“Aku tidak bisa!”
Andra menjawab panggilan yang begitu mengganggu itu singkat, dan dengan nada dingin. Setelahnya, lelaki itu langsung menaruh ponsel itu kembali ke dalam saku, kemudian termenung dalam pikiran yang tak tentu arah.Di hadapannya, Dinda sedang diliputi kegundahan. Sebelum berangkat, tentu ia harus mengganti kebaya dan rok batik sempit yang menjepit kakinya itu. Tapi bagaimana menggantinya kalau sang Dokter masih berada di dalam kamarnya? “Saya mau ganti baju dulu,” ujar Dinda tanpa berani menatap. Namun Andra tidak menanggapi. Dinda mengangkat wajahnya, dan menyadari bahwa sang dokter sedang melamun. Ekspresi laki-laki itu juga tampak lain. Apa ada masalah yang tiba-tiba membuatnya kepikiran? “Ehm,” Dinda berdeham ragu. “Boleh ... tunggu di luar, Dok?” Andra tersentak dan menoleh. Ekspresinya seketika berubah hangat kembali saat menatap Dinda. “Ya? Kenapa?” “Saya mau ganti baju dulu.” “Oh, oke. Aku akan menunggu di depan pintu,” jawabnya sambil bangkit dari tempat tidur Dinda. "Kita akan turun bersama." Dinda mengangguk dengan perasaan tak enak. Ia tahu, tak seharusnya meminta laki-laki yang telah menjadi suaminya itu menunggu di luar.Hingga tubuh jangkung itu menghilang di balik pintu, barulah gadis itu membuka hijab putih yang melilit sampai berlapis-lapis beserta mahkotanya, juga kebaya yang membuatnya gerah. Matanya melirik ke arah kunci. Haruskah ia mengunci pintu? Ah, rasanya itu sudah kelewatan. Tak mungkin ia tak mempercayai orang sebaik Dokter Andra. Dengan blouse terbaik bekas mendiang ibunya, Dinda akhirnya bisa merasa nyaman dan bernapas lega. Membuka pintu, ia melihat laki-laki itu berdiri menunggu dengan bersandar di dinding. “Saya sudah siap, Dok,” senyumnya manis. Andra menatapnya sejenak, kemudian membalas senyuman itu. “Aku tau kamu tersiksa memakai rok sempit tadi,” godanya. Dinda menyengir. “Sudah terbiasa pakai yang mudah buat gerak." Begitu sampai di bawah, Yani masih meneruskan sandiwaranya. Tekadnya untuk bisa ikut menikmati kekayaan sang pemilik Semanggi Properti begitu besar. Dinda menyalami semuanya walau ia tahu mereka menyambut uluran tangannya tidak dengan ketulusan hati. “Makasih, Paman, Bibi, Lola. Kalian telah menjadi bagian dalam hidup Dinda selama ini. Dinda pergi dulu, assalamualaikum,” ucapnya tulus.Amir mengangguk, sementara Yani hanya melengos dan Lola mencibir.Dengan perasaan yang bercampur aduk, gadis itu meninggalkan ruko yang telah menjadi tempatnya bernaung setelah kedua orangtuanya tiada. Meninggalkan buku-buku dengan berbagai macam cover dan judul yang selalu menjadi teman serta saksi setiap fase dalam hidupnya. “Kamu sedih?” Andra yang menyetir di sampingnya menatap prihatin. “Tidkak tau ... rasanya bercampur aduk. Sedih, lega, tak percaya juga,” lirihnya.“Kamu bisa kapan aja datang ke sini lagi. Kamu juga bisa mendapatkan hak milik toko itu kembali.” “Ya, saya tidak bisa melupakan begitu saja buku-buku di sana. Tapi kalau mengambil hak toko itu mungkin tidak, kecuali Paman dan Bibi Yani mau menjualnya.” Andra tersenyum bangga. “Kamu memang gadis yang baik,” pujinya. “Oke, sekarang kita kemana?”“Kok tanya saya? Kan Dokter yang ngajak pergi?” Andra menelan salivanya mendengar panggilan gadis yang telah sah menjadi istrinya itu. Alih-alih memanggilnya dengan sebutan khusus yang menunjukkan kedekatan hubungan mereka sekarang, gadis itu malah memanggilnya dengan gelar.Tapi ia tak ingin memprotes. Apa sajalah panggilannya, yang penting Dinda nyaman.“Begini, kebetulan aku punya dua rumah di kota ini. Satu milikku sendiri, satu lagi rumah dinas. Kamu mau pilih tinggal dimana?”“Kalo yang deket sama fakultas saya dan rumah sakit Dokter, yang mana?”“Rumah dinas, sih. Kalo rumah yang satunya lagi sedikit jauh dari kota. Cuma tempatnya adem, deket danau dan masih banyak pohon hijau. “Dinda tampak berpikir sesaat. “Hm, terserah Dokter aja.” Dinda mengeluarkan kata keramat para wanita, ‘terserah’.Andra kembali tersenyum. “Kalo gitu, kita tinggal di dua-duanya aja. Hari kerja kita di rumah dinas, akhir pekan di rumah Pinus.”“Rumah Pinus?”“Ya. Aku menamai Rumah Pinus karena di sekelilingnya banyak sekali pohon Pinus.”Dinda manggut-manggut. Pasti sangat menyenangkan bisa berakhir pekan di tempat yang sejuk seperti itu.“Oh ya, ngomong-ngomong tadi Fathimah buat apa nungguin kamu pakai Taksi?”“Mau bantuin kabur, karena saya sudah berencana untuk menolak Pak Dahlan. Tapi ternyata Allah kasih jalan lain yang lebih mudah.”“Dengan kehadiranku?”“Ya, dan saya bahkan belum mengucapkan terima kasih,” Dinda kembali merasa canggung.Andra tertawa pelan, berusaha menetralkan rasa canggung gadis manis di sampingnya. “Kamu bisa menunjukkan rasa terima kasih itu dengan menjadi istri yang manis untukku,” godanya.Dinda menahan senyum dengan pipi yang merona. Memalingkan wajah arah jendela dengan dada berdebar.Kenyataan menjadi istri seorang laki-laki sehebat pria di sampingnya itu memang bagaikan sebuah impian. Kehendak Allah memang tak ada yang tak mungkin. Kun Fayakun. Jika Ia berkehendak terjadi, maka terjadilah.“Dokter sendiri, kok bisa tiba-tiba datang? Pakai setelan dokter lagi,” alih gadis itu kemudian.“Owner di Restoran sebelah toko kamu menghubungiku. Katanya, pacarku akan dinikahkan dengan seorang rentenir tua hari ini,” senyumnya.“Pacar?” refleks Dinda. Namun kemudian ia seketika grogi.“Ya, dia mengira kamu pacarku. Tapi sebutan itu ternyata membuatku makin tak rela membiarkan kamu dinikahi orang lain,” tutur laki-laki apa adanya.Dinda kembali memalingkan wajahnya ke jendela dengan perasaan yang bercampur aduk. “Berarti saya membuat Anda meninggalkan pekerjaan di rumah sakit?”“Ya. Seorang dokter juga punya hal penting yang tak bisa dikesampingkan.”Mobil terus melaju, melewati gedung-gedung yang membentengi pandangan. Keduanya terdiam sesaat. Dinda tak tahu harus membicarakan apa. Hatinya begitu sungkan terhadap laki-laki penuh kharisma di sampingnya itu. Walau ia merasa sangat nyaman, tapi jantung terus berdebar kala mata cemerlangnya tak sengaja melirik.“Dinda ...,” panggil Andra setelah beberapa saat. Suara baritonnya memanggil dengan nada lembut, benar-benar seksi dan mendebarkan.“Iya?” Dinda menoleh.“Ini jenjang ta’aruf kita. Boleh aku mengenalmu lebih dalam?”“Tentu saja. Saya juga pingin tau lebih banyak tentang Dokter.”“Kalau begitu, mulai sekarang kita saling menjelaskan setiap hal tentang masing-masing.""Oke. Gimana kalo kita buat semacam permainan? Batu gunting kertas, siapa yang kalah harus menjelaskan apa yang ingin diketahui si pemenang, bagaimana?” tantang Dinda. Mata cemerlangnya tampak begitu ceria. Menatapnya seperti melihat mentari pagi yang membangkitkan semangat.Andra tersenyum. Gadis ini benar-benar menarik. “Oke!” sambutnya semangat. "Langsung kita mulai, ya?”Dinda mengangguk. “Batu!” serunya dengan tangan terkepal.“Kertas!” seru Andra di waktu yang bersamaan dengan mengacungkan lima jemari tangan kirinya.“Aku menang,” bibir menawan Andra tersenyum lebar. “Aku mau tau tentang apa yang paling kamu senangi,” tagihnya kemudian.Dinda berpikir sejenak. “Saya paling senang dengan keindahan. Taman bunga, padang rumput, kicauan burung suara gemericik air di sungai, senja, pokoknya suasana yang damai lah,” tuturnya sambil membayangkan semua hal yang disukainya itu.Andra tersenyum simpul mendengarnya. “Berarti kamu orang yang romantis.”Dinda menggaruk kening dengan ujung telunjuknya. “Yang begitu romantis, ya?”“Sepertinya begitu.”“Oke, sekarang ronde ke-dua,” Dinda cepat-cepat mengalihkan.Andra mengangguk setuju, dan kemudian sang dokter yang harus menerima kekalahan.Dinda tampak ragu sejenak saat ingin mengajukan pertanyaannya.Andra menangkap ekspresi itu dengan lirikannya. “Tidak apa-apa, tanyakan saja,” senyumnya.“Ehm,” deham gadis itu. “Apa ... Dokter benar-benar tak punya pacar? Maksud saya, rasanya tidak mungkin seseorang seperti Dokter masih sendiri.”“Seseorang seperti apa maksudnya?” pancing Andra sambil menahan senyum. Netra coklat terangnya tampak berbinar.Namun binar itu seketika menghilang saat tiba-tiba sebuah mobil berwarna merah menyalip di hadapannya.Ciit!Suara ban yang berhenti mendadak, menggesek keras permukaan jalan hingga menimbulkan bunyi decit yang begitu nyaring.“Astaghfirullah!” pekik Dinda.Mobil Andra berhenti tepat satu jengkal jaraknya dengan mobil merah yang menyalip.Laki-laki itu langsung menoleh risau pada gadis di sampingnya. “Kamu tidak apa-apa?”Dinda mengangguk sembari mengatur napas yang tersengal.Dari dalam mobil merah itu keluarlah seorang perempuan cantik bergaun hitam ketat dengan rambut panjang terurai. Bibirnya yang berwarna merah menyala menyunggingkan senyuman. Benar-benar seksi.Perempuan itu menatap Andra intens tanpa melirik Dinda sedikitpun. Senyuman di bibir merahnya masih mengembang, namun ucapannya penuh dengan tekanan, "apa kamu mengabaikanku, Janson Sayang?'Perempuan itu menatap Andra intens tanpa melirik Dinda sedikitpun. Senyuman di bibir merahnya masih mengembang, namun ucapannya penuh dengan tekanan, "apa kamu mengabaikan ku, Janson Sayang?"Sayang? Kata itu membuat Dinda terpaku. Baru saja ia menanyakan tentang pacar tiba-tiba saja seorang wanita memanggil laki-laki itu dengan sebutan sayang?Andra menghembuskan napas panjang, menatap jengah perempuan yang menghadang mobilnya. "Tunggu sebentar," ucapnya pada Dinda. Membuka pintu lalu menghampiri wanita itu. "Ada apa?" tanyanya datar. Wanita itu menatap manja. Tangannya terulur menyentuh jas kedokteran Andra dan merapikannya penuh perhatian. Andra membiarkannya tanpa ekspresi. "Janson, aku ingin makan malam denganmu malam ini," pinta wanita itu dengan nada yang mendayu-dayu. "Aku tidak bisa. Kau bisa mengajak Alex atau temanmu.""Adikmu itu mana pernah mau diajak dinner romantis. Aku benar-benar kesepian beberapa hari ini. Kalian mengabaikanku," rajuk wanita itu. "Tapi aku b
Dinda kembali ke kursi tamu setelah membuktikan rasa penasarannya. Tak elok juga kalau ia memeriksa setiap ruangan rumah yang baru ia datangi itu, walau rumah itu milik suaminya sendiri. Andra kembali dengan bibir terkatup rapat. Sepertinya ada masalah yang serius dengan orang yang baru saja menelepon. "Maaf Dinda, aku harus keluar dulu, ada sedikit urusan di luar. Kamu ada rencana mau kemana? Biar aku antarkan lebih dulu."Dinda terdiam sejenak. Ia tak pernah punya tujuan di luar rumah kecuali kampus dan rumah Fathimah. Tapi kalau sudah sore seperti ini tentu tak mungkin pergi ke sana. "Saya ... tidak punya rencana kemana-mana. Dokter pergi saja."Apa tidak apa-apa aku tinggal sendirian?"Dinda memberikan senyuman tipis. "Tidak apa-apa, saya berani. Di rumah ini tidak ada hantunya, kan?""Tidak ada hantu yang berani singgah di rumah ini. Kalo ada yang berani mampir langsung aku seret ke rumah sakit buat di inpus karena mukanya pada pucat.""Hahaha ...,"Dinda tertawa mendengar gura
Bibir menawan Andra langsung tersenyum. Dengan tatapan yang masih terpaut pada Dinda, ia menolak tawaran mahasiswi cantik bak seorang model di sampingnya. "Terimakasih. Tapi tidak perlu, saya sudah menemukan yang saya cari."Langkah panjangnya terayun menuju Dinda. Membuat para gadis yang menyebut diri mereka para Dewi itu terperangah. "Maaf, aku tidak pulang semalam, istriku. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi," ucapnya. Ucapan yang membuat para Dewi benar-benar tersentak mentalnya. "I-iya," Dinda tergagap. Mendengar Andra memanggilnya istri membuatnya salah tingkah. "Ayo, kita pulang." Laki-laki itu meraih tangan Dinda. Menggenggamnya hangat dan penuh kelembutan. Merasakan sentuhan itu membuat napas Dinda seketika tertahan. Ia kelabakan dan kembali hanya bisa menjawab, "i-iya."Andra menoleh pada Fathimah. Yang berdiri bangga memperlihatkan sahabatnya pada para Dewi yang masih terpaku tak percaya. "Fathimah, bagaimana kakinya?" Fathimah kembali tersenyum
Dinda mengakhiri shalat subuh nya dengan salam. Saat suara kunci pintu rumah terdengar diputar dari luar. Itu pasti Andra. Sang Dokter kembali tak pulang semalaman. "Maaf, aku tidak pulang semalam. Operasinya selesai pukul dua malam. Hujan sangat deras, aku ingin mengabari mu kalo tak bisa pulang, tapi baru sadar kalau HP-ku lowbat. Nunggu baterainya penuh aku malah tertidur," ucapnya langsung begitu Dinda melongok dari pintu kamarnya. Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian tersenyum. Wajah Andra tampak begitu lelah. Sudah seharusnya istri seorang Dokter maklum dengan waktu kerja suaminya yang tak menentu. Apalagi dirinya yang merasa berhutang budi dengan pernikahan ini. "Tidak apa-apa. Saya tau Dokter tidak bisa pulang karena hujan."Andra membalas senyuman itu. Kemudian meletakkan tas kerjanya di atas meja tamu. Dan mengambil laptop dari dalamnya. "Aku harus masuk kamar dulu. Masih ada pekerjaan yang belum selesai," terangnya dengan raut penuh beban. Dinda mengangguk. "Saya akan
Bab 11Dinda terkejut melihat ekspresi itu. Andra menatap kotak yang dipegangnya dengan tatapan tajam. "Jangan sentuh kotak itu!" desis laki-laki itu. Mata Dinda langsung beralih pada kotak di tangannya. Jangan sentuh? Kotak hitam ini? "Ke ... Napa?" Tanpa menjawabnya Andra menghampiri gadis itu. Mengambil kotaknya dengan kasar dan raut wajah yang sama. Dinda meneguk salivanya. Memandang punggung Andra yang telah berbalik dan menjauh. "Memangnya ... itu bukan kotak rujaknya?" tanyanya lirih.Lirihan yang membuat langkah Andra terhenti. Ekspresi dinginnya perlahan berubah. Ia terdiam sejenak sebelum kemudian menoleh. "Maaf, aku menyakitimu," ucapnya. Kemudian melanjutkan langkahnya kembali ke mobil dan menyimpan kotak itu. Ia kemudian kembali dengan sebuah kotak berwarna hijau tua. Tersenyum lembut dan menggapai tangan Dinda yang masih berdiri di tempatnya. Menggenggamnya lembut dan mengajaknya ke tikar yang telah digelar. "Ini kotak rujaknya," tuturnya setelah meletakkan kotak
"Itu foto aku bersama Janson dan Alex," jelas Siska sekali lagi. Tangannya kemudian merampas pigura itu dari Dinda. Dinda terpaku. Jadi mereka teman sejak kecil? "Siska?" Suara bariton Andra terdengar memasuki ruang utama itu.Siska menoleh dan langsung mengembangkan senyuman. Tubuh tinggi semampai nya yang dibalut gaun ketat segera melenggang menghampiri. "Ya. Kita sehati, ya. Kamu-nya di sini, aku juga tiba-tiba pingin ke sini," riangnya. Kemudian bergelayut manja di lengan Andra yang sedang membawa nampan minuman. "Hei, tehnya bisa tumpah," tegur Andra. Siska tertawa lepas. "Biar aku yang bawakan," ujarnya sambil meraih nampan dari tangan Andra tanpa melepaskan gandengan di lengan laki-laki itu.Perempuan itu meletakkan nampan di atas meja, lalu menarik tangan Andra untuk duduk bersisian dengannya. "Kebetulan sekali, aku sangat haus, Janson." Perempuan itu langsung meraih salah satu cangkir dan menyeruputnya. Dinda berdiri termangu. Ia terabaikan. Seolah mereka hanya berdua
Dengan jantung yang berdebar, Dinda nekad membuka pintu kamar Andra. Sebuah ruangan yang tidak jauh berbeda dengan kamar Alex. Namun aroma di dalam ruangan itu tetaplah aroma Andra. Gadis itu menutup pintunya. Kemudian berdiri di balik pintu itu tanpa tahu harus apa setelahnya. Haruskah ia duduk di tempat tidur? Matanya mengedar ke sekeliling. Ada sofa berbingkai kayu ukir di sudut kamar. Dinda pun memilih duduk di sana untuk menunggu. Beberapa saat duduk menunggu Andra tak juga masuk. Gadis itu sudah beberapa kali menghela napas saking tegangnya. Jangan-jangan laki-laki itu enggan masuk karena ia terlalu lancang? Klek. Bunyi pintu yang dibuka terdengar jelas di telinganya. Dinda semakin tegang. Tampak bahu lebar Andra muncul dari balik pintu. Laki-laki itu masuk dan menutup pintunya. Tidak. Bukan sekedar menutup, sang dokter juga menguncinya. Dinda meneguk salivanya melihat itu. Pikirannya benar-benar kacau. Apa keputusannya untuk masuk ke kamar ini adalah pilihan yang tepat
Seorang gadis duduk termangu di depan jendela. Menatap muda-mudi yang berlalu-lalang tanpa benar-benar melihat. Riuh di kanan-kiri tak mengusik perhatiannya. Ia seperti jiwa yang terhampar jauh di tempat yang sunyi. Dialah Dinda Zahara Kirani. Gadis yang biasanya fokus dan bermotivasi kuat mengejar cita-citanya. Yang tak pernah berani berkhayal dan berangan. Yang tak pernah merasa sedih kecuali saat merasa lemah dalam mengejar cita-cita.Tapi kini jiwanya terusik oleh sebuah rasa. Rasa yang tak pernah terpikirkan sedikitpun olehnya selama ini. Rasa ingin dilihat seorang laki-laki. Akibatnya, hatinya merasakan pedih saat seorang pria mengabaikannya. "Hei!" Fathimah datang tiba-tiba dan sengaja mengejutkannya. Dinda tersentak. Kepedihan itu buyar dan menjadi sebuah rasa yang nelangsa. "Apa?" tanyanya tak bersemangat. "Gimana sama tugas yang baru dikasih Pak Dosen? Kamu pasti suka banget ngerjainnya, kan?"Dinda masih termangu. "Nah, berhubung kamu emang si pecinta tugas, tugas aku
Extra partAndra berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celananya. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki bertubuh kekar dan bertopi yang tak lain adalah IPDA Reza. "Apa yang bisa membuatku yakin, kau tak akan berubah karena trauma itu lagi?" Andra menghela napas. "Yang pertama, aku telah mengetahui apa alasan ibuku menggantung diri. Dan aku juga sudah menangkap orang yang menjadi penyebab ibuku melakukan hal itu. Yang kedua, aku memiliki seorang istri seperti Dinda, kau juga mengenalnya seperti apa, dia tak akan membiarkanku kembali ke masa lalu.""Baiklah kalau begitu. Aku akan melupakan sebuah flashdisk yang pernah aku temukan di rumahmu di bukit Pinus.""Flashdisk?" Andra mengernyit. Karena rasanya ia dan Dinda telah memusnahkan semua flashdisk-nya. "Ya," Reza tersenyum tipis. "Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu kali akan jatuh juga."Andra terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. "Itu benar," sahutnya."Aku pergi dulu. Siang ini aku harus segera b
Soni dan Guntur serentak keluar dari pintunya masing-masing. Lalu berlari menuju pintu masuk. Menyusul Andra yang sudah berlari lebih dulu. Sementara Dinda yang terpaksa tak ikut langsung mengunci pintu mobil seperti perintah Andra sebelumnya. "Bahaya, kalau karyawan perempuan itu dilenyapkan juga karena cuma dia saksi matanya," deduksi Soni sambil berlari di samping Guntur. "Tidak, bagaimana kalau karyawan perempuan itu yang membawa air bercampur racun?"Brak!Andra mendobrak pintunya. Lalu berlari cepat ke arah dua orang karyawan yang berjongkok di samping tubuh Yani. "Jangan bergerak!" teriaknya. Kedua orang itu tersentak dan sama-sama menoleh ke arah suara yang mengagetkan itu! Namun bedanya, yang perempuan langsung menunduk kembali. Andra tertegun. Ia mengenal wajah itu. *Flashback.Jamal menatap sosok berpakaian serba hitam yang datang untuk berterimakasih padanya kedalam penjara. "Kenapa kau ingin mengkambinghitamkan laki-laki yang kau cintai?" Sosok itu menghela nap
Hari sudah siang, semua karyawan PT sedang keluar untuk makan siang. Begitu juga dengan pekerja di gudang. Mereka baru saja keluar, saat mobil Andra dan timnya berhenti di tepi jalan. Andra membuka jendela mobilnya. Sekilas terdengar salah seorang pekerja di gudang itu membicarakan sesuatu dengan bibir tersenyum-senyum. "Pekerja baru itu cantik banget, ya? Udah gitu pekerja keras lagi. Barang sekarung besar itu diseret sendiri. Aku udah nawarin bantuan tapi doi menolak secara halus.""Iya, gue juga udah ngajak makan. Katanya mau nyelesain kerjaan dulu. Bakal betah gue kerja kalo ada temen kerja kayak gitu," timpal temannya. Sementara itu, Martin dan lima anak buah kepercayaannya langsung mengepung di sekeliling gudang.Sedangkan Andra, Dinda, Soni, dan Guntur tidak langsung keluar dari mobil karena Soni harus meretas kamera CCTV gudang untuk melihat keadaan di dalam."Tidak akan lama," Soni langsung fokus.Kamera berhasil di retas setelah beberapa saat. Tampaklah penampakan isi gud
Tring. Semua yang terdiam tampak tersentak kaget mendengar dering ponsel Andra. "Paman Amir," ujarnya pada Dinda. Lalu mengangkat telepon itu."Ya, halo," jawabnya. "Halo, Nak Andra! Istriku menghilang!" panik Amir di seberang. "Apa?!" Mata Andra melebar. Yani, yang menjadi umpan jebakannya menghilang? "Paman yakin dia tidak pergi ke suatu tempat?" "Entahlah, tapi sepertinya istriku benar-benar takut akan dituntut. Jadi kurasa tak mungkin dia berani mengacaukan rencana.""Baiklah, kalau begitu. Aku akan mencarinya!" Andra mematikan teleponnya dan menatap semua orang di dekatnya. "Kita salah sasaran!" serunya. "Bibi Yani kenapa?" tanya Dinda yang tak tahu mengenai rencana yang disusun Andra. "Dia menjadi umpan untuk menangkap pembunuh itu. Dan sekarang dia menghilang."Dinda tercenung. Hatinya resah. Bagaimanapun, Yani tetap keluarga dekatnya. "Dinda akan bantu mencari.""Tidak, ini bahaya Dinda. Makanya aku tidak memberitahu mu sejak awal.""Dinda akan berhati-hati dan terus
"Soni, Guntur! Kalian yang berada lebih dekat langsung beralih ke rumah Dinas. Dugaan kita meleset. Target malah di rumah Dinas dan istriku dalam bahaya!" teriak Andra sambil berlari. Tiba di luar, tampak Martin telah menunggu dengan motornya. Andra langsung berlari menyongsong orang kepercayaannya itu. "Cepat, Martin!" "Baik, Dok!" angguk Martin yang kemudian menarik gas motornya sekencang mungkin. *Dinda berdiri membeku melihat laki-laki berwajah pucat itu berjalan menghampirinya. Ia berhenti berlari karena teringat pada Bingo yang tertinggal di kamar. Laki-laki bernama Faisal itu menggendong Bingo dan kemudian berhenti 3 langkah di hadapan Dinda. "Lepasin Bingo!" Dinda memberanikan diri untuk membentak. Faisal tak menanggapi. Tangannya yang sebelah lagi merogoh saku belakang celana, membuat Dinda was-was menerka apa yang diambil laki-laki itu. Bagaimana kalau senjata tajam? Namun ternyata yang diambilnya adalah sebuah buku catatan dan pulpen. Orang itu kemudian menurunkan
Bab 107Tiba-tiba, Amir muncul dan menghadang jalan Andra. Laki-laki paruh baya itu kemudian berlutut dengan wajah memelas, membuat orang-orang di sekitar langsung memperhatikan. "Nak Andra, tolong kasihanilah kami, jangan tuntut kami. Nak Andra boleh mengambil toko baru itu, Kami akan menyerahkan sertifikatnya juga."Andra menghela napas. "Aku hanya ingin toko buku milik istriku kembali seperti semula. Aku tidak butuh toko lain!" tegasnya. Amir melirik cemas, meski telah membantu bersandiwara seperti ini ternyata suami dari keponakannya itu tetap tak mau memberi keringanan. "Tapi itu tak mungkin bisa, Nak! Orang itu telah mendapatkan tokonya dengan harga murah, tidak mungkin mau mengembalikannya lagi."Andra menatap tak sabar. Bisa-bisanya Amir mengambil kesempatan untuk bernegosiasi dengannya di tengah sandiwara yang telah ia atur. Ia hanya ingin Amir mengatakan bahwa Yani hendak bunuh diri, untuk memancing si pembunuh. "Kalian bisa membelinya kembali dengan harga yang lebih
"Kalau dalam kasus pembunuhan itu si pelaku sengaja mencari orang-orang yang hendak bunuh diri, kita bisa menjebaknya dengan memberi umpan seseorang yang akan berpura-pura bunuh diri. Dan lebih baik, orang itu memiliki hubungan dengan Anda atau istri Anda, Pak Andra," usul Guntur, sang detektif swasta.Andra mengangguk-angguk. "Aku tau siapa yang bisa berperan menjadi umpan," sahutnya. *Andra berdiri di hadapan sebuah ruko dengan tangan di dalam saku celananya. Bibirnya tersenyum menatap teras toko dimana ia dan seorang gadis baik hati bertemu. Kala itu ia hanya menganggap gadis berwajah ayu itu sebagai kelinci percobaan.Namun siapa sangka, kelinci percobaannya malah menjadi kelinci manis yang ia cintai. Bahkan berhasil mengubah jati dirinya.Klik. Pintu kaca toko terbuka. Seorang laki-laki paruh baya yang tak lain adalah Amir muncul dari dalam dan tampak tersentak kaget melihat Andra yang berdiri di depan tokonya. "N-nak Andra?" sebutnya terbata. "Ya. Ini saya."Amir buru-bur
"Apa kita pindah ke rumah dinas saja dulu? Sampai kasus ini selesai," tawar Andra. Ia melihat Dinda mulai tidak nyaman dan was-was setiap saat, setelah munculnya pemilik Bingo di rumah baru mereka itu.Meski enggan untuk meninggalkan rumah impiannya bersama Andra, namun Dinda merasa tawaran sang suami lebih tepat untuk saat ini. Rumah dinas berada di tengah kota, dan jarak rumah dengan tetangga juga tak jauh. Akhirnya, setelah berbenah mereka berangkat ke rumah dinas. Rumah dimana keduanya saling mengenal hingga saling mencintai dan bermadu kasih. Tiba di sana, bibir Dinda seketika tersenyum. Banyak kenangan manis yang telah terpatri di rumah itu."Kamu senang?" Andra ikut tersenyum dan merangkul pundak istrinya hangat.Dinda mengangguk, kemudian melangkah masuk bersama dalam rangkulan lelaki itu.Andra benar-benar memperhatikan dan memanjakannya. Laki-laki itu juga mengajaknya bersantai sore, membuatkannya teh dan menikmati senja di kursi taman seperti biasa. "Padahal harusnya Di
Dinda menatap laki-laki berkumis yang tiba-tiba masuk dan mengecam suaminya itu, dengan tatapan kesal. Persis seperti komisaris korup dalam film India, atasan Reza itu benar-benar bermuka dua. Beberapa hari yang lalu Andra sempat cerita bahwa sang komisaris berterimakasih padanya karena telah membantu menangkap Jamal. Laki-laki bermata kecil itu juga meminta maaf karena pernah menuduh Andra sebagai pelaku pembunuhan dan juga pernah ingin mempidanakannya saat kasus dengan Dahlan dahulu. Dada Dinda serasa bergemuruh mengingat semuanya.Sekarang, pria itu kembali ingin menjerat suaminya dan menuduhnya memberi kesaksian palsu. "Saya tidak berbohong, Suami saya memang langsung pulang sore itu.""Baiklah kalau Anda bersikeras seperti itu. Saya cuma mau nanya, apa Anda punya buktinya?"Dinda terdiam dengan sejuta rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan. Sementara itu di luar ruangan, Alex dan Fathimah sedang duduk menunggu dengan raut cemas. "Alex, semua ini salahku. Coba saja aku tak ter