"Jia, semua sudah kamu bawa, kan? Nggak ada yang ketinggalan?" Alan bertanya sambil memasangkan sabuk pengaman pada Jia.
Gadis empat tahun itu mengerutkan dahi, lalu meraih tas dan melongok isinya. "Papa, kotak bekal aku ketinggalan." Alan menghela nafas pelan. Diraihnya ponsel yang ada di atas dashboard mobil. "Halo, Bi Wati. Tolong bawakan kotak makan Jia ke halaman depan sekarang!" Alan mematikan telepon dan kembali menaruh ponselnya. "Kita tunggu Bi Wati dulu." "Papa, sepertinya Tante Rani mau pergi juga, deh. Sekalian aja sama kita, Pa," ucap Jia menunjuk Rani yang kini sudah berdiri di depan gerbang. Tampak Rani tengah sibuk bermain ponselnya sambil sesekali tersenyum. Melihat Rani yang begitu senang memiliki ponsel pemberian ayahnya, Alan mendengus kesal. "Nggak. Nggak perlu. Dia bisa naik angkot sendiri." "Tapi di komplek kita nggak ada angkot, Pa. Harus jalan kaki dulu keluar komplek. Kasihan kan, Tante Rani." Alan berdecak mendengar celoteh Jia yang lama kelamaan mirip gaya bicara Hari. "Biarin aja. Sekarang kan sudah ada ojek online." Tidak lama setelah itu, Alan melihat sebuah pengendara sepeda motor sport berwarna merah berhenti tepat di hadapan Rani. Si pengendara itu memakai helm full face yang membuat Alan tak bisa mengenali wajahnya. Kedua mata Alan memicing, memperhatikan Rani dan pria itu tanpa berkedip. Mereka berdua tampak akrab bahkan pria itu terlihat mencubit pipi Rani sekilas. "Wah, motornya tukang ojek yang dipesan Tante Rani bagus banget, Pa," komentar Jia yang juga memperhatikan Rani. Terlihat juga di depan gerbang sana, pria itu membantu memakaikan helm sesaat sebelum Rani naik ke atas motor. Alan diam memperhatikan semua adegan mesra Rani yang melingkarkan tangan di perut pria itu sampai-sampai Alan tak menyadari jika sejak semenit yang lalu Bi Wati mengetuk-ngetuk kaca mobil. "Papa, itu Bi Wati!" Alan tersentak kaget, lalu segera menurunkan kaca jendela mobil. Dia menerima kotak bekal dari Bi Wati tanpa berkata apapun. Kemudian, Alan langsung menancapkan gas sehingga mobil melaju ke jalanan menyusul Rani yang masih belum jauh. Alan sengaja menjaga jarak mobilnya beberapa meter dari motor yang ditumpangi Rani. Dia tak mau Rani tahu jika dia mengikutinya. Pandangan Alan tak pernah lepas dari Rani yang masih memeluk pria tak dikenal itu. Alan penasaran sekaligus merasa tidak terima jika Rani memiliki kekasih. "Papa, ini kan bukan jalan yang biasa kita lewati," keluh Jia yang menyadari jika Alan telah salah belok. "Apa? Enggak kok. Papa lagi cari jalan alternatif, Sayang." "Papa lagi ngikutin Tante Rani ya?" Alan tertawa garing, "Apa? Ngikutin Tante Rani? Mana ada Papa ngikutin dia. Ini cuma kebetulan aja kita satu arah." Di depan sana, Alan melihat sepeda motor sport merah yang ditumpangi Rani berbelok ke sebuah pelataran Cafe. Maka Alan pun menghentikan mobilnya juga. Dia menyipitkan mata untuk mempertajam penglihatan saat Rani yang turun dari motor. Alan ingin tahu wajah pria yang membawa Rani. Namun, sayangnya pria itu tak lekas melepaskan helmnya. Bahkan pria itu terus memakai helm hingga masuk ke dalam cafe. Alan mendengus kesal. Meskipun begitu, setidaknya sekarang Alan tahu tempat kerja Rani. Lama-kelamaan dia pasti tahu siapa pria yang baru saja menjemput istrinya. "Papa, kok diem sih? Ada apa sih, Pa?" "Nggak ada apa-apa kok," jawab Alan santai sambil kembali melajukan mobil. Sepanjang perjalanan, pikiran Alan terus terganggu oleh sosok pria tadi. Alan menerka jika pria itu pastilah kekasih Rani. Kalau Rani memang punya pacar, lalu kenapa dia mau nikah sama aku? Dia pasti cuma ngincar harta Ayah. Terus habis itu dia bisa kawin lari sama pacarnya itu. Sambil tetap menatap lurus ke jalanan, Alan menerbitkan sebuah senyum seringai. Awas saja kamu, Rani. Aku akan buat kamu ingin cepat-cepat cerai dari aku. * * * Begitu Denis menghentikan motornya di depan cafe, tempat mereka berdua bekerja, Rani segera turun dan melepas helmnya. Rani merasakan ada seseorang yang sedang mengintainya dari jauh, sehingga dia pun menoleh ke arah jalanan. Melihat Rani yang tampak aneh, Denis pun mengerutkan dahi di balik helm full face-nya. "Ada apa, Ran?" Rani menggelengkan kepala sambil menyerahkan helm pada Denis, "Nggak ada apa-apa, Kak." "Oh ya, kamu kenapa akhir-akhir ini nggak masuk kerja? Kamu sakit? Kamu bisa dipecat lho kalau keseringan absen," ucap Denis seraya turun dari sepeda motor. "Aku..." Tiba-tiba saja Rani ragu untuk berkata jujur. Dia kembali menoleh ke arah jalanan, masih merasakan sesuatu yang aneh. "Apa?" Rani menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. "Habis pulang kerja, aku mau ngomong sesuatu sama Kak Denis." "Ngomong apa? Sekarang aja." Rani menggelengkan kepala cepat. Dia belum siap bercerita pada Denis saat ini, "Nggak, Kak. Nanti aja. Ini sudah waktunya kita kerja." Tanpa pikir panjang, Rani bergegas melenggang ke dalam cafe. Dia mengabaikan Denis yang memanggil namanya, hingga Denis pun ikut berlari mengejar Rani yang tampak berbeda dari sebelum terakhir mereka bertemu. Rani terus berjalan hingga sampai di ruangan khusus karyawan, tempat dimana semua karyawan menyimpan barang milik mereka sebelum memulai bekerja. Denis melepas helmnya ketika Rani sedang memasukan ponsel ke dalam laci. Lalu dengan cepat dia memutar bahu Rani agar gadis itu menatapnya. Di ruangan itu hanya ada mereka berdua yang saling menatap dalam. Namun, beberapa saat berlalu Rani memilih memalingkan wajah dan berusaha melepaskan tangan Denis dari bahunya. "Rani, please! Cerita sama aku, ada apa?" satu tangan Denis mengelus lembut pipi Rani. "Kamu disiksa lagi sama Paman kamu?" Dengan wajah yang belum mampu menatap Denis, kedua bola mata Rani mulai berkaca-kaca, lalu dia berkata dengan suara serak, "Aku pengin kita putus." "Apa?" "Aku pengin kita akhiri saja hubungan kita, Kak." Suara Rani semakin serak. Dia menelan salivanya dan saat itu pula satu bulir bening mengalir di pipi. "Aku sudah menikah." Denis diam sejenak. Dia masih belum tahu maksud pembicaraan Rani dan mengira pacarnya itu hanya sedang bercanda. "Kamu serius, Ran? Kita putus semudah ini?" "Aku sudah menikah, Kak. Aku sudah punya suami. Tampak raut geram mulai menghiasi wajah Denis. Dia kembali mencengkram bahu Rani lalu mengguncangnya dengan kuat. "Tapi kamu nggak cinta sama suami kamu, kan? Kamu pasti dipaksa. Kalau nggak, nggak mungkin kamu cerita sambil nangis begini." Tebakan Denis memang seratus persen benar. Sehingga Rani tak perlu lagi menjelaskan panjang lebar, dia hanya mengangguk sambil terus terisak. Denis diam menunggu Rani untuk sedikit bisa tenang. Dia sendiri pun masih memerlukan waktu untuk menerima jika Rani sekarang milik orang lain. Denis dan Rani sudah menjalin hubungan sejak mereka masih di bangku SMA. Rani adalah adik kelas Denis hingga kini mereka bekerja di tempat yang sama selama empat tahun. Tak heran jika Denis tahu betul latar belakang Rani serta cerita keluarga pamannya yang sering menyiksa Rani. "Aku minta maaf, Kak. Paman Yudi ngurung aku di gudang. Sampai-sampai aku nggak bisa kemana-mana. Aku terpaksa menerima pernikahan itu karena ayah mertuaku siap menanggung semua pengobatan Rian." Rani menarik nafas panjang serta menyeka pipinya yang basah. Kini tak ada lagi tangis air mata. Rani tak lagi menangis. Meski menyakitkan, tapi Rani harus kuat mengutarakan keinginannya. "Aku ingin putus, Kak. Kak Denis bisa cari wanita lain yang sesuai sama keinginan keluarga Kak Denis. Aku berharap, Kak Denis bisa mencari pasangan yang sepadan. Mulai sekarang, lupakan aku, Kak!" Rani hendak melangkah pergi meninggalkan Denis yang diam mematung. Namun, satu tangan Rani dicengkeram oleh Denis. Lalu tanpa disangka oleh Rani, Denis memeluknya begitu erat. "Enggak, Ran. Aku nggak akan menyerah begitu saja. Kita sudah pacaran lama." Rani berusaha melepas pelukan Denis. Meski dia tidak mencintai Alan, namun tetap saja statusnya kini adalah istri pria itu dan Rani harus menjaga sikap dengan pria lain. "Enggak, Kak. Ini nggak benar." "Aku akan cari cara supaya kamu bisa cerai dari suami kamu."Tengah malam, Rani melenggang masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Suasana rumah begitu sepi, mungkin karena semua penghuninya sudah terlelap.Kalau Rani tidak menelepon satpam rumah untuk membukakan gerbang, sudah dipastikan Rani akan tidur di luar.Tepat saat Rani melangkah melewati ruang tamu, tiba-tiba saja lampu menyala terang benderang, membuat Rani dapat melihat Alan yang tengah duduk di sofa.Alan duduk sambil menyilangkan tangan di depan dada dengan sorot mata tajam tepat mengenai Rani. Pria itu memakai setelan piyama dan ada sebuah koper besar di sampingnya."Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang?" tanya Alan dengan nada yang begitu dingin.Rani melungkarkan bola matanya, malas berdebat dengan Alan tapi di tetap menjawab, "Aku ada lemburan. Makanya pulang malam.""Lemburan atau malah pacaran, hah?""Alan? Ada apa ini? Kenapa berteriak malam-malam begini?" Teguran dari Hari sontak membuat Alan
Bi Wati sedikit terheran begitu pagi menjelang karena kamar sebelah yang biasa kosong, pagi ini terdengar samar-samar suara orang berceloteh.Bi Wati mengayunkan tangan hendak mengetuk pintu. Namun, ternyata pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu yang membuat Bi Wati tersentak kaget.Rani juga sama kagetnya. Dia yang berniat keluar kamar hendak berjemur, dikejutkan dengan kemunculan Bi Wati di depan pintu."Nona Rani? Kenapa Nona dari dalam kamar ini?" "Ini sekarang kamar aku, Bi."Dahi Bi Wati mengerut dan matanya menyipit setelah melihat ada benda seperti kelopak bunga yang tersemat di rambut Rani. "Ini apa, Nona? Kenapa ada bunga di rambut Nona Rani?""Oh itu," ucap Rani begitu Bi Wati mengambil sebuah kelopak bunga mawar merah dari rambutnya. "Tadi aku habis mandi pakai bunga tujuh rupa.""Hah? Buat apa?" Kerutan di dahi Bi Wati semakin terlihat jelas."Soalnya tadi malam..." Rani segera merapatkan mulut ragu untuk bercerita pada Bi Wati jika semalam dia berciuman dengan Alan.
Rani menyembulkan kepala dari balik pintu lalu terbesit sebuah senyuman kala melihat sesosok remaja yang tengah duduk di ranjang rumah sakit.Sama halnya dengan Rani, remaja laki-laki itu juga tersenyum mendapati sang kakak datang menjenguknya. Dia meletakan kembali buku yang sejak tadi dibacanya ke meja samping tempat tidur.Terlebih begitu Rani melangkah masuk, Rian tak kuasa menahan rasa bahagianya. Disusul oleh Jia yang ikut melesat ke dalam ruangan. Namun, Jia tak menyapa Rian. Dia langsung mengambil tempat duduk di sofa."Kakak," ucap Rian sumringah."Gimana kabar kamu? Maafin Kakak karena nggak bisa nemenin kamu di sini," Rani memeluk erat sambil mengusap kepala adiknya."Nggak apa-apa, Kak. Lagian Pak Hari sudah memperkerjakan seorang perawat yang khusus jagain aku. Pak Hari baik banget deh, Kak. Beliau juga cerita ke aku katanya mau beliin rumah supaya aku nggak perlu serumah lagi sama Paman."Pupil mata Rani melebar mendengar cerita Rian. Pasalnya dia tak pernah mendengar j
Satu pekan telah berlalu, dan hari di mana lomba memasak pun tiba. Jia sudah sangat bersemangat berangkat ke sekolah sejak pagi buta.Berbeda dengan Alan yang sedikit tak bersemangat. Saat di meja makan pun, tatapan kesal Alan tak pernah lepas dari Rani yang tengah menyuapi Jia.Semakin hari, Rani semakin dekat dengan Jia. Bahkan kini Jia sudah tidak mau tidur dengan Alan. Putri kecilnya itu lebih memilih tidur dengan Rani. Jika dilarang, Jia akan merengek yang membuat Alan sakit telinga. Sehingga mau tak mau Alan mempersilahkan keinginan Jia. Dalam hati, Alan selalu berpikir, entah mantra apa yang diberikan Rani pada Jia dan juga ayahnya."Papa, ayo kita ke pergi. Nanti terlambat," celoteh Jia yang menyudahi acara sarapannya. Dia turun dari kursi dan mengambil tas kecil berwarna merah muda."Jia tunggu di mobil, biar Papa habiskan dulu sarapannya," saran Rani pada Jia agar dia sendiri juga ada alasan untuk segera pergi dari ruang makan.Rani tak tahan lagi dilirik oleh Alan dengan
"Rani! Rani!"Denis berteriak memanggil Rani begitu melihat gadis itu hendak memasuki cafe. Tampak Rani menghentikan langkahnya, lalu memutar badan menoleh pada Denis.Rani menarik ujung bibirnya membentuk senyum canggung. Denis yang berjalan menghampiri Rani tahu persis jika gadis itu kini telah berubah total semenjak menikah dengan pria yang bernama Alan."Kemarin kamu habis dari mana? Kenapa nggak masuk kerja?""Ada perlu, Kak," jawab Rani singkat yang dengan cepat ingin masuk ke dalam cafe untuk memulai bekerja.Akan tetapi Denis menahan lengan Rani. "Tunggu! Kamu habis jalan sama suami kamu?"Rani menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang telah semerah buah tomat. Dia tak tahu harus menjawab apa pada Denis."Kalau diam berarti iya. Habis pulang kerja kita jalan, yuk. Aku ada yang ingin diobrolin sama kamu."Masih dengan wajah yang menunduk, Rani tak menjawab pertanyaan dari Denis. Dia tak tahu harus berkata apa pada pria itu. Penjelasan sudah Rani utarakan pada Denis dan permi
Rani seketika berlari tak peduli pada guyuran hujan yang menjadikan pakaiannya basah. Sementara itu, Denis berlari di belakang sambil berteriak memanggilnya.Meski dalam keadaan lelah, Rani terus mengerahkan tenaganya untuk terus berlari menghindar dari Denis. Dia berteriak meminta tolong. Namun, sayangnya jalanan sangat sepi. Tak ada satu pun kendaraan yang lewat atau seseorang yang sedang berteduh.Sehingga mau tak mau Rani terus berlari. Setahu dia lima ratus meter di depan sana, ada sebuah minimarket yang buka dua puluh empat jam.Akan tetapi sebelum Rani sampai di minimarket, salah satu tangannya berhasil ditangkap oleh Denis. Pria itu memutar tubuh Rani sangat kuat hingga Rani jatuh terduduk di kerasnya jalan aspal."Ran, aku minta maaf. Tadi itu aku... Aku... A-aku nggak bermaksud apa-apain kamu," ucap Denis yang tergagap sambil berjongkok untuk membantu Rani. Rani langsung menepis tangan Denis. Lalu dia berdiri sendiri meski kaki kirinya terasa sangat sakit akibat terkilir.M
Begitu sampai di rumah, Alan menghentikan mobil halaman. Sekilas dia melirik Rani yang terbungkus selimut dalam keadaan terpejam.Alan berniat membangunkan Rani dan meminta gadis itu untuk turun sendiri dari mobil. Namun, detik berikutnya, pikiran Alan berubah. Dia mampu menahan gejolak rasa di dalam dada.Gejolak itu semakin menyiksa Alan. Sehingga mau tak mau Alan memilih untuk menuruti kemauan yang ada di dalam dirinya. Dia membopong Rani apa pengantin baru menuju kamarnya.Di atas ranjang, Alan membaringkan tubuh Rani dengan perlahan. Lalu melepas pakaiannya sendiri tanpa tersisa sehelai benangpun yang melekat di tubuh."Maafkan aku, San," gumam Alan sesaat sebelum menyibak selimut yang membungkus Rani.Gerakan tangan Alan yang melepas pakaian Rani, membuat gadis itu terbangun. Tampak raut panik yang tergurat di wajah pucat Rani."Kamu mau apa?" tanya Rani masih dengan suara yang lemas.Alan tak menjawab. Sorot matanya telah dibutakan oleh hasrat yang menggebu-gebu. Dia mengecup b
Alan menuruni anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Tanpa dia sadari jika sikapnya itu dilihat oleh Hari yang kebetulan juga akan berangkat kerja."Alan, mau kenapa kamu pagi-pagi begini?"Sapaan dari sang ayah membuat Alan menoleh. Dia sedikit terkejut karena sama sekali tak menyadari ada Hari di dekatnya."Ayah?" Alan memutar badannya menghadap pada Hari. "Aku mau ke rumah sakit, Yah. Sandra sudah siuman."Senyum merekah di bibir Alan. Berharap sang ayah juga memasang raut bahagia saat dia mengatakan bahwa Sandra telah siuman. Namun, nyatanya wajah Hari hanya datar tanpa ada ekspresi.Hal itu menjadikan senyum Alan pun mengendur. Dia tahu betul jika Hari tidak menyukai Sandra. Bahkan berita kesembuhan Sandra tidak menjadikan Hari sedikit peduli."Ayah nggak seneng denger Sandra siuman?" tanya Alan."Bukan Ayah nggak seneng. Cuma... Yah..." Hari mengangkat bahu, sulit untuk mengutarakan isi hatinya secara terus terang karena hanya akan membuat keributan dengan Alan. "Ayah cuma ngg
Alan segera bangkit berdiri. Sedangkan Rani membetulkan rambut lalu memberi isyarat pada Alan agar masuk ke dalam kamar mandi.Setelah Alan masuk ke dalam kamar mandi, barulah Rani membukakan pintu kamar. Di depannya, sudah berdiri Sandra dengan pandangan menusuk. Menjadikan Rani menelan ludah meski wajahnya terlihat tetap tenang."Nona Sandra, ada apa?""Ran, kamu lihat Alan, nggak? Aku udah di cari-cari tapi kok nggak ada?"Rani menggelengkan kepala. "Saya nggak tahu, Nona. Mungkin Tuan Alan sudah pergi ke kantor."Sandra menghela nafas. "Nggak mungkin, Rani. Hari ini kan, hari Minggu. Lagian hp sama mobilnya Alan masih ada. Jadi pasti dia ada di sekitaran rumah."Rani menggaruk tengkuknya. Tampak salah tingkah yang membuat Sandra menyipitkan mata. Lalu Sandra menjulurkan leher, seakan ingin menengok isi kamar Rani."Aku boleh masuk ke kamar kamu, nggak?" tanya Sandra yang seketika mengejutkan Rani. Begitu pula dengan, Alan yang ada di dalam kamar mandi. Dia mendengar dengan jelas
Sandra duduk di samping Alan di sebuah sofa panjang yang ada di tepi kolam. Mereka dikelilingi oleh sahabat Sandra yang sedang menikmati hidangan diiringi dengan obrolan receh.Sandra melingkarkan tangan di lengan Alan dengan gayanya yang manja. Lalu dia menyandarkan kepala ke pundak sang suami tercinta. Sementara Alan duduk dengan kedua bola mata terus memandangi Rani. Tampak wanita itu duduk di area sudut taman tengah makan sangat lahap. Melihat itu, Alan tak sadar menyunggingkan sebuah senyum gemas."Sayang, aku haus nih. Boleh ambilin aku minum?"Sejenak Alan terperangah, sadar jika dirinya sedang memandang Rani sejak tadi. Lalu dia pun bangkit berdiri meninggalkan Sandra yang terus saja menceritakan salah seorang teman sosialitanya yang kini menikah dengan bule.Sepeninggalan Alan, seorang teman yang duduk paling dekat dengan Sandra, mencolek lutut Sandra sambil memberi kode melirikan ke arah Alan."San, kamu nggak curiga suami kamu selingkuh?""Hah? Memangnya suamiku selingkuh?
Rani memutuskan untuk menunggu Alan dan Jia di dalam mobil. Selama beberapa menit, Rani mengecek kalender di ponselnya sambil mengingat-ingat terakhir kali dia menstruasi.Detak jantung Rani seketika berdenyut dua kali lebih cepat, begitu pula dengan ujung jemarinya yang mendadak dingin setelah Rani memastikan jika dia sudah terlambat satu bulan.Pintu mobil belakang terbuka dari luar. Membuat Rani tersentak kaget melihat Alan yang tengah kesusahan menggendong Jia dan hendak merebahkan sang putri kecilnya itu ke kursi belakang mobil.Kedua bola mata Jia terlihat sayu, pertanda dia sudah mengantuk berat. Alan membenarkan posisi Jia agar nyaman tidur selama perjalanan pulang. Kemudian dia beralih duduk di kursi pengemudi."Kamu kenapa? Bukannya temenin Jia pilih baju, malah kabur," ucap Alan sinis. Dia meletakan paper bag berisi gaun pesta milik Jia ke pangkuan Rani."Kita bisa nggak, mampir dulu ke apotek. Aku mau beli sesuatu," Rani berkata sambil meremas tali paper bag dengan sangat
Satu bulan kemudian.Krrriingg... Kriiinngg... Krrriinngg...Rani membuka matanya dan menjulurkan tangan untuk mematikan alarm yang menggemparkan seluruh kamar. Dengan sekuat tenaga, Rani bangkit lalu duduk di atas kasur.Dia mengecek beberapa pesan yang masuk ke ponselnya. Salah satu diantaranya ialah pesan dari Rian yang mengabari jika dirinya sudah tinggal di rumah yang dibeli oleh Hari.Rian bahkan mengirim beberapa foto sudut rumah yang membuat Rani tersenyum sumringah. Rani sangat bahagia karena kini dia dan adiknya tak lagi hidup menderita di bawah asuhan sang paman.Rani tersadar jika semua itu terjadi berkat kebaikan hati Pak Hari dan seketika itu, Rani tersadar jika dia sama sekali belum menunjukkan sikap apapun sebagai tanda terima kasih pada Pak Hari.Rani menyandarkan punggung ke headboard. Lalu teringat akan saran dari Zahra satu bulan yang lalu untuk mengikuti saja arah takdir membawa diri ke jalan yang mana dan hanya dengan menuruti kemauan Pak Hari, yang bisa Rani lak
Alan menuruni anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Tanpa dia sadari jika sikapnya itu dilihat oleh Hari yang kebetulan juga akan berangkat kerja."Alan, mau kenapa kamu pagi-pagi begini?"Sapaan dari sang ayah membuat Alan menoleh. Dia sedikit terkejut karena sama sekali tak menyadari ada Hari di dekatnya."Ayah?" Alan memutar badannya menghadap pada Hari. "Aku mau ke rumah sakit, Yah. Sandra sudah siuman."Senyum merekah di bibir Alan. Berharap sang ayah juga memasang raut bahagia saat dia mengatakan bahwa Sandra telah siuman. Namun, nyatanya wajah Hari hanya datar tanpa ada ekspresi.Hal itu menjadikan senyum Alan pun mengendur. Dia tahu betul jika Hari tidak menyukai Sandra. Bahkan berita kesembuhan Sandra tidak menjadikan Hari sedikit peduli."Ayah nggak seneng denger Sandra siuman?" tanya Alan."Bukan Ayah nggak seneng. Cuma... Yah..." Hari mengangkat bahu, sulit untuk mengutarakan isi hatinya secara terus terang karena hanya akan membuat keributan dengan Alan. "Ayah cuma ngg
Begitu sampai di rumah, Alan menghentikan mobil halaman. Sekilas dia melirik Rani yang terbungkus selimut dalam keadaan terpejam.Alan berniat membangunkan Rani dan meminta gadis itu untuk turun sendiri dari mobil. Namun, detik berikutnya, pikiran Alan berubah. Dia mampu menahan gejolak rasa di dalam dada.Gejolak itu semakin menyiksa Alan. Sehingga mau tak mau Alan memilih untuk menuruti kemauan yang ada di dalam dirinya. Dia membopong Rani apa pengantin baru menuju kamarnya.Di atas ranjang, Alan membaringkan tubuh Rani dengan perlahan. Lalu melepas pakaiannya sendiri tanpa tersisa sehelai benangpun yang melekat di tubuh."Maafkan aku, San," gumam Alan sesaat sebelum menyibak selimut yang membungkus Rani.Gerakan tangan Alan yang melepas pakaian Rani, membuat gadis itu terbangun. Tampak raut panik yang tergurat di wajah pucat Rani."Kamu mau apa?" tanya Rani masih dengan suara yang lemas.Alan tak menjawab. Sorot matanya telah dibutakan oleh hasrat yang menggebu-gebu. Dia mengecup b
Rani seketika berlari tak peduli pada guyuran hujan yang menjadikan pakaiannya basah. Sementara itu, Denis berlari di belakang sambil berteriak memanggilnya.Meski dalam keadaan lelah, Rani terus mengerahkan tenaganya untuk terus berlari menghindar dari Denis. Dia berteriak meminta tolong. Namun, sayangnya jalanan sangat sepi. Tak ada satu pun kendaraan yang lewat atau seseorang yang sedang berteduh.Sehingga mau tak mau Rani terus berlari. Setahu dia lima ratus meter di depan sana, ada sebuah minimarket yang buka dua puluh empat jam.Akan tetapi sebelum Rani sampai di minimarket, salah satu tangannya berhasil ditangkap oleh Denis. Pria itu memutar tubuh Rani sangat kuat hingga Rani jatuh terduduk di kerasnya jalan aspal."Ran, aku minta maaf. Tadi itu aku... Aku... A-aku nggak bermaksud apa-apain kamu," ucap Denis yang tergagap sambil berjongkok untuk membantu Rani. Rani langsung menepis tangan Denis. Lalu dia berdiri sendiri meski kaki kirinya terasa sangat sakit akibat terkilir.M
"Rani! Rani!"Denis berteriak memanggil Rani begitu melihat gadis itu hendak memasuki cafe. Tampak Rani menghentikan langkahnya, lalu memutar badan menoleh pada Denis.Rani menarik ujung bibirnya membentuk senyum canggung. Denis yang berjalan menghampiri Rani tahu persis jika gadis itu kini telah berubah total semenjak menikah dengan pria yang bernama Alan."Kemarin kamu habis dari mana? Kenapa nggak masuk kerja?""Ada perlu, Kak," jawab Rani singkat yang dengan cepat ingin masuk ke dalam cafe untuk memulai bekerja.Akan tetapi Denis menahan lengan Rani. "Tunggu! Kamu habis jalan sama suami kamu?"Rani menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang telah semerah buah tomat. Dia tak tahu harus menjawab apa pada Denis."Kalau diam berarti iya. Habis pulang kerja kita jalan, yuk. Aku ada yang ingin diobrolin sama kamu."Masih dengan wajah yang menunduk, Rani tak menjawab pertanyaan dari Denis. Dia tak tahu harus berkata apa pada pria itu. Penjelasan sudah Rani utarakan pada Denis dan permi
Satu pekan telah berlalu, dan hari di mana lomba memasak pun tiba. Jia sudah sangat bersemangat berangkat ke sekolah sejak pagi buta.Berbeda dengan Alan yang sedikit tak bersemangat. Saat di meja makan pun, tatapan kesal Alan tak pernah lepas dari Rani yang tengah menyuapi Jia.Semakin hari, Rani semakin dekat dengan Jia. Bahkan kini Jia sudah tidak mau tidur dengan Alan. Putri kecilnya itu lebih memilih tidur dengan Rani. Jika dilarang, Jia akan merengek yang membuat Alan sakit telinga. Sehingga mau tak mau Alan mempersilahkan keinginan Jia. Dalam hati, Alan selalu berpikir, entah mantra apa yang diberikan Rani pada Jia dan juga ayahnya."Papa, ayo kita ke pergi. Nanti terlambat," celoteh Jia yang menyudahi acara sarapannya. Dia turun dari kursi dan mengambil tas kecil berwarna merah muda."Jia tunggu di mobil, biar Papa habiskan dulu sarapannya," saran Rani pada Jia agar dia sendiri juga ada alasan untuk segera pergi dari ruang makan.Rani tak tahan lagi dilirik oleh Alan dengan