“Jadi aku harus bagaimana? Membiarkan kalian terus berhubungan di sini?’
“Kalau begitu, aku yang pergi sejauh mungkin. Aku janji tidak akan mengganggu kalian lagi,” sela Angel.
“Kamu pikir aku sebodoh itu? Lagi pula, untuk apa aku mempertahankan laki-laki yang lebih mementingkan jabatan dan mantan daripada perkawinannya.” Wahda beralih ke Bagus. “Gus, sekarang juga ceraikan!”
“Oke!” teriak Bagus. "Untuk apa aku mempertaruhkan jabatan dan Angel untuk perempuan manja dan mandul seperti kamu. Kamu tidak apa-apanya dibandingkan Angel. Hanya seorang dokter, sombongnya minta ampun. Dibanding Angel kamu tidak apa-apanya. Puas?!”
Wahda tersentak. Ekor matanya melihat senyum miring Angel.
“Puas! Puas sekali. Terima kasih telah menyadarkanku. Hari ini, aku seorang Wahda, lima tahun mengabdi suami, telah dihina di depan mantan. Sekarang ceraikan saja aku. Jangan ditunda lagi. Besok atau lusa sama saja.”
“Baik. Dokter Wahdatul Aisya, detik ini aku juga menceraikanmu,” ucap Bagus terdengar lugas dan tanpa paksaan.
Pecah sudah kaca yang sejak tadi membentuk di matanya. Ia menundukkan pandangan ke bawah. Terasa ada cairan yang merembes dari selangkangannya.
Wahda mengangkat kepalanya, menatap wajah laki-laki yang ia cintai setengah mati. Ingin sekali, ia mencari perhatian dengan merengek seperti apa yang telah dilakukannya dulu pada Bagus. Tapi untuk apa? Bagus bukan lagi suaminya.
"Wahda, itu apa?" tanya Bagus mulai panik.
Wahda kembali menundukkan pandangan. Ternyata cairan merah pekat itu telah menggenangi lantai.
Tiba-tiba ia menyadari satu hal buruk akan terjadi lagi padanya. Karena ini, ia tidak akan bisa lagi memaafkan laki-laki di depannya.
Perlahan pandangannya mulai kabur dan kesadarannya pun mulai menurun. Tubuhnya ambruk. Sesaat ia sempat mendengar panggilan dari seorang laki-laki yang baru saja mengucapkan kata cerai untuknya.
***
"Kamu sudah sadar?"
Sebuah pertanyaan nada khawatir keluar dari seorang laki-laki yang sangat ia cintai selama lima tahun ini. Laki-laki yang telah ia beri segenap perasaan dan perhatian. Menyadari itu, membuat sakit yang masih membekas kembali nyeri menyiksa.
"Kenapa kamu tidak pernah cerita kalau kamu hamil?" tanya Bagus penuh sesal.
Wahda masih belum bersuara. Ruang rawat inap yang seharusnya tempat seorang dokter bertugas, kini malah sebagai pasien. Memori beberapa jam yang lalu kembali mengulang. Menyaksikan suaminya bercumbu mesra dengan mantan.
Ia memejamkan mata. Berharap bayangan itu mau beranjak pergi. Kenyataannya gambaran semakin terlihat nyata saat mata terpejam.
Perlahan air matanya mengalir. Ia telah kehilangan segalanya. Suami, bahkan janin yang telah lama dinantikan. Aliran darah ke lantai kembali mengulang dalam benaknya. Meski belum mendapatkan kabar dari dokter yang menanganinya, dengan darah sebanyak itu, ia tahu janin dalam kandungannya tidak akan terselamatkan lagi.
"Tadinya aku ingin memberitahumu, tapi ternyata aku disuguhi perbuatan gila yang merenggut janinku. Pergilah. Setelah calon jabang anak kita keluar, iddahku telah berakhir. Sekarang kita tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Kita sekarang menjadi orang asing," ucapnya dingin dengan mata masih terpejam.
Bagus tersentak. Ia menggeleng. "Wahda, aku menyesali perbuatanku. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki."
Wahda menggeleng. "Tinggalkan aku!" pintanya.
"Wahda!"
"Keluar!!" Kali ini nadanya sedikit meninggi, meski kentara dengan penekanan.
Wahda membuka matanya. Dengan tertatih ia berusaha duduk.
"Wahda, kamu jangan terlalu mengeluarkan tenaga," cegah Bagus sambil memegang pundaknya.
Wahda langsung memencet tombol yang tak jauh dari kepalanya dengan membabi buta. Sehingga beberapa orang perawat berlarian mendatanginya.
"Kenapa, Dok?"
"Kak, kumohon suruh dia pergi! Aku ingin istirahat."
"Wahda?!" Bagus membelalak tidak percaya.
Para perawat kebingungan. Bagaimana mungkin berani mengusir direktur rumah sakit tempat mereka bekerja? Mereka juga tahu Wahdatul Aisyah istri Bagus Jayasari yang bekerja di rumah sakit daerah.
"CEPAT! Bawa dia keluar!" teriak Wahda. Seketika ia meringis sambil memegang perutnya.
"Wahda?!" Bagus ingin mendekat, tetapi langsung dicegah salah seorang perawat laki-laki.
"Maaf, Dok!"
Bagus masih menatap Wahda tidak percaya. Tanpa menoleh Wahda berbaring, lalu menutup dirinya dengan selimut.
"Wahda!"
Wahda masih bersembunyi di selimutnya. Akhirnya Bagus pasrah, memutuskan keluar ruangan.
Wahda keluar dari persembunyiannya setelah Bagus hilang dari pandangannya. Seketika tangisnya pecah. Merutuki nasib yang tiba-tiba berubah hanya beberapa jam. Mengapa secepat kilat semuanya terenggut darinya?
Siapapun tidak akan menyangka kalau Bagus selingkuh darinya. Pagi-pagi Bagus masih sempat mencumbu yang membuatnya terlambat bekerja.
Ia menyadari ada yang berubah pada dirinya saat jam makan siang di kantin. Tiba-tiba ia sangat tidak suka aroma masakan hati dan ampela yang di etelasi kantin. Perut mual membuatnya urung memesan makanan, lalu berlari ke toilet terdekat. Saat itulah ia baru menyadari kalau siklus mensnya telah terlambat entah berapa Minggu.
Itulah salah satu kebiasaan buruknya, tidak mengingat kapan mens dan berakhir. Tidak. Awalnya ia memang sengaja berusaha tidak peduli dengan siklus menstruasi karena mengingat dirinya yang sering kecewa akibat mens terlambat.
Hanya Allah yang tahu, bagaimana perasaannya saat melihat garis dua biru di testpack miliknya. Ingin rasanya ia berteriak di dalam toilet, andai tidak mengingat kalau dia tidak sedang berada di rumah sakit.
Namun, ia memutuskan memberi tahu Bagus malam hari saja sekalian menjemput pulang. Nahasnya, tanpa diketahui dirinya sebenarnya menuju jalan kehancuran.
Secepat kilat ia ditalak, dan hanya beberapa menit kemudian masa iddahnya habis. Seketika mereka menjadi orang asing.
Secepat kilat ia ditalak, dan hanya beberapa menit kemudian masa iddahnya habis. Seketika mereka menjadi orang asing. Seorang perawat laki-laki urung masuk melihat dirinya yang menangis tersedu dalam selimut. ***Bagus melangkah gontai memasuki rumah minimalis mereka yang sangat terawat. Tiba-tiba perasaannya dicekam hampa. Biasanya, saat datang ke rumah, selalu ada senyum untuknya. Mengambil alih barang bawaannya, juga menyediakan air hangat dalam bathtub, tak lupa mencampur dengan sabun aroma terapi. Kamarnya kini benar-benar sepi. Ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang ukuran king size. Mata menatap langit-langit, pikirannya entah ke mana.Hatinya hancur, semenjak Angel memilih karir daripada dia. Angel memilih beasiswa kuliah di Amsterdam daripada lamarannya. Ia sadar, dirinya memang egois saat itu. Namun, ia melakukan itu karena sangat mencintai Angel. Sayangnya Angel tidak memahami dan menuduhnya laki-laki egois. Hubungan mereka berakhir sampai di situ. Sejak itu, hatinya
Tangis Wahda pecah. Sanad kebingungan. Ia mengangkat sebelah, tetapi terhenti ketika melihat istrinya yang mematung. "Menangislah jika itu membuat lebih nyaman," saran Sanad setelah menurunkan tangannya.Wahda melepaskan pelukannya. Wajahnya sembab memerah. "Aku nggak tau harus gimana ngomong pada ibu!" Teratai bergegas mengambilkan tisu dan meletakkan di dekat Wahda. "Terima kasih," ucap Wahda sambil mengambil beberapa lembar tisu, lalu membersihkan wajah dan hidungnya. Namun, yang terjadi air matanya tak kunjung berhenti. "Bukannya ibumu sudah tahu kamu keguguran? Lagi pula, besok kamu masih bisa mencoba lagi? Ibumu pasti ngerti kok."Wahda menggeleng. Sesaat ia menarik napasnya dalam-dalam. "Aku dan Bagus … kami … sudah bercerai."Sanad dan Teratai tersentak, lalu saling bersitatap. "Bagaimana bisa?" tanya Teratai spontan. Beberapa detik kemudian ia merapatkan bibirnya. ***Dalam perjalanan Teratai hanya terdiam. Pikirannya masih tertinggal di ruang rawat inap Wahda. "Kena
"Biasanya berapa lama bertahan?""Mungkin tahunan. Hanya saja, karena biasanya untuk konsumsi pribadi jadi tidak pernah menghitung berapa lama dan tidak memerhatikan perubahannya warna dan struktur. Biasanya ada endapan putih yang muncul. Kalau dikonsumsi pribadi, endapan itu tidak masalah, karena putih itu seperti garam yang mengkristal. Tapi kalau untuk dijual … Semoga saja kali ini berhasil." "Santai saja. Tuh akhirnya juga sambil dijual 'kan?""Iya, tapi masih dalam bentuk basah. Itupun hanya bisa dititip pada Acil Imai yang pulang pergi ke Kal Teng. Dijual secara curah. Belum bisa dijual dengan kemasan produk dan melalang buana ke mana saja.""Santai saja. Anggap itu rencana jarak panjang dan kafe itu sebagai pelepas lelahmu."Teratai mengangguk. "Oh iya, Wahda jago bikin es krim. Coba kau ajak dia. Siapa tau bisa kalian cocok. Kalian bisa saling menguntungkan. Kamu bisa menambah menu, dia bisa reliks"Teratai meluruskan badannya. Matanya menyipit "Boleh dicoba.""Nanti aku cob
Angel menepuk bahunya. “Nanti kita bisa coba lagi.” Bagus mengangguk lesu. Ia menyerahkan buket itu kepada Angel, lalu melangkah ke dalam. Beberapa orang di selasar menatapnya dengan berbagi rupa. Ada yang menatap dengan iba, ejek, juga mengolok. Hilang semua wibawa yang ia bangun selama ini. Di belakang Angel menciumi mawar merah yang kini beralih ke tangannya. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Sebagai wanita mandiri hingga sampai ke titik ini, telah banyak mengecap asam garam kehidupan tentu sangat kenal dengan karakter manusia umumnya.Tatapan seperti itu hanyalah lalat yang akan pergi cukup dengan dikibas. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, lalu membagikannya satu persatu kepada beberapa perempuan di sana. Seketika mereka menatapnya dengan penuh terima kasih. ***"Sekarang kita mau ke mana?" tanya Arsa saat mereka menunggu plang parkir belum terbuka. "Ke rumah ibuku.""Apa kamu sudah siap?" tanya Arsa melajukan mobilnya. "Ada kamu," jawab Arsa berdecak. "Dasar
"Menangislah. Kuharap setelah ini, tidak ada lagi air mata yang tumpah. Air matamu sangat berarti. Tak layak kau tumpahkan untuk seorang Bagus. Songsonglah masa depan, kamu berhak bahagia. Entah sendiri atau dengan siapapun."Wahda mengangkat wajahnya. Menatap wajah sepupu yang selama ini suka membuatnya kesel. Pada saat tertentu, sepupunya yang satu ini memang dapat diandalkan. Arsa mengusap lembut wajahnya. "Kamu tidak sendiri. Ada ibumu dan aku yang siap ada untukmu. Perlu kamu ingat, kamu memiliki banyak sepupu laki-laki. Meski sepupu, percayalah kami akan selalu membelamu."Wahda mengangguk. Kembali ia membenamkan wajahnya di pinggang Arsa. *** Terlihat mobil Arsa memarkir, saat Bagus memasuki halaman rumahnya. Ia bergegas keluar dari mobil, Wahda dan Arsa muncul dari balik pintu rumahnya. Hatinya terasa diremas melihat wajah bengkak Wahda dan langkah yang terlihat lemah. “Wahda, ini rumah kita, rumahmu,” ucap Bagus setelah melihat koper besar yang ditarik Arsa. Arsa terus
Tiba-tiba Sanad merasakan matanya mengaca. "Aku tidak menyangka, Evan akan bertemu ibu sambung sebaik kamu.""DUAR!!" Teriakan Wahda membuyarkan lamunan Teratai. Ia mengerjap. Di depannya sudah ada Arsa dan Wahda yang cengengesan menatapnya. "Melamunkan apa? Sampai tidak sadar dengan kedatangan kami?" tanya Wahda dengan terkekeh sambil duduk."Wahda?! Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?" cecar Teratai. “Dibilang baikan nggak juga. Karena itu, Arsa bawa aku ke sini, katanya di sini nyaman untuk santai.”“Alhamdulillah, di sini lumayan nyaman.” Wahda mengedarkan pandangannya. Ia tahu betul, kalau itu bangunan empat pintu milik Sanad yang sekarang disulap menjadi kafe dengan gabungan tiga elemen. Di ruang pojok, tempat yang mereka duduki, berdiri sebuah rak kayu di dinding, di depan kaca beberapa rak bentuk hexagonal yang juga di isi beberapa buku. Dua tanaman anggrek bulan yang sedang berbunga warna putih menggantung di tepi kaca. Di ruangan itu hanya dua buah meja tanpa kursi, seda
Sanad mengangguk. Teratai menuangkan infused water untuknya. Ia langsung meneguk minuman itu. “Kamu mau ini, Arsa?” tawar Teratai. Arsa hanya menjawab dengan mengangkat americano miliknya. “Wahda?” tanya Teratai ke Wahda. “Boleh. Sebenarnya aku jarang minum ini, mumpung ada. Sejak kapan kalian mengonsumsi ini?” tanya Wahda. “Tidak lama. Mungkin semenjak ada kafe ini berdekatan dengan penanam mint, jadi dicoba saja. Alhamdulillah, Sanad juga menyukainya. Kadang dibikin teh.”“Oh iya, tanaman yang di situ banyak jenis mint. Orangnya mana?” “Mungkin di belakang. Dia kalau sudah di kebun suka lupa kalau lagi jualan di luar,” jawab Teratai sambil terkekeh. “Oh iya, Sanad bilang kamu jago bikin es krim. Gimana kalau selama cuti kamu bergabung dengan kami, buat tambahan menu es krim. Tidak menjanjikan banyak sih, kamu lihat sendiri masih sepi. Tapi lumayanlah untuk mengisi waktu dan mengalihkan kegalauanmu itu Gimana?" urai Teratai tanpa basa basi.“Oke, aku suka tempat ini. Besok aku
Seorang perempuan muda menyusuri selasar rumah sakit dengan senyum semringah dan hati yang berbunga-bunga. Kabar gembira yang ingin disampaikan pada sang suami telah membuatnya lupa kalau ia sedang menyusuri lorong remang.Aktifitas pelayanan masyarakat sudah ditutup setengah jam yang lalu. Beberapa orang karyawan dan nakes yang ia lewati bersiap-siap pulang ke rumah. Bahkan beberapa lampu telah dimatikan. Sambil bertegur sapa, ia terus melangkah hingga sampai di muka pintu kantor suaminya yang menjabat sebagai direktur di satu rumah sakit itu. Sebelum memegang gagang pintu, terlebih dahulu ia menghirup oksigen kuat-kuat, berharap bisa membuat suaminya terkejut dengan kedatangannya. “Surprise!!” teriaknya. Namun siapa sangka, sebuah pemandangan yang telah membuatnya seperti mendadak kehilangan roh. Matanya membelalak selebar mungkin, seakan bola di dalamnya ingin keluar. Sepasang manusia tersentak, lalu saling salah tingkah sambil merapikan pakaian mereka. Sang laki-laki berdiri men
Sanad mengangguk. Teratai menuangkan infused water untuknya. Ia langsung meneguk minuman itu. “Kamu mau ini, Arsa?” tawar Teratai. Arsa hanya menjawab dengan mengangkat americano miliknya. “Wahda?” tanya Teratai ke Wahda. “Boleh. Sebenarnya aku jarang minum ini, mumpung ada. Sejak kapan kalian mengonsumsi ini?” tanya Wahda. “Tidak lama. Mungkin semenjak ada kafe ini berdekatan dengan penanam mint, jadi dicoba saja. Alhamdulillah, Sanad juga menyukainya. Kadang dibikin teh.”“Oh iya, tanaman yang di situ banyak jenis mint. Orangnya mana?” “Mungkin di belakang. Dia kalau sudah di kebun suka lupa kalau lagi jualan di luar,” jawab Teratai sambil terkekeh. “Oh iya, Sanad bilang kamu jago bikin es krim. Gimana kalau selama cuti kamu bergabung dengan kami, buat tambahan menu es krim. Tidak menjanjikan banyak sih, kamu lihat sendiri masih sepi. Tapi lumayanlah untuk mengisi waktu dan mengalihkan kegalauanmu itu Gimana?" urai Teratai tanpa basa basi.“Oke, aku suka tempat ini. Besok aku
Tiba-tiba Sanad merasakan matanya mengaca. "Aku tidak menyangka, Evan akan bertemu ibu sambung sebaik kamu.""DUAR!!" Teriakan Wahda membuyarkan lamunan Teratai. Ia mengerjap. Di depannya sudah ada Arsa dan Wahda yang cengengesan menatapnya. "Melamunkan apa? Sampai tidak sadar dengan kedatangan kami?" tanya Wahda dengan terkekeh sambil duduk."Wahda?! Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?" cecar Teratai. “Dibilang baikan nggak juga. Karena itu, Arsa bawa aku ke sini, katanya di sini nyaman untuk santai.”“Alhamdulillah, di sini lumayan nyaman.” Wahda mengedarkan pandangannya. Ia tahu betul, kalau itu bangunan empat pintu milik Sanad yang sekarang disulap menjadi kafe dengan gabungan tiga elemen. Di ruang pojok, tempat yang mereka duduki, berdiri sebuah rak kayu di dinding, di depan kaca beberapa rak bentuk hexagonal yang juga di isi beberapa buku. Dua tanaman anggrek bulan yang sedang berbunga warna putih menggantung di tepi kaca. Di ruangan itu hanya dua buah meja tanpa kursi, seda
"Menangislah. Kuharap setelah ini, tidak ada lagi air mata yang tumpah. Air matamu sangat berarti. Tak layak kau tumpahkan untuk seorang Bagus. Songsonglah masa depan, kamu berhak bahagia. Entah sendiri atau dengan siapapun."Wahda mengangkat wajahnya. Menatap wajah sepupu yang selama ini suka membuatnya kesel. Pada saat tertentu, sepupunya yang satu ini memang dapat diandalkan. Arsa mengusap lembut wajahnya. "Kamu tidak sendiri. Ada ibumu dan aku yang siap ada untukmu. Perlu kamu ingat, kamu memiliki banyak sepupu laki-laki. Meski sepupu, percayalah kami akan selalu membelamu."Wahda mengangguk. Kembali ia membenamkan wajahnya di pinggang Arsa. *** Terlihat mobil Arsa memarkir, saat Bagus memasuki halaman rumahnya. Ia bergegas keluar dari mobil, Wahda dan Arsa muncul dari balik pintu rumahnya. Hatinya terasa diremas melihat wajah bengkak Wahda dan langkah yang terlihat lemah. “Wahda, ini rumah kita, rumahmu,” ucap Bagus setelah melihat koper besar yang ditarik Arsa. Arsa terus
Angel menepuk bahunya. “Nanti kita bisa coba lagi.” Bagus mengangguk lesu. Ia menyerahkan buket itu kepada Angel, lalu melangkah ke dalam. Beberapa orang di selasar menatapnya dengan berbagi rupa. Ada yang menatap dengan iba, ejek, juga mengolok. Hilang semua wibawa yang ia bangun selama ini. Di belakang Angel menciumi mawar merah yang kini beralih ke tangannya. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Sebagai wanita mandiri hingga sampai ke titik ini, telah banyak mengecap asam garam kehidupan tentu sangat kenal dengan karakter manusia umumnya.Tatapan seperti itu hanyalah lalat yang akan pergi cukup dengan dikibas. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, lalu membagikannya satu persatu kepada beberapa perempuan di sana. Seketika mereka menatapnya dengan penuh terima kasih. ***"Sekarang kita mau ke mana?" tanya Arsa saat mereka menunggu plang parkir belum terbuka. "Ke rumah ibuku.""Apa kamu sudah siap?" tanya Arsa melajukan mobilnya. "Ada kamu," jawab Arsa berdecak. "Dasar
"Biasanya berapa lama bertahan?""Mungkin tahunan. Hanya saja, karena biasanya untuk konsumsi pribadi jadi tidak pernah menghitung berapa lama dan tidak memerhatikan perubahannya warna dan struktur. Biasanya ada endapan putih yang muncul. Kalau dikonsumsi pribadi, endapan itu tidak masalah, karena putih itu seperti garam yang mengkristal. Tapi kalau untuk dijual … Semoga saja kali ini berhasil." "Santai saja. Tuh akhirnya juga sambil dijual 'kan?""Iya, tapi masih dalam bentuk basah. Itupun hanya bisa dititip pada Acil Imai yang pulang pergi ke Kal Teng. Dijual secara curah. Belum bisa dijual dengan kemasan produk dan melalang buana ke mana saja.""Santai saja. Anggap itu rencana jarak panjang dan kafe itu sebagai pelepas lelahmu."Teratai mengangguk. "Oh iya, Wahda jago bikin es krim. Coba kau ajak dia. Siapa tau bisa kalian cocok. Kalian bisa saling menguntungkan. Kamu bisa menambah menu, dia bisa reliks"Teratai meluruskan badannya. Matanya menyipit "Boleh dicoba.""Nanti aku cob
Tangis Wahda pecah. Sanad kebingungan. Ia mengangkat sebelah, tetapi terhenti ketika melihat istrinya yang mematung. "Menangislah jika itu membuat lebih nyaman," saran Sanad setelah menurunkan tangannya.Wahda melepaskan pelukannya. Wajahnya sembab memerah. "Aku nggak tau harus gimana ngomong pada ibu!" Teratai bergegas mengambilkan tisu dan meletakkan di dekat Wahda. "Terima kasih," ucap Wahda sambil mengambil beberapa lembar tisu, lalu membersihkan wajah dan hidungnya. Namun, yang terjadi air matanya tak kunjung berhenti. "Bukannya ibumu sudah tahu kamu keguguran? Lagi pula, besok kamu masih bisa mencoba lagi? Ibumu pasti ngerti kok."Wahda menggeleng. Sesaat ia menarik napasnya dalam-dalam. "Aku dan Bagus … kami … sudah bercerai."Sanad dan Teratai tersentak, lalu saling bersitatap. "Bagaimana bisa?" tanya Teratai spontan. Beberapa detik kemudian ia merapatkan bibirnya. ***Dalam perjalanan Teratai hanya terdiam. Pikirannya masih tertinggal di ruang rawat inap Wahda. "Kena
Secepat kilat ia ditalak, dan hanya beberapa menit kemudian masa iddahnya habis. Seketika mereka menjadi orang asing. Seorang perawat laki-laki urung masuk melihat dirinya yang menangis tersedu dalam selimut. ***Bagus melangkah gontai memasuki rumah minimalis mereka yang sangat terawat. Tiba-tiba perasaannya dicekam hampa. Biasanya, saat datang ke rumah, selalu ada senyum untuknya. Mengambil alih barang bawaannya, juga menyediakan air hangat dalam bathtub, tak lupa mencampur dengan sabun aroma terapi. Kamarnya kini benar-benar sepi. Ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang ukuran king size. Mata menatap langit-langit, pikirannya entah ke mana.Hatinya hancur, semenjak Angel memilih karir daripada dia. Angel memilih beasiswa kuliah di Amsterdam daripada lamarannya. Ia sadar, dirinya memang egois saat itu. Namun, ia melakukan itu karena sangat mencintai Angel. Sayangnya Angel tidak memahami dan menuduhnya laki-laki egois. Hubungan mereka berakhir sampai di situ. Sejak itu, hatinya
“Jadi aku harus bagaimana? Membiarkan kalian terus berhubungan di sini?’“Kalau begitu, aku yang pergi sejauh mungkin. Aku janji tidak akan mengganggu kalian lagi,” sela Angel.“Kamu pikir aku sebodoh itu? Lagi pula, untuk apa aku mempertahankan laki-laki yang lebih mementingkan jabatan dan mantan daripada perkawinannya.” Wahda beralih ke Bagus. “Gus, sekarang juga ceraikan!” “Oke!” teriak Bagus. "Untuk apa aku mempertaruhkan jabatan dan Angel untuk perempuan manja dan mandul seperti kamu. Kamu tidak apa-apanya dibandingkan Angel. Hanya seorang dokter, sombongnya minta ampun. Dibanding Angel kamu tidak apa-apanya. Puas?!”Wahda tersentak. Ekor matanya melihat senyum miring Angel.“Puas! Puas sekali. Terima kasih telah menyadarkanku. Hari ini, aku seorang Wahda, lima tahun mengabdi suami, telah dihina di depan mantan. Sekarang ceraikan saja aku. Jangan ditunda lagi. Besok atau lusa sama saja.”“Baik. Dokter Wahdatul Aisya, detik ini aku juga menceraikanmu,” ucap Bagus terdengar lugas
Seorang perempuan muda menyusuri selasar rumah sakit dengan senyum semringah dan hati yang berbunga-bunga. Kabar gembira yang ingin disampaikan pada sang suami telah membuatnya lupa kalau ia sedang menyusuri lorong remang.Aktifitas pelayanan masyarakat sudah ditutup setengah jam yang lalu. Beberapa orang karyawan dan nakes yang ia lewati bersiap-siap pulang ke rumah. Bahkan beberapa lampu telah dimatikan. Sambil bertegur sapa, ia terus melangkah hingga sampai di muka pintu kantor suaminya yang menjabat sebagai direktur di satu rumah sakit itu. Sebelum memegang gagang pintu, terlebih dahulu ia menghirup oksigen kuat-kuat, berharap bisa membuat suaminya terkejut dengan kedatangannya. “Surprise!!” teriaknya. Namun siapa sangka, sebuah pemandangan yang telah membuatnya seperti mendadak kehilangan roh. Matanya membelalak selebar mungkin, seakan bola di dalamnya ingin keluar. Sepasang manusia tersentak, lalu saling salah tingkah sambil merapikan pakaian mereka. Sang laki-laki berdiri men