"Bangunlah," ajak pria itu lembut. "Aku sudah tiba seperti janjiku padamu."
Dinda terpaku bingung. Siapa laki-laki ini? Rasanya mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tetangga-tetangga mulai bergunjing mengenai mereka. Beberapa memuji betapa beruntungnya Dinda memiliki kekasih setampan laki-laki itu. Namun, beberapa juga mencemooh Dinda yang dinilai tidak sepadan dengan laki-laki tersebut.Sementara orang-orang sibuk berkomentar, tangan kokoh itu masih menunggu di hadapannya. Tanpa pikir panjang lagi gadis itu kemudian menyambutnya. Namun ia masih tak sanggup mengangkat wajahnya. Dinda benar-benar malu dan hanya ingin menghilang dari tengah kerumunan orang-orang.Tangan kokoh itu membantunya berdiri. Kemudian membimbingnya ke restoran sebelah."Kita makan dulu, ya? Aku sudah lama menahan rindu ingin makan bersamamu lagi."Laki-laki itu menuntunnya pelan ke Restoran berbintang yang berseberangan dengan toko bukunya. Meninggalkan Lola dan Yani yang melongo tak percaya.Begitu masuk ke dalam Restoran, Dinda melihat Owner Restoran itu sendiri yang menyambut dengan penuh hormat. Ia langsung bisa menilai bahwa laki-laki yang sedang menolongnya adalah pelanggan yang diutamakan.Namun ia belum sempat melihat seperti apa sosok malaikatnya ini, karena ia terus menunduk sejak tadi. Hanya sepatu pantofel laki-laki itu yang hitam mentereng yang sedari tadi jadi objek tatapannya.Laki-laki itu berhenti di samping salah satu meja dengan dua kursi.Tangan kokohnya kemudian melepaskan lengan Dinda. Lalu menarik salah satu kursi. "Duduklah," lembut tawarannya.Dinda menurut. Sikap lembut penolongnya itu langsung membuatnya nyaman."Tunggu sebentar, ya." Laki-laki itu melangkah keluar kembali dengan tergesa. Meninggalkan Dinda yang kemudian ditemani Owner Restoran. Dinda yang belum pernah bertegur sapa dengan owner tersebut kini justru ditawari makan, dan dilayani bak tamu kehormatan.Dinda menggeleng, hingga beberapa saat kemudian laki-laki penolongnya kembali datang dan bermaksud mengobati luka di lututnya. Namun, karena enggan bagian tubuhnya yang tertutup kulot panjang itu dilihat oleh orang lain, Dinda menolak secara halus.Laki-laki baik itu menurut dan menyerahkan obatnya agar Dinda bisa mengobatinya sendiri nanti. Namun kemudian gencar memaksa gadis itu untuk makan. Sikapnya benar-benar penuh perhatian.Akhirnya Dinda mengangguk, mengiyakan apa saja yang ditawarkan padanya.Menunggu makanannya datang , Dinda merasa penasaran pada laki-laki yang duduk di hadapannya.Gadis itu mengangkat wajahnya. Dan seketika itu ia terkesima. ‘Ya Tuhan, ….’Penolongnya itu ternyata benar-benar seperti sosok malaikat!Tampan, berkharisma, dan memiliki tatapan seteduh rembulan. Alisnya rapi dengan bentuk yang tegas, matanya berwarna coklat terang, hidungnya mancung, bentuk bibirnya pun sangat menawan.Dan yang paling disukai Dinda adalah rambutnya yang tebal, disisir rapi dengan potongan yang keren. Juga pundaknya yang lebar. Tampak begitu maskulin dengan kemeja biru tua yang lengannya dilipat sampai ke bawah siku.Sontak saja Dinda salah tingkah. Tangannya refleks merapikan kerudung.Melihat kecanggungan Dinda, pria itu mengembangkan senyuman. Manis. Ada lesung pipinya."Perkenalkan, namaku Andra Janson."“Salam kenal, saya Dinda." Gadis itu menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.Andra tersenyum tipis dan menarik kembali tangannya. "Dinda saja?""Dinda Zahara Kirani. Sekali lagi terima kasih atas bantuan Anda tadi. Sekarang saya udah baik-baik saja. Anda bisa melanjutkan tujuan Anda sebelumnya.""Kok, Anda? Andra, kurang R-nya." Pria itu memasang tampang serius.Dinda menyengir. "Ya, Andra maksud saya."."Nah, begitu." Pria itu mengangkat telunjuknya sambil tersenyum. "Tujuanku tadi memang untuk makan. Terus tidak sengaja melihat kejadian tadi.""Itu ... baru kali ini terjadi. Kami tidak pernah bertengkar sampai dilihat orang lain sebelumnya," terang Dinda.Entah kenapa ia tak ingin pria ini berpikir dirinya berasal dari keluarga arogan dan berantakan."Kamu pasti syok sekali," Andra menatap prihatin."Ya. Bibi hari ini tiba-tiba mengamuk.""Karena kamu tidak mau dijodohkan?"Dinda langsung menatap lurus wajah di hadapannya. Wajah beraura teduh yang membuatnya merasa nyaman walau baru bertemu. "Bagaimana Anda tau?”"Aku mendengarnya tadi."Dinda menelan salivanya.Ya, tentu saja laki-laki ini tahu. Dan semua orang di sekitar tokonya yang melihat kejadian tadi juga tahu."Ya," lirihnya. "Dengan laki-laki tua yang telah memiliki istri.""Melihat kemarahannya tadi, aku tebak bibi kamu pasti tidak akan menyerah sebelum menikahkan kamu.""Ya, memang benar, bibi adalah orang yang tak mau omongannya dibantah."Andra menghela napas. "Kalau begitu, kita harus benar-benar menikah.""Apa?!" Mata Dinda membulat sempurna.Andra menatap mata cemerlang itu intens. "Ya. Semua orang sekarang tau kamu punya pacar. Aku bahkan tadi mengatakan di depan semua orang akan menikahimu. Jadi kalau itu tak terjadi, bantuanku tadi hanya akan menjadi bumerang buat kamu. Orang akan berpikir aku mencampakkan kamu, dan bibi kamu akan langsung menikahkan kamu dengan orang tua itu tanpa ragu lagi."Dinda terhenyak. Apa yang dikatakan Andra tadi terdengar jelas di pendengarannya, tapi otaknya menolak mentah-mentah.Bagaimana mungkin ia bisa menikah mendadak? Dengan orang yang baru dijumpainya beberapa menit yang lalu pula. Ya walaupun orang yang mengajaknya menikah itu bak seorang pangeran.Andra mengambil dompet dari saku celananya dan mengeluarkan selembar kartu. "Ini, kartu namaku. Ada nomor teleponnya. Kamu bisa menghubungiku kalau udah ada keputusan."Dinda menerima kartu yang disodorkan Andra dengan perasaan yang tak karuan."Dr. Andra Janson," bacanya tanpa suara.Jadi pria tampan ini adalah seorang dokter?**Tiga hari telah berlalu. Namun Dinda belum berani memberi keputusan pada Dr. Andra Janson. Laki-laki itu juga tidak pernah muncul lagi sejak hari itu.Dinda menatap kartu nama di tangannya sambil menghela napas. Harusnya ia bisa menebak akan jadi seperti ini. Mana mungkin seorang dokter yang pasti hari-harinya sangat sibuk akan mengingat perempuan yang baru sekali ditemuinya. Dr. Andra Janson pasti hanya melihatnya sebagai orang yang harus dibantu kala itu, sama seperti seorang pasien."Dan di antara beribu pasiennya, mana mungkin dia akan ingat padaku."Dinda menggelengkan kepalanya, mencoba mengenyahkan bayangan Dr. Andra dari pikrian. Ini tidak boleh dibiarkan. Harapannya tidak boleh dipupuk. Angannya tidak boleh diberi angin untuk terus melambung.Akhirnya, Dinda memutuskan untuk menghubungi sahabatnya, Fathimah. Satu-satunya teman yang paling tahu seperti apa hidupnya.Gadis keturunan Arab yang tingkahnya seringkali absurd namun sangat setia kawan.Beberapa kali nada sambungnya berbunyi, Fathimah tak juga mengangkat teleponnya.Hingga akhirnya suara seorang laki-laki terdengar menjawab. "Apa Anda saudaranya pemilik hp ini? Saudari Anda baru saja mengalami kecelakaan."Mendengar berita buruk itu, Dinda segera bergegas ke tempat kejadian. Untunglah sahabatnya itu hanya mengalami kecelakaan kecil. Dan Dinda pun menemaninya ke rumah sakit.Saat sedang menunggu dokter di sebuah ruangan yang serba putih, Fathimah justru sibuk membicarakan lelaki penolongnya, yang katanya bak jodoh yang ia impikan."Ya ampun, sempet-sempetnya kamu mikirin cowok lagi sakit begini! Jangan-jangan tadi kepalamu ikut kepentok," Dinda menyentil kening sahabatnya."Kepentok?" Seseorang menyela dari arah pintu ruang Dokter.Dinda langsung menyadari bahwa dokternya telah datang.Langkah sepatu pantofel terdengar mengetuk lantai. Suara langkah yang terdengar maskulin."Apanya yang kepentok?" Sang dokter kembali bertanya sambil menarik kursinya.Dinda mengangkat wajahnya, dan seketika itu ia tersentak.Itu … Dr. Andra Janson!Mata keduanya bertemu. Dokter tampan yang kharismatik itu tersenyum ramah.Namun agaknya Dinda harus kecewa, karena sepengelihatannya Andra tidak lagi mengingatnya.Tidak ada interaksi berarti yang terjadi di antara keduanya. Hingga sampai akhir sesi konsultasi, Dinda membantu Fathimah bangun dan keluar dengan membawa resep obat.Laki-laki itu tiba-tiba ikut bangkit dan memberi perintah pada Perawat yang baru masuk ke ruangannya."Sus, tolong bantu pasiennya mengambil obat di apotek. Saya ingin berbicara dengan temannya.”Langkah Dinda sontak berhenti. Degup jantungnya kembali melonjak.Laki-laki itu ingin bicara dengannya?Perawat yang diperintahkan Andra tersenyum ramah dan mengajak Fathimah bersamanya. Sementara Dinda hanya bisa mematung dengan dada yang berdebar.Setelah pintu ruangan ditutup kembali oleh perawat, Dinda berbalik tanpa berani menatap sosok yang berdiri menjulang beberapa langkah di depannya."Kenapa kamu tidak menelepon?"Dinda langsung mengangkat wajahnya. Ternyata, penolongnya ini masih ingat padanya.Netra coklat terang itu menatap lurus padanya dengan tatapan begitu mendominasi."Apa kamu menolakku?"“Apa kamu menolakku?” Detak jantung Dinda serasa berhenti seketika mendengar pertanyaan itu. Bukan cuma masih mengingatnya, sang dokter bahkan benar-benar serius tentang pernikahan yang ditawarkannya. Tubuh Dinda seolah membatu. Ia tak mampu bergerak ataupun menjawabnya. “Atau kamu sudah menerima perjodohan itu?” Andra menelisik wajah yang terpaku bisu itu. “Bu-bukan,” jawab Dinda tergagap. “Saya tidak menerima perjodohan itu.” “Terus?” “Saya Cuma berpikir kalau Anda sudah lupa.” Andra tertawa, renyah dan enak didengar. “Mana mungkin aku lupa setelah mengajak anak orang menikah?” Dinda menyengir. Baginya yang terasa tak mungkin malah kenyataan bahwa laki-laki itu benar-benar menunggu jawabannya. “Saya bingung, ini terlalu mendadak.” “Bagaimana dengan perjodohan itu? Apa bibimu tidak memaksa lagi?” “Masih. Dan besok mereka akan datang untuk pertunangan.” Andra langsung menatap serius. “Kalau kamu masih ragu dengan tawaranku, berarti kamu harus siap menikah dengan laki-laki
“Saya Andra, calon suami Dinda.”Semua terperangah mendengar jawaban pemuda bersetelan dokter yang tiba-tiba datang. “Calon suami?” Yani bangkit dengan wajah kesal. Menatap tak sabar orang yang telah mengganggu rencananya. Kemudian baru teringat pada wajah tampan yang beberapa hari lalu juga ikut campur saat ia sedang memarahi Dinda. “Oh, kamu yang tempo hari mau nikahin si Dinda?” Andra melepaskan tangan Dahlan dan beralih menatap Yani. “Ya. Saya yang lebih dulu melamar langsung pada Dinda, dan saya juga laki-laki yang pertama kali diterima Dinda. Jadi saya yang berhak menikahinya.” “Huh,” Yani mendengus. “Apa tujuanmu nikahin dia? Toko buku? Apa si Dinda bilang toko ini miliknya?” Yani tertawa sinis, “asal kamu tau, ya, toko ini udah sepenuhnya milik kami. Si Dinda harusnya malah nombok buat biaya kami ngerawat dia. Jadi, kamu nggak akan dapat apa-apa kalau nikah sama dia.” “Saya nggak butuh apa-apa. Saya hanya ingin menikahinya.” Amir ikut berdiri dan menatap pemuda itu serius.
“Bagaimana bisa seorang dokter seperti Anda mau menikah mendadak seperti ini?” tanya Dinda dengan kepala yang tersandar di dada bidang Andra.“Karena situasimu yang mengharuskan,” jawab Andra.Suaranya terdengar begitu lembut di telinga Dinda. Namun gadis itu tak melihat sorot mata laki-laki itu yang tampak begitu misterius saat menjawabnya. “Kenapa harus? Saya bukan siapa-siapa Anda.” Andra menghela napas tanpa mau melepaskan pelukannya. “Awalnya aku hanya ingin menolong gadis yang mempertahankan hidupnya walau dunia telah menyuruhnya tiada saja. Tapi kemudian aku merasa yakin gadis itulah pilihan yang tepat.”Jembatan indah itu menjadi saksi. Saat rasa nyaman menyatu bersama dekapan kedua insan yang baru saja mengikrarkan janji di hadapan Allah. Setelah puas menenangkan diri, pasangan suami istri baru itu memutuskan kembali ke ruko. Kaki Dinda melangkah ringan, begitu ringan hingga serasa terbang. Ia benar-benar tak bisa merasakan pijakan kakinya, tak bisa melihat suasana di sekel
“Aku tidak bisa!” Andra menjawab panggilan yang begitu mengganggu itu singkat, dan dengan nada dingin. Setelahnya, lelaki itu langsung menaruh ponsel itu kembali ke dalam saku, kemudian termenung dalam pikiran yang tak tentu arah.Di hadapannya, Dinda sedang diliputi kegundahan. Sebelum berangkat, tentu ia harus mengganti kebaya dan rok batik sempit yang menjepit kakinya itu. Tapi bagaimana menggantinya kalau sang Dokter masih berada di dalam kamarnya? “Saya mau ganti baju dulu,” ujar Dinda tanpa berani menatap. Namun Andra tidak menanggapi. Dinda mengangkat wajahnya, dan menyadari bahwa sang dokter sedang melamun. Ekspresi laki-laki itu juga tampak lain. Apa ada masalah yang tiba-tiba membuatnya kepikiran? “Ehm,” Dinda berdeham ragu. “Boleh ... tunggu di luar, Dok?” Andra tersentak dan menoleh. Ekspresinya seketika berubah hangat kembali saat menatap Dinda. “Ya? Kenapa?” “Saya mau ganti baju dulu.” “Oh, oke. Aku akan menunggu di depan pintu,” jawabnya sambil bangkit dari temp
Perempuan itu menatap Andra intens tanpa melirik Dinda sedikitpun. Senyuman di bibir merahnya masih mengembang, namun ucapannya penuh dengan tekanan, "apa kamu mengabaikan ku, Janson Sayang?"Sayang? Kata itu membuat Dinda terpaku. Baru saja ia menanyakan tentang pacar tiba-tiba saja seorang wanita memanggil laki-laki itu dengan sebutan sayang?Andra menghembuskan napas panjang, menatap jengah perempuan yang menghadang mobilnya. "Tunggu sebentar," ucapnya pada Dinda. Membuka pintu lalu menghampiri wanita itu. "Ada apa?" tanyanya datar. Wanita itu menatap manja. Tangannya terulur menyentuh jas kedokteran Andra dan merapikannya penuh perhatian. Andra membiarkannya tanpa ekspresi. "Janson, aku ingin makan malam denganmu malam ini," pinta wanita itu dengan nada yang mendayu-dayu. "Aku tidak bisa. Kau bisa mengajak Alex atau temanmu.""Adikmu itu mana pernah mau diajak dinner romantis. Aku benar-benar kesepian beberapa hari ini. Kalian mengabaikanku," rajuk wanita itu. "Tapi aku b
Dinda kembali ke kursi tamu setelah membuktikan rasa penasarannya. Tak elok juga kalau ia memeriksa setiap ruangan rumah yang baru ia datangi itu, walau rumah itu milik suaminya sendiri. Andra kembali dengan bibir terkatup rapat. Sepertinya ada masalah yang serius dengan orang yang baru saja menelepon. "Maaf Dinda, aku harus keluar dulu, ada sedikit urusan di luar. Kamu ada rencana mau kemana? Biar aku antarkan lebih dulu."Dinda terdiam sejenak. Ia tak pernah punya tujuan di luar rumah kecuali kampus dan rumah Fathimah. Tapi kalau sudah sore seperti ini tentu tak mungkin pergi ke sana. "Saya ... tidak punya rencana kemana-mana. Dokter pergi saja."Apa tidak apa-apa aku tinggal sendirian?"Dinda memberikan senyuman tipis. "Tidak apa-apa, saya berani. Di rumah ini tidak ada hantunya, kan?""Tidak ada hantu yang berani singgah di rumah ini. Kalo ada yang berani mampir langsung aku seret ke rumah sakit buat di inpus karena mukanya pada pucat.""Hahaha ...,"Dinda tertawa mendengar gura
Bibir menawan Andra langsung tersenyum. Dengan tatapan yang masih terpaut pada Dinda, ia menolak tawaran mahasiswi cantik bak seorang model di sampingnya. "Terimakasih. Tapi tidak perlu, saya sudah menemukan yang saya cari."Langkah panjangnya terayun menuju Dinda. Membuat para gadis yang menyebut diri mereka para Dewi itu terperangah. "Maaf, aku tidak pulang semalam, istriku. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi," ucapnya. Ucapan yang membuat para Dewi benar-benar tersentak mentalnya. "I-iya," Dinda tergagap. Mendengar Andra memanggilnya istri membuatnya salah tingkah. "Ayo, kita pulang." Laki-laki itu meraih tangan Dinda. Menggenggamnya hangat dan penuh kelembutan. Merasakan sentuhan itu membuat napas Dinda seketika tertahan. Ia kelabakan dan kembali hanya bisa menjawab, "i-iya."Andra menoleh pada Fathimah. Yang berdiri bangga memperlihatkan sahabatnya pada para Dewi yang masih terpaku tak percaya. "Fathimah, bagaimana kakinya?" Fathimah kembali tersenyum
Dinda mengakhiri shalat subuh nya dengan salam. Saat suara kunci pintu rumah terdengar diputar dari luar. Itu pasti Andra. Sang Dokter kembali tak pulang semalaman. "Maaf, aku tidak pulang semalam. Operasinya selesai pukul dua malam. Hujan sangat deras, aku ingin mengabari mu kalo tak bisa pulang, tapi baru sadar kalau HP-ku lowbat. Nunggu baterainya penuh aku malah tertidur," ucapnya langsung begitu Dinda melongok dari pintu kamarnya. Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian tersenyum. Wajah Andra tampak begitu lelah. Sudah seharusnya istri seorang Dokter maklum dengan waktu kerja suaminya yang tak menentu. Apalagi dirinya yang merasa berhutang budi dengan pernikahan ini. "Tidak apa-apa. Saya tau Dokter tidak bisa pulang karena hujan."Andra membalas senyuman itu. Kemudian meletakkan tas kerjanya di atas meja tamu. Dan mengambil laptop dari dalamnya. "Aku harus masuk kamar dulu. Masih ada pekerjaan yang belum selesai," terangnya dengan raut penuh beban. Dinda mengangguk. "Saya akan
Extra partAndra berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celananya. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki bertubuh kekar dan bertopi yang tak lain adalah IPDA Reza. "Apa yang bisa membuatku yakin, kau tak akan berubah karena trauma itu lagi?" Andra menghela napas. "Yang pertama, aku telah mengetahui apa alasan ibuku menggantung diri. Dan aku juga sudah menangkap orang yang menjadi penyebab ibuku melakukan hal itu. Yang kedua, aku memiliki seorang istri seperti Dinda, kau juga mengenalnya seperti apa, dia tak akan membiarkanku kembali ke masa lalu.""Baiklah kalau begitu. Aku akan melupakan sebuah flashdisk yang pernah aku temukan di rumahmu di bukit Pinus.""Flashdisk?" Andra mengernyit. Karena rasanya ia dan Dinda telah memusnahkan semua flashdisk-nya. "Ya," Reza tersenyum tipis. "Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu kali akan jatuh juga."Andra terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. "Itu benar," sahutnya."Aku pergi dulu. Siang ini aku harus segera b
Soni dan Guntur serentak keluar dari pintunya masing-masing. Lalu berlari menuju pintu masuk. Menyusul Andra yang sudah berlari lebih dulu. Sementara Dinda yang terpaksa tak ikut langsung mengunci pintu mobil seperti perintah Andra sebelumnya. "Bahaya, kalau karyawan perempuan itu dilenyapkan juga karena cuma dia saksi matanya," deduksi Soni sambil berlari di samping Guntur. "Tidak, bagaimana kalau karyawan perempuan itu yang membawa air bercampur racun?"Brak!Andra mendobrak pintunya. Lalu berlari cepat ke arah dua orang karyawan yang berjongkok di samping tubuh Yani. "Jangan bergerak!" teriaknya. Kedua orang itu tersentak dan sama-sama menoleh ke arah suara yang mengagetkan itu! Namun bedanya, yang perempuan langsung menunduk kembali. Andra tertegun. Ia mengenal wajah itu. *Flashback.Jamal menatap sosok berpakaian serba hitam yang datang untuk berterimakasih padanya kedalam penjara. "Kenapa kau ingin mengkambinghitamkan laki-laki yang kau cintai?" Sosok itu menghela nap
Hari sudah siang, semua karyawan PT sedang keluar untuk makan siang. Begitu juga dengan pekerja di gudang. Mereka baru saja keluar, saat mobil Andra dan timnya berhenti di tepi jalan. Andra membuka jendela mobilnya. Sekilas terdengar salah seorang pekerja di gudang itu membicarakan sesuatu dengan bibir tersenyum-senyum. "Pekerja baru itu cantik banget, ya? Udah gitu pekerja keras lagi. Barang sekarung besar itu diseret sendiri. Aku udah nawarin bantuan tapi doi menolak secara halus.""Iya, gue juga udah ngajak makan. Katanya mau nyelesain kerjaan dulu. Bakal betah gue kerja kalo ada temen kerja kayak gitu," timpal temannya. Sementara itu, Martin dan lima anak buah kepercayaannya langsung mengepung di sekeliling gudang.Sedangkan Andra, Dinda, Soni, dan Guntur tidak langsung keluar dari mobil karena Soni harus meretas kamera CCTV gudang untuk melihat keadaan di dalam."Tidak akan lama," Soni langsung fokus.Kamera berhasil di retas setelah beberapa saat. Tampaklah penampakan isi gud
Tring. Semua yang terdiam tampak tersentak kaget mendengar dering ponsel Andra. "Paman Amir," ujarnya pada Dinda. Lalu mengangkat telepon itu."Ya, halo," jawabnya. "Halo, Nak Andra! Istriku menghilang!" panik Amir di seberang. "Apa?!" Mata Andra melebar. Yani, yang menjadi umpan jebakannya menghilang? "Paman yakin dia tidak pergi ke suatu tempat?" "Entahlah, tapi sepertinya istriku benar-benar takut akan dituntut. Jadi kurasa tak mungkin dia berani mengacaukan rencana.""Baiklah, kalau begitu. Aku akan mencarinya!" Andra mematikan teleponnya dan menatap semua orang di dekatnya. "Kita salah sasaran!" serunya. "Bibi Yani kenapa?" tanya Dinda yang tak tahu mengenai rencana yang disusun Andra. "Dia menjadi umpan untuk menangkap pembunuh itu. Dan sekarang dia menghilang."Dinda tercenung. Hatinya resah. Bagaimanapun, Yani tetap keluarga dekatnya. "Dinda akan bantu mencari.""Tidak, ini bahaya Dinda. Makanya aku tidak memberitahu mu sejak awal.""Dinda akan berhati-hati dan terus
"Soni, Guntur! Kalian yang berada lebih dekat langsung beralih ke rumah Dinas. Dugaan kita meleset. Target malah di rumah Dinas dan istriku dalam bahaya!" teriak Andra sambil berlari. Tiba di luar, tampak Martin telah menunggu dengan motornya. Andra langsung berlari menyongsong orang kepercayaannya itu. "Cepat, Martin!" "Baik, Dok!" angguk Martin yang kemudian menarik gas motornya sekencang mungkin. *Dinda berdiri membeku melihat laki-laki berwajah pucat itu berjalan menghampirinya. Ia berhenti berlari karena teringat pada Bingo yang tertinggal di kamar. Laki-laki bernama Faisal itu menggendong Bingo dan kemudian berhenti 3 langkah di hadapan Dinda. "Lepasin Bingo!" Dinda memberanikan diri untuk membentak. Faisal tak menanggapi. Tangannya yang sebelah lagi merogoh saku belakang celana, membuat Dinda was-was menerka apa yang diambil laki-laki itu. Bagaimana kalau senjata tajam? Namun ternyata yang diambilnya adalah sebuah buku catatan dan pulpen. Orang itu kemudian menurunkan
Bab 107Tiba-tiba, Amir muncul dan menghadang jalan Andra. Laki-laki paruh baya itu kemudian berlutut dengan wajah memelas, membuat orang-orang di sekitar langsung memperhatikan. "Nak Andra, tolong kasihanilah kami, jangan tuntut kami. Nak Andra boleh mengambil toko baru itu, Kami akan menyerahkan sertifikatnya juga."Andra menghela napas. "Aku hanya ingin toko buku milik istriku kembali seperti semula. Aku tidak butuh toko lain!" tegasnya. Amir melirik cemas, meski telah membantu bersandiwara seperti ini ternyata suami dari keponakannya itu tetap tak mau memberi keringanan. "Tapi itu tak mungkin bisa, Nak! Orang itu telah mendapatkan tokonya dengan harga murah, tidak mungkin mau mengembalikannya lagi."Andra menatap tak sabar. Bisa-bisanya Amir mengambil kesempatan untuk bernegosiasi dengannya di tengah sandiwara yang telah ia atur. Ia hanya ingin Amir mengatakan bahwa Yani hendak bunuh diri, untuk memancing si pembunuh. "Kalian bisa membelinya kembali dengan harga yang lebih
"Kalau dalam kasus pembunuhan itu si pelaku sengaja mencari orang-orang yang hendak bunuh diri, kita bisa menjebaknya dengan memberi umpan seseorang yang akan berpura-pura bunuh diri. Dan lebih baik, orang itu memiliki hubungan dengan Anda atau istri Anda, Pak Andra," usul Guntur, sang detektif swasta.Andra mengangguk-angguk. "Aku tau siapa yang bisa berperan menjadi umpan," sahutnya. *Andra berdiri di hadapan sebuah ruko dengan tangan di dalam saku celananya. Bibirnya tersenyum menatap teras toko dimana ia dan seorang gadis baik hati bertemu. Kala itu ia hanya menganggap gadis berwajah ayu itu sebagai kelinci percobaan.Namun siapa sangka, kelinci percobaannya malah menjadi kelinci manis yang ia cintai. Bahkan berhasil mengubah jati dirinya.Klik. Pintu kaca toko terbuka. Seorang laki-laki paruh baya yang tak lain adalah Amir muncul dari dalam dan tampak tersentak kaget melihat Andra yang berdiri di depan tokonya. "N-nak Andra?" sebutnya terbata. "Ya. Ini saya."Amir buru-bur
"Apa kita pindah ke rumah dinas saja dulu? Sampai kasus ini selesai," tawar Andra. Ia melihat Dinda mulai tidak nyaman dan was-was setiap saat, setelah munculnya pemilik Bingo di rumah baru mereka itu.Meski enggan untuk meninggalkan rumah impiannya bersama Andra, namun Dinda merasa tawaran sang suami lebih tepat untuk saat ini. Rumah dinas berada di tengah kota, dan jarak rumah dengan tetangga juga tak jauh. Akhirnya, setelah berbenah mereka berangkat ke rumah dinas. Rumah dimana keduanya saling mengenal hingga saling mencintai dan bermadu kasih. Tiba di sana, bibir Dinda seketika tersenyum. Banyak kenangan manis yang telah terpatri di rumah itu."Kamu senang?" Andra ikut tersenyum dan merangkul pundak istrinya hangat.Dinda mengangguk, kemudian melangkah masuk bersama dalam rangkulan lelaki itu.Andra benar-benar memperhatikan dan memanjakannya. Laki-laki itu juga mengajaknya bersantai sore, membuatkannya teh dan menikmati senja di kursi taman seperti biasa. "Padahal harusnya Di
Dinda menatap laki-laki berkumis yang tiba-tiba masuk dan mengecam suaminya itu, dengan tatapan kesal. Persis seperti komisaris korup dalam film India, atasan Reza itu benar-benar bermuka dua. Beberapa hari yang lalu Andra sempat cerita bahwa sang komisaris berterimakasih padanya karena telah membantu menangkap Jamal. Laki-laki bermata kecil itu juga meminta maaf karena pernah menuduh Andra sebagai pelaku pembunuhan dan juga pernah ingin mempidanakannya saat kasus dengan Dahlan dahulu. Dada Dinda serasa bergemuruh mengingat semuanya.Sekarang, pria itu kembali ingin menjerat suaminya dan menuduhnya memberi kesaksian palsu. "Saya tidak berbohong, Suami saya memang langsung pulang sore itu.""Baiklah kalau Anda bersikeras seperti itu. Saya cuma mau nanya, apa Anda punya buktinya?"Dinda terdiam dengan sejuta rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan. Sementara itu di luar ruangan, Alex dan Fathimah sedang duduk menunggu dengan raut cemas. "Alex, semua ini salahku. Coba saja aku tak ter