat pasi."Ainun, bisa
Bab 69. Bukan Inginku"Alia, ponsel Nizar tolong diambil. Aku sibuk mengedit video!" pinta Ainun dengan tatapan tak bersahabat.Padahal dia hanya sibuk mencatat alamat, belum sampai mengedit video. Akan tetapi Alia memilih mengangguk dan mengambil ponsel Nizar ketimbang memperpanjang masalah.Perempuan itu menduga kalau Ainun tidak ingin menyentuh benda apa pun yang menjadi milik Nizar. Sebenarnya bagus karena dia sedang berusaha melupakan masa lalu, tetapi tetap saja semua menjadi kaku.Mereka kembali melanjutkan pekerjaan. Setelah selesai mencatat alamat, Diqi datang sendirian dan langsung duduk di dekat Ainun. Meski ketahuan punya rasa, tetap saja dia percaya diri karena mereka sudah lama bersahabat."Sibuk apa, Ai?""Ini baru mau ngedit video. By the way, kenapa pulang sendiri? Kak Nawaf mana?"Diqi menoleh ke segala arah dan menyadari kalau Nawaf tidak pulang bersamanya. Padahal sejak tadi dia sibuk cerita. Pantas saja orang-oran
Bab 70. Orang tak Waras"Laki-laki tadi siapa? Lu mau selingkuh dari gue?" bentaknya tepat di depan wajah Ainun."Memangnya kamu siapa sampai harus aku selingkuhin? Kita gak ada hubungan apa-apa. Mengerti?" balas Ainun ketus, tidak mau kalah.Akan tetapi, Tio justru semakin murka. Rasa cemburu dalam dadanya terus membuncah. Kalau saja bisa, Tio sangat ingin mengambil nyawa lelaki tadi."Mending kamu pulang dan jangan datang ke sini lagi. Please, aku gak akan pernah cinta sama kamu!" lanjut Ainun lagi. Gadis itu tentu saja berani karena banyak orang berlalu lalang, terutama karena Bu Madinah ada di dekatnya."Tunggu, lu nganggap cinta gue gak tulus? Ainun, gue udah berusaha buat salat, kok, meski telat.""Tapi lu pemabuk. Gue gak suka sama cowok yang doyan sama khamar.""Lah, gue pemabuk, tapi hati gue baik. Percuma salat kalau punya rasa dendam dalam hati, kan? Lah, gue? Gue sering bantu orang-orang.""Bantu gimana?""Ba
Bab 71. Ini tentang Takdir"Laki-laki itu siapa?""Orang gak waras, Kak. Dia pasti sengaja ke sini buat mengulik informasi soalnya kemarin dia liat aku dibonceng sama Diqi.""Dia Tio yang aku ceritain kemarin itu loh, Kak. Inget, gak?" Alia ikut menimpali padahal tengah sibuk membuat pesanan pelanggan lain. Masih pukul sebelas siang, tetapi sudah ada lebih tujuh pembeli dan itu harus mereka syukuri."Oh iya, ingat-ingat. Jadi kemarin yang kamu ceritain naksir sama Ainun?""Bukan naksir lagi, Kak. Kemarin aja dia bilang mau ngelamar aku bulan depan," jawab Ainun mengerucutkan bibir padahal lelaki itu bertanya pada sang adik."Kok, bisa? Emang kamu respon apa gimana?" Alia menganga, lalu kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya, membungkus pesanan satu per satu untuk kemudian,dia serahkan pada pembeli.Bakso meriang love ternyata lebih menarik minat pembeli karena bentuknya yang unik. Beruntung Bu Zahra sudah fit, jadi bisa membantu Na
Bab 72. Acara LamaranHari yang dinanti-nanti telah tiba, keluarga Diqi sudah berkumpul di rumah Ainun tepat pukul sembilan pagi di hari jumat. Hanya Diqi, lalu kedua orangtuanya yakni Pak Zaid dan Bu Ruqayyah serta gurunda tercinta Ustaz Hamka karena saudaranya tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang sudah lama menuntut diselesaikan.Ainun sendiri duduk di antara dua orang dewasa, yakni Bu Madinah dan pamannya sebagai wali nikah nanti Pak Hasyim. Hidangan sudah menghiasi meja panjang itu, cukup sederhana, tetapi suasana begitu tenang."Jujur saja, kami tidak pernah berpikir mencari calon untuk Diqi karena dia itu selain tidak mudah jatuh cinta, kami juga percaya kalau dia bisa memilih yang terbaik untuk dirinya dan kami rasa Ainun memang sangat pantas," kata Pak Zaid lagi tersenyum ramah."Betul sekali, Bu Madinah. Sebagai orang tua, saya sudah mengenal betul siapa Ainun. Berulang kali kami bertemu karena dia sahabat Diqi juga. Dia tidak pernah datang sen
Bab 73. Perebut Kekasihku"Ayu?" Kedua alis Ainun saling bertaut. Untuk apa gadis itu bertamu di siang bolong seperti ini? Bukankah seharusnya dia tidur siang?Entahlah, meskipun bingung, Ainun tetap memintanya masuk dulu. Tanpa menjawab, Ayu langsung masuk, melipat kedua kaki, mengangkat dagu begitu angkuh menatap Ainun dan Alia bergantian."Apa yang membawamu ke sini, Ay? Bukannya kamu bilang selalu tidur siang, lalu sorenya kumpul sama Santi dan Nina lagi?"Gadis yang memakai jilbab segitiga warna krem itu tersenyum sinis. Dia merasa muak ketika mengingat wajah Ainun, apalagi sampai harus melihat secara langsung. Akan tetapi, jika terus diam atau mengomel lewat Whats-App juga tidak memuaskan bagi Ayu karena gadis itu akan terus beralasan.Maka walau terpaksa, dia tetap saja datang. Menghela napas, lalu bertanya, "kamu pernah sakit hati, kan?""Maksud kamu apa nanya kayak gitu?""Waktu tahu Nizar melamar Alia, kamu sakit hati, kan?"
Bab 74. Habibi dan AinunCinta kita melukiskan sejarahMenggelarkan cerita penuh sukacitaSehingga siapa pun insan Tuhan pasti tahuCinta kita sejati....."Tuhan, mungkinkah dia memang Habibi yang selama ini aku cari?" gumam Ainun bertanya pada diri sendiri ketika melihat cincin permata love melingkar di jari manisnya.Senin pagi, Ustazah Halimah kembali meliburkan pengajian, jadi sepagi ini Ainun menunggu jemputan dari Alia di pinggir jalan karena gadis itu tidak memakai motor sendiri, melainkan diantar.Qadarullah, kedua gurunya ada urusan mendesak. Jadi, pengajian mendadak libur.Dia melipat kedua tangan di depan dada, berdiri dengan rasa gelisah. Tidak lama kemudian, seseorang menepuk pundaknya."Perebut lagi nungguin apa?"Hati Ainun kembali sakit mendengar julukan yang baru saja disematkan oleh Ayu. Gadis itu datang bersama dua sahabatnya yang sama-sama songong.Menghela napas, Ainun memalingkan waj
Bab 75. Tolong Jaga DiaSaat Diqi baru saja belok kanan setelah melewati pagar rumah Bu Zahra karena siang ini harus ke rumah Ustaz Darwis. Dia bertemu Nizar yang kebetulan baru datang."Udah mau pulang?"Diqi tersenyum. "Iya, Bro. Mau ngaji. Duluan, yah!""Tunggu!" Nizar memegang pundak Diqi, mata mereka bertemu dalam satu titik. "Aku mau bicara. Ikuti aku!"Mereka berdua meninggalkan tempat itu, sedikit menjauh agar pembicaraannya tidak terdengar oleh Ainun dan Alia. Cuaca memang sangat panas, tetapi mereka seakan tidak peduli, tepatnya Nizar.Semenjak mengetahui kalau Ainun dilamar oleh sahabat mereka sendiri, lelaki berkumis tipis itu semakin kepikiran. Dia tidak menduga kalau gadis yang dia khianati ternyata dicintai dengan tulus oleh Diqi.Mereka berdua tiba di sebuah tempat yang sedikit jauh dari masjid. Cocok untuk berteduh karena ada pohon rindang di sana. Nizar mematikan mesin motor, begitu pula Diqi.Duduk saling ber
Bab 88. Takdir Itu Selalu Indah.Setiap hari selalu sama, diisi dengan warna kehidupan yang indah. Seperti dulu, seolah tidak ada kisah kelam di masa lalu yang menyebabkan hati hancur tanpa kepingan lagi.Ainun bahagia berada di dekat teman-temannya, tetapi tentu saja ada masa dia menangis dalam kesendirian mengingat orang yang telah mendahului.Semua orang bahagia meski tidak ada kabar dari Rania. Semenjak pindah ke Manado, dia menghilang bagai ditelan bumi. Namun, mereka semua berusaha untuk terlihat santai walau khawatir pindah agama.Tak terasa sudah dua tiga berlalu. Usaha bakso meriang pun tidak lagi berada di depan rumah Bu Zahra melainkan di sampingnya. Jadi tetangga sebelah rumah Alia pindah ke luar kota, jadi mereka membeli lokasi itu karena lumayan luas.Rumah diratakan, lalu membangun warung makan yang lebih terkesan mewah dan bersih. Sementara pada tingkat dua adalah rumah Nizar dan Alia."Cie yang mau nikah. Jadinya sama
Bab 87. Pengaruh NgidamAlia pulang ke rumahnya setelah siang karena Nizar yang meminta. Sementara Ainun berkumpul dengan keluarga Diqi, mereka begitu baik karena mau membantu Ainun.Sebenarnya perempuan itu merasa sedih, seolah dilupakan oleh Rania. Dia hanya menanggapi status Face-book tentang kematian sang umi dengan emotikon sedih, tanpa mengirim pesan apalagi memunculkan batang hidungnya.Dia terbuai oleh godaan Cris. Mereka terlalu bucin sampai lupa pada teman dan yang lainnya. Mereka seperti perangko, menempel siang dan malam. Rania melangkah semakin jauh dari Tuhannya."Kamu pake parfum kopi ya?"Sebelah alis Nizar terangkat tipis. "Iya, emang selalu pake, kan?"Alia mengulum senyum, kemudian memeluk erat Nizar padahal posisinya sedang berada di depan rumah. Untung saja lagi sepi pelanggan siang itu karena cuaca benar-benar panas.Menghirup lekat-lekat aroma parfum Nizar, membuatnya mengulum senyum. "Suka banget!""Lepa
Bab 86. Aroma MenyengatPukul delapan pagi, Ainun baru saja keluar dari kamar mandi tepat setelah Nawaf dan Nizar pulang karena harus bekerja, begitu pula dengan kedua mertuanya.Saat tiba di dalam kamar, aroma sabun lemon menguar begitu saja sampai menusuk indra penciuman Alia yang sedang sibuk berkirim pesan dengan suaminya."Ainun!" pekik Alia merasa mual. Dia berlari keluar dari kamar sambil menutup hidung rapat. Kepalanya mendadak pusing, keringat membasahi pelipis.Perempuan yang baru saja ingin mengambil daster panjang dalam lemari pakaian itu mengerutkan kening, bingung. Kenapa Alia menutup hidung seakan mencium bau busuk atau menyengat?Padahal selama ini selera sabun mereka sama. Lantas, kenapa? batin Ainun penasaran.Sementara dalam kamar mandi, Alia muntah sedikit. Setelah itu mengambil minum dan langsung meneguknya setengah gelas. Dia terduduk lesu di meja makan sambil sesekali menghela napas panjang."Kamu kenapa, sih?"
Bab 85. Jangan Tinggalkan Aku"Jangan larut dalam kesedihan, Ainun. Perbanyak doa untuk umi, semoga Allah menerima semua amal kebaikannya," kata Ustazah Halimah begitu melihat perempuan itu duduk di dalam kamarnya, menatap kosong dalam pelukan Alia."Umi sudah nggak ada. Sekarang aku yatim piatu, Ustazah," balas Ainun lirih. Tidak ada lagi air mata yang mengalir di sepanjang pipinya.Puncak dari segala kesedihan adalah ketika mata tak lagi mampu menangis. Kehilangan kedua orang tua sangat menyakitkan, membuat Ainun merasa sendiri di dunia.Sakit yang disebabkan kehilangan itu tidak memiliki obat. Mereka bilang, hati akan pulih seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, menurut Ainun berbeda. Sampai kapan pun, rasa sakit itu akan selalu ada.Apalagi karena kehilangan orang tua, di mana setiap insan tidak bisa terlahir kembali. Orang tua adalah sosok yang tidak ada gantinya. Mereka ada dalam hati, di tempat paling istimewa.Perempuan itu menunduk
Bab 84. Berujung Air MataEmosi Diva meluap sampai ke ubun-ubun. Baru saja si Kemayu itu ingin menyerang Ainun ketika Diqi lantas mendorongnya.Diqi sudah berjanji akan melindungi Ainun dalam keadaan apa pun bahkan jika harus kehilangan nyawa sendiri. Dia memberi tatapan tajam, dingin tak tersentuh pada Diva. "Jangan berani menyentuh istriku atau kamu harus berakhir di rumah sakit!" ancamnya serius."Serius amat, Yang? Padahal kalau kamu bagi nomer Whats-App, kan, gak bakal seribet ini. Ayolah!" Diva mengedipkan sebelah mata, sengaja ingin menggoda Diqi.Namun, siapa yang akan tergoda padanya? Setiap lelaki normal itu mencintai wanita dan bukan waria. Diqi sangat tahu bagaimana Islam melarang perbuatan yang meniru umat terdahulu, sebut saja Kaum Sodom."Minggir!" Ainun dengan penuh keberanian mendorong bahu lelaki kemayu itu sampai harus tersungkur ke belakang. Beberapa pasang memperhatikan mereka. Ada yang merasa kasihan ada pula yang menganggap m
Bab 83. Senyum tanpa Makna"Kamu beneran hamil, Sayang?" tanya Nizar sangat antusias. Kedua matanya berbinar, lalu bulir bening menggenang di sana."Iya, alhamdulillah. Sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah." Alia mengulum senyum, tidak lama setelah itu Nizar langsung menariknya masuk kamar agar bisa leluasa memeluk sang istri.Sebenarnya bisa saja melakukan itu di luar, tetapi khawatir tertangkap basah sama Bu Aminah dan Pak Abdullah, mereka bisa malu. Di dalam kamar, Nizar memeluk erat istrinya sambil menghujaninya dengan kecupan lembut di seluruh wajah."Makanya tadi aku suruh mandi dulu sebelum ngasih tahu, takut bau jigong!" kata Alia setelah Nizar melonggarkan pelukannya.Namun, lelaki itu tidak menanggapi. Dia menuntun Alia untuk duduk di tepi ranjang, setelah itu dia akan mensejajarkan wajahnya dengan perut Alia yang masih sangat rata.Tangan kanannya mengusap perut perempuan itu. "Anak abi. Apa kabar, Sayang? Oh iya, kamu jangan
Bab 82. Takdir yang DirindukanPukul sebelas malam, kedua mempelai sudah memasuki kamar karena kelelahan karena terus melayani tamu dan memaksakan senyuman. Padahal, Ainun merasa nyeri di bagian perut dan pinggangnya.Saat sedang duduk di depan kaca rias untuk menghapus make up dengan remover, tiba-tiba Diqi berlutut dan memeluknya dari belakang membuat bulu kuduk perempuan itu meremang."Ada apa?" tanya Ainun sedikit gugup. Dia takut melakukan itu. Apalagi sekarang ada di rumah Diqi, mudah bagi lelaki itu untuk memaksanya.Bibirnya yang sedikit gemetar terlihat jelas dari pantulan cermin. Diqi menarik sudut bibir tipis, kemudian berdiri, melangkah menuju lemari pakaian.Setelah kembali, dia meletakkan hadiah dari Alia tadi di meja, tepat depan Ainun. "Buka sekarang!""Nanti saja, Diq–""Eh, bukan Diqi. Habibi, singkatnya 'bi'. Mengerti, Sayangku?"Jauh di lubuk hati, Ainun merasa senang karena melihat binar cinta terpanc
Bab 81. Gemuruh dalam DadaLepas salat asar, kedua mempelai kembali ke pelaminan. Semua masih saja, tamu undangan silih berganti menyalami mereka. Tentu saja, baik Ainun maupun Nizar hanya mengulurkan tangan kepada mahram saja dan mengatup kedua tangan di depan dada untuk yang lainnya.Rasa lelah duduk seharian hadir memeluk raga mereka. Ainun ingin sekali masuk kamar untuk meregangkan otot walau sebentar. Namun, senyum dari setiap tamu seolah membakar semangatnya lagi dan lagi."Kamu udah buka kado dari Alia?" Kembali Diqi bertanya sesuatu yang tidak ingin Ainun bahas saat ini."Belum. Gak mau buka sekarang, nanti saja.""Kenapa?""Pokoknya nanti saja. Gak usah terlalu penasaran, nanti malah gak sesuai harapan. Alia pasti ngasih jilbab kalau gak gamis.""Menurut aku bukan gamis, melainkan ...." Diqi tersenyum, sengaja menggantung ucapannya lantas mengerling manja pada sang istri.Ainun sendiri menghela napas panjang, lalu memb
Bab 80. Qobiltu"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq," ucap Diqi begitu lantang melafazkan sighot qabul di depan penghulu dan semua orang.Air mata Ainun kembali menggenang ketika mengingat momen beberapa jam lalu saat dia telah resmi menjadi seorang istri. Seluruh keluarga serta tamu undangan nampak bahagia, Ainun mengulum senyum.Achmad Asshidiqi adalah sosok lelaki yang sudah lama menjadi sahabat gadis bermata indah itu. Mereka sering berbagi pengalaman dan saling melempar pendapat sehingga Diqi tidak menyadari bahwa benih cinta perlahan tumbuh di dalam hatinya.Dia anak bungsu, tetapi hidup mandiri. Tanpa sahabatnya ketahui bahwa sejak sekolah, Diqi memang pernah diajari berbisnis oleh orang tua. Padahal dia terlahir dari keluarga berada.Cinta yang terus tumbuh detik demi detik. Diqi berjanji akan selalu menjaga Ainun, dalam suka duka bahkan di siang dan malamnya."Alhamdulillah, s